Ekspresi Komandan
Baron M.Takasaki ketika diadili di Pengadilan Penjahat Perang Dunia II. *)
Kaneyan hanya desa kecil di pelosok Kecamatan Tareran Kabupaten Minahasa Selatan. Tak ada yang mencolok bila mengunjunginya, sebab Kaneyan lazimnya negeri-negeri lain di Tanah Minahasa. Namun, jangan heran, kalau nama Kaneyan harum serta menghiasi buku-buku sejarah yang mengulas tentang Perang Dunia II, khususnya kisah Perang Pasifik serta invasi Jepang ke Indonesia. Dari desa yang di masa tersebut masih masuk wilayah kekuasaan Kepala Distrik Kawangkoan menggelora pertempuran heroik antara pasukan Dai Nippon yang canggih peralatannya melawan sisa-sisa pasukan KNIL dibantu pemuda yang bersenjata senapan mesin ringan seadanya.
Bagi
Sersan Johan Meliëzer (kelahiran Ternate 6 Agustus 1896), komandan E Company,
peleton (disebut kompi) Reserve Korps
(RC) Oud Militairen, Kaneyan
merupakan medan pertahanan strategis dalam konsep perang gerilya (gorela) yang
telah dikumandangkan Komandan Garnisun (Troepencommandant) Manado Mayor B.F.A.Schilmöller. Kaneyan akan menjadi pertahanan dan medan laga
terakhir dari sisa-sisa kompi RK pimpinan Kapten Willem Carel van den Berg yang
telah hancur.
Meski
sekedar pasukan cadangan, beranggotakan para pensiunan Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), alias militer tua,
dengan usia rata-rata di atas 50 tahun, namun semangat juang peleton yang
dipimpinnya tidak luntur. Dari 5 peleton awal Reserve Korps, tinggal pasukannya
yang tersisa setelah mereka mundur dari Kakas dan Langowan. Pertempuran yang
begitu sengit, sehingga banyak menewaskan serdadu Jepang, dan juga banyak
korban di pihaknya. Peletonnya ikut menderita kerugian tak terkira, sebab dari
tiga brigade (regu) dibawahnya, tinggal tersisa satu regu berkekuatan 15
anggota.
Banyak
perwira dan rekannya telah ditahan atau gugur dan dibunuh oleh Jepang
yang tidak mengindahkan aturan baku internasional tentang perlakuan
terhadap para tahanan perang (POW). Dari Kompi Manado pimpinan Kapten
W.F.J.Kroon, telah dieksekusi di Langowan tanggal 26 Januari Sersan Mayor
Infantri Jan Hendrik Kersten, Sersan Mayor Gerrit Bottinga, Sersan J.W.Meijer,
Sersan G.H.J.Wissink, Sersan Charles Hendrik Couzijn dan Sersan H.J.A.Rolff ¹.
Willem Carel van den Berg. *) |
Di subuh hari Senin tanggal 9 Maret 1942² yang bersuasana kelabu, ketika sebagian besar penduduk Kaneyan masih terlelap tidur, pasukan Jepang datang menyerang. Jepang mengetahui Sersan Johan Meliëzer beserta sisa-sisa peletonnya bertahan di negeri tersebut. Beberapa serdadu Meliëzer memang asli Kaneyan sehingga sangat menguntungkan rencananya dengan penguasaan medan serta dukungan moral dan materil dari penduduk.
Pasukan
Dai Nippon berkekuatan satu kompi organik datang dari dua arah. Tentara
berjalan kaki dari arah jembatan Ranotua’na ke Kaneyan, sedang lainnya dengan
menggunakan puluhan kendaraan muncul dari jurusan Ritey (kini desa di Kecamatan
Amurang Timur). Mereka dihantar langsung Kepala Distrik Amurang, Hukum Besar (Guntjo) Dirk ‘Dicky’ August Theodorus
Gerungan serta Kepala Distrik Kedua (Huku
Guntjo) Amurang-Tenga, Hukum Kedua Hein ‘Notji’ Constantjin Mantiri.
Pasukan
Jepang segera mengepung dengan mengambil steleng
di sebelah utara, barat, timur dan selatan negeri untuk mencegah siapa pun
meloloskan diri. Ketika penduduk bangun pagi dan mengetahui kedatangan pasukan
Jepang, kehebohan segera terjadi. Panik dan ketakutan mereka berlarian
tunggang-langgang ke berbagai arah. Namun, dengan mudah ditangkapi, sebab
pasukan Jepang telah menyebar dan mencegat di tempat-tempat penting.
Penduduk
yang ditangkap langsung diinterogasi disertai dengan penyiksaan. Pukul rata
mereka ditanyai dimana pasukan gorela Sersan Johan Meliëzer bersembunyi, dimana
rumah-rumah dari para gorela, dimana rumah Hukum Tua dan rumah keluarga
Houtman-Pratasis³.
Houtman dimaksud adalah bule keturunan Belgia
bernama lengkap Pieter Joseph Houtman yang memperistri wanita asal Kaneyan
bernama Carolina Pratasis. Pieter Houtman adalah orang terpandang dan mantan
kepala dinas Pekerjaan Umum serta polisi di Kotamobagu Bolaang
Mongondow. Ia salah seorang warga sipil penerima gelar kehormatan Ridder (ksatria) in
de Militaire Willems-Orde (MWO), yang biasa diberikan untuk tindakan
keberanian dan loyalitas. Pieter Houtman diketahui pula seorang yang kaya dan
menyimpan puluhan batangan emas murni yang diperolehnya sejak masih bertugas di
Kotamobagu.
Pieter
dicari Jepang karena menyangkanya sebagai pejabat dari regu pembumihangus (Vernielings Corps) yang dibentuk Belanda
untuk menghalangi gerak-maju pasukan Jepang di Minahasa. Regu tersebut bertugas
menghancurkan jembatan, gudang-gudang persediaan beras dan kopra yang akan
menguntungkan bila nanti jatuh ke tangan Jepang. Selain itu, ia dianggap
membantu bekas Reserve Korps
KNIL yang bersembunyi di Kaneyan.
Truk Jepang di (Perlombaan) Kakaskasen Tomohon. *) |
Pasukan Jepang segera menyisir menuju ke tengah-tengah negeri dan melakukan penggerebekan. Mereka berhasil menangkap Pieter Houtman dan menyita puluhan batangan emas murni miliknya. Carolina Pratasis istri Pieter berhasil meloloskan diri, lari bersembunyi di hutan bersama-sama dengan keluarga Pratasis lain disertai hukum tua dan keluarga-keluarga dari pasukan Johan Meliëzer.
Marah tidak menemukan
orang-orang yang dicari meski telah menangkap Pieter Houtman, pasukan Jepang
mulai membabi-buta. Mereka segera membumihanguskan Kaneyan. Dalam sekejab
Kaneyan berubah menjadi lautan api yang meludaskan seisi negeri. Habis terbakar
antaranya gedung gereja GMIM yang digunakan pula untuk kegiatan
belajar-mengajar Sekolah Rakyat (kini SD) GMIM Kaneyan. Lalu rumah hukum tua dan
rumah keluarga Pieter Houtman-Pratasis, begitu pun rumah-rumah dari keluarga
para serdadu KNIL yang bergerilya. Sebuah jembatan di tengah Kaneyan ikut
dihancurkan.
Kebakaran hebat melanda Kaneyan
selama hampir tujuh jam. Akibatnya tiga perempat bagian negeri tersebut musnah
terbakar, bersama barang-barang perabot rumah, persediaan padi, jagung dan kopi
yang belum lama dipanen. Bahkan terbakar pula semua ternak peliharaan seperti
babi, ayam dan anjing.
Pembumihangusan Kaneyan
disaksikan Guntjo Amurang Dicky Gerungan serta Huku Guntjo Notji Mantiri yang
tidak dapat berbuat apa-apa. Dicky Gerungan yang di kemudian hari menjadi
Bupati (KDM, Kepala Daerah Minahasa) pertama, saat itu menjadi kepercayaan
Letnan Kolonel Toyoaki Horiuchi dari Teikoku
Kaigun (AL Kerajaan Jepang, IJN) yang bermarkas di Langowan yang bertugas
mengatur pemerintahan sipil di Minahasa.
Frans Albert Suak, saksi mata
peristiwa tanggal 9 Maret 1942 itu mengisahkan semua penduduk yang berlarian
ditangkap dan dijadikan sandera, dijaga ketat pasukan bersenjata lengkap yang
beringas. Tidak memandang bulu apakah sandera masih anak-anak balita atau
remaja, wanita dan orang tua tidak berdaya. Mereka semua dicampur-aduk menjadi
satu. Hari yang tidak bakal dilupakan Frans Suak, karena hari itu ia genap
berumur empat tahun dan ikut ditahan bersama ibu dan seorang adik lainnya.
Pembakaran serta penyanderaan
penduduk Kaneyan itu menyebabkan pasukan KNIL Johan Meliëzer melakukan
serangan balik, sehingga kemudian terjadi pertempuran sengit. Personil Meliëzer
yang awalnya hanya terdiri satu regu (15 orang) telah berkembang menjadi 30
orang setelah sejumlah pemuda Kaneyan, Ritey dan Maliku dibawah pimpinan Simon
Penu dan Yahya Rumagit secara sukarela bergabung untuk melawan Jepang.
Para gorela mantan KNIL dan
pemuda yang melakukan perlawanan antara lain: Simon Penu, Gerard Ratag, Erick
Ratag, Ulrich Umboh, Jus Sumolang, Harun Rantung, Arie ‘Odie’ Ropa, Sengkey
Rantung, Hein Rantung, Piet Umboh, Buang Rumengan, Jost Kawulur, Jon Suak, Jan
Winerungan, Nyong Tambajong, Kilapong dan Alex Lambertus Lelengboto (masih
remaja. Kelak jadi Bupati Minahasa 1982-1987).
‘’Pertempuran berlangsung seru
diwarnai dentuman mortir pasukan Jepang dan balasan tembakan peluru para gorela
dan pemuda yang bertahan di bukit-bukit,’’ kisah Frans Suak.
Pertempuran berakhir dramatis.
Tak ada korban di pasukan Meliëzer. Justru korban jiwa ada di pihak Jepang yang
menggunakan senjata berat. Serdadunya banyak menderita luka, bahkan tewas
terkena peluru tembakan eks KNIL yang terkenal sebagai penembak-penembak jitu.
Delapan tentara Jepang tewas, sedangkan komandannya Baron Masakaze Takasaki
menderika luka-luka.
Kemarahan tentara Jepang tak
terbendung. Sejumlah gorela termasuk keluarganya, apalagi yang memiliki fam
Pratasis ketika tertangkap langsung disiksa dengan dipukul dan ditendang.
Mereka pun segera membunuh enam orang tahanan di ujung Kaneyan di tempat
bernama Tolongko. Para korbannya adalah: Petrus Penu, Frederik Joel Rumengan
yang menjadi Kepala Sekolah Rakyat GMIM Kaneyan, Runtu Ropa dan Sampel
Tambajong. Dua wanita yang ikut dibunuh adalah ibu Hukum Tua Ritey
Kimbal-Piay-Imbar dan Dina Pratasis seorang janda. Dina Pratasis adalah nenek
(oma) Frans Suak dan kakak dari Carolina Pratasis, istri Pieter Joseph
Houtman.
‘’Cara pembunuhan para korban
termasuk oma saya, sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan. Setelah mata
mereka ditutup kain hitam, mereka diperintah membuka mulut, lalu ditusuk
menggunakan bayonet seperti menyembelih seekor babi,’’ ungkap Frans Suak yang
belakangan menjadi guru serta penginjil Pantekosta.
Mayat keenam korban pembunuhan
dibiarkan begitu saja di pinggir jalan. Baru berselang beberapa hari kemudian
keluarga dan penduduk memberanikan diri mengambil serta menguburkan jenasah
mereka.
Usai melakukan pembunuhan,
pasukan Jepang yang secara moril kalah, pulang kembali. Tentara yang ke Amurang
dihadang ulang pasukan Meliëzer di lokasi bernama Le’ler, sehingga sempat
berlangsung bakutembak. Pieter Joseph Houtman bersama emas sitaan dibawa ke
Langowan dan dikabarkan segera dieksekusi mati.
Selang beberapa hari kemudian,
tentara Jepang dengan kekuatan lebih besar dan bersenjata lengkap kembali
mendatangi Kaneyan. Sisa-sisa bangunan dibakar habis. Dengan dipimpin Suoth dan
Kawung, mereka menyisiri wilayah-wilayah perkebunan mencari para gorela dan
keluarga Pratasis. Dalam operasi ini tertangkap Sersan Johan Meliëzer, Simon
Penu, Carolina Houtman-Pratasis, Joel Pratasis, Hukum Tua Kaneyan, Althin Gode
Pratasis, Musa Pratasis, Yahya Rumagit, Jus Sumoked, Ulrich Umboh dan Agam
Penu. ‘’Ada versi pasukan gorela menyerahkan diri secara sukarela dan tidak
melakukan perlawanan lagi karena penduduk Kaneyan dan keluarganya diancam akan
dibunuh habis,’’ ungkap Frans Suak.
Kesemua tahanan tersebut
diangkut ke Langowan, sekitar 28 kilometer dari Kaneyan. Mereka mengalami
siksaan mengerikan selama diinterogasi, dan tak lama kemudian, diperkirakan di
awal bulan April 1942 mereka dibawa ke Totolan Kakas dan dibunuh secara kejam
serta dikuburkan dalam satu lubang. Sumber-sumber menyebut sebanyak 27 anggota
pasukan dan masyarakat Kaneyan yang dibunuh saat itu. Sersan Johan Meliëzer
bersama 12 anak buahnya dan sisanya adalah para penduduk. Yang luput dari
eksekusi Jepang hanya Agam Penu.
Penderitaan penduduk Kaneyan
setelah pembunuhan para gorela dan warga itu ternyata belum berakhir. Meski
tinggal mengungsi di kebun karena rumah dan harta benda sudah habis terbakar,
gerak-gerik mereka terus dalam pengawasan Kempetai yang sangat ditakuti.
Belum lama berselang, seluruh
warga tanpa pengecualian diperintahkan berkumpul di Amurang. Maka, semua
penduduk Kaneyan, laki-laki, perempuan, tua dan muda termasuk anak-anak
berjalan kaki sejauh 15 kilometer dengan hanya berpakaian di badan dan tanpa membawa
bekal. Ketika tiba di lokasi pemeriksaan (kini sekitar halaman gedung DPRD
Kabupaten Minahasa Selatan dan SMP Negeri I Amurang), di bawah pohon beringin,
mereka dipisah-pisah. Kaum pria segera diinterogasi tentara Jepang dan Guntjo
Dicky Gerungan serta Huku Guntjo Hein Mantiri. Berbekas diingatan Frans Suak
yang baru berusia 4 tahun ketika tentara Jepang tanpa segan-segan memukul siapa
pun dengan cambuk rotan. Salah satu yang kena cambukan adalah ayahnya sendiri.
Usai pemeriksaan, mereka
disuruh pulang kembali dengan berjalan kaki. ‘’Itu merupakan penderitaan tak
terhingga, karena rata-rata semua orang dalam kondisi lemah sebab lapar dan
kelelahan,’’ kisahnya.
Karena
hukum tuanya telah dibunuh, untuk mengisi kevakuman pemerintahan, Guntjo Dicky
Gerungan dengan izin Jepang mengangkat Narsisius Ropa menjadi Sontjo (sebutan hukum tua) di Kaneyan.
Belum
lama pula, hanya berselisih beberapa minggu kemudian, semua laki-laki Kaneyan
diperintahkan untuk bekerjabakti di tempat-t empat jauh, pergi ke Mapanget, Bitung,
Kalawiren, Langowan, Kiawa, Tawaang dan bahkan hingga ke Kotamobagu. Mereka
diperintah membawa makanan sendiri dan harus jalan kaki tanpa uang. Ketika
berangkat, ada penduduk yang mesti membawa roda sapi bersama sapinya, sebab
diperintahkan siapa pun yang punya sapi dan roda harus membawanya.
Perwira militer dan angkatan laut Jepang di Manado 1945. *) |
Melalui Nantaku, dikisahkan Frans Suak, para laki-laki Kaneyan dipaksa bekerja rodi selama berbulan-bulan. Mereka mesti meninggalkan istri dan anak-anak yang menghuni pondok-pondok kecil di penyingkiran tanpa pakaian dan makanan. Tak heran ketika itu berjangkit penyakit sampar, busung lapar, malaria, luka-luka dan kudis. Untuk membeli obat penduduk tidak memiliki uang. Otomatis obat tradisional yang digunakan.
Kemiskinan
luar biasa melanda penduduk. ‘’Kala itu muncul perintah lagi penduduk harus
memelihara ayam dan babi yang diperuntukkan Nantaku. Kaum perempuan diwajibkan
membuka lahan perkebunan ditanami kapas yang diperuntukkan pabrik tekstil dari
perusahaan Jepang Nantaibo.
Sehari-suntuk mereka harus bekerja dengan membawa bekal sendiri, sehingga yang
menjaga pondok-pondok hanya anak-anak kecil.’’
Penduduk
berimprovisasi sendiri. Tak ada pakaian, para lelakinya membuat pakaian cidako dari kulit pohon. Obat malaria
diambil dari kulit pohon Kita’ yang
diminum sebagai pengganti obat kina.
Selang
3,5 tahun masa pendudukan Jepang di Minahasa, penduduk Kaneyan benar-benar
menderita lahir-batin. Tapi, dari penderitaan itu mereka tertempa menjadi
orang-orang ulet. Di masa penderitaan itu lahir salah seorang putra Kaneyan
yang menjadi terkenal, yakni Alexander Marentek, anak seorang penatua yang juga
menjadi korban pembunuhan Jepang di tahun 1942. Marentek adalah diplomat yang
pernah menjadi Konsul Jenderal di Davao Filipina dan Amerika Serikat, terakhir
sebagai Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri hingga
meninggal dalam kecelakaan heli di Bedugul Bali akhir Juni 1978. Ia dimakamkan
di TMP Kalibata dan dianugerahi gelar dutabesar anumerta. (adrianus kojongian)
----
¹ Gezocht foto’s van de omgekomen
Knil militairen in Java mencatatkan Jan Herman Kersten (kelahiran Groesbeek
12 Mei 1910), Gerrit Bottinga (kelahiran Leeuwarden 22 Juni 1908) serta Charles
Hendrik Couzijn (kelahiran Batavia 2 Oktober 1897) dari pasukan Stadswacht (pertahanan kota) dieksekusi
tanggal 25 Januari 1942 di Manado.
² Catatan lain menyebut, pertempuran pertama terjadi tanggal 8 Februari 1942, dan serangan kedua 12 Februari, dimana kelompok Maliëzer berhasil ditangkap
² Catatan lain menyebut, pertempuran pertama terjadi tanggal 8 Februari 1942, dan serangan kedua 12 Februari, dimana kelompok Maliëzer berhasil ditangkap
³ Sumber
lain menyebut famnya adalah Hoffman, menjabat Kepala polisi di Kotamobagu tahun 1933.
*).Koleksi foto: www.trove.nla.gov.au, wikipedia.
SUMBER:
-Cahaya Timur Tomohon, edisi
no.6 Minggu II Maret 2006, no.7 Minggu III Maret 2006, no.8 Minggu IV Maret
2006 dan no.9 Minggu I April 2006.
-Gezocht foto's van de omgekomen Knil
militairen in Java.
-Adrianus Kojongian dkk: Ensiklopedia Tou
Manado.