Senin, 11 November 2013
Kamis, 24 Oktober 2013
Senin, 14 Oktober 2013
Sabtu, 05 Oktober 2013
Selasa, 24 September 2013
Rabu, 18 September 2013
Sabtu, 14 September 2013
Senin, 09 September 2013
Rabu, 28 Agustus 2013
Senin, 19 Agustus 2013
Sabtu, 10 Agustus 2013
Jumat, 02 Agustus 2013
Naiknya Lukas Wenas di Tomohon
Oleh: Adrianus Kojongian
Guru
Zendeling Nicolaas Graafland pernah menulis, pemerintahan di Minahasa sering beralih
dari ayah ke putra, bila putra tersebut telah memegang posisi sebagai Kepala
Distrik Kedua (Hukum Kedua, Kumarua). Bila tidak demikian, yang akan jadi kepala
distrik (sebelumnya kepala balak) adalah para anggota keluarga terdekat dari keluarga
yang sedang memerintah. Jika terdapat dua atau tiga keluarga yang pernah
memegang jabatan, maka, posisi yang lowong akan menimbulkan kesulitan karena
adanya perebutan pangkat.
Pendapatnya
itu, dikisahkan, karena peristiwa yang terjadi di Distrik Tomohon tahun 1862,
rebutan posisi kepala distrik, jabatan sangat bergengsi masa kolonial Belanda
tersebut.
Saat
itu, Kepala Distrik Mayoor Roland Ngantung Palar diganti. Untuk calon
penggantinya, Residen Manado menominasikan Lukas Wenas (1800-25 Januari 1881), yang
berpengalaman dan tengah menjabat sebagai Hukum Kedua dibawah Roland Ngantung
Palar. Namun, Lukas Wenas dari Talete mendapat tentangan hebat dalam kelompok
keluarganya sendiri, yakni keluarga keturunan Mayoor Manopo.
Mayoor
Manopo dimaksud adalah mantan Kepala Balak Tomohon periode 1809-1824. Ia anak
bekas Kepala Balak Mayoor Posumah (lihat Silsilah Supit Sahiri Macex). Dari perkawinannya
dengan Maria Posumah, Manopo memperoleh empat orang anak, tiga wanita dan
seorang lelaki. Para putrinya adalah: Wuaimbene, Ringkitan dan Kewailan, sedang
putra satu-satunya adalah Posumah.
Wuaimbene
dikawini Palar, Hukum Matani dan menurunkan Mangangantung yang kelak dibaptis
Kristen bernama Ngantung Palar (meninggal 1853), memerintah Tomohon sebagai
Kepala Balak lalu Distrik Tomohon 1835-1853. Anak lain Wuaimbene dan Palar
adalah Tololiu Palar, dan Sambuaga Palar.
Ringkitan
dikawini Lombogia Wenas berasal Tonsea, menurunkan Lukas Wenas (lihat Silsilah Wenas). Lombogia Wenas adalah kerabat dekat para penguasa Tonsea dan disebut ia
menjabat sebagai Rangkang Wanua Kaasar/Karegesan¹.
Kewailan
dikawini oleh Wahani, Hukum Pasalaten, menurunkan anak Nicolaas Wahani. Sedang
putra satu-satunya dari Manopo yang bernama Posumah mengawini Kamangki,
menjabat sebagai Hukum Talete.
Dengan
demikian, keluarga keturunan Mayoor Manopo terbagi dalam empat klan yang
kemudian berkembang membawa fam besar masing-masing, yakni klan Palar dipimpin Tololiu
Palar Hukum Tua Matani. Klan Wenas diwakili Lukas Wenas dari Talete. Klan
Wahani diwakili Nicolaas Wahani dari Paslaten, serta klan Posumah diwakili
Posumah dari Talete.
Namun,
disamping keluarga Manopo dari keturunan eks Hoofd Hoecums Majoor Pacat Supit
Sahiri ini, ada lagi dua kelompok keluarga yang pernah memegang kekuasaan di
bekas Balak lalu Distrik Tomohon. Pertama, keluarga Lontoh Tuunan (bekas Kepala
Balak Tomohon 1803-1809) yang dipimpin anaknya Hukum Kamasi Pangemanan Lontoh.
Kedua, keluarga keturunan Paat Kolano (bekas Hoofd Hoecums Majoor) yang menuakan
pula Pangemanan. Memang, dalam diri Pangemanan Lontoh mengalir kedua darah
mantan Hoofd Hoecums Majoor Lontoh Tuunan Mandagi dari Sarongsong serta Paat
Kolano dari Tomohon (lihat Silsilah Paat Kolano dan Lontoh Tuunan).
Tidak
heran, bila Pangemanan Lontoh adalah jago dari kedua keluarga mantan penguasa
Tomohon dan Sarongsong itu. Namun, Pangemanan Lontoh tidak pernah memangku
posisi Hukum Kedua. Juga, yang menjadi ganjalan utama, ia sudah tua dan yang
paling penting, Pangemanan Lontoh memang tidak berambisi dengan posisi Kepala
Distrik.
Di
mata Belanda sendiri, perlawanan yang pernah dikobarkan ayahnya Lontoh Tuunan
II di perang Minahasa di Tondano 1808-1809 menjadi catatan miring bagi dirinya
untuk memangku posisi lebih tinggi dari Hukum di Kamasi.
Siapa
pun yang akan menjadi Kepala Distrik Tomohon baru memerlukan dukungan
Pangemanan Lontoh yang berpengaruh besar. Selama ini ia menjadi ganjalan karena
oposisinya terhadap pemerintahan keturunan Pacat Supit Sahiri Macex di Tomohon lewat
Mayoor Manopo, serta Mayoor Ngantung Palar dan Mayoor Roland Ngantung Palar. Sikap
bermusuhan Pangemanan Lontoh merupakan ‘dendam’ lama warisan moyang mereka,
Hoofd Hoecum Mayoor Paat Kolano dari Tomohon dan Lontoh Tuunan Mandagi dari
Sarongsong terhadap Hoofd Hoecum Majoor Pacat Supit Sahiri dari Tombariri
(lihat Kisah Supit,Lontoh dan Paat).
Maka,
calon kuat memangku jabatan Kepala Distrik Tomohon hanya Lukas Wenas yang dianggap
berpengalaman dalam pemerintahan. Tambahan plusnya, Lukas Wenas sementara
menjabat Hukum Kedua (Tweede Districtshoofd) Tomohon, dan naik dari posisi Hoofd Negeri Talete. Lukas Wenas
pun memperoleh dukungan dari Pangemanan Lontoh, karena merupakan menantunya,
dengan mengawini putri Pangemanan, Elisabeth Pangemanan Lontoh.
Ada
cerita lain dibalik pernikahan itu. Istri pertama Lukas Wenas adalah Jacoba
Jacomina Pangemanan berasal Kolongan. Ketika meninggal, Ringkitan, ibu Lukas
Wenas yang melihat bintang anaknya bersinar, sengaja mengatur perjodohan Lukas
Wenas dengan anak Pangemanan Lontoh bernama Ringkitan juga, yang kemudian
bernama Elisabeth Pangemanan Lontoh (meninggal tanggal 27 Juli 1890)². Menurut
ibunya, siapa pun yang memperistri putri dari Pangemanan Lontoh akan memperoleh
dukungan Pangemanan Lontoh, dan tentu saja dukungan dari keluarga keturunan
Paat Kolano dan Lontoh Tuunan lainnya. Selain itu, alasan ‘politis’ lainnya,
adalah mengakhiri permusuhan panjang diantara ketiga mantan penguasa yang telah
berlangsung lebih 2 abad.
Ketika
kejadian itu, Lukas Wenas sementara menjabat Hukum Tua (Hoofd) negeri Talete. Ramalan
ibunya Ringkitan berbukti. Tak lama kemudian, di tahun 1853 Lukas Wenas naik
sebagai Hukum Kedua Tomohon, di bawah pemerintahan kemenakannya Roland Ngantung
Palar.
DISEMBUNYIKAN
Seperti
ditebak, demikianlah yang terjadi di tahun 1862 itu. Pangemanan Lontoh otomatis
memberi dukungan bagi anak mantunya itu untuk menduduki posisi Kepala Distrik
Tomohon.
Namun,
justru Lukas Wenas sangat ditentang oleh klan Manopo lainnya yang dimotori Nicolaas
Wahani Hukum Tua Paslaten.yang mendapat dukungan Posumah. Alasan mereka, Lukas
Wenas bukan asli Tomohon, karena ayahnya orang Tonsea.
Tapi,
pergerakan menentang Lukas Wenas dari klan lain keluarganya tidak diperdulikan
Kontrolir dan Residen Manado. Melihat oposisi mereka gagal, Posumah menempuh
jalan akhir. Ia menyimpan uang kas Distrik yang jadi tanggungjawab Lukas
Wenas. Untunglah sepupunya, Hukum Tua Matani Tololiu Palar (meninggal tahun 1870),
tampil menolong Lukas Wenas. Tololiu Palar berhasil menemukan kembali uang
hilang itu beserta pelaku-pelakunya. Maka, Lukas Wenas keluar sebagai pemenang.
Ia resmi diangkat menjadi Hukum Besar Kepala Distrik Tomohon.
Kubur Lukas Wenas, di sebelah kubur Elisabet Pangemanan Lontoh. |
Buntut
intrik itu, tak berkepanjangan. Lukas
Wenas membalas lawan-lawannya dengan kebaikan, bukannya hukuman. Hukum Posumah
di’asing’kan keluar Tomohon, namun menjadi Hukum Kedua Walantakan, yakni wilayah
Tomohon di dekat Tonsea, kini masuk Tonsea Lama Kecamatan Airmadidi (lalu
Kecamatan Tondano Timur sejak tahun 2003). Walantakan ini kelak menjadi
Onderdistrik (Distrik Kedua) Rurukan, berkedudukan di Rurukan (kini Kecamatan
Tomohon Timur). Sementara Nicolaas Wahani diangkat ke dalam jabatan Hukum Kedua
Tomohon (meski ada versi lain katakan ia dipecat).
Lukas
Wenas menjadi cikal bakal dari keturunan Wenas yang terkenal. Dari istri
pertama Jacoba Pangemanan, memberinya anak Elisabet dikawini Cornelis Wohon, Penolong Injil Tomohon pertama. Lalu
Johanis yang kelak jadi Hukum Tua Talete, baru Bernadus dan Maria Wenas.
Dari
istri kedua Elisabet Pangemanan Lontoh, lahir Petrus Wenas (1839-1891) yang
mengawini Sarah Waworuntu, putri Kepala Distrik Sarongsong Mayoor Zacharias
Waworuntu. Lalu Herman A.Wenas (28 Februari 1843-8 Mei 1921), pertama kawin
dengan Neeltje Waworuntu, adik istri kakaknya, lalu kawin kedua dengan
Josephina Carolina Engelina Weijdemuller, seorang cucu Mayoor Zacharias
Waworuntu pula. Anak lainnya Bernadus, Alexander dan Albert Wenas.
Lukas
Wenas mulai membangun kekuasaan keluarganya. Rata-rata anaknya disekolahkan di
Sekolah Raja (Hoofdenschool) Tondano.
Herman Wenas yang pintar diangkatnya menjadi Hukum Kedua Tomohon tahun 1867
(versi lain tahun 1870), dengan mengganti Nicolaas Wahani. Lalu Petrus Wenas
dari jabatan Hukum Tua Kamasi diangkat jadi Hukum Kedua Rurukan memerintah
wilayah-wilayah Tomohon di bagian timur. Johanis kakak tiri mereka sebagai
Hukum Tua Talete dan menyusul kelak Alexander Wenas sebagai Hukum Tua Talete
lalu Hukum Kedua Sarongsong.
Anak
Lukas lainnya, Bernadus Wenas didudukkan sebagai jurutulis (klerk) di kantor Distrik Tomohon, Willem
Wenas jadi Hukum Tua Kembes. Albert Wenas kelak sebagai Hukum Kedua di Kakas
dan Remboken. Putri-putrinya dikawinkan dengan tokoh-tokoh berpengaruh Minahasa
lainnya. Seperti Sophia Wenas dengan Kepala Distrik Langowan Mayoor Nicolaas
Mogot, dan Suzana Wenas dengan putra Kepala Tondano-Toulimambot Pangalila.
Lukas
Wenas tidak memperoleh gelar kehormatan Mayoor, seperti lazimnya kepala distrik
lain di Minahasa. Di tahun 1878 ia diberhentikan sebagai Kepala Distrik
Tomohon, karena protesnya terhadap Domein Verklaring. Petrus Wenas, putra
tertuanya yang ikut mendukung protes domein ikut terkena getah. Maka, pilihan
sebagai pengganti kepala distrik Tomohon, adalah Herman Wenas, anak kedua Lukas
Wenas. Jadilah Herman Wenas memerintah Tomohon, cukup lama, hingga tahun 1913. ***
-------
1. Versi
berkembang kemudian, Lombogia adalah kakek Lukas Wenas, dan menjabat sebagai Pagar im Wanua Kembes, negeri yang masa
lalu masuk Distrik Tomohon. Versi ini ayah Lukas Wenas bernama Pangkerego
Wenas.
2. Lukas
Wenas sebelum masuk Kristen bernama Werwer. Ada versi JacobaPangemanan ketika
Lukas Wenas menikahi Ringkitan, masih hidup, dan menerima pernikahan kedua
Lukas itu. Pernikahan kedua Lukas Wenas diduga berlangsung akhir tahun 1830-an,
sedangkan pembaptisan keluarga Werwer baru berlangsung di akhir tahun 1840-an,
atau awal 1850-an. Werwer memakai nama Lukas Wenas, Ringkitan bernama baptis
Elisabeth Pangemanan (Pn) Lontoh, sesuai tulisan di kuburnya. Lalu anak-anak
Lukas Wenas dari Ringkitan, memakai nama Petrus Wenas (lahir 1839), dan Herman
Wenas (1843).
Narasumber kisah: Lodewijk
Elisa Wenas, Paulus Supit, Arie Mandagi dan Joutje Kambey.
PUSTAKA:
Buku ‘Tomohon
Kotaku’, 2005.
Buku ‘Minahasa Masa
lalu dan Masa Kini’ N.Graafland, terjemahan Yoost Kulit, 1987.
Kamis, 25 Juli 2013
SILSILAH TOMBULU (4)
Kamis, 18 Juli 2013
Minggu, 14 Juli 2013
Jumat, 12 Juli 2013
SILSILAH TOMBULU (1) Muasal Supit, Lontoh dan Paat
Oleh: Adrianus Kojongian
Waruga Pacat Supit di Woloan tahun 1929. *) |
Silsilah keluarga di Tomohon, terutama keluarga para penguasa dan keturunannya sangat berkait erat dengan keberadaan Pacat Supit Sahiri Macex dari Tombariri, Lontoh Tuunan Mandagi dari Sarongsong dan Paat Kolano dari Tomohon.
Ketiga
mantan Hoofd Hoecums Majoor ini berkait erat pula dengan para leluhurnya ke
atas yang bermuara pada para kepala Kakaskasen di Meyesu (Maiesu), dan dari
tutur hikayat yang sejak lama disusun para peneliti Barat, bersumber cerita
rakyat Tombulu, semuanya berhulu pada leluhur Toar dan Lumimuut.
Intinya
silsilah keluarga tua Tomohon sekarang ini identik pula dengan silsilah
Tombulu, karena perkawinan-perkawinan yang dilakukan para penguasa dan
keturunannya di masa silam. Malah, garis keturunan Supit, Lontoh dan Paat, dapat
dirunut jauh dalam silsilah para penguasa Minahasa lain, baik dari Tondano,
Tonsea bahkan Tontemboan. Dari keturunan Supit, Lontoh dan Paat, 'lahir' pula
keluarga berfam Wenas, Palar, Waworuntu dan lain sebagainya yang kini
beranak-cucu demikian besar.
Silsilah-silsilah
ini, telah disusun sejak awal tahun
1980-an, dan dibukukan pertama kali dalam ‘Riwayatmu Tomohon’ tahun 1986, lalu
buku ‘Tomohon Kotaku’ tahun 2005.
Sumber utama manuskrip dan wawancara adalah: Lodewijk Elisa Wenas, Arie Michael Mandagi, Joutje Soleman Kambey, Soleman Moningka, Manopo Palar, Paulus Quirenus Rodolf Supit, Yan Pijoh, Manuel Lontoh dan Daniel Andries Lontoh serta banyak lagi lainnya.
Manuskrip dari keluarga Lontoh justru sangat kaya dengan silsilah keluarga lain, namun dalam seri tulisan ini saya sekedar menurunkan yang berkaitan dengan sejarah Tomohon dan umumnya Tombulu.
Sumber utama manuskrip dan wawancara adalah: Lodewijk Elisa Wenas, Arie Michael Mandagi, Joutje Soleman Kambey, Soleman Moningka, Manopo Palar, Paulus Quirenus Rodolf Supit, Yan Pijoh, Manuel Lontoh dan Daniel Andries Lontoh serta banyak lagi lainnya.
Manuskrip dari keluarga Lontoh justru sangat kaya dengan silsilah keluarga lain, namun dalam seri tulisan ini saya sekedar menurunkan yang berkaitan dengan sejarah Tomohon dan umumnya Tombulu.
Saya
tidak merinci silsilah ke atas lagi, karena Pandita Nicolaas Philip Wilken dan
Nicolas Graafland telah menyusunnya
lengkap. Demikian pun untuk silsilah Wenas ke bawah dari Lukas Wenas, serta
Waworuntu dari Herman Carl Waworuntu ke bawah, tidak lagi diturunkan, karena
sudah banyak ditulis.
Semua
tulisan saya (baik silsilah dan lain-lainnya),
boleh dikopi dan dikutip siapa pun, dengan meminta izin dulu (di kotak komentar), serta menyebutkan sumber (link aktif sumber dicantumkan).
Untuk
silsilah di bawah ini, dapat melihat ketokohannya dalam tulisan sebelumnya
‘Tentang Kepala Minahasa’ (A-Z), ‘ Kepala-kepala Minahasa’ serta ‘Kisah Supit,Lontoh dan Paat’.
Kamis, 04 Juli 2013
Tubagus Buang dan Kampung Jawa Tomohon
Oleh: Adrianus Kojongian
Pemberontakan Cilegon 1888. *) |
Di Tondano ada Kampung Jawa yang didirikan Kyai Modjo, dan di Tomohon pun ada Kampung Jawa yang didirikan para pejuang kemerdekaan berasal Banten. Wilayah Kampung Jawa Tomohon dulunya masuk pinggiran bekas kota Distrik Sarongsong, sekarang merupakan kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan. Penduduknya seratus persen Islam, dan lain dari itu tak ada yang mencolok membedakan dengan pemukiman sekitarnya yang berpenduduk Kristen. Lihat saja rumah-rumahnya, layaknya rumah orang Minahasa lainnya, bahkan bahasa pun, banyak penduduknya fasih berbicara Tombulu.
Kalau
ditanya siapa pendiri Kampung Jawa ini, penduduknya spontan akan menjawab
Tubagus Buang. Namun, siapa Tubagus Buang ini sangat misterius. Para tokoh
Kampung Jawa Tomohon di tahun 1980-an dan 1990-an meyakini Tubagus Buang
dimaksud adalah Ratu Bagus Buang, seorang pemimpin pemberontakan di Banten
tahun 1750-1752 yang berjuang bersama Kiai Tapa untuk mengenyahkan Kompeni
Belanda di Kesultanan Banten.
Pemberontakan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, menurut
penulis-penulis Banten, dipicu ulah Ratu Syarifah istri Sultan Muhammad Syifa
Zainul Arifin (1733-1750). Ia membuang putra mahkota, menyebar fitnah suaminya
gila sehingga ditangkap, lalu dengan persetujuan VOC, mengangkat menantunya sebagai sultan baru.
Kampung Jawa Tomohon. *) |
Maka, timbul pemberontakan dipimpin Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin, dan Kiai Tapa masih saudara seayah Sultan Muhammad Zainul Arifin. Tubagus Buang dikabarkan masih melakukan perlawanan di Banten hingga tahun 1757, dan dari versi Banten ia meninggal dan disebut dimakamkan di Pagutan Jasinga.
VERSI
Ada
pendapat lain yang menyebut Tubagus Buang dimaksud adalah Tubagus lebih
muda yang dibuang Belanda di periode 1850-an. Bangsawan Banten ini bernama asli
Tubagus Mansur, tapi karena dibuang lebih dikenal dengan julukan Tubagus Buang.
Menurut sejarawan Kampung Jawa Tondano Abdul Razak Tumenggung, Tubagus Mansur
ini adalah cucu dari Tubagus Buang. Ia dibuang ke Kampung Jawa Tomohon
bersama-sama Patih Tubagus Diningrat, Jaksa Tubagus Jayakarta, Demang Tubagus
Suramarja, Kadi Abu Salam dan Mas Djibeng. Mereka terlibat dalam pemberontakan yang
dikenal dengan nama Gudang Batu.
Pemandangan lain Kampung Jawa. *) |
Dari sejarah Banten, disebut tanggal 24 Februari 1850 terjadi kerusuhan dan pembunuhan Demang Cilegon yang tengah menginspeksi Rohjambu. Kerusuhan dipimpin Raden Bagus (Tubagus) Jayakarta, Tubagus Suramarja, Tubagus Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Satus, Nasid, Asidin, Haji Wakhia dan Penghulu Dempol. Nama Tubagus Mansur tidak disebut, begitu pun Kadi Abu Salam dan Mas Djebeng.
Peran
Mas Djebeng atau Mas Jabeng ada disebut dalam pemberontakan di Banten tahun 1839
yang dipimpin oleh Ratu Bagus Ali, Pangeran Kadli dan dirinya. Mas Jabeng
disebut sebagai putra Mas Jakaria, pemimpin pemberontakan di Pandeglang tahun
1811 dan 1827.
Seperti siapa adanya mereka, tahun
kedatangan para tokoh Banten yang dibuang Belanda dan kelak bermukim di Tomohon
ini pun berbeda-beda versi. Ada menyebut tahun 1790, lalu 1816 dan juga 1875. Yang pasti adalah di tahun 1850-an penduduk Islam di Kampung
Jawa Tomohon, dicatatkan sebanyak 85 jiwa.
Masjid 'Nurul Iman'. *) |
Kampung Jawa sendiri baru memperoleh status negeri, dipimpin seorang Hukum Tua di tahun 1928.
KISAH DARI TOMOHON
Empat
tokoh Kampung Jawa Tomohon yang diwawancarai tahun 1980-an dan 1990-an, Haji
Hassan Tubagus (kelahiran 1914), saat itu Imam Masjid ‘Nurul Iman’ Kampung Jawa,
dan tiga mantan Hukum Tua: Abdulrahman Tubagus (kelahiran 1916), Rebo Tubagus
(kelahiran 1934), dan Djaber Tubagus, seyakin-yakinnya Tubagus
Buang, leluhur mereka, adalah seorang pemimpin besar pemberontakan Banten. ‘Ini
adalah cerita dari ayah saya Bustari Tubagus, bekas imam, yang diturunkan dari
ayahnya Tubagus Abdullah dan diturunkan langsung oleh ayahnya lagi Tubagus
Buang sendiri,’’ kisah Haji Hassan Tubagus (lihat silsilah).
Keminahasaan yang kental. *) |
Tubagus Buang adalah bangsawan tinggi Kesultanan Banten, menjabat Hulubalang. Malah, menurut Haji Hassan, Tubagus Buang masih sebagai cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit Fatahillah (Sunan Gunung Jati), pendiri Banten. Meski dari sejarah Banten, Fatahillah mendirikan Kesultanan Banten tahun 1527, sedangkan anaknya Sultan Hasanuddin memerintah Banten 1552-1570, sehingga terdapat jeda panjang.
Tubagus Buang sangat menentang Kompeni Belanda karena intervensinya terhadap Kesultanan Banten, terjadinya kemelaratan, pemerasan, pelecehan agama, pajak yang banyak dan sistem rodi yang membuat rakyat Banten menderita sekali.
Tubagus
Buang dengan pengikut-pengikutnya yang tidak membawa istri mereka mengawini
gadis-gadis Minahasa, terutama wanita-wanita dari Sarongsong, Sonder, Pineleng
dan Tondano. Tubagus Buang sendiri mengawini wanita berfam Supit dari
Lahendong, sehingga dikisahkan memperoleh hadiah perkawinan wilayah yang
meliputi Kampung Jawa kini. Dari istrinya itu, Tubagus Buang memperoleh 3 orang
anak lelaki, masing-masing: Tubagus Agus, Tubagus Baii dan Tubagus
Abdullah.
Kuburan Tubagus Buang hingga kini berada di tempat bernama Kayu Payung. Meski demikian, ada keturunannya yang mempercayai Tubagus Buang telah gaib ketika sedang bersembahyang. Sementara yang lain lagi menutur ia telah balik dan meninggal di Serang Banten.
Kuburan Tubagus Buang hingga kini berada di tempat bernama Kayu Payung. Meski demikian, ada keturunannya yang mempercayai Tubagus Buang telah gaib ketika sedang bersembahyang. Sementara yang lain lagi menutur ia telah balik dan meninggal di Serang Banten.
Selain
Tubagus Buang, para tokoh lain yang dibuang bersamanya dan bermukim di Kampung
Jawa Tomohon adalah Penghulu Abusalam, Mas Djebeng, Mukali, Abdur Rasjid, Abdul
Wahid Abdul Haji, Abdur Rais dan lain-lain. Dari antara interniran Banten yang
mempunyai banyak keturunan hingga sekarang di Kampung Jawa, terutama adalah
Tubagus Buang sendiri, Penghulu Abusalam, imam pertama, bekas penghulu perang
di Banten (makamnya kini berada di Kampung Kodo Manado), serta Mas Djebeng.
Pengikut lainnya ketika Belanda melonggarkan pengawasannya, menyebar di
beberapa tempat di dalam dan luar Minahasa. Abdur Rasjid alias Islam adalah
anak Penghulu Abusalam. Sedangkan Abdul Wahid dan Abdur Rais tidak mempunyai
keturunan di Kampung Jawa.
Para pemimpin Geger Cilegon yang ditahan. *) |
Berikutnya, datang pula Kasim Maskun pada tahun 1888. Maskun semula adalah Lurah di Cilegon Banten. Ia terlibat dalam pemberontakan yang dikenal dengan nama Geger Cilegon yang tercetus tanggal 9 Juli 1888. Maskun digambarkan oleh keturunannya sebaga tokoh tinggi besar dan perkasa yang meninggal tahun 1926 dalam usia 117 tahun. Konon, Maskun berambut panjang menggerai hingga kaki, dan sampai berumur 110 tahun sangat kuat, masih memanjat kelapa dan dapat memikul ratusan biji kelapa.
Selain
para pejuang yang dibuang Belanda, gelombang pendatang kedua yang menghuni
Kampung Jawa Tomohon adalah pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan. Tokoh bernama
Lasambang dan Lakoro awalnya hanya menyinggahi pelabuhan Kema dan melihat-lihat
sambil berdagang. Tapi, kemudian merasa kerasan. Perahu layarnya ditinggalkan.
Dua pucuk meriam yang mereka bawa kemudian hilang tidak berbekas.
Para
interniran berasal Banten dan pedagang Bugis ini mendapat jodoh gadis-gadis
Minahasa dalam ajang baku blantek (barter). Biasanya para tibo-tibo (inang)
Minahasa terdiri kaum wanita. Sedangkan warga Kampung Jawa berkebiasaan membuat
gula aren yang dalam proses selanjutnya dibeli tibo-tibo dan dijual di pasar
Tomohon dan Manado. Dari pertemuan dan barteran itu terjadi
perkawinan-perkawinan campuran.
Rombongan
pengikut Tubagus Buang dan anak-istri mereka kelak ditambahi oleh
pemukim-pemukim dari Kampung Jawa Tondano. Ketiga keturunan pengikut tersebut
berbaur dan berketurunan. Perkawinan masyarakat Kampung Jawa Tomohon pun terjadi dengan
warga Islam di Manado, Pineleng, Belang, Bolaang-Mongondow dan Gorontalo.
Adat-istiadat Jawa dan agama Islam tetap mereka pelihara.
Hubungan kekerabatan
dominan penduduk Kampung Jawa dengan tanah asalnya Serang lama-kelamaan
terjalin kembali dan masih terpelihara dengan baik hingga kini. Dari penuturan
Rebo Tubagus, mantan Hukum Tua 1961-1964, di kota Serang ada sebuah tempat khusus. Lokasi di Kampung Kelapa Dua itu,
adalah tempat untuk menguji benarkah pejiarah dan pendatang dari Kampung
Jawa Tomohon asli keturunan Tubagus Buang.
PINDAH BERKALI
Awalnya
para interniran dibawah Tubagus Buang ditempatkan di lokasi Lembuyan Kakaskasen
Tomohon, bahkan ada menambahkan sebelumnya lagi pernah di Lota Pineleng, ketika
itu ibukota Balak Kakaskasen. Lalu dari Kakaskasen, mereka pindah di Papakanan
yang disebut pula Sumboyong (sekitar 1 kilometer dari Kampung Jawa). Tempatnya
dinamakan Papakanan karena konon dihuni jin-jin, sehingga penduduk harus
melakukan acara Semedi Adat dengan memberi sesajian untuk jin-jin itu.
Dari
Papakanan dipimpin Tubagus Buang mereka kemudian pindah bermukim di Lepo, kini wilayah
kebun sawah antara Walian-Lansot, dekat tempat bernama Mandei. Lalu dari Lepo,
tidak lama pula mereka pindah dan membangun kampung di sebelah selatan
(bagian barat Tumatangtang), pada suatu daerah hutan lebat yang di masa itu
terkenal sangat angker. Lokasi itu kini dinamai Lewet atau lebih dikenal
dengan nama Kayu Payung atau Kaiwangko (kayu besar), sekitar 2
kilometer selatan Kampung Jawa.
Disebut Kayu Payung, sebab sekitar pemukimannya
dinaungi seakan dipayungi oleh pohon besar itu, yang dipercayai mereka
dihuni jin-jin dan keramat. Di sini Tubagus Buang dan Mas Djebeng meninggal
dan dikuburkan.
Berhubung
pemukiman Kayu Payung dirasa terlalu jauh dari ibukota Distrik Tomohon,
juga jauh dari ruas jalan raya, serta jin-jin yang dipercaya ada di situ,
penduduk Kampung Jawa memindahkan negerinya pada tahun 1875 ke tempat sekarang.
Versi lain, pemindahan terakhir ini terjadi karena berjangkitnya
penyakit Luti Air (waterpoken, cacar air) yang menelan banyak
korban jiwa.
‘’Belanda
memang sengaja memperlakukan para interniran dan keturunannya sebagai
pekerja-pekerja paksa. Mereka menyiasati warga Kampung Jawa menyuruh membabat
hutan angker dan membuka pemukiman, lalu menyuruh pindah kembali,’’ kisah
Haji Hassan Tubagus, yang menjabat imam Kampung Jawa lebih 50 tahun.
Pembuatan kerupuk Kampung Jawa. *) |
Selain versi ini, eksodus warga Kampung Jawa, dari tuturan tua-tua yang lain berawal dari Kayu Payung, lalu ke Lembuyan di Kakaskasen, dan ke perkebunan Mandei. Dari sini penduduk berpencar, bergabung dengan warga Islam lain di beberapa Kampung Jawa.
Diceritakan ketiga anak Tubagus Buang, yakni
Tubagus Agus, Tubagus Baii dan Tubagus Abdullah yang memimpin pemindahan itu
beserta keluarganya. Mereka pergi ke Tanawangko (Tubagus Agus), Tumpaan
(Tubagus Baii) dan malah sampai ke Marisa di Gorontalo.
Baru
di tahun 1890, penduduk kembali berkumpul, dan mulai menghuni Kampung Jawa
sekarang. Dari keturunan Tubagus Buang, yang kembali ke Kampung Jawa adalah
Tubagus Abdullah dari Tanawangko. Keturunan Tubagus Buang yang ada di Kampung
Jawa berasal darinya.
SEMPAT KOSONG
Semula
Kampung Jawa administratip pemerintahan masih dipegang oleh Hukum Tua
Tumatangtang dan Lansot Sarongsong. Kampung Jawa dibagi atas 2 Jaga Kepolisian. Lalu di
tahun 1928 dengan persetujuan Kepala Onderdistrik Tomohon dan Kepala Distrik
Manado yang membawahinya, Kampung Jawa diresmikan menjadi sebuah negeri otonom.
Djasmani Tabiman yang fam aslinya Rifai dari garis keturunan pengikut Kyai
Modjo diangkat menjadi Hukum Tua Kampung Jawa pertama. Masanya, tahun 1921
tokoh Serikat Islam (SI), Haji Omar Said Tjokroaminoto mengunjungi Kampung
Jawa.
Kantor Lurah Kampung Jawa. *) |
Tahun 1942 Kampung Jawa mengalami kevakuman pemerintahan, tidak mempunyai hukum tua. Ini setelah Jepang mengeksekusi Hukum Tua Djakaria Kyai Demak dan Kepala Jaga Aminullah Masloman. Seperti sebelumnya, Kampung Jawa masuk Sarongsong, berbentuk 2 jaga, dengan kepala jaga wilayah Lansot Pet Prambahan dan kepala jaga wilayah Tumatangtang Montong Kyai Demak. Baru di tahun 1946 Kampung Jawa kembali berstatus negeri ulang, dipimpin Hukum Tua Montong Kyai Demak.
Masa
pergolakan daerah Permesta, Kampung Jawa sempat dibumihanguskan dan masjid
dijadikan dapur umum serta tahun 1959 terbakar. Penduduk lari mengungsi di
kebun-kebun, ke Tomohon dan Manado. Baru ketika Tomohon dibebaskan APRI (TNI),
sekitar 700-800 warganya diungsikan ke Manado dibawah Letnan Minu dari
Brawijaya. Setelah keadaan aman, penduduk kembali ke Kampung Jawa, dengan
pejabat Hukum Tua, ditunjuk Rebo Tubagus sejak bulan April 1961. ***
*). Foto koleks KITLV Digital Media Library dan foto-foto Kampung Jawa:
Didi Sigar dan Jootje Umboh tahun 2005 dan 2006.
SUMBER:
Tomohon Kotaku
Tomohon Dulu dan Kini
Berbagai tulisan tentang Banten
Langganan:
Postingan (Atom)