Sabtu, 13 Oktober 2018

Kerajaan Siau Tempo Dulu (3).
Raja yang Terlupakan









                                          Oleh: Adrianus Kojongian



 
Tangga reruntuhan Benteng Doornenburg di Ulu 1930.*)




Kebencian penduduk Siau terhadap Belanda dan Ternate sangat besar akibat pembuangan sebagian penduduknya di tahun 1615. Pelarian dari Kepulauan Banda yang tiba di Siau mengisahkan penderitaan mereka dijadikan pekerja paksa di perkebunan pala. Tidak heran tumbuh tekad membaja raja dan penduduk untuk mempertahankan kerajaan serta agamanya. Bujukan, ancaman, bahkan upaya penaklukan berkali dari Belanda dan Ternate tidak mempan.

Awal tahun 1620 Raja Don Jeronimo (II) kembali ke Siau dari pengasingannya di Manila Filipina, dengan bantuan pasukan Spanyol. Dilaporkan sejumlah orang Belanda yang ada di Siau beramai-ramai dibunuh penduduk yang marah. 
 
Don Juan, putra Raja Don Jeronimo masih tinggal selama tiga tahun di Manila, kemudian pergi ke Ternate tahun 1623. Di Ternate Don Juan membantu Spanyol sepanjang tahun itu melawan Ternate memimpin sejumlah pasukan Siau yang dikirim ayahnya atas permintaannya.

Baru tahun 1624 Don Juan kembali ke Siau dengan diantar Padri Fransiskan Diego de Rojas dikawal Kapten Francisco Melendez, yang sukses dengan pekerjaannya di Manado. Melendez memimpin pasukan berkekuatan enam serdadu untuk membantu Raja Siau melawan musuhnya di Pulau Sangihe Besar.

Tahun 1624 tersebut Don Juan, menjadi Raja Siau yang baru. Spanyol  memperkokoh basis militernya di Siau dan Manado. Angkatan laut Siau segera pulih. Armada kora-koranya menjadi kekuatan disegani di perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku dan Teluk Tomini. 

Awal tahun 1625, Siau dengan 2 galai disertai sekutunya Kolongan membantu pasukan Spanyol dari Ternate menyerang Sangihe Besar (disebut Spanyol Sanguil Basar atau Sanguil Bacar). Gabungan armada telah menawan 800 penduduk Sangihe. Jarahan dibagi dua, setengah bagian untuk Siau berbagi Kolongan dan setengahnya untuk Spanyol.

Namun, empat ratus tahanan di galai Spanyol memberontak, membunuh Kapten dan 7 serdadunya. Ikut tewas sekitar 200 tahanan, sementara sisanya kebanyakan wanita dan anak-anak dibawa ke Ternate.

Serangan di Sangihe Besar tersebut menjadi alasan Belanda membantu Ternate yang mulai mengklaimnya sebagai daerah taklukannya.

Bulan Maret 1625 kapal De Trouw di bawah pimpinan Gubernur Maluku Jacques le Febre dan Ternate yang kembali dikomando Kapitein Laut Kaicil Ali menyerang Siau. Raja Siau dipaksa menghentikan aliansi dengan Spanyol dan bergabung dengan Belanda.

Namun, tidak lama kemudian, bantuan Spanyol telah memperkokoh Siau, sebagai musuh Ternate dan terutama Kompeni Belanda. Gubernur Maluku dari Kompeni Belanda Gysbert van Lodensteyn dalam surat ke Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer 6 April 1633 mengindikasikan Siau telah diambil musuh (Spanyol).               .

Siau kemudian mengalami masa aman untuk lebih empat dekade. Apalagi setelah terjadi perdamaian Belanda dengan Spanyol tahun 1648 (Perjanjian Munster) yang mengakhiri perang delapan puluh tahun mereka, makin memberi pengaruh pada keamanan Siau.

Tahun 1636 Raja Siau yang berpendidikan Manila bersama Raja Manado mengirim putra mereka untuk bersekolah tinggi di Manila, dididik para Jesuit di Seminari San Joseph.

Prajurit asal Siau banyak berpartisipasi membantu Spanyol dalam peperangannya, baik di Maluku mau pun Filipina. Tanggal 2 Maret 1639 dicatat sebanyak 300 Mardiker Siau yang berada di bawah komando Sersan Mayor Juan Ruiz Maroto ikut membantu pasukan Gubernur Mindanau Jenderal Don Pedro de Almonte melawan Sultan Mindanau Corolat (Kudarat), dan berlanjut dalam perang dengan Sultan Jolo (Sulu).

RAJA VENTURA
Masa aman yang dialami Siau, justru tidak diikuti dengan kerja misi. Siau yang sejak awal menjadi ladang kerja dari Ordo Jesuit (SJ) terbengkalai, sehingga penduduk yang semuanya Kristen Katolik, sekedar dalam nama saja. Selama belasan tahun Siau tidak memiliki padri menetap. Raja berkali meminta tenaga misionaris, bahkan sampai memohon pengiriman padri dari Ordo Fransiskan (OFM).
  
Awal tahun 1654 Raja Siau Don Ventura Pinto de Morales, anak dan pengganti Don Juan datang mengunjungi Manila. Ia bertemu dengan Gubernur Filipina Don Sabiniano Manrique de Lara (memerintah 25 Juli 1653-8 September 1663).

Kepada Gubernur Spanyol Raja Ventura menjelaskan bahwa pulaunya sangat kurang pelayanan tenaga misionaris untuk pemberitaaan Injil. Ia melihat hal tersebut sebagai kebutuhan paling ekstrim dari kerajaannya. Raja Ventura berharap bantuan Gubernur dan Pater Superior Provincial Miguel de Solana untuk menempatkan padri Jesuit di Siau.

Padri Solana menjanjikannya dua padri untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Raja Ventura sebelumnya telah pergi ke Ternate menemui Gubernur Maluku dari Spanyol meminta campur tangan Ordo Fransiskan.

Menurut Raja Siau pula, ia tidak senang bekerjasama dengan orang Kristen lama, sementara banyak sekali umat Kristen baru yang beberapa bulan lalu meminta dilakukan pembaptisan.

Raja Ventura memerintah Siau sejak tahun 1638 atau 1639. Namanya dicatat Pater Pedro Murillo Velarde sebagai Don Bentura Pinto de Morales. ¹

PADRI ESQUIVEL
Ternyata, baru tahun 1656 dikirim seorang padri Jesuit ke Siau. Diego (Didacus) de Esquivel pindah dari Tidore. Dengan penguasaan bahasa lokal (Melayu, Ternate dan Siau) yang dilatihnya di Ternate, ia berhasil mengambil hati penduduk Siau yang digambarkan masih hidup seperti barbar lewat kotbah untuk menanamkan iman dan kelakuan yang baik. Ia pun rajin mengunjungi penduduk, dan karena contoh kehidupan religiusnya, banyak penduduk Siau tumbuh dalam semangat Kekristenan.

Padri kelahiran Manila 11 November 1623 yang masuk Ordo Serikat Jesus 17 November 1648 ini bekerja di Siau selama enam tahun, dan sangat berpengaruh terhadap raja dan mantrinya, serta dicintai penduduk.

Ketika Raja Don Ventura Pinto de Morales meninggal tahun 1658, putranya yang masih kecil Batahi (Batahe) yang bernama Kristen Don Francisco Xavier (Javier) dipercayakan pendidikan dan perwaliannya kepada Padri Diego de Esquivel. Raja Ventura pun mempercayakan penanganan pemerintahan pada sang padri sebagai regent, sampai putranya mampu mengambilalih.

Dari jurnal Gubernur Belanda Robertus Padtbrugge, raja muda ini lahir sekitar tahun 1655.

Ternyata pemerintahan Siau di bawah proteksi Padri Esquivel dipuji karena menimbulkan kepuasan besar di kalangan para kepala serta penduduk. Atasannya memberi dukungan, sebab menurut kanon suci, pekerjaannya merupakan misi yang mulia dalam pelayanan dan penyebaran agama Kristen.

Padri Esquivel kemudian ditunjuk sebagai Wakil Rektor Colegio (Seminari) di Ternate tahun 1662, tapi kembali ke Siau 1664 dan setelah dipensiun pulang ke Manila melalui Tabukan, dimana ia dilepas penduduk Siau dengan sangat berat hati, bahkan banyak penduduk telah ikut dengannya hingga ke Maragondong Filipina. Ia meninggal di Manila tanggal 6 Juni 1665.

Don Francisco Xavier dilantik sebagai Raja Siau tahun 1658 ketika masih kecil oleh Gubernur Spanyol di Ternate Jenderal Francisco de Esteibar. Ia kemudian dididik dan dibesarkan di Gamalama Ternate, lalu melanjutkan pendidikan di Manila, sehingga sejarawan Spanyol menyebutnya sangat Hispanik. Baru tahun 1664 ia meninggalkan Manila, kembali ke Siau untuk resmi menjalankan tugasnya sebagai raja.

Padri Francisco Miedes yang bertugas di Siau sejak tahun 1661 bertindak menjadi penasehat utama Raja Francisco. Ia dikabarkan hidup dalam kesengsaraan, karena selama 6 tahun tidak ada pasokan bahan makanan dari Manila, sementara tidak ada sedikit pun nasi. ²

Pengaruh Padri Miedes sangat besar terhadap raja muda, sehingga di tahun 1673 sebelum kembali ke Filipina, ia mewakili Siau meneken perjanjian damai dengan Kompeni Belanda.

Datang hampir bersamaan dengannya, Padri Hieronymus Zebreros (Jeronimo de Cebreros) kelahiran Meksiko di tahun 1662, bekerja di Pehe lalu Tamako dan Lirung di Pulau Kabaruan Kepulauan Talaud.

Berikutnya Padri Emmanuel Espanol asal Aragon tahun 1672 di negeri Ulu, yang juga bertindak menjadi penasehat Raja Francisco Xavier Batahi, serta Carolus Ioannes Turcotti asal Lombardia tahun 1674, di negeri Pehe, terakhir di Bolaang Itang. Ketiga padri Jesuit ini bekerja di Siau hingga tahun 1677 (baca Kepulauan Talaud Tempo Dulu 3).

Mantri-mantri yang menjadi pembantu raja yang terkenal adalah Jogugu Don Jeronimo d’Arras, Jogugu Don Thomas Mahonis, Kapitein Laut Santiago (St.Jago) Manumpil, Kapitein Laut Juan Nauchas, Hukum Don Pedro Laomba, dan Sangaji Don Vincent Gamulala. Don Jeronimo d’Arras dan Santiago Manumpil adalah kakak-beradik.

Spanyol sendiri menempatkan pasukan pendudukan di benteng Santa Rosa yang berada di Ulu. Komisi dari para Kapten Spanyol hampir setiap tahun dilakukan dari benteng Spanyol di Ternate dan bahkan langsung dari Manila. Komisi demikian, selain membawa kebutuhan hidup bagi para padri dan raja, termasuk pakaian dan sepatu, ketika balik kembali membawa hasil Siau terutama sagu, ubi dan minyak kelapa.

EKSPANSI
Periode tahun 1650-an hingga 1670-an Siau berkembang menjadi kerajaan maritim besar di Sulawesi Utara. Armada kora-kora Siau menjelajahi dan melakukan perhubungan dagang dan politik dengan kerajaan lain yang ada di wilayah Bolaang Mongondow, hingga Sulawesi Tengah. Bahkan tahun 1675 Siau mengklaim Pulau Bangka di Minahasa.

Kerajaan-kerajaan yang menjalin kerjasama dengan Siau antara lain Kolongan (Taruna), Bolaang (Mongondow), Manado, Kaidipang dan Palu di Sulawesi Tengah.

Namun Kaidipang --yang dekat dengan Siau sejak tahun 1614 ketika Kaidipang masih dipimpin raja yang menurut sumber Spanyol bernama Banidaca-- kemudian dicaplok.

Kekuatan gabungan Siau dan Bolaang ketika masih dipimpin oleh ayah Raja Loloda (Valentijn menyebut sudah dipimpin Loloda), telah menaklukkan Kaidipang.

Kaidipang dibagi dua. Siau sebagai pemilik Bolaang-Itang dan Bolaang memiliki Kaidipang atau Dauw. Raja Siau menempatkan Sinkakoa (Linkakoa) sebagai Ratu Bolaang-Itang. Valentijn menjulukinya Raja Parampuan, kelak dibaptis bernama Magdalena Linkakoa. Sumber Spanyol menyebutnya Elena Lincacoa (baca pula Mengenal Sedikit Raja-raja Bolaang-Itang).

Invasi kemudian berlanjut. Armada Siau bersama Bolaang yang telah dipimpin oleh Raja Loloda, menduduki negeri Bouton (Bunto, atau Bunta) yang berada di Gorontalo milik Kaidipang dan dihuni orang-orang berasal Bwool. Di Bouton mereka menawan saudara dan ibu dari Binangkal (Pugu-Pugu).

Mauw Beiling (disebut juga Mobiling), saudara Binangkal telah diangkat menjadi Raja Kaidipang di Dauw serta dikawinkan dengan Sinkakoa, Ratu Bolaang-Itang.

Perkawinan keduanya tidak bertahan lama, Mauw Beiling meninggal setelah memperoleh seorang putra kecil (menurut Valentijn dibaptis bernama Willem yang tahun 1677 disebut Padtbrugge berada di Manado). Sementara Sinkakoa kelak kawin kembali dengan Intji Mannes dari Taywila (Cajeli, Tabali, Kaili atau Taqwilu).

Binangkal sendiri setelah kematian Mauw Beiling segera datang dari Bwool dan diakui penduduk Dauw sebagai Raja Kaidipang (dibaptis dengan nama Maurits Binangkal).

Raja Siau mengancam akan menyerbu Kaidipang, berakibat Binangkal meminta pertolongan kepada Raja Makassar Hasanuddin, sehingga Kadipang menjadi kerajaan taklukan Makassar (baca juga Mengenal Beberapa Raja Kaidipang).

JOGUGU D’ARRAS
Di Siau justru terjadi gejolak politik. Pengaruh Kompeni Belanda yang makin besar di kerajaan-kerajaan tetangga, dengan penempatan satu garnisun tentaranya di Tagulandang dan sebuah benteng besar di Manado sejak tahun 1654 telah berdampak di Siau, timbul kelompok pro Belanda.

Don Fabian Mosojambo, ayah  Jeronimo d’Arras (Daras atau dicatat juga Darisa) yang menjabat sebagai Jogugu dituduh mendekati pihak Belanda. Ia segera ditahan, dibawa dan dipenjarakan Spanyol di Manila.

Sumber Spanyol, antara lain Jose Miguel Herrera mengungkap Don Fabian yang merupakan kemenakan Raja Ventura Pinto de Morales mengklaim tahta Siau. Ia datang ke Manila meminta Gubernur Sabiniano Manrique de Lara (1653-1663) mendukungnya, tapi ditolak gubernur. Untuk menyenangkannya, Don Fabian diberi gelar simbolis maestro de campo general de las naciones Ternate, dengan gaji tetap 16 peso. Namun, karena krisis ekonomi yang terjadi, gajinya berkurang secara bertahap. 

Ketika mengetahui Gubernur Ternate Esteibar melantik Don Francisco ia berusaha kembali ke Siau untuk menuntut tahta. Tapi di Luzon ia dihentikan, karena tidak beroleh izin gubernur. Setelah berbulan-bulan, Don Fabian berhasil meninggalkan Manila. Tapi saat hendak menyeberangi Laut Sulu, ia dicegat armada Zamboanga, dikirim kembali ke Manila, dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan pengkhianatan dan pembajakan. Setelah usahanya gagal, terakhir ia meminta Padri Miedes mengirim keluarganya ke Luzon.

Tidak berselang lama kemudian Raja Francisco Xavier menuduh Jeronimo d’ Arras memberontak berusaha merebut kekuasaan. Jogugu dan pengikutnya yang kebanyakan berasal dari negeri asalnya Ulu diburu hingga lari bersembunyi. Harta miliknya termasuk budaknya ikut disita. Saudara Jeronimo, yakni Kapitein Laut Santiago Manumpil tetap mendukung dan mendapatkan kepercayaan besar dari Raja, karena mengawini kakak wanitanya.

Jeronimo d’Arras berhasil meloloskan diri. Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuyker 1 Desember 1668 mencatat ia melarikan diri ke Manado dengan ditemani sembilan pendayung. Raja Francisco Xavier memprotes perlindungan yang diberikan Raja Bolaang.

Justru Raja Loloda mengangkat Jeronimo d’Arras menjadi Kapitein Laut memimpin armada kora-kora Bolaang. Bekas jogugu tersebut tinggal di Manado dengan perlindungan komandan benteng Manado (Amsterdam) Sersan Jockum (Jocheim) Sipman (terkait pula Residen Manado). 

Akhir tahun 1674 di Bwool ia bertemu Raja Taywila bernama Sala (menurut Ds.Jacobus Montanus Jala) yang mempercayakannya menjadi komandan kapal perang berbendera Raja Taywila. Ia pun ditunjuk sebagai duta Taywila kepada Kompeni di Manado untuk mengakui Belanda sebagai pelindung, supaya lepas dari Makassar.

Tentu saja Raja Francisco marah. Ia menjalin kerjasama dengan lawan Taywila, yakni Raja Palu bernama Golo. Raja Sala terbunuh. Intji Mannes, suami Ratu Sinkakoa menjadi raja baru, sehingga merenggangkan hubungan lama dengan Siau.

Raja Francisco mencoba menjalin persahabatan dengan musuh Bolaang-Itang, yakni Raja Kaidipang Maurits Binangkal. Ia mengirim surat berbahasa Spanyol kepada Binangkal mengungkapkan keinginan hidup dalam damai dan persahabatan dengan Kaidipang. Namun Binangkal, seperti diungkap Padbrugge kemudian, menolak dengan alasan bahasanya tidak dimengerti. Raja Binangkal juga marah, karena Siau masih menawan ibu dan seorang putrinya. Sang putri sebenarnya dijodohkan dengan Raja Siau, namun ternyata tidak dicintai. Raja Siau dikeluhkan Binangkal beristri dua.

Jeronimo d’Arras sendiri mengawini putri Raja Loloda tahun 1677 dengan pemberian mas kawin yang sangat besar. ³ ***


¹. Putra Raja Siau yang bersekolah di Seminari San Joseph Manila, besar kemungkinan adalah Ventura Pinto de Morales, yang baru naik tahta sekitar tahun 1638 atau 1639. Putra dan penggantinya Francisco Xavier Batahi ketika berkunjung ke Manila September 1671 sengaja diinapkan di seminari sama.  
². Menurut Antonio C.Campo Lopez, Padri Miedes datang ke Siau tahun 1655 bersama dua padri lain Ignacio Muxica dan Vicente Chova. Dua diantaranya disebut telah ke Ternate menegosiasikan pengampunan Siau dari Belanda. Sementara Miguel Hererra menyebut ketiga padri dimaksud adalah Miedes, Vicente Chuva dan Miguel de Pareja.
³. Valentijn mencatat mas kawin yang diberikan Jeronimo d’Arras kepada mempelai perempuan putri Raja Loloda adalah 1 anting emas, 1 pelek pinggul dengan karang, bagian dari kaca, bagian dari emas, 1 kalung wanita dengan karang emas, 4 pin emas untuk telinga, 1 kotak pinang dan 1 budak.



*).Foto koleksi KITLV.


LITERATUR.
Campo Lopez, Antonio C., La presencia Espanola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII, Revista de Indias, vol.LXXVII no.269, Madrid 2017.
Chirino, Padre (Pedro), Labor Evangelica Ministerios Apostolicos,  Madrid 1660.
Coleccion de Documentos Ineditos Para la Historia de Espana, Correspondencia de Don Geronimo de Silva, Madrid,1868. Google Books.
de la Conception, Padre Fr.Juan, Historia General de Philipinas, tomo VII,1789. Google Books
De Portugezen uit de Molukken verdreven; aanhoudende schermutselingen tussen Hollanders en Spanjaarden. De Molukken, Banda, Ambon en Sarangani (1560-1640). Colonial Voyage.
Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677), Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867.
Miguel Herrera Reviriego, Jose, Manila y Filipinas en el mundo interconectado de la segunda mitad del siglo XVII. www.academia.edu
Murillo Velarde, P. Pedro, Historia de la Provincia de Philipinas de la Compania de Jesus, segunda parte 1616-1716, Manila 1749, Internet Archief.
Sanches Pons, Jean- Noël, Mision y Dimision, Las Molucas en el siglo XVII entre jesuitas portugueses ya espanoles. www.academia.edu.
Sloos, Dirk Abraham, De Nederlanders in de Philippijnsche Wateren voor 1626, Amsterdam, 1898. The Project Gutenberg EBook
Tiele, Dr.P.A. -De Europeers in den Maleischen Archipel,
 Acehbooks
---De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indie, deel 1 1886; dan tweede deel 1890, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhof. Internet Archief dan Digitalisierde SSB.
Valentijn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam 1724
Van der Aa, Robide, De Vermeestering van Siau door de Oost-Indische Compagnie, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867.
Visser MSC, B.J.J., Onder de Compagnie: Geschiedenis der Katholieke Missie van Nederl.-Indie 1606-1800, G.Kolff&Co, Batavia, 1934.
Wladcy Siau.
Wessels SJ, P.Cornelio, Catalogus Patrum et Fratrum e Societate Iesu Qui in Missione Moluccana, Archivum Historicum Societatis Iesu 1, 1932.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.