Oleh: Adrianus Kojongian
Kebencian penduduk
Siau terhadap Belanda dan Ternate sangat besar akibat pembuangan sebagian
penduduknya di tahun 1615. Pelarian dari Kepulauan Banda yang tiba di Siau
mengisahkan penderitaan mereka dijadikan pekerja paksa di perkebunan pala. Tidak
heran tumbuh tekad membaja raja dan penduduk untuk mempertahankan kerajaan serta agamanya. Bujukan,
ancaman, bahkan upaya penaklukan berkali dari Belanda dan Ternate tidak mempan.
Awal tahun 1620 Raja Don
Jeronimo (II) kembali ke Siau dari pengasingannya di Manila Filipina, dengan bantuan pasukan Spanyol. Dilaporkan sejumlah orang Belanda yang ada di Siau beramai-ramai dibunuh penduduk yang marah.
Don Juan, putra Raja Don Jeronimo masih tinggal selama tiga tahun di Manila, kemudian pergi ke Ternate tahun 1623. Di Ternate Don Juan membantu Spanyol sepanjang tahun itu melawan Ternate memimpin sejumlah pasukan Siau yang dikirim ayahnya atas permintaannya.
Baru tahun 1624 Don Juan kembali ke Siau dengan diantar Padri Fransiskan Diego de Rojas dikawal Kapten Francisco Melendez, yang sukses dengan pekerjaannya di Manado. Melendez
memimpin pasukan berkekuatan enam serdadu untuk membantu Raja Siau melawan
musuhnya di Pulau Sangihe Besar.
Tahun 1624 tersebut Don
Juan, menjadi Raja Siau yang baru. Spanyol
memperkokoh basis militernya di Siau dan Manado. Angkatan laut Siau segera
pulih. Armada kora-koranya menjadi kekuatan disegani di perairan Laut Sulawesi,
Laut Maluku dan Teluk Tomini.
Awal tahun 1625, Siau
dengan 2 galai disertai sekutunya Kolongan membantu pasukan Spanyol dari
Ternate menyerang Sangihe Besar (disebut Spanyol Sanguil Basar atau Sanguil
Bacar). Gabungan armada telah menawan 800 penduduk Sangihe. Jarahan dibagi dua,
setengah bagian untuk Siau berbagi Kolongan dan setengahnya untuk Spanyol.
Namun, empat ratus
tahanan di galai Spanyol memberontak, membunuh Kapten dan 7 serdadunya. Ikut
tewas sekitar 200 tahanan, sementara sisanya kebanyakan wanita dan anak-anak
dibawa ke Ternate.
Serangan di Sangihe
Besar tersebut menjadi alasan Belanda membantu Ternate yang mulai mengklaimnya
sebagai daerah taklukannya.
Bulan Maret 1625
kapal De Trouw di bawah pimpinan Gubernur Maluku Jacques le Febre dan Ternate yang
kembali dikomando Kapitein Laut Kaicil Ali menyerang Siau. Raja Siau dipaksa
menghentikan aliansi dengan Spanyol dan bergabung dengan Belanda.
Namun, tidak lama
kemudian, bantuan Spanyol telah memperkokoh Siau, sebagai musuh Ternate dan
terutama Kompeni Belanda. Gubernur Maluku dari Kompeni Belanda Gysbert van
Lodensteyn dalam surat ke Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer 6 April 1633 mengindikasikan
Siau telah diambil musuh (Spanyol). .
Siau kemudian mengalami
masa aman untuk lebih empat dekade. Apalagi setelah terjadi perdamaian Belanda
dengan Spanyol tahun 1648 (Perjanjian Munster) yang mengakhiri perang delapan
puluh tahun mereka, makin memberi pengaruh pada keamanan Siau.
Tahun 1636 Raja Siau yang
berpendidikan Manila bersama Raja Manado mengirim putra mereka untuk bersekolah
tinggi di Manila, dididik para Jesuit di Seminari San Joseph.
Prajurit asal Siau banyak
berpartisipasi membantu Spanyol dalam peperangannya, baik di Maluku mau pun
Filipina. Tanggal 2 Maret 1639 dicatat sebanyak 300 Mardiker Siau yang berada di
bawah komando Sersan Mayor Juan Ruiz Maroto ikut membantu pasukan Gubernur
Mindanau Jenderal Don Pedro de Almonte melawan Sultan Mindanau Corolat
(Kudarat), dan berlanjut dalam perang dengan Sultan Jolo (Sulu).
RAJA VENTURA
Masa aman yang
dialami Siau, justru tidak diikuti dengan kerja misi. Siau yang sejak awal
menjadi ladang kerja dari Ordo Jesuit (SJ) terbengkalai, sehingga penduduk yang
semuanya Kristen Katolik, sekedar dalam nama saja. Selama belasan tahun Siau
tidak memiliki padri menetap. Raja berkali meminta tenaga misionaris, bahkan sampai
memohon pengiriman padri dari Ordo Fransiskan (OFM).
Awal tahun 1654 Raja
Siau Don Ventura Pinto de Morales, anak dan pengganti Don Juan datang mengunjungi
Manila. Ia bertemu dengan Gubernur Filipina Don Sabiniano Manrique de Lara (memerintah
25 Juli 1653-8 September 1663).
Kepada Gubernur
Spanyol Raja Ventura menjelaskan bahwa pulaunya sangat kurang pelayanan tenaga
misionaris untuk pemberitaaan Injil. Ia melihat hal tersebut sebagai kebutuhan paling
ekstrim dari kerajaannya. Raja Ventura berharap bantuan Gubernur dan Pater Superior
Provincial Miguel de Solana untuk menempatkan padri Jesuit di Siau.
Padri Solana
menjanjikannya dua padri untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Raja Ventura sebelumnya
telah pergi ke Ternate menemui Gubernur Maluku dari Spanyol meminta campur
tangan Ordo Fransiskan.
Menurut Raja Siau
pula, ia tidak senang bekerjasama dengan orang Kristen lama, sementara banyak
sekali umat Kristen baru yang beberapa bulan lalu meminta dilakukan pembaptisan.
Raja Ventura
memerintah Siau sejak tahun 1638 atau 1639. Namanya dicatat Pater Pedro Murillo
Velarde sebagai Don Bentura Pinto de Morales. ¹
PADRI ESQUIVEL
Ternyata, baru tahun
1656 dikirim seorang padri Jesuit ke Siau. Diego (Didacus) de Esquivel pindah dari
Tidore. Dengan penguasaan bahasa lokal (Melayu, Ternate dan Siau) yang
dilatihnya di Ternate, ia berhasil mengambil hati penduduk Siau yang
digambarkan masih hidup seperti barbar lewat kotbah untuk menanamkan iman dan
kelakuan yang baik. Ia pun rajin mengunjungi penduduk, dan karena contoh
kehidupan religiusnya, banyak penduduk Siau tumbuh dalam semangat Kekristenan.
Padri kelahiran
Manila 11 November 1623 yang masuk Ordo Serikat Jesus 17 November 1648 ini bekerja
di Siau selama enam tahun, dan sangat berpengaruh terhadap raja dan mantrinya,
serta dicintai penduduk.
Ketika Raja Don
Ventura Pinto de Morales meninggal tahun 1658, putranya yang masih kecil Batahi
(Batahe) yang bernama Kristen Don Francisco Xavier (Javier) dipercayakan
pendidikan dan perwaliannya kepada Padri Diego de Esquivel. Raja Ventura pun
mempercayakan penanganan pemerintahan pada sang padri sebagai regent, sampai
putranya mampu mengambilalih.
Dari jurnal Gubernur
Belanda Robertus Padtbrugge, raja muda ini lahir sekitar tahun 1655.
Ternyata pemerintahan
Siau di bawah proteksi Padri Esquivel dipuji karena menimbulkan kepuasan besar
di kalangan para kepala serta penduduk. Atasannya memberi dukungan, sebab
menurut kanon suci, pekerjaannya merupakan misi yang mulia dalam pelayanan dan
penyebaran agama Kristen.
Padri Esquivel kemudian
ditunjuk sebagai Wakil Rektor Colegio (Seminari) di Ternate tahun 1662, tapi
kembali ke Siau 1664 dan setelah dipensiun pulang ke Manila melalui Tabukan,
dimana ia dilepas penduduk Siau dengan sangat berat hati, bahkan banyak
penduduk telah ikut dengannya hingga ke Maragondong Filipina. Ia meninggal di
Manila tanggal 6 Juni 1665.
Don Francisco Xavier dilantik sebagai Raja Siau tahun 1658 ketika masih kecil oleh Gubernur Spanyol di Ternate Jenderal Francisco de Esteibar. Ia kemudian dididik dan dibesarkan di Gamalama Ternate, lalu melanjutkan pendidikan di Manila, sehingga sejarawan Spanyol menyebutnya sangat Hispanik. Baru tahun 1664 ia meninggalkan Manila, kembali ke Siau untuk resmi menjalankan tugasnya sebagai raja.
Padri Francisco Miedes yang bertugas di Siau sejak tahun 1661 bertindak menjadi penasehat utama Raja Francisco. Ia dikabarkan hidup dalam kesengsaraan, karena selama 6
tahun tidak ada pasokan bahan makanan dari Manila, sementara tidak ada sedikit
pun nasi. ²
Pengaruh Padri Miedes
sangat besar terhadap raja muda, sehingga di tahun 1673 sebelum kembali ke
Filipina, ia mewakili Siau meneken perjanjian damai dengan Kompeni Belanda.
Datang hampir
bersamaan dengannya, Padri Hieronymus Zebreros (Jeronimo de Cebreros) kelahiran
Meksiko di tahun 1662, bekerja di Pehe lalu Tamako dan Lirung di Pulau Kabaruan
Kepulauan Talaud.
Berikutnya Padri Emmanuel
Espanol asal Aragon tahun 1672 di negeri Ulu, yang juga bertindak menjadi
penasehat Raja Francisco Xavier Batahi, serta Carolus Ioannes Turcotti asal Lombardia
tahun 1674, di negeri Pehe, terakhir di Bolaang Itang. Ketiga padri Jesuit ini
bekerja di Siau hingga tahun 1677 (baca Kepulauan Talaud Tempo Dulu 3).
Mantri-mantri yang menjadi
pembantu raja yang terkenal adalah Jogugu Don Jeronimo d’Arras, Jogugu Don
Thomas Mahonis, Kapitein Laut Santiago (St.Jago) Manumpil, Kapitein Laut Juan
Nauchas, Hukum Don Pedro Laomba, dan Sangaji Don Vincent Gamulala. Don Jeronimo
d’Arras dan Santiago Manumpil adalah kakak-beradik.
Spanyol sendiri menempatkan
pasukan pendudukan di benteng Santa Rosa yang berada di Ulu. Komisi dari para
Kapten Spanyol hampir setiap tahun dilakukan dari benteng Spanyol di Ternate
dan bahkan langsung dari Manila. Komisi demikian, selain membawa kebutuhan
hidup bagi para padri dan raja, termasuk pakaian dan sepatu, ketika balik
kembali membawa hasil Siau terutama sagu, ubi dan minyak kelapa.
EKSPANSI
Periode tahun 1650-an
hingga 1670-an Siau berkembang menjadi kerajaan maritim besar di Sulawesi
Utara. Armada kora-kora Siau menjelajahi dan melakukan perhubungan dagang dan
politik dengan kerajaan lain yang ada di wilayah Bolaang Mongondow, hingga
Sulawesi Tengah. Bahkan tahun 1675 Siau mengklaim Pulau Bangka di Minahasa.
Kerajaan-kerajaan
yang menjalin kerjasama dengan Siau antara lain Kolongan (Taruna), Bolaang
(Mongondow), Manado, Kaidipang dan Palu di Sulawesi Tengah.
Namun Kaidipang --yang
dekat dengan Siau sejak tahun 1614 ketika Kaidipang masih dipimpin raja yang
menurut sumber Spanyol bernama Banidaca-- kemudian dicaplok.
Kekuatan gabungan
Siau dan Bolaang ketika masih dipimpin oleh ayah Raja Loloda (Valentijn
menyebut sudah dipimpin Loloda), telah menaklukkan Kaidipang.
Kaidipang dibagi dua. Siau sebagai pemilik Bolaang-Itang dan Bolaang memiliki Kaidipang atau Dauw. Raja Siau
menempatkan Sinkakoa (Linkakoa) sebagai Ratu Bolaang-Itang. Valentijn menjulukinya
Raja Parampuan, kelak dibaptis bernama Magdalena Linkakoa. Sumber Spanyol menyebutnya Elena Lincacoa (baca pula Mengenal Sedikit Raja-raja Bolaang-Itang).
Invasi kemudian berlanjut.
Armada Siau bersama Bolaang yang telah dipimpin oleh Raja Loloda, menduduki
negeri Bouton (Bunto, atau Bunta) yang berada di Gorontalo milik Kaidipang dan
dihuni orang-orang berasal Bwool. Di Bouton mereka menawan saudara dan ibu dari
Binangkal (Pugu-Pugu).
Mauw Beiling (disebut
juga Mobiling), saudara Binangkal telah diangkat menjadi Raja Kaidipang di Dauw
serta dikawinkan dengan Sinkakoa, Ratu Bolaang-Itang.
Perkawinan keduanya
tidak bertahan lama, Mauw Beiling meninggal setelah memperoleh seorang putra kecil
(menurut Valentijn dibaptis bernama Willem yang tahun 1677 disebut Padtbrugge berada
di Manado). Sementara Sinkakoa kelak kawin kembali dengan Intji Mannes dari
Taywila (Cajeli, Tabali, Kaili atau
Taqwilu).
Binangkal sendiri setelah
kematian Mauw Beiling segera datang dari Bwool dan diakui penduduk Dauw sebagai
Raja Kaidipang (dibaptis dengan nama Maurits Binangkal).
Raja Siau mengancam
akan menyerbu Kaidipang, berakibat Binangkal meminta pertolongan kepada Raja
Makassar Hasanuddin, sehingga Kadipang menjadi kerajaan taklukan Makassar (baca
juga Mengenal Beberapa Raja Kaidipang).
JOGUGU D’ARRAS
Di Siau justru terjadi
gejolak politik. Pengaruh Kompeni Belanda yang makin besar di kerajaan-kerajaan
tetangga, dengan penempatan satu garnisun tentaranya di Tagulandang dan sebuah benteng
besar di Manado sejak tahun 1654 telah berdampak di Siau, timbul kelompok pro
Belanda.
Don Fabian Mosojambo, ayah Jeronimo
d’Arras (Daras atau dicatat juga Darisa) yang menjabat sebagai Jogugu dituduh mendekati pihak Belanda.
Ia segera ditahan, dibawa dan dipenjarakan Spanyol di Manila.
Sumber Spanyol, antara lain Jose Miguel Herrera mengungkap Don Fabian yang merupakan kemenakan Raja Ventura Pinto de Morales mengklaim tahta Siau. Ia datang ke Manila meminta Gubernur Sabiniano Manrique de Lara (1653-1663) mendukungnya, tapi ditolak gubernur. Untuk menyenangkannya, Don Fabian diberi gelar simbolis maestro de campo general de las naciones Ternate, dengan gaji tetap 16 peso. Namun, karena krisis ekonomi yang terjadi, gajinya berkurang secara bertahap.
Ketika mengetahui Gubernur Ternate Esteibar melantik Don Francisco ia berusaha kembali ke Siau untuk menuntut tahta. Tapi di Luzon ia dihentikan, karena tidak beroleh izin gubernur. Setelah berbulan-bulan, Don Fabian berhasil meninggalkan Manila. Tapi saat hendak menyeberangi Laut Sulu, ia dicegat armada Zamboanga, dikirim kembali ke Manila, dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan pengkhianatan dan pembajakan. Setelah usahanya gagal, terakhir ia meminta Padri Miedes mengirim keluarganya ke Luzon.
Tidak berselang lama kemudian Raja Francisco Xavier menuduh Jeronimo d’ Arras memberontak berusaha merebut kekuasaan. Jogugu dan pengikutnya yang kebanyakan berasal dari negeri asalnya Ulu diburu hingga lari bersembunyi. Harta miliknya termasuk budaknya ikut disita. Saudara Jeronimo, yakni Kapitein Laut Santiago Manumpil tetap mendukung dan mendapatkan kepercayaan besar dari Raja, karena mengawini kakak wanitanya.
Ketika mengetahui Gubernur Ternate Esteibar melantik Don Francisco ia berusaha kembali ke Siau untuk menuntut tahta. Tapi di Luzon ia dihentikan, karena tidak beroleh izin gubernur. Setelah berbulan-bulan, Don Fabian berhasil meninggalkan Manila. Tapi saat hendak menyeberangi Laut Sulu, ia dicegat armada Zamboanga, dikirim kembali ke Manila, dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan pengkhianatan dan pembajakan. Setelah usahanya gagal, terakhir ia meminta Padri Miedes mengirim keluarganya ke Luzon.
Tidak berselang lama kemudian Raja Francisco Xavier menuduh Jeronimo d’ Arras memberontak berusaha merebut kekuasaan. Jogugu dan pengikutnya yang kebanyakan berasal dari negeri asalnya Ulu diburu hingga lari bersembunyi. Harta miliknya termasuk budaknya ikut disita. Saudara Jeronimo, yakni Kapitein Laut Santiago Manumpil tetap mendukung dan mendapatkan kepercayaan besar dari Raja, karena mengawini kakak wanitanya.
Jeronimo d’Arras
berhasil meloloskan diri. Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuyker 1 Desember 1668
mencatat ia melarikan diri ke Manado dengan ditemani sembilan pendayung. Raja
Francisco Xavier memprotes perlindungan yang diberikan Raja Bolaang.
Justru Raja Loloda
mengangkat Jeronimo d’Arras menjadi Kapitein Laut memimpin armada kora-kora
Bolaang. Bekas jogugu tersebut tinggal di Manado dengan perlindungan komandan
benteng Manado (Amsterdam) Sersan Jockum (Jocheim) Sipman (terkait pula Residen Manado).
Akhir tahun 1674 di
Bwool ia bertemu Raja Taywila bernama Sala (menurut Ds.Jacobus Montanus Jala)
yang mempercayakannya menjadi komandan kapal perang berbendera Raja Taywila. Ia
pun ditunjuk sebagai duta Taywila kepada Kompeni di Manado untuk mengakui Belanda
sebagai pelindung, supaya lepas dari Makassar.
Tentu saja Raja
Francisco marah. Ia menjalin kerjasama dengan lawan Taywila, yakni Raja Palu
bernama Golo. Raja Sala terbunuh. Intji Mannes, suami Ratu Sinkakoa menjadi
raja baru, sehingga merenggangkan hubungan lama dengan Siau.
Raja Francisco
mencoba menjalin persahabatan dengan musuh Bolaang-Itang, yakni Raja Kaidipang
Maurits Binangkal. Ia mengirim surat berbahasa Spanyol kepada Binangkal
mengungkapkan keinginan hidup dalam damai dan persahabatan dengan Kaidipang.
Namun Binangkal, seperti diungkap Padbrugge kemudian, menolak dengan alasan
bahasanya tidak dimengerti. Raja Binangkal juga marah, karena Siau masih
menawan ibu dan seorang putrinya. Sang putri sebenarnya dijodohkan dengan Raja
Siau, namun ternyata tidak dicintai. Raja Siau dikeluhkan Binangkal beristri dua.
Jeronimo d’Arras sendiri mengawini putri Raja Loloda tahun 1677 dengan pemberian mas kawin yang sangat besar. ³ ***
Jeronimo d’Arras sendiri mengawini putri Raja Loloda tahun 1677 dengan pemberian mas kawin yang sangat besar. ³ ***
¹. Putra Raja Siau
yang bersekolah di Seminari San Joseph Manila, besar kemungkinan adalah Ventura
Pinto de Morales, yang baru naik tahta sekitar tahun 1638 atau 1639. Putra dan
penggantinya Francisco Xavier Batahi ketika berkunjung ke Manila September 1671 sengaja
diinapkan di seminari sama.
². Menurut Antonio
C.Campo Lopez, Padri Miedes datang ke Siau tahun 1655 bersama dua padri lain
Ignacio Muxica dan Vicente Chova. Dua diantaranya disebut telah ke Ternate
menegosiasikan pengampunan Siau dari Belanda. Sementara Miguel Hererra menyebut ketiga padri dimaksud adalah Miedes, Vicente Chuva dan Miguel de Pareja.
³. Valentijn mencatat
mas kawin yang diberikan Jeronimo d’Arras kepada mempelai perempuan putri Raja
Loloda adalah 1 anting emas, 1 pelek pinggul dengan karang, bagian dari kaca,
bagian dari emas, 1 kalung wanita dengan karang emas, 4 pin emas untuk telinga,
1 kotak pinang dan 1 budak.
*).Foto koleksi
KITLV.
LITERATUR.
Campo Lopez, Antonio C., La
presencia Espanola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII, Revista
de Indias, vol.LXXVII no.269, Madrid 2017.
Chirino, Padre (Pedro), Labor Evangelica Ministerios
Apostolicos, Madrid 1660.
Coleccion de Documentos Ineditos Para la Historia de
Espana, Correspondencia
de Don Geronimo de Silva, Madrid,1868. Google
Books.
de la Conception, Padre Fr.Juan, Historia General de
Philipinas, tomo VII,1789.
Google Books
De Portugezen uit de Molukken verdreven; aanhoudende
schermutselingen tussen Hollanders en Spanjaarden. De Molukken, Banda, Ambon en
Sarangani (1560-1640). Colonial Voyage.
Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en
de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677), Bijdragen
tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867.
Miguel Herrera Reviriego, Jose, Manila y Filipinas en el mundo interconectado de la segunda mitad del siglo XVII. www.academia.edu
Miguel Herrera Reviriego, Jose, Manila y Filipinas en el mundo interconectado de la segunda mitad del siglo XVII. www.academia.edu
Murillo Velarde, P. Pedro, Historia de la Provincia de Philipinas de la Compania de
Jesus,
segunda parte 1616-1716, Manila 1749, Internet Archief.
Sanches Pons, Jean- Noël, Mision
y Dimision, Las Molucas en el siglo XVII entre jesuitas portugueses ya
espanoles. www.academia.edu.
Sloos, Dirk Abraham, De Nederlanders in de Philippijnsche Wateren voor
1626, Amsterdam, 1898. The Project Gutenberg EBook
Tiele, Dr.P.A. -De
Europeers in den Maleischen Archipel,
Acehbooks
---De opkomst van het Nederlandsch gezag in
Oost-Indie, deel 1 1886; dan tweede deel 1890, ‘s-Gravenhage, Martinus
Nijhof. Internet Archief dan Digitalisierde SSB.
Valentijn, Francois, Oud
en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam 1724
Van der Aa, Robide, De
Vermeestering van Siau door de Oost-Indische Compagnie, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van
Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867.
Visser MSC, B.J.J., Onder de Compagnie: Geschiedenis der Katholieke Missie van Nederl.-Indie 1606-1800, G.Kolff&Co, Batavia, 1934.
Wladcy Siau.
Wessels SJ, P.Cornelio, Catalogus
Patrum et Fratrum e Societate Iesu Qui in Missione Moluccana, Archivum
Historicum Societatis Iesu 1, 1932.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.