Kamis, 25 Agustus 2022

Suksesi Raja Kendahe

 

 

 

Peninggalan kerajaan Kendahe dan Tahuna, di tengah piring perak Datu Buisan.(V.I.van de Wall 1930)

 

Seperti raja-raja lain di Kepulauan Sangihe, Datu Buisan setelah meneken perjanjian 7 Desember 1677 telah secara langsung mengakui pertuanan Kompeni Belanda dengan hak mengangkat dan memberhentikan raja dan mantri-mantrinya.

Tapi Datu Buisan membuktikan kemampuan diplomasinya untuk terus mempertahankan posisinya seumur hidup termasuk agama yang dianutnya. Ia dapat pula menangkis usaha-usaha Kompeni yang mencoba mengintervensi dengan calon tertentu untuk menggantikannya setelah meninggal.

Datu Buisan memang sempat bingung menentukan siapa penggantinya sebagai Raja Kendahe. 

Berawal Gubernur Robertus Padtbrugge mengusulkan Anthony van Voorst, putranya yang telah masuk Kristen sebagai raja berikut. Secara spontan Datu Buisan menunjuk cucunya sebagai pewaris, bukan salah satu dari belasan anaknya.

Ketika berkunjung kehormatan kepada Padtbrugge disertai para bobato (mantri) dan putra-putrinya, Datu Buisan mengatakan anak bayi putrinya Lorolabo dan Lalero sebagai pilihannya dan bukan van Voorst. Sebab cucunya itu, dari kedua sisi ayah dan ibu mengalir darah bangsawan penuh, sementara van Voorst dibesarkan dari selir keturunan rendah.

Padtbrugge mencatat pada jurnal Rabu 1 Desember 1677 ia tidak menentang keputusan Datu Buisan, mengakuinya sebagai hal yang tidak aneh. Namun, ia mensyaratkan anak tersebut dibesarkan dalam agama dan adat istiadat Belanda. Hal yang tidak ditolak Datu Buisan dengan mempersilahkan cucunya dibaptis. 

Membuktikan keseriusannya, dua hari kemudian Lorolabo dan suaminya Lalero, orang tua sang cucu dibaptis di Tabukan oleh Predikant Manado Ds. Zacharias Caheyng. 1

Namun, setelah Anthony van Voorst meninggal secara mendadak 11 Desember 1677, Padtbrugge dalam surat yang ditujukan kepada Pendeta Caheyng mencalonkan Marcus Lalero sebagai Raja Kendahe setelah Datu Buisan meninggal.

Pilihan Padtbrugge berujung gagal, karena Marcus Lalero diangkat menjadi Raja Tabukan tahun 1682 mengantikan ayahnya Don Francisco Maccaampo yang meninggal tahun sebelumnya.  

Padtbrugge kembali mengusulkan hal yang nanti memicu sengketa berkepanjangan dengan kerajaan tetangga Tahuna. Ia meminta pemerintah tinggi Kompeni menggabungkan Kendahe dengan Tahuna di bawah kepemimpinan Raja Tahuna Don Martin Tatandam.

Usulan Padtbrugge terakhir ini sempat dipertimbangkan Gubernur Jenderal Johannes Camphuys 30 Desember 1689 setelah Datu Buisan dilaporkan mencoba berhubungan dengan Inggris yang datang ke Ternate dan telah ditahan Belanda.

Datu Buisan bertindak cepat. Melawan rencana-rencana Kompeni, ia segera mengangkat Kaicil Siamsialam sebagai pewaris dan putra mahkota, menggantikan cucunya.

Siamsialam telah banyak menggantikan peran ayahnya yang semakin tua. Ketika meneken perjanjian penyerahan Sarangani dan Buwisang di Mindanau kepada Gubernur Joan Henrick Thim di Kastil Orange Ternate 10 Desember 1688 bersama Datu Buisan, Siamsialam sudah bertanda sebagai putra mahkota Kendahe. 

MENINGGAL TUA

Datu Buisan diperkirakan mengundurkan diri dan menyerahkan posisi raja kepada Siamsialam. Namun demikian ia masih tetap berkuasa, sehingga pada 26 Maret 1691 Camphuys mencatat Datu Buisan diingatkan akan tugasnya, agar tidak memaksa penduduk Kristennya. 2

Datu Buisan masih aktif surat menyurat dengan Gubernur Kompeni di Ternate Cornelis van der Duijn hingga tahun 1694. Ia meninggal di usia lanjut, bukan menghilang tanpa kabar berita di Minahasa atau Mindanau seperti banyak ditulis.

Suksesi Kendahe baru berlangsung mulus tahun 1702, ketika Raja Tahuna Don Louis Melangin yang mengklaim Kendahe menyerahkan pada keputusan pemerintah Kompeni untuk menyetujui atau tidak pelantikan Siamsialam sebagai pengganti Datu Buisan yang disebut telah meninggal. Willem van Outhoorn tanggal 30 November 1702 mengatakan Raja Tahuna menyerahkan penentuan tersebut kepada Kompeni.

Persetujuan Kompeni segera keluar. Disebut van Outhoorn 26 Februari 1703 dengan pengangkatan resmi Siamsialam (dengan nama Hamsja Alam), Pangeran dari Bouajang sebagai Raja Kendahe pada akhir tahun 1702. 3

Tanggal 31 Januari 1704 di Kastil Orange, Siamsialam meneken perjanjian bersama Gubernur Maluku Pieter Roselaar yang meneguhkan dirinya sebagai raja.

PELUK ANAKNYA

Tidak banyak sumber mencatat masa pemerintahan Siamsialam yang beragama Islam. Ia gigih mengklaim bekas kerajaan ayahnya di Sarangani dan Buwisang di kawasan Teluk Butuan Mindanau, termasuk bersengketa dengan Makabalat dan Hujamu, dua saudaranya yang berkuasa di Sarangani dan Buwisang.

Untuk persoalan klaim tersebut Siamsialam bahkan meninggalkan Kendahe selama empat tahun berturut-turut, sehingga disesali Gubernur dan pemerintah tinggi Kompeni di Batavia.

Sebelum tahun 1711 yang menghancurkan dan membunuh ribuan penduduk Kendahe, aktivitas Gunung api Awu telah terjadi.

Siamsialam telah bertengkar dengan Raja Tabukan Mattheus Franciscus Maccaampo tentang keracunan di perairan Tabukan yang menyebabkan jatuhnya korban penduduk Tabukan dan Siau. Peristiwa ini, menurut Valentijn, semakin membesar karena dikaitkan dengan hal-hal takhyul. Mereka telah menemukan sebuah kotak kecil dari dalam air, dimana berbagai jenis permainan, kawat tembaga bengkok dan banyak kerikil serta tulang, yang disebut bukti ilmu sihir.

Dipengaruhi saudara wanitanya, janda Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi dan ibu dari Jacobus Raramo, Raja Siau yang sementara menjabat; Raja Tabukan bersama Siau mengancam memerangi Siamsialam dan Kendahe. 4

Karena ketakutan serta untuk membuktikan tuduhan itu palsu, Siamsialam disertai istri, anak-anak dan penduduk terpaksa melarikan diri.

Valentijn mencurigai, terkontaminasinya perairan di Tabukan yang menyebabkan kematian tersebut, disebabkan oleh udara belerang busuk yang dikeluarkan Gunung api Awu. Uap dari Gunung Awu yang terbakar terus-menerus menyebar ke seluruh tanah Kendahe dan juga di Tabukan, bahkan penumpang kapal yang berlabuh di Teluk Petta ikut terpengaruh.

Dugaan ini terbukti ketika Gunung Awu benar-benar meletus pada 10 hingga 16 Desember 1711. Lahar panas dari kawah yang disertai gempuran batu besar menghancurkan ibukotanya Kendahe, termasuk negeri-negeri Sarudukel, Sarab, Talawid, serta negeri-negeri lain di Tahuna dan Tabukan beserta rumah penduduk dan tanaman di atasnya.

Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck 26 November 1712 mencatat sebanyak 2.797 orang meninggal, karena terkena lontaran batu, atau terlanggar lava, terpanggang atau mati lemas dan sulit bernafas oleh awan panas bercampur belerang terbakar yang menyebarkan hawa panas dan racun mematikan. Semakin mematikan karena letusan awal disertai oleh gempa bumi, angin kencang dan hujan lebat.

Korban meninggal terbanyak adalah dari Kendahe, lebih 2.000 orang baik Kristen mau pun Islam. Padahal Kendahe hanya berpenduduk sekitar 3.000 jiwa.

Berbeda kisah-kisah yang beredar bahwa Raja Siamsialam hilang, bahkan tenggelam di Maselihe, Valentijn mencatat laporan Komandan Logie (loji) Tabukan Sersan Andries Dulee ke Ternate via Residen Manado Hendrik van der Burgh, jenasah Raja Siamsialam berhasil ditemukan di Talawid, dekat Kendahe ketika lari mengungsi dari Kendahe.

Siamsialam tidak mati terbakar, tapi kehabisan nafas karena hawa panas yang terjadi. Yang tragis karena jenasah Siamsialam ditemukan dengan tubuh utuh bersama putranya yang tergeletak di pelukannya.

Siamsialam dikuburkan di Kendahe Jumat 11 Desember bersama putranya oleh Sangaji Bengunang dan Kimeleha Malasigi, pemimpin Talawid bersama penduduk yang selamat.

Saudara wanitanya Susanna Lorolabo ditemukan hari bersamaan, tewas terbakar bersama putrinya yang bernama Maria Sarabanong.

Kendahe ditinggalkan. Sisa penduduk mengungsi di kerajaan tetangga, atau pergi ke Sarangani, Mindanau bahkan ke Dauw di Kaidipang.

Baru tahun 1713, penduduk tersisa kembali ke Kendahe. Gubernur Jenderal Christoffel van Swoll 20 November 1713 melaporkan ke atasannya di Amsterdam sekitar 500 orang yang tersisa telah berkumpul di Kendahe termasuk anak Kristen dari Raja Datu Buisan dan adik Raja Siamsialam yang bernama Johannes Karambut (disebutnya Carimbuto).

DITOLAK

Karambut telah menjadi Kristen sebelum tahun 1706, karena mulai menggunakan nama Johannes. Kemungkinan Ds.Arnoldus Brands yang datang tahun 1705 yang membaptisnya.

Ia banyak berada di Sarangani dan Mindanau. Tahun 1694 ia bertugas sebagai wakil raja di Sarangani, dan memperjuangkan hak ayahnya sebagai raja di Sarangani dan wilayah seputaran Teluk Butuan.

Akhir tahun 1706 Karambut dilaporkan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn mencoba menggerakkan penduduk Bisayas di Filipina untuk melawan Spanyol. Ia membujuk Kompeni untuk membantu Bisayas, dengan kesediaan Bisayas berada di bawah Kompeni, namun ditolak.

Karambut yang ditugaskan Siamsialam di Talawid, ketika Gunung Awu meletus, berhasil selamat dengan lari mengungsi di Tahuna.

Ia segera mengklaim tahta Kendahe, dan diangkat pengikutnya sebagai Raja Kendahe tanggal 12 Desember 1713 setelah dua tahun Kendahe tanpa raja.

Namun Karambut mendapatkan tentangan dari para bobato Islam di bawah Jogugu Tomasonsugu alias Sugala, mertua Siamsialam yang mendapatkan dukungan dari pengungsi di Sarangani. 

Tomasonsugu mengusul putra Siamsialam bernama Abdul Mangankabumi yang masih kecil yang belum genap enam tahun diangkat jadi raja dengan dirinya sebagai regent mewakili cucunya tersebut. Atau usulan lainnya mengangkat Salarangan, salah seorang anak Datu Buisan yang masih hidup. 5

Dua kubu timbul. Penduduk dan bobato Islam ingin mendudukkan Tomasonsugu sebagai raja baru. Karambut yang didukung penduduk dan bobato Kristen menyurati Gubernur Maluku memohon agar martabat kerajaan tidak diberikan orang Islam, yang akan memaksa Tomasonsugu untuk menjadi raja.

Menurut Christoffel van Swoll, Karambut menunjukkan catatan yang sangat menyedihkan kepada Gubernur Maluku bagaimana dia telah dikirim selama bertahun-tahun di Dauw oleh lawan-lawannya karena agamanya.

Kompeni Belanda mendukung Karambut. Ia diminta datang ke Ternate dan bermusyawarah dengan mantri bobato Kendahe.

Tanggal 7 Mei ia muncul sebagai penumpang kapal di Ternate, dan seperti dicatat van Swoll 26 November 1714, dianggap orang yang paling sah dan mampu menjadi raja. Jogugu Tomasonsugu yang belakangan muncul diperintahkan untuk kembali ke Kendahe pada 24 Juli, tanpa 2 korakora yang dibelinya di Talaud.

Tapi pengangkatan Karambut tetap terkatung-katung.

Dalam berita 30 November 1717, van Swoll baru mengungkap Karambut dilantik sebagai Raja Kendahe oleh Gubernur Maluku Jacob Bottendorp di Kastil Orange Ternate tanggal 8 Oktober 1716. Hampir lima tahun setelah kematian Siamsialam. Untuk itu, Karambut meneken perjanjian dengan Bottendorp akan mematuhi semua kontrak yang telah dibuat ayahnya Datu Buisan dan kakaknya Siamsialam.

Raja Johannes Karambut dikronikkan membangun ibukota baru di Ngalipaeng berpindah dari Makiwulaeng yang hancur dan tenggelam. Namun, dari laporan-laporan Belanda, ibukota masa pemerintahannya tetap di Kendahe. Setelah letusan Awu tahun 1711 dicatatkan kalau hanya ada dua negeri di Kendahe, yakni ibukota Kendahe, serta Talawid. 

Ngalipaeng baru dibangun kembali awal tahun 1720-an dan dijadikan ibukota tidak resmi oleh Raja Andries Manabung. 6

HILANG DI LAUT

Ketika Raja Johannes Karambut meninggal akhir tahun 1725 tanpa pewaris mahkota, dengan hanya memiliki beberapa putri timbul masalah suksesi. Terjadi persaingan di antara Pangeran Islam Abdul Mangankabumi (Mangakabumi), anak Siamsialam yang telah dewasa, dengan pangeran Kristen Andries Manabung, alias Tasensulang, anak Jogugu Hendrik Manabung.

Dr.F.W.Stapel, penyusun Corpus Diplomaticum, menjelaskan penduduk Kendahe saat itu sebagian besar adalah orang Kristen, dengan Islam telah menjadi minoritas. Berbeda masa Datu Buisan ketika masih mayoritas, dan setengah Kristen setengah Islam di masa Siamsialam serta Karambut.

Gubernur Jenderal Mattheus de Haan mencatat pada 5 Desember 1726, 30 November 1727 dan 8 Desember 1728 keriuhan saling klaim tahta di antara Mangankabumi dan Manabung. Mangankabumi mengklaim menjadi pewaris sah karena sebagai anak dari Siamsialam dan cucu Datu Buisan. Sementara asal usul Manabung diperdebatkan sebagai cucu Datu Buisan. 

Masalah mengarah pula pada keabsahan perkawinan serta tabiat dan perilaku calon. Tapi Manabung membuktikan kelahirannya dari perkawinan sah ayahnya dengan ibunya yang bernama Francisca Gotou putri Jogugu Kolongan Franciscus Gotou. Manabung didukung Raja Taruna Zacharias Paparang dan kesaksian mantrinya yang meyakinkan Kompeni bahwa Manabung memang cucu Datu Buisan.

Stapel menjelaskan pemimpin kedua belah pihak dipanggil ke Ternate. Tetapi hanya mantri-mantri Kristen yang datang bersama Andries Manabung 15 April 1729. Padahal, menurut laporan Gubernur Maluku Jacob Christiaan Pielat bertanda 20 Juni 1729, sudah sekitar satu tahun, ia menunggu kedatangan para bobato Islam.

Tanpa mantri Islam, tanggal 3 Mei 1729 Andries Manabung dipilih, dan dilantik oleh Pielat di Kastil Orange Ternate sebagai Raja Kendahe dengan menerima segel kerajaan, setelah sebelumnya memperbarui kontrak.

Genap 40 tahun menjadi raja, Andries Manabung meninggal secara misterius. Ia dinyatakan menghilang tanpa jejak tahun 1769.

Dalam kontrak pengangkatan Manuel Manabung, putra Andries yang masih muda untuk menggantikannya, dinyatakan kalau Raja Andries menghilang ketika berangkat dari Kendahe ke Ternate tanggal 19 Mei 1769.

Hampir dua tahun ditunggu, dengan kursi Raja Kendahe dibiarkan lowong, ia tetap tidak muncul, dan tidak pernah terdengar kabar berita apa pun tentangnya. Maka Manuel dilantik Gubernur Paulus Jacob Valckenaer sebagai raja di Ternate 7 Mei 1771.

Pernyataan resmi kematian Andries Manabung adalah perkiraan ketika ia berada di laut dalam pelayaran ke Ternate telah dibunuh atau diserang dan dikuasai oleh perampok. ***

 

 

1. Padtbrugge tidak mencatat nama putra Susanna dan Marcus Lalero yang masih bayi. Namun dari surat-surat Markus Lalero, Lorolabo dan Mattheus Maccaampo diketahui namanya adalah Salomon Datu Libontang (Datulinontan). Sebelumnya Susanna telah melahirkan dua putri untuk Lalero, yakni Lekumbulaen yang dibaptis dengan nama Joanna, dan Sarabanong (Sarabanum) dibaptis dengan nama Maria. Salomon sempat diberi titel Raja Kendahe, tapi meninggal usia 20 tahun di Ambon.

2. Dr.W.Ph.Coolhaas, penyusun missiven para Gubernur Jenderal Kompeni Belanda berpendapat Datu Buisan meninggal tahun 1690 dan Siamsialam telah menjadi raja. Ia merujuk surat Gubernur Jenderal Mr.Willem van Outhoorn 14 Maret 1690 yang menulis Siamsialam sebagai Raja. Namun dalam surat-surat Outhoorn selanjutnya posisi Siamsialam diterangkan sebagai pangeran (prince), bukan koning (raja).

3.Persetujuan dan pengangkatan resmi Siamsialam di Ternate diambil dalam keputusan bersama dengan pengangkatan Carlos Cacambon sebagai Jogugu kedua Tahuna, dan Walangadje, saudara Raja Bea, sebagai Raja Kedua Gorontalo.

4.Janda Raja Batahi bernama Kristen Catharina adalah saudara wanita Raja Mattheus Franciscus Maccaampo dan Marcus Lalero, anak Raja Tabukan Don Francisco Maccaampo (Kaicil Garuda). Ia sempat menjadi istri Sultan Ternate Kaicil Sibori Amsterdam. Tiga putranya dari Batahi berturut-turut menjadi Raja Siau: Jacobus Xavier, David Munasa alias Xavier, dan Jacobus Raramo.

5. Dalam laporan Komandan Logie Tabukan, ia bernama Thomas Sigugu. Ketika letusan Awu terjadi ia berada di Sarangani dan segera kembali ke Sangihe.
6
.Dari perjanjian yang diteken Raja Manuel Manabung bersama bobatonya Hukum Subu 12 November 1779 di Loji Tabukan dengan Kompeni diwakili Onderkoopman Francois Bartholomeus Hemmekam, disebut negeri Kendahe dan Talawid mesti menyiapkan 50 laki-laki serta 1 korakora untuk membantu Kompeni sewaktu-waktu mengusir bajaklaut Mindanau (dan juga Sulu). Jumlah tenaga dan korakora dari Kendahe paling kecil dibanding Tabukan dengan 400 laki-laki dan 8 korakora.

Jumat, 19 Agustus 2022

Datu Buisan dan Anak-anaknya

      

 

 

 

Peta Sulawesi Utara dari Padtbrugge tahun 1677 dengan Sarangani dan Buwisang di Mindanau 

(koleksi P.A.Leupe, Nationaal Archief, Den Haag).

 

 

 

Kehidupan Datu Buisan, Raja Kendahe di Kepulauan Sangihe, yang menjadi penguasa Kepulauan Sarangani dan Buwisang di seputaran Teluk Butuan banyak diliputi misteri, termasuk dengan keluarganya. Tidak heran muncul berbagai kisah seputaran diri dan anak-anaknya.

Sejarawan Belanda Francois Valentijn dan Gubernur Kompeni Belanda Dr.Robertus Padtbrugge adalah dua tokoh yang banyak membahas Datu Buisan. Disamping laporan dari para Gubernur Jenderal Kompeni yang hidup sejaman dengan Datu Buisan dan anak-anaknya, seri besar karya Dr.W.Ph.Coolhaas.

Valentijn penulis Oud en Nieuw Oost-Indie mengatakan sebagai pendatang dari kawasan Mindanau, pendirian kerajaan Kendahe di Kepulauan Sangihe berdasarkan kebiasaan lama melalui perkawinan.

Peristiwanya terjadi jauh setelah pengklaiman Kepulauan Talaud oleh Tabukan, Siau, Tagulandang, Manganitu dan Tahuna. Sehingga Kendahe tidak mendapatkan wilayah bagian di Kepulauan Talaud.

Tapi tidak ada catatan resmi apabila Datu Buisan atau leluhurnya mengawini putri Raja Sangihe yang mana. Kemungkinan dari Tabukan, yang paling akrab dengan Datu Buisan, sehingga Pantchialang (Pandjalang) seorang putranya dipercaya menjadi perdana menteri, sebagai Jogugu Tabukan pertama. Sedangkan putri kesayangannya Lorolabo diperistri Lalero (Dalero), putra Raja Tabukan. Berbeda tetangga dekatnya Tahuna yang mengklaim Kendahe sebagai miliknya. Raja Tahuna Don Martin Tatandam dan penggantinya Don Louis Melangin sampai tahun 1702 berkali-kali menolak pelantikan Siamsialam sebagai raja baru Kendahe, sebab menginginkan Kendahe digabung dengan Tahuna.

Kerajaan Kendahe adalah yang terkecil dibanding kerajaan lain yang pernah ada di Kepulauan Sangihe. Sebelum digabung dengan Tahuna tahun 1898, Kendahe yang berada di barat laut Pulau Sangihe Besar memiliki batas-batas sepanjang laut. Mulai sebelah barat dari Tanjung Sahmute (Salimahe, Salimar) ke Tanjung Batu Bukelo (Bukala), dan dari dua tanjung tersebut ke Gunung api Awu. Selanjutnya negeri Ngalipung (Ngalipaeng) di sebelah tenggara Pulau Sangihe Besar ke Kendahe, batasnya adalah sepanjang laut dari Batu Mehangu ke Tanjung Lanang dan dari dua titik itu ke atas Gunung Tumalede. 1

Sementara di awal abad ke-18, dari gambaran Valentijn, Kendahe dimulai dari sudut utara yang disebut Tanjung Salimar, dengan dua negeri di barat, Talawid dan Nirosenkayu, masing-masing terletak sekitar satu dan dua mil dari Tanjung Salimar. Ibukotanya Kendahe (disebut Candahar) sekitar satu mil dari Nirosenkayu. Lalu sekitar dua mil ke selatan dari Kendahe berada negeri Sarudukel. Antara Sarudukel dan Kendahe ada negeri kecil lain bernama Sarab. Dan di sebelah Sarudukel, hampir di satu posisi yang sama, berada negeri Kolongan di bawah kekuasaan Raja Tahuna.

Tahun 1711, Raja Kendahe mampu membawa sekitar sembilan ratus orang untuk berperang dari negeri Kendahe, dan dari Sarudukel sekitar tujuh puluh orang. Seluruhnya kerajaan Kendahe berpenduduk sekitar tiga ribu orang.

Selain Kendahe dan Kolongan beberapa negeri yang disebut Valentijn tidak dikenali lagi. Negeri-negeri ini hancur binasa dan ditinggalkan setelah peristiwa meletusnya Gunung Awu pada 10 hingga 16 Desember 1711. Talawid masih ada, namun Nirosenkayu, Sarab dan Sarudukel hancur. Sarab dan Sarudukel kemungkinan berdiri di kepolisian Kendahe Dua dan Kolongan sekarang.

DUA PULUH ANAK

Dari tradisi lokal Datu Buisan memperistri Liungsangian yang menjadi ibu dari Siamsialam dan Karambut. Kemudian Uwelawewe yang disamakan dengan Bele Serieuw.

Nama Bele Serieuw (Beleseriwu) sendiri tertera dalam dokumen Kompeni Belanda sebagai salah satu istri utama Datu Buisan.   

Raja Datu Buisan memiliki banyak anak. Semuanya dua puluh orang. Selain istri resmi, ia memiliki selir.

Dari kedua puluh anak Datu Buisan, Valentijn hanya memuji Lorolabo (disebutnya Locolabo) sebagai putri dari seorang wanita terpandang. Tapi mengkritik sembilan belas anak lain yang terdiri dari laki-laki atau perempuan sebagai buruk, dan berdasar pendapat pribadinya tidak seorang pun dari mereka berhak atas kerajaan Kendahe, karena milik Kolongan (Tahuna).

Beberapa anak Datu Buisan yang dikenal namanya adalah: Anthony van Voorst, Pantchialang, Putri Lorolabo, Siamsialam, Makabalat, Hujamu, Salarangi dan Karambut. Dari mereka Makabalat dan Hujamu tinggal di Sarangani sebagai penguasa. Di masa berikut Hujamu pergi ke Ternate. Seorang putri lain diperistri Sultan Mindanau Bragman (Barahaman atau Rahman).   

Datu Buisan dan keluarganya beragama Islam. Datu Buisan pernah dibujuk Gubernur Padtbrugge untuk masuk Kristen, tapi ditolak dengan halus.

Ketika menemui Padtbrugge di kapal (jenis chaloup) de Eendraght Selasa 7 Desember 1677 sebelum meneken kontrak, Datu Buisan menyebut toleransinya dengan dua anaknya yang telah menjadi Kristen Protestan, yakni Anthony van Vorst dan Susanna Lorolabo. Ia pun tidak menghalangi siapapun yang ingin menjadi Kristen. Bahkan meminta cucunya yang baru dilahirkan Susanna untuk dibaptis. Selain itu dari 2 negeri di kerajaannya, satu dikhususkan orang-orang Kristen, dan negeri lain Islam.

Datu Buisan menjadi satu-satunya Raja Islam di seluruh Sangihe, dan atas permintaannya yang sungguh-sungguh diizinkan untuk mempertahankan imannya dengan keyakinannya sendiri selama dia hidup. Meski Datu Buisan, menurut Valentijn, telah menjadi salah satu dari yang pertama, selain Raja Tahuna Don Martin Tatandam, yang kepada Gubernur Cornelis Francx di tahun 1673 atau 1674 secara serius menyatakan ingin menjadi Kristen.

Seperti Padtbrugge dan pejabat Kompeni yang dikirim ke Kendahe untuk berbicara dengannya tentang masalah ini, Datu Buisan menjawab, bahwa dia tidak tahu lagi tentang masalah itu. Sekarang, katanya, dia tidak melihat alasan sama sekali mengapa harus mengubah agamanya.

Kompeni Belanda yang ingin menerapkan Protestan yang direformasi menurut doktrin Sinode Dordrecht sebagai agama satu-satunya di Pulau Sangihe Besar, sempat memaksakan kesepakatan bahwa setelah kematian Datu Buisan penduduk akan masuk Kristen. Sedang yang bertahan pada keyakinan Islam akan pindah ke Mindanau, Sarangani atau ke negeri Islam di Ternate. 

Namun Valentijn mengungkap raport Ds.Arnoldus Brands tahun 1705, bahwa kesepakatan tersebut dibatalkan sendiri oleh pemerintah Belanda. 

Selain Siamsialam dan Karambut yang berturut-turut menggantikan Datu Buisan sebagai raja, beberapa anak Datu Buisan tidak kalah terkenal.

ANTHONY VAN VOORST

Pengkristenan di Kendahe dimulai sebelum tahun 1677, dipelopori oleh putra tertua Datu Buisan yang memakai nama serani Anthony van Voorst. Ia mengambil nama dari Anthony van Voorst, Gubernur Maluku tahun 1662-1667. 

Tidak diketahui predikant yang membaptisnya. Namun sebelum kedatangan Padtbrugge yang disertai Ds.Zacharias Caheyng tahun 1677, ada empat pendeta yang datang menginjil ke Pulau Sangihe Besar. Ds.Franciscus Dionysius tahun 1673, Ds.Jacobus Montanus bersama Ds.Isaacus Huisman tahun 1675 serta Ds.Gualterus Peregrinus tahun 1676.

Tapi Montanus dalam raportnya menyatakan tidak dapat melakukan apa-apa di Kendahe, sebab harus menunggu Raja Datu Buisan yang melakukan perjalanan ke Sarangani.

Dionysius dan Huisman sendiri meninggal di tahun kedatangan mereka, dan dikuburkan di luar Tahuna, berdekatan Kendahe.

Negeri Kristen Kendahe yang dipimpin langsung Anthony van Voorst dimulai dengan rumah tangganya sendiri, yang tahun 1690 berjumlah 50 orang terutama berasal Tagulandang.

Selain tidak melarang anaknya menjadi Kristen, toleransi Raja Datu Buisan ditunjukkan dengan pendirian sebuah gereja dan sekolah. Sekolah di Negeri Kristen menggunakan bangunan gereja dipimpin guru (meester) tunjukan Kompeni bernama Andries Furtados yang dipindahkan dari Tagulandang. Tahun 1690 sekolah di bawah Furtados memiliki 40 murid dengan kemunculan 14 atau 15 anak.

Anthony van Voorst adalah tokoh Kendahe yang sejak awal dipercaya ayahnya mewakilinya berurusan dengan Kompeni. Ia disukai Gubernur Padtbrugge. Bahkan Padtbrugge menginginkan dirinya menjadi raja pengganti Datu Buisan nanti. Tapi, Datu Buisan menolak, beralasan putranya bukan sebagai pewaris mahkota karena berasal dari selir keturunan rendah.

Tanggal 7 Desember Padtbrugge mendesak Datu Buisan mengangkat Anthony van Voorst sebagai Kapiten Laut yang segera dipenuhi. Hari itu, dalam jabatan baru Anthony ikut meneken kontrak Kendahe dengan Padtbrugge bersama Datu Buisan serta Jogugu Wanka, Hukum Tanapia dan Kapiten Papia.

Tapi, hanya berselang empat hari, pada Sabtu 11 Desember 1677, Padtbrugge menerima kabar dari Raja Tahuna Martin Tatandam bahwa Anthony van Voorst jatuh sakit dengan mendadak, dan malam hari meninggal dengan tanda-tanda keracunan. Padtbrugge yang marah menduga salah seorang saudara ayahnya yang menyebabkan kematian tersebut.

Tanpa Anthony van Voorst, Protestan tumbuh dengan banyak penduduk, termasuk kalangan bangsawan serta bobato (mantri, rijksgrooten) menjadi pemeluk Kristen. Bahkan putra dan putri Datu Buisan ikut masuk Kristen mengikuti jejak Anthony van Voorst. Antara lain: Lorolabo, Pantchialang, dan terakhir Karambut. Termasuk Hendrik Manabung, Kapiten Laut lalu Jogugu yang dipercaya sebagai anak kandung Datu Buisan sendiri. Manabung ikut mendirikan Negeri Kristen Kendahe.

Tahun 1705 Ds.Brands mencatat orang Kristen di Kendahe telah mencapai 403 jiwa, tapi tanpa sidi, dengan 39 murid laki-laki dan 4 anak murid perempuan.

ISTRI SULTAN BRAGMAN

Seorang putri Datu Buisan diperistri oleh Sultan Mindanau bernama Bragman (Barahaman, Rahman atau juga Abdaraman) yang memerintah Mindanau di Simuay tahun 1675 hingga meninggal 1699.

Tidak diketahui siapa nama putri Datu Buisan ini. 

Namun dalam silsilah yang dibuat Kapten Thomas Forrest tahun 1770 dalam A Voyage to New Guinea and the Moluccas from Balambangan, diungkap istri Sultan Bragman berasal Sangihe bernama Sembassin, yang menurunkan para penguasa Mindanau berikutnya.

Tapi Sembassin disebut sebagai anak dari tokoh bernama Maholanding dengan Putri Timbang sa riboo (Timbangseriwu). 

Silsilah Mindanau dan Sulu berkait Sangihe (Capt.Thomas Forrest)

Tidak pasti kalau Maholanding adalah nama lain dari Datu Buisan dan Timbangseriwu adalah istri lainnya.

Disebut Kapten Forrest, kalau Maholanding adalah anak dari Pangeran Illano (Iranun) dari Mindanau, sedangkan Timbangseriwu adalah anak Malary, raja dari Sangihe. Saudara lain dari Sembassin bernama Pangy dan Manalantan. Manalantan juga menjadi raja di Sangihe.

Yang pasti, putri Datu Buisan istri Sultan Bragman masih hidup di tahun 1707. Coolhaas mengungkap berita dari Gubernur Jenderal Joan van Hoorn tanggal 25 November 1708, sebanyak 14 orang pangeran Sangihe yang merupakan kemenakan sang putri bertolak dari Tabukan pergi ke Mindanau untuk menemuinya.

SUSANNA LOROLABO

Putri Datu Buisan bernama Lorolabo diperistri oleh Lalero (Dalero), putra kedua Raja Tabukan Kaicil Garuda atau Burudao, sebelum tahun 1677.

Lorolabo bersama Lalero disahkan perkawinannya serta dibaptis Protestan di Tabukan pada malam Jumat 3 Desember 1677 oleh Ds.Zacharias Caheyng. Menjadi saksi Gubernur Padtbrugge dan Raja Tahuna Don Martin Tatandam. Lorolabo dibaptis bersama mertua dan ipar-iparnya, dengan memakai nama Susanna dan suaminya Marcus. 2

Kehidupan rumah tangganya tidak berbahagia, karena selama beberapa tahun berperkara dengan suaminya yang telah menjadi Raja Tabukan. Ia dicerai Marcus Lalero yang mengambil Salontingo (kemudian bernama Kristen Joanna Lalonsego atau Lolonsego), janda Bangkal, saudara Lalero sendiri.

Nasib Lorolabo tragis. Terusir dari suami dan Tabukan, ia tewas terbakar bersama putrinya bernama Sarabanong dalam bencana akibat meletusnya Gunung Awu, Kamis tengah malam tanggal 10 Desember 1711.

DAVID PANTCHIALANG

Namanya disebut juga Pandjalang atau Pandjalla atau juga Pantjalang. Termasuk anak tertua dari Datu Buisan, karena dicatat sebagai kakak dari istri Sultan Bragman dan Putri Lorolabo. Ia menjadi Jogugu pertama dari Kerajaan Tabukan di periode akhir pemerintahan Raja Franciscus (Francisco) Maccaampo (Makaampo) tahun 1680-an, lalu di bawah Raja Marcus Lalero serta Raja Mattheus Franciscus Maccaampo.

Masa iparnya Marcus Lalero memerintah, bersama Jogugu kedua Thomas Mala (Waela, Wala), ia berselisih hebat dengan raja karena persoalan adiknya Lorolabo, hingga harus diselesaikan perkaranya oleh pemerintah tinggi Kompeni di Batavia tahun 1691.

Pantchialang yang menjadi Kristen dengan nama David, kendati dikritik Gubernur Maluku dan Gubernur Jenderal karena perannya dalam peribadatan tradisional, sangat berkuasa dan kaya. Bersama raja dan jogugu kedua, mereka membagi negeri-negeri milik Tabukan di Kepulauan Talaud, dengan menarik pajak dan tenaga kerja penduduk sewaktu-waktu untuk kepentingan diri sendiri.

Pantchialang masih dicatat Gubernur Jenderal Christoffel van Swool 26 November 1714 sebagai orang yang sangat berpengaruh, sehingga dapat mengobarkan pemberontakan. 

Dominasi keluarga Pantchialang di Tabukan masih berlanjut ke anaknya Bulega yang memakai nama Philip Pantjalang. Philip Pantjalang menjabat Jogugu Tabukan di Sarab serta mengawini Ensonangin cucu dari Raja Marcus Lalero dengan Lorolabo yang memakai nama Kristen Sara Sarabanong.

Bahkan, putra Jogugu Philip bernama David Johannes Philip yang menggunakan fam kehormatan Maccaampo dari pihak istri, sebagai David Johannes Philip Maccaampo, diangkat menjadi Raja Tabukan di Kastil Orange Ternate 18 Mei 1758 menggantikan Raja Philip Maccaampo. Ia mengawini putri dari Zacharias Maccaampo, kakak Raja Philip Maccaampo yang dibuang di Batavia tahun 1721.***

 

 

1.Batas-batas kerajaan Kendahe berdasar kontrak yang diteken Raja Daniel Petrus Janis dengan Residen Manado Jhr.Johannis Cornelis Wilhelmus Diedericus Adrianus van der Wijk tanggal 24 November 1885. 

2.Ayah mertuanya Raja Tabukan diberi nama seperti ayahnya Franciscus (Francisco), dan putra tertua nama Mattheus, putra kedua yang menjadi suaminya Marcus, sementara putra bungsu Martinus. Istri raja diberi nama Maria, dan dua putri masing-masing: Catharine dan Anna. Dalam perkara Lorolabo dan Lalero, disebut Bangkal sebagai adik bungsu Lalero, sehingga merujuk ke nama Martinus, bukan Mattheus.