Peninggalan kerajaan Kendahe dan Tahuna, di tengah piring perak Datu Buisan.(V.I.van de Wall 1930) |
Seperti raja-raja lain di Kepulauan Sangihe, Datu Buisan setelah meneken perjanjian 7 Desember 1677 telah secara langsung mengakui pertuanan Kompeni Belanda dengan hak mengangkat dan memberhentikan raja dan mantri-mantrinya.
Tapi Datu Buisan membuktikan kemampuan diplomasinya untuk terus mempertahankan posisinya seumur hidup termasuk agama yang dianutnya. Ia dapat pula menangkis usaha-usaha Kompeni yang mencoba mengintervensi dengan calon tertentu untuk menggantikannya setelah meninggal.
Datu Buisan memang sempat bingung menentukan siapa
penggantinya sebagai Raja Kendahe.
Berawal Gubernur Robertus Padtbrugge mengusulkan Anthony van Voorst, putranya yang telah masuk Kristen sebagai raja berikut. Secara spontan Datu Buisan menunjuk cucunya sebagai pewaris, bukan salah satu dari belasan anaknya.
Ketika berkunjung kehormatan kepada Padtbrugge disertai para bobato (mantri) dan putra-putrinya, Datu Buisan mengatakan anak bayi putrinya Lorolabo dan Lalero sebagai pilihannya dan bukan van Voorst. Sebab cucunya itu, dari kedua sisi ayah dan ibu mengalir darah bangsawan penuh, sementara van Voorst dibesarkan dari selir keturunan rendah.
Padtbrugge mencatat pada jurnal Rabu 1 Desember 1677 ia tidak menentang keputusan Datu Buisan, mengakuinya sebagai hal yang tidak aneh. Namun, ia mensyaratkan anak tersebut dibesarkan dalam agama dan adat istiadat Belanda. Hal yang tidak ditolak Datu Buisan dengan mempersilahkan cucunya dibaptis.
Membuktikan keseriusannya, dua hari kemudian Lorolabo dan suaminya Lalero, orang tua sang cucu dibaptis di Tabukan oleh Predikant Manado Ds. Zacharias Caheyng. 1
Namun, setelah Anthony van Voorst meninggal secara mendadak 11 Desember 1677, Padtbrugge dalam surat yang ditujukan kepada Pendeta Caheyng mencalonkan Marcus Lalero sebagai Raja Kendahe setelah Datu Buisan meninggal.
Pilihan Padtbrugge berujung gagal, karena Marcus Lalero diangkat menjadi Raja Tabukan tahun 1682 mengantikan ayahnya Don Francisco Maccaampo yang meninggal tahun sebelumnya.
Padtbrugge kembali mengusulkan hal yang nanti memicu sengketa berkepanjangan dengan kerajaan tetangga Tahuna. Ia meminta pemerintah tinggi Kompeni menggabungkan Kendahe dengan Tahuna di bawah kepemimpinan Raja Tahuna Don Martin Tatandam.
Usulan Padtbrugge terakhir ini sempat dipertimbangkan Gubernur Jenderal Johannes Camphuys 30 Desember 1689 setelah Datu Buisan dilaporkan mencoba berhubungan dengan Inggris yang datang ke Ternate dan telah ditahan Belanda.
Datu Buisan bertindak cepat. Melawan rencana-rencana Kompeni, ia segera mengangkat Kaicil Siamsialam sebagai pewaris dan putra mahkota, menggantikan cucunya.
Siamsialam telah banyak menggantikan peran ayahnya yang semakin tua. Ketika meneken perjanjian penyerahan Sarangani dan Buwisang di Mindanau kepada Gubernur Joan Henrick Thim di Kastil Orange Ternate 10 Desember 1688 bersama Datu Buisan, Siamsialam sudah bertanda sebagai putra mahkota Kendahe.
MENINGGAL TUA
Datu Buisan diperkirakan mengundurkan diri dan menyerahkan posisi raja kepada Siamsialam. Namun demikian ia masih tetap berkuasa, sehingga pada 26 Maret 1691 Camphuys mencatat Datu Buisan diingatkan akan tugasnya, agar tidak memaksa penduduk Kristennya. 2
Datu Buisan masih aktif surat menyurat dengan Gubernur Kompeni di Ternate Cornelis van der Duijn hingga tahun 1694. Ia meninggal di usia lanjut, bukan menghilang tanpa kabar berita di Minahasa atau Mindanau seperti banyak ditulis.
Suksesi Kendahe baru berlangsung mulus tahun 1702, ketika Raja Tahuna Don Louis Melangin yang mengklaim Kendahe menyerahkan pada keputusan pemerintah Kompeni untuk menyetujui atau tidak pelantikan Siamsialam sebagai pengganti Datu Buisan yang disebut telah meninggal. Willem van Outhoorn tanggal 30 November 1702 mengatakan Raja Tahuna menyerahkan penentuan tersebut kepada Kompeni.
Persetujuan Kompeni segera keluar. Disebut van Outhoorn 26 Februari 1703 dengan pengangkatan resmi Siamsialam (dengan nama Hamsja Alam), Pangeran dari Bouajang sebagai Raja Kendahe pada akhir tahun 1702. 3
Tanggal 31 Januari 1704 di Kastil Orange, Siamsialam meneken perjanjian bersama Gubernur Maluku Pieter Roselaar yang meneguhkan dirinya sebagai raja.
PELUK ANAKNYA
Tidak banyak sumber mencatat masa pemerintahan Siamsialam yang beragama Islam. Ia gigih mengklaim bekas kerajaan ayahnya di Sarangani dan Buwisang di kawasan Teluk Butuan Mindanau, termasuk bersengketa dengan Makabalat dan Hujamu, dua saudaranya yang berkuasa di Sarangani dan Buwisang.
Untuk persoalan klaim tersebut Siamsialam bahkan meninggalkan Kendahe selama empat tahun berturut-turut, sehingga disesali Gubernur dan pemerintah tinggi Kompeni di Batavia.
Sebelum tahun 1711 yang menghancurkan dan membunuh ribuan penduduk Kendahe, aktivitas Gunung api Awu telah terjadi.
Siamsialam telah bertengkar dengan Raja Tabukan Mattheus Franciscus Maccaampo tentang keracunan di perairan Tabukan yang menyebabkan jatuhnya korban penduduk Tabukan dan Siau. Peristiwa ini, menurut Valentijn, semakin membesar karena dikaitkan dengan hal-hal takhyul. Mereka telah menemukan sebuah kotak kecil dari dalam air, dimana berbagai jenis permainan, kawat tembaga bengkok dan banyak kerikil serta tulang, yang disebut bukti ilmu sihir.
Dipengaruhi saudara wanitanya, janda Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi dan ibu dari Jacobus Raramo, Raja Siau yang sementara menjabat; Raja Tabukan bersama Siau mengancam memerangi Siamsialam dan Kendahe. 4
Karena ketakutan serta untuk membuktikan tuduhan itu palsu, Siamsialam disertai istri, anak-anak dan penduduk terpaksa melarikan diri.
Valentijn mencurigai, terkontaminasinya perairan di Tabukan yang menyebabkan kematian tersebut, disebabkan oleh udara belerang busuk yang dikeluarkan Gunung api Awu. Uap dari Gunung Awu yang terbakar terus-menerus menyebar ke seluruh tanah Kendahe dan juga di Tabukan, bahkan penumpang kapal yang berlabuh di Teluk Petta ikut terpengaruh.
Dugaan ini terbukti ketika Gunung Awu benar-benar meletus pada 10 hingga 16 Desember 1711. Lahar panas dari kawah yang disertai gempuran batu besar menghancurkan ibukotanya Kendahe, termasuk negeri-negeri Sarudukel, Sarab, Talawid, serta negeri-negeri lain di Tahuna dan Tabukan beserta rumah penduduk dan tanaman di atasnya.
Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck 26 November 1712 mencatat sebanyak 2.797 orang meninggal, karena terkena lontaran batu, atau terlanggar lava, terpanggang atau mati lemas dan sulit bernafas oleh awan panas bercampur belerang terbakar yang menyebarkan hawa panas dan racun mematikan. Semakin mematikan karena letusan awal disertai oleh gempa bumi, angin kencang dan hujan lebat.
Korban meninggal terbanyak adalah dari Kendahe, lebih 2.000 orang baik Kristen mau pun Islam. Padahal Kendahe hanya berpenduduk sekitar 3.000 jiwa.
Berbeda kisah-kisah yang beredar bahwa Raja Siamsialam hilang, bahkan tenggelam di Maselihe, Valentijn mencatat laporan Komandan Logie (loji) Tabukan Sersan Andries Dulee ke Ternate via Residen Manado Hendrik van der Burgh, jenasah Raja Siamsialam berhasil ditemukan di Talawid, dekat Kendahe ketika lari mengungsi dari Kendahe.
Siamsialam tidak mati terbakar, tapi kehabisan nafas karena hawa panas yang terjadi. Yang tragis karena jenasah Siamsialam ditemukan dengan tubuh utuh bersama putranya yang tergeletak di pelukannya.
Siamsialam dikuburkan di Kendahe Jumat 11 Desember bersama putranya oleh Sangaji Bengunang dan Kimeleha Malasigi, pemimpin Talawid bersama penduduk yang selamat.
Saudara wanitanya Susanna Lorolabo ditemukan hari bersamaan, tewas terbakar bersama putrinya yang bernama Maria Sarabanong.
Kendahe ditinggalkan. Sisa penduduk mengungsi di kerajaan tetangga, atau pergi ke Sarangani, Mindanau bahkan ke Dauw di Kaidipang.
Baru tahun 1713, penduduk tersisa kembali ke Kendahe. Gubernur Jenderal Christoffel van Swoll 20 November 1713 melaporkan ke atasannya di Amsterdam sekitar 500 orang yang tersisa telah berkumpul di Kendahe termasuk anak Kristen dari Raja Datu Buisan dan adik Raja Siamsialam yang bernama Johannes Karambut (disebutnya Carimbuto).
DITOLAK
Karambut telah menjadi Kristen sebelum tahun 1706, karena mulai menggunakan nama Johannes. Kemungkinan Ds.Arnoldus Brands yang datang tahun 1705 yang membaptisnya.
Ia banyak berada di Sarangani dan Mindanau. Tahun 1694 ia bertugas sebagai wakil raja di Sarangani, dan memperjuangkan hak ayahnya sebagai raja di Sarangani dan wilayah seputaran Teluk Butuan.
Akhir tahun 1706 Karambut dilaporkan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn mencoba menggerakkan penduduk Bisayas di Filipina untuk melawan Spanyol. Ia membujuk Kompeni untuk membantu Bisayas, dengan kesediaan Bisayas berada di bawah Kompeni, namun ditolak.
Karambut yang ditugaskan Siamsialam di Talawid, ketika Gunung Awu meletus, berhasil selamat dengan lari mengungsi di Tahuna.
Ia segera mengklaim tahta Kendahe, dan diangkat pengikutnya sebagai Raja Kendahe tanggal 12 Desember 1713 setelah dua tahun Kendahe tanpa raja.
Namun Karambut mendapatkan tentangan dari para bobato Islam di bawah Jogugu Tomasonsugu alias Sugala, mertua Siamsialam yang mendapatkan dukungan dari pengungsi di Sarangani.
Tomasonsugu mengusul putra Siamsialam bernama Abdul Mangankabumi yang masih kecil yang belum genap enam tahun diangkat jadi raja dengan dirinya sebagai regent mewakili cucunya tersebut. Atau usulan lainnya mengangkat Salarangan, salah seorang anak Datu Buisan yang masih hidup. 5
Dua kubu timbul. Penduduk dan bobato Islam ingin mendudukkan Tomasonsugu sebagai raja baru. Karambut yang didukung penduduk dan bobato Kristen menyurati Gubernur Maluku memohon agar martabat kerajaan tidak diberikan orang Islam, yang akan memaksa Tomasonsugu untuk menjadi raja.
Menurut Christoffel van Swoll, Karambut menunjukkan catatan yang sangat menyedihkan kepada Gubernur Maluku bagaimana dia telah dikirim selama bertahun-tahun di Dauw oleh lawan-lawannya karena agamanya.
Kompeni Belanda mendukung Karambut. Ia diminta datang ke Ternate dan bermusyawarah dengan mantri bobato Kendahe.
Tanggal 7 Mei ia muncul sebagai penumpang kapal di Ternate, dan seperti dicatat van Swoll 26 November 1714, dianggap orang yang paling sah dan mampu menjadi raja. Jogugu Tomasonsugu yang belakangan muncul diperintahkan untuk kembali ke Kendahe pada 24 Juli, tanpa 2 korakora yang dibelinya di Talaud.
Tapi pengangkatan Karambut tetap terkatung-katung.
Dalam berita 30 November 1717, van Swoll baru mengungkap Karambut dilantik sebagai Raja Kendahe oleh Gubernur Maluku Jacob Bottendorp di Kastil Orange Ternate tanggal 8 Oktober 1716. Hampir lima tahun setelah kematian Siamsialam. Untuk itu, Karambut meneken perjanjian dengan Bottendorp akan mematuhi semua kontrak yang telah dibuat ayahnya Datu Buisan dan kakaknya Siamsialam.
Raja Johannes Karambut dikronikkan membangun ibukota baru di Ngalipaeng berpindah dari Makiwulaeng yang hancur dan tenggelam. Namun, dari laporan-laporan Belanda, ibukota masa pemerintahannya tetap di Kendahe. Setelah letusan Awu tahun 1711 dicatatkan kalau hanya ada dua negeri di Kendahe, yakni ibukota Kendahe, serta Talawid.
Ngalipaeng baru dibangun kembali awal tahun 1720-an dan dijadikan ibukota tidak resmi oleh Raja Andries Manabung. 6
HILANG DI LAUT
Ketika Raja Johannes Karambut meninggal akhir tahun 1725 tanpa pewaris mahkota, dengan hanya memiliki beberapa putri timbul masalah suksesi. Terjadi persaingan di antara Pangeran Islam Abdul Mangankabumi (Mangakabumi), anak Siamsialam yang telah dewasa, dengan pangeran Kristen Andries Manabung, alias Tasensulang, anak Jogugu Hendrik Manabung.
Dr.F.W.Stapel, penyusun Corpus Diplomaticum, menjelaskan penduduk Kendahe saat itu sebagian besar adalah orang Kristen, dengan Islam telah menjadi minoritas. Berbeda masa Datu Buisan ketika masih mayoritas, dan setengah Kristen setengah Islam di masa Siamsialam serta Karambut.
Gubernur Jenderal Mattheus de Haan mencatat pada 5 Desember 1726, 30 November 1727 dan 8 Desember 1728 keriuhan saling klaim tahta di antara Mangankabumi dan Manabung. Mangankabumi mengklaim menjadi pewaris sah karena sebagai anak dari Siamsialam dan cucu Datu Buisan. Sementara asal usul Manabung diperdebatkan sebagai cucu Datu Buisan.
Masalah mengarah pula pada keabsahan perkawinan serta tabiat dan perilaku calon. Tapi Manabung membuktikan kelahirannya dari perkawinan sah ayahnya dengan ibunya yang bernama Francisca Gotou putri Jogugu Kolongan Franciscus Gotou. Manabung didukung Raja Taruna Zacharias Paparang dan kesaksian mantrinya yang meyakinkan Kompeni bahwa Manabung memang cucu Datu Buisan.
Stapel menjelaskan pemimpin kedua belah pihak dipanggil ke Ternate. Tetapi hanya mantri-mantri Kristen yang datang bersama Andries Manabung 15 April 1729. Padahal, menurut laporan Gubernur Maluku Jacob Christiaan Pielat bertanda 20 Juni 1729, sudah sekitar satu tahun, ia menunggu kedatangan para bobato Islam.
Tanpa mantri Islam, tanggal 3 Mei 1729 Andries Manabung dipilih, dan dilantik oleh Pielat di Kastil Orange Ternate sebagai Raja Kendahe dengan menerima segel kerajaan, setelah sebelumnya memperbarui kontrak.
Genap 40 tahun menjadi raja, Andries Manabung meninggal secara misterius. Ia dinyatakan menghilang tanpa jejak tahun 1769.
Dalam kontrak pengangkatan Manuel Manabung, putra Andries yang masih muda untuk menggantikannya, dinyatakan kalau Raja Andries menghilang ketika berangkat dari Kendahe ke Ternate tanggal 19 Mei 1769.
Hampir dua tahun ditunggu, dengan kursi Raja Kendahe dibiarkan lowong, ia tetap tidak muncul, dan tidak pernah terdengar kabar berita apa pun tentangnya. Maka Manuel dilantik Gubernur Paulus Jacob Valckenaer sebagai raja di Ternate 7 Mei 1771.
Pernyataan resmi kematian Andries Manabung adalah perkiraan ketika ia berada di laut dalam pelayaran ke Ternate telah dibunuh atau diserang dan dikuasai oleh perampok. ***
1. Padtbrugge tidak mencatat nama putra Susanna dan Marcus Lalero yang masih bayi. Namun dari surat-surat Markus Lalero, Lorolabo dan Mattheus Maccaampo diketahui namanya adalah Salomon Datu Libontang (Datulinontan). Sebelumnya Susanna telah melahirkan dua putri untuk Lalero, yakni Lekumbulaen yang dibaptis dengan nama Joanna, dan Sarabanong (Sarabanum) dibaptis dengan nama Maria. Salomon sempat diberi titel Raja Kendahe, tapi meninggal usia 20 tahun di Ambon.
2. Dr.W.Ph.Coolhaas, penyusun missiven para Gubernur Jenderal Kompeni Belanda berpendapat Datu Buisan meninggal tahun 1690 dan Siamsialam telah menjadi raja. Ia merujuk surat Gubernur Jenderal Mr.Willem van Outhoorn 14 Maret 1690 yang menulis Siamsialam sebagai Raja. Namun dalam surat-surat Outhoorn selanjutnya posisi Siamsialam diterangkan sebagai pangeran (prince), bukan koning (raja).
3.Persetujuan dan pengangkatan resmi Siamsialam di Ternate diambil dalam keputusan bersama dengan pengangkatan Carlos Cacambon sebagai Jogugu kedua Tahuna, dan Walangadje, saudara Raja Bea, sebagai Raja Kedua Gorontalo.
4.Janda Raja Batahi bernama Kristen Catharina adalah saudara wanita Raja Mattheus Franciscus Maccaampo dan Marcus Lalero, anak Raja Tabukan Don Francisco Maccaampo (Kaicil Garuda). Ia sempat menjadi istri Sultan Ternate Kaicil Sibori Amsterdam. Tiga putranya dari Batahi berturut-turut menjadi Raja Siau: Jacobus Xavier, David Munasa alias Xavier, dan Jacobus Raramo.
5. Dalam laporan
Komandan Logie Tabukan, ia bernama Thomas Sigugu. Ketika letusan Awu terjadi ia
berada di Sarangani dan segera kembali ke Sangihe.
6.Dari
perjanjian yang diteken Raja Manuel Manabung bersama bobatonya Hukum Subu 12
November 1779 di Loji Tabukan dengan Kompeni diwakili Onderkoopman Francois Bartholomeus Hemmekam, disebut negeri Kendahe
dan Talawid mesti menyiapkan 50 laki-laki serta 1 korakora untuk membantu Kompeni sewaktu-waktu mengusir
bajaklaut Mindanau (dan juga Sulu). Jumlah tenaga dan korakora dari Kendahe paling kecil
dibanding Tabukan dengan 400 laki-laki dan 8 korakora.