Oleh: Adrianus Kojongian
Twapro,
kepanjangan dari Twaalfde Provincie, adalah organisasi politik yang pernah
populer di Minahasa selang tahun 1946-1950. Dari namanya, gampang ditebak,
tujuan pengurus besarnya adalah ingin menjadikan Daerah Minahasa sebagai
provinsi keduabelas (twaalfde provincie)
dari Belanda. Memang, Negeri Belanda saat itu hanya terdiri atas 11 provinsi,
dan banyak daerah, termasuk tanah jajahannya di Indonesia dan Karibia yang oleh
segelintir kalangan masyarakatnya dicita-citakan sebagai provinsi
keduabelasnya.
Minahasa
sebagai Twaalfde Provincie, sebenarnya, sudah bergaung lama di masa kolonial. Prof.Ir.E.C.Gode Molsbergen, Landsarchivaris di Weltevreden menyebutnya
di Nieuwe Rotterdamsche Courant 1929
ketika perayaan dua setengah abad Perjanjian Minahasa-Belanda. Aspirasi
menjadikan Minahasa sebagai provinsi keduabelas makin sering terdengar di tahun
1930-an, terutama dari kalangan militer Manado dalam KNIL, bahkan keras
berkembang dari eks marsose.
Adalah
Jan A.Maweikere (namanya sering ditulis Mawikere) dari Tomohon yang tampil sebagai
figur utama perpolitikan Minahasa selama setengah dekade memperjuangkan
keinginan tersebut. Jan Maweikere adalah pensiunan sersan yang terakhir
berdinas di kepolisian Hindia-Belanda dan menjabat detachementscommandant van de gewapende politie di Kalimantan.
Tomohon
sejak Belanda berkuasa ulang dijadikan ibukota Keresidenan Manado. Di Kaaten
Matani (sekarang Kelurahan Matani I Kecamatan Tomohon Tengah Kota Tomohon) tanggal
25 Maret 1946, Jan Maweikere mendirikan ‘partai’ Twapro yang bertujuan utama
menjadikan Minahasa sebagai kesatuan dan provinsi keduabelas dari kerajaan Belanda.
Awalnya
Twapro mendapat banyak simpatisan dan anggota dari kalangan pensiunan eks KNIL
Manado. Propaganda Twapro gencar dilakukan sampai ke pelosok Minahasa, karena
adanya penerbitan media tersendiri, berupa mingguan ‘Kesatuan Kerajaan’.
Propaganda pun dilakukan liwat berbagai pemberitaan aktivitasnya di media-media
Hindia-Belanda dan di Negeri Belanda liwat berita-berita telegram yang dirilis
dari Tomohon. Baru mulai akhir tahun 1946, Twapro membuka lebar-lebar pintunya
bagi keanggotaan untuk umum. Sejak saat itu Twapro berubah menjadi salahsatu
organisasi politik besar di Minahasa.
Selain
Jan Maweikere sebagai ketua, duduk sebagai pengurus besarnya pensiunan-pensiunan
yang pintar berorasi dan berpropaganda, umumnya sesama orang Tomohon. D.Poluan,
K.Mangundap dan J.A.Pitoy. Mangundap adalah pensiunan Hoofdcommies Departement van Oorlog penerima medali zilver Orde van
Oranje-Nassau. Posisi sekretaris Twapro, pertama kali dipegang D.Poluan,
kemudian digantikan oleh K.Mangundap 1947 dan D.H.Undap sejak 1949. Undap dari
kalangan muda, adalah putra guru tua Zending terkenal di Tomohon Lambertus
Undap.
Ketika
Minahasaraad (Dewan Minahasa) dibentuk kembali dengan beslit gubernemen tanggal
27 Mei 1946 nomor 1, Jan Maweikere adalah salah seorang dari ke-21 anggota yang
dilantik Conica Manado 31 Mei 1946.
Pernyataan
politik Twapro selalu menegas kesetiaan kepada Huis van Oranje. Dalam telegramnya kepada Ratu Belanda Juli 1947,
Twapro meminta bahasa Belanda tetap harus dipertahankan sebagai bahasa pengantar
di sekolah-sekolah Minahasa. Selain itu, Twapro berharap bendera Belanda tetap
berkibar megah. Untuk itu, Twapro meminta donasi sebanyak 20.000 bendera yang
akan dikibarkan pada perayaan ulang tahun Ratu Belanda.
POSISI KETIGA
PEMILU 1948
Di
percaturan politik, Twapro memboikot parlemen dan pemerintahan Negara Indonesia
Timur (NIT), karena menganggap parlemen dan pemerintahnya sekedar interim.
Ketika Minahasaraad memilih anggota parlemen NIT untuk pengganti kursi yang
ditinggalkan Herman J.Wenas, Twapro sengaja tidak memberikan suara. Jan
Maweikere tanggal 19 November 1947 menegaskan prinsip Twapro adalah menahan
diri dari partisipasi dalam pemilu mana pun untuk parlemen NIT. Herman Wenas
yang merupakan ambtenar senior dikenal sebagai simpatisan Twapro, dan kelak
menjadi penasehat utama Twapro.
Perubahan
drastis terjadi minggu kedua bulan Januari 1948. Tiba-tiba, Twapro memutuskan meninggalkan
sikap non-kooperatifnya. ‘’Dan memastikan setiap saat dan dalam segala hal,
dimana diperlukan akan memberikan bantuan kepada pemerintah, sesuai
undang-undang pemerintah interim,’’ demikian pernyataan resminya. Walau demikian,
keputusan Twapro tersebut adalah dengan penekanan akan sikapnya untuk terus
mengejar tujuannya, yakni membentuk Minahasa sebagai provinsi keduabelas Belanda.
Twapro
memperjelas posisi barunya tersebut adalah untuk memungkinkan ikut berpartisipasi
dalam pemilihan dewan lokal (Minahasaraad) dan perwakilan lainnya di Minahasa.
Pemilihan umum di Minahasa ini adalah yang pertamakali di Indonesia yang
diselenggarakan atas dasar perwakilan proporsional, diikuti pria dan wanita
berusia di atas 21 tahun.
Pemilihan
tersebut berlangsung tanggal 1 Maret 1948, diikuti 236 kandidat memperebutkan
25 kursi yang tersedia di Minahasaraad. Ada 171.721 surat suara yang
dikeluarkan dengan 500 kotak suara di seluruh Minahasa. (Berita lain mencatat
hampir 136.000 pemilih yang muncul, dari 173.000 pemilih).
Pemungutan
suara berjalan sangat tertib, dan hasilnya telah diketahui tanggal 6
Maret 1948. Hoofdenbond, organisasi politik para ambtenaar Minahasa memenangkan
pemilihan umum, dengan 28.578 suara, diikuti Barisan Nasional Indonesia (BNI)
28.038 suara, dan di tempat ketiga adalah Twapro dengan 22.382 suara, atau
sekitar 25 persen suara pemilih. Partai lain yang meraih suara adalah Pendirian
Masjarakat Katolik (Pemakat) 8.320 suara, KRIS 1.758 suara, PGI+PGKI 4.827 suara,
Barisan Rakyat 1.665 suara dan Pakasaan Tonsea 3.641 suara.
Hasilnya,
kaum federalis mengalahkan kelompok dari barisan pendukung Republik Indonesia.
Pembagian kursi di Minahasaraad setelah pemilihan umum adalah Hoofdenbond 7
kursi, Barisan Nasional Indonesia 7 kursi (termasuk kursi PSI), Twapro 5 kursi,
Gerakan Pemilih (berasal dari Gerakan Indonesia Merdeka=GIM) 2 kursi, Persatuan
Guru Kristen Indonesia (PGKI) 1 kursi dan Pakasaan Tonsea 1 kursi.
Secara
individu, Jan Maweikere Ketua Twapro memperoleh suara terbanyak dari semua 236
calon yang berlaga di pemilu. Twapro seperti sebelumnya membentuk sayap kanan
ekstrim di Minahasaraad.
Kendati
demikian, hasil pemilihan itu tetap digugat Twapro yang mensinyalir terjadinya
penyimpangan. Hal mana tentu saja disanggah Kepala Daerah Minahasa (KDM) Dirk August Theodorus
Gerungan. Begitu pun Pemerintah NIT membantahnya, lewat pernyataan resmi
Kementerian Penerangan 8 Mei 1948.
SINGA MINAHASA
Buntut
ribut-ribut, pemerintah NIT ‘menegur’ Twapro, sementara Pemerintah Daerah
Minahasa meminta Presiden NIT melarang Twapro dengan surat bertanggal 21 April.
Teguran pemerintah NIT yang dianggap Twapro sebagai penghinaan, ditambah
pelarangan tersebut, menyebabkan Twapro merubah nama organisasinya lewat
pengumuman resminya pada minggu kedua Mei 1948. Alasannya adalah untuk
mempertajam perjuangannya. Twapro berganti nama menjadi Singa Minahasa. Namun,
meski merubah namanya, sebutan Twapro tetap melekat, dengan embelan
Twapro-Singa Minahasa.
Koalisi
longgar dilakukan dengan Komite Ketatanegaraan Minahasa (KKM) pimpinan Dokter
V.L.Ratumbuysang. Twapro-Singa Minahasa seide dengan KKM agar Minahasa menjadi
daerah istimewa. Bila KKM mengingini sebuah negara bagian yang terpisah dari
NIT dan perwakilan sendiri di pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS),
Twapro mengingini negara bagian dibawah naungan Ratu Belanda. Twapro bahkan
dalam kongres tiga harinya (27-29 April 1949) resmi memutuskan tidak ingin
berhubungan dengan NIT, ‘tapi dalam arti untuk memasuki hubungan khusus dengan
kerajaan bentuk baru, dengan status sama seperti Suriname dan Antilen
Belanda.’’
Kongres
Twapro di Tomohon tanggal 15 Oktober 1948 mengeluarkan mosi mendesak pemerintah
Belanda agar mengadakan plebisit di Minahasa sesegera mungkin untuk penentuan
status Daerah Minahasa. Bahkan, pengurus besar Twapro pada 18 Juli 1949 menegas
keinginan mereka membentuk negara bagian tersendiri itu akan dikomunikasikan
kepada Ratu dan parlemen Belanda. Termasuk pula pada Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Presiden Amerika Serikat Harry S.Truman dan Presiden Filipina
Elpidio Quirino.
E.D.Dengah, Jan Maweikere (tengah) dan K.Mangundap. *) |
Tanggal
8 Desember 1948 Jan Maweikere memimpin delegasi Twapro-Singa Minahasa ke
Jakarta, dengan anggota K.Mangundap dan E.D.Dengah, mantan Menteri Pekerjaan
Umum NIT yang bertindak sebagai penasehat Twapro-Singa Minahasa. Delegasi mendesak
agar hubungan Belanda-Indonesia dibawah Mahkota Belanda dipertahankan. Delegasi
bertemu pejabat-pejabat Belanda serta kelompok-kelompok sehati dengannya,
seperti Persatuan Timoer Besar (PTB).
Twapro-Singa
Minahasa mengklaim di bulan Desember itu memiliki anggota terdaftar 60.400. Di
bulan Januari 1949 Twapro mengumumkan mempunyai anggota sebanyak 67.559 orang,
dan Juni 1949 dengan 72.000 anggota. Cabangnya tersebar di berbagai kota
Minahasa, bahkan di luar daerah seperti di Makassar.
Menghadapi
Konperensi Meja Bundar, Twapro-Singa Minahasa mengadakan kongres besar selama
tiga hari (4-6 Mei 1949) membicarakan isu-isu politik yang berkembang. Salah
satu keputusan kongres adalah meminta Hooge
Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota Belanda) di Indonesia
Dr.J.M.Beel agar mendesak L.N.'Babe' Palar, delegasi Republik Indonesia untuk PBB di
Lake Succes memperhatikan Minahasa tempat kelahirannya. Babe Palar yang asal Tomohon
diharapkan secara pribadi akan meyakinkan dunia kalau Minahasa sangat damai dan
ketertiban berlaku, dan secara khusus bahwa penduduknya menganut paham Huis van
Oranje.
Di hari-hari tersebut, sikap
anti-NIT dari Twapro ‘terguncang’ ketika Perdana Menteri NIT Anak Agung Gde Agung
menunjuk Jan Maweikere sebagai anggota parlemen NIT untuk mengisi kursi yang
ditinggalkan Hendriks.
Twapro
sampai harus menggelar kongres selama 3 hari (27-29 April 1949), dan memutuskan tidak
menerima penunjukan ketuanya. Pengurusnya beranggapan pengangkatan Jan Maweikere
sebagai anggota parlemen NIT tidak sesuai dengan tujuan Twapro-Singa Minahasa. Jan
Maweikere sendiri menjawab penunjukannya itu sebagai hanya bisa menerimanya
secara pribadi, dan bukan dalam kapasitas sebagai Ketua Twapro.
Buletin
Twapro bulan Juni 1949 mengumumkan Twapro akan berpartisipasi dalam Konperensi
Meja Bundar, dan bersama KKM dan partai lain seperti Pemakat membentuk delegasi
bersama ke Jakarta untuk mendapatkan informasi serta memperjuangkan kepentingan
Minahasa dalam KMB.
Delegasi KKM di Jakarta: G.C.Dimpudus, J.R.Tulaar, J.A.Maweikere, J.P.Mongula dan F.A.P.Pitoy. *) |
Ketua
delegasi adalah Jonathan Rondonuwu Tulaar asal Kamasi Tomohon, ketika itu menjabat Hoofd
van de Residentie Waterstaat Dienst, Sekretaris delegasi G.C.Dimpudus, Ketua
Pemakat. Anggota delegasi Jan P.Mongula
Sekretaris KKM serta Jan Maweikere Ketua Twapro. Di Jakarta, delegasi menemui
berbagai instansi dan pihak, termasuk beraudiensi 13 Juni dengan Wakil Tinggi
Mahkota Belanda di Indonesia selama 1 jam. Delegasi didampingi penasehat KKM,
anggota parlemen NIT asal Matani Tomohon F.A.P.Pitoy.
Twapro
dan KKM mendapat angin segar dari pemerintah
Belanda yang menegas bahwa semua kelompok masyarakat dan pihak dari Indonesia
sedapat mungkin akan diwakili di Konperensi Meja Bundar. Meski, masih harus
menunggu pembahasan persyaratan akhir dari Konperensi Meja Bundar yang akan
dilaksanakan di Jakarta, dan belum diambil keputusan apapun pada komposisi
delegasi Indonesia ke KMB, Twapro menegas keikutsertaan pihaknya—demikian pula
dengan KKM—sudah final.
Kontak
KKM di Negeri Belanda adalah Dr.S.J.Warouw, mantan Perdana Menteri NIT,
sementara Twapro Herman Wenas, ambtenaar yang tengah cuti di Den Haag.
Delegasi
Twapro yang dibentuk untuk KMB Juni 1949 sebagai ketua adalah Jan Maweikere,
sekretaris D.H.Undap dan penasehat Herman J.Wenas. Tapi, akhir Juli 1949,
delegasi Twapro mengalami perubahan komposisi. Penasehat Herman Wenas
digantikan oleh Mr.Konrad Ranti, ambtenar di Departemen Onderwijs, Kunsten en Wetenschappen (OKW) di Jakarta. Anggota
delegasinya menjadi K.Mangundap, D.Undap dan Mr.Ranti.
Mr.Ranti
merangkap pula sebagai sekretaris pertama delegasi KKM. Delegasi KKM sendiri menyertakan
intelektual Minahasa seperti Prof.dr.J.C.Engelen, mantan gurubesar Universitas
Indonesia dan Dr.S.J.Warouw.
Tapi,
pembentukan delegasi-delegasi tersendiri ini menimbulkan perdebatan sengit dan
kekacauan di Minahasaraad yang berkepanjangan hingga akhir tahun 1949. Tanggal
7 Juli 1949 pleno Minahasaraad yang didominasi kelompok pendukung Republik
memutuskan tidak ada delegasi terpisah ke KMB, dan memberi kepercayaan penuh
pada NIT. Sebagai wakil, Minahasaraad kemudian menunjuk 2 anggotanya untuk
menghadiri KMB, sehingga pihak oposisi di Minahasaraad seperti Twapro,
Hoofdenbond dan Pemakat memprotes keras.
Delegasi Twapro dan PTB di Jakarta. Undap di depan. *) |
Delegasi
Twapro yang diwakili D.H.Undap baru berangkat ke Negeri Belanda 29 Agustus
1949, bersama rombongan PTB pimpinan L.Polhaupessy,
K.K.Vigeleyn-Nikijuluw, dan D.P.Zacharias. Status Undap sebagai anggota
delegasi PTB/Twapro. Konperensi Meja Bundar sendiri telah mulai digelar di Den
Haag 23 Agustus dan berlangsung hingga 2 November 1949.
Twapro, KKM dan PTB yang
mengharapkan memilik posisi khusus dalam KMB harus gigit jari, meski telah
melobi dan bertemu pengurus partai-partai politik Belanda, seperti Partai
Liberal (Volkspartij voor Vrijheid en
Democratie=VVD), Partai Rakyat Katolik (Katholieke
Volkspartij=KVP), Anti-Revolutionaire
Partij (ARP) dan Christelijk-Historische
Unie (CHU). Namun, propaganda dan publisitas besar media-media Belanda
bahwa mereka telah setia kepada Ratu, bendera tiga warna dan melayani untuk
kepentingan kerajaan, mendatangkan banyak simpati di Negeri Belanda. Ratu
Belanda sendiri sengaja menerima perwakilan Twapro dan PTB bersama KKM di istana
Huis ten Bosch, Rabu 19 Oktober 1949.
Delegasi PTB dan Twapro menuruni tangga Istana Huis ten Bosch. Undap kedua belakang. *) |
Kecewa dengan NIT dan kegagalan di
KMB menyebabkan koalisi Twapro dan KKM semakin gencar memperjuangkan Minahasa
lepas dari NIT dan berdiri sendiri sebagai negara bagian dalam RIS, lewat
pelaksanaan plebisit.
PEMILU
PARLEMEN NIT
Dokter
V.L.Ratumbuysang, Ketua KKM dalam wawancaranya dengan Locomotief Oktober 1949 mengklaim
bersama Twapro dan partai pendukungnya memiliki mayoritas suara dari sekitar
400 ribu penduduk Minahasa, dengan 171.000 orang yang berhak memilih. Hitungan
Ratumbuysang adalah kelompok kanan, terdiri Twapro memiliki 73 ribu anggota
dan Pemakat 15 ribu anggota, berbanding terbalik dengan pendukung republik yakni:
GIM dan PSI, dengan sekitar 40 ribu anggota. Ia meyakini sekitar 43 ribu suara
yang belum menentukan sikapnya akan berubah setelah diberikan
penjelasan-penjelasan. Ia pun membela Twapro, bahwa anggota Twapro yang
pensiunan militer dan keluarganya hanya beberapa ribuan orang saja.
Pertemuan KKM di Tomohon. *) |
Ternyata,
pemilihan umum yang digelar di Minahasa 23 Oktober 1949 untuk memilih anggota
baru parlemen NIT, membuktikan lain. Partai-partai kanan yang bersatu dalam
front KKM mengalami kekalahan dari kaum nasionalis. Di distrik pemilihan (kiesdistrict) Minahasa Utara, kaum
nasionalis dari Barisan Nasional Indonesia (BNI) dan Gerakan Indonesia Merdeka
(GIM) serta kandidat non-partai unggul mutlak, dengan meraih 38.032 suara,
sementara partai oposisi (KKM dan Twapro) hanya memperoleh 19.911 suara atau
sekitar 19 persen pemilih.
Di
Minahasa Selatan, KKM dan Twapro hanya meraih 29.141 suara, sementara kaum
nasionalis dan non-partai meraih 36.080 suara. Meski perbedaannya tidak begitu
besar, mayoritas pemilih dimenangkan nasionalis.
Bila
digabung dua daerah pemilihan tersebut (Minahasa Utara dan Minahasa Selatan),
KKM dan Twapro memperoleh 49.052 suara berbanding kaum nasionalis dan
non-partai sebanyak 74.112 suara dukungan. Twapro sendiri secara keseluruhan
berhasil mengoleksi 39.000 suara pemilih.
Untuk
calon anggota parlemen NIT dari Minahasa Utara, H.R.Ticoalu dari Hoofdenbond
meraih 32.386 suara melawan M.B.Tumbel dari BNI yang memperoleh 24.314 suara
dukungan.
Di
Distrik Pemilihan Minahasa Selatan, kekecewaan Twapro atas hasil keseluruhan
pemilihan tersebut, terobati, karena Ketua Twapro Jan Maweikere unggul, meski
tipis, dari saingan dekatnya Ds.Manuel Sondakh, Ketua GIM. Jan Maweikere berhasil meraih 33.115 suara,
sementara Manuel Sondakh hanya memperoleh 32.146 suara.
Dengan
demikian Jan Maweikere terpilih mewakili Twapro di parlemen NIT dari distrik
pemilihan Minahasa Selatan dan H.R.Ticoalu dari distrik pemilihan Minahasa
Utara. Jan Maweikere sebagai anggota tertua, dipilih menjadi ketua sementara
memimpin rapat anggota parlemen NIT baru yang bersidang di Makassar 21 Februari
1950. Ia kemudian bergabung dalam Fraksi Nasional Progresif.
AKHIR RIWAYAT
Upaya
Jan Maweikere terakhir setelah pelarangan Twapro-Singa Minahasa Januari 1950,
adalah membentuk front federalis di Tomohon, Gerakan Republik Indonesia Timur
(GRIT) dengan sebuah pertemuan besar akhir Maret 1950 di Bioskop Sonya Kamasi
Tomohon. GRIT mendukung upaya Dr.Chris Soumokil membentuk Negara Indonesia
Timur. Namun, ketika Soumokil datang ke Manado dari Makassar dengan pesawat
yang disediakan Kolonel L.Schotbergh, Territorial
Troepencommandant Indonesia Timur dan Nieuw-Guinea,
ia segera diusir. Perannya sebagai Jaksa Agung NIT dalam eksekusi mati pahlawan
Robert Wolter Mongisidi yang berasal Minahasa menjadikan Soumokil dibenci di
Minahasa. Karenanya Soumokil terbang ke Ambon dan kemudian 25 April 1950
memproklamasikan Republik Maluku Selatan.
Riwayat
Twapro dan cita-cita Jan Maweikere berakhir ketika Batalyon 3 Mei dibawah Mayor
A.H.Mengko mengambilalih kekuasaan di Manado, dan menahan antara lain pimpinan
Twapro.
Kekuatan KKM dan Twapro otomatis tersapu bersih, ketika Dewan Minahasa pengganti Minahasaraad dibentuk dengan keputusan Perwira Teritorial Daerah Minahasa Kapten W.H.Korompis tanggal 19 September 1950. Dewan Minahasa yang baru terdiri atas 25 anggota mantan anggota Minahasaraad ditambah perwakilan semua pihak dan organisasi yang tidak terwakili dalam Minahasaraad tua. Masing-masing pihak atau organisasi memiliki 2 kursi.
Kekuatan KKM dan Twapro otomatis tersapu bersih, ketika Dewan Minahasa pengganti Minahasaraad dibentuk dengan keputusan Perwira Teritorial Daerah Minahasa Kapten W.H.Korompis tanggal 19 September 1950. Dewan Minahasa yang baru terdiri atas 25 anggota mantan anggota Minahasaraad ditambah perwakilan semua pihak dan organisasi yang tidak terwakili dalam Minahasaraad tua. Masing-masing pihak atau organisasi memiliki 2 kursi.
Kepala
Tinggi Pemerintahan H.D.Manoppo dengan tegas mengatakan Twapro dan KKM tidak
lagi memiliki pengaruh apa-apa.
Republik
Indonesia Serikat tamat riwayatnya, ketika Indonesia menjadi negara kesatuan 16
Agustus 1950. Jan Maweikere sendiri tidak sempat menyaksikan
peristiwa-peristiwa terakhir karena pada Juli 1950 ia meninggal dunia di
Tomohon. ***
*). Foto koleksi KITLV-Het
Geheugen van Nederland, dan repro foto
Delpher Kranten (Het Dagblad 18 Desember 1948, De Locomotief 1 September 1949
dan Java Bode 28 Oktober 1949).
BAHAN OLAHAN
Delpher Kranten:
De Locomotief 3 Maret 1948,
21 November 1947, 15 Mei 1948,13 Juni 1949, 15 Juni 1949, 19 Juni 1949, 30
Agustus 1949, 15 Oktober 1949, 21 Oktober 1949.
De Tijd 12 Desember 1949.
De Vrije Press 28 Januari 1949, 29 Maret 1949,
14 Juni 1949, 23 Juni 1950.
Heerenveense Koerier 15 Januari 1948.
Het Dagblad, 26 September
1946, 24 Juli 1947, 24 Januari 1948, 10 Maret 1948, 10 Mei 1948, 23 Oktober
1948, 18 Desember 1948, 30 Maret 1949, 7 Mei 1949, 27 Juni 1949, 30 Juli 1949.
Het Nieuwsblad voor Sumatra 6 Mei 1949, 14
Juni 1949, 18 November 1949.
Java-Bode 22 Oktober 1949,
11 Oktober 1949, 13 Oktober 1949, 20 Oktober 1949, 5 November 1949, 30 Januari
1950, 30 Maret 1950, 28 Juli 1950, 3 November 1950.
Leewarder Courant 15 Januari 1929, 22 November
1949, 26 November 1949, 23 Desember 1977.
Limburgsch Dagblad 24 Oktober 1949.
Dari
Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat, Dr.Ide Agung Gde Agung,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 1985.
Ensiklopedia Tou
Manado.
Peristiwa
Merah Putih 14 Februari 1946, Korps Pembangunan Merah Putih 14 Februari 1946
Dewan Harian Khusus DKI Jakarta, 1977.
Sejarah
Minahasa, F.S.Watuseke, Manado 1962.
Wikipedia.