Oleh:Adrianus
Kojongian
Hubungan Siau dengan
kerajaan tetangga di Kepulauan Sangihe mengalami pasang surut. Kolongan, Manganitu
dan Tabukan, menjadi sekutu ketika penginjilan dari Ordo Fransiskan
berhasil mengkristenkan raja-rajanya. Namun, Belanda dengan dibantu Sultan
Ternate mengintimidasi kerajaan-kerajaan tersebut, dan memaksakan para raja menghentikan
persekutuan dengan Spanyol yang juga mengakhiri pekerjaan misionaris Fransiskan.
Raja Kolongan
(Taruna) Don Juan (arsip Spanyol mencatat namanya setelah dibaptis Padri Fray
Juan Yranzo 1639 sebagai Don Juan de Buntuan), paling lama menjadi sekutu utama
Siau. Tapi, sejak tahun 1666 ia dipaksa bersekutu dengan Belanda, yang
mendatangkan kekecewaan Raja Fransisco Xavier sehingga pada September 1670 dilaporkannya
kepada Gubernur Spanyol di Manila Manuel de Leon kalau Kolongan telah
bersahabat dengan Belanda.
Namun politik
pecah-belah yang dilakukan Sultan Ternate Mandarsyah menyebabkan Don Juan de Buntuan
bersikap mendua membantu Belanda dan
Ternate. Jogugunya Don Philip Datunseka sengaja diangkat sebagai Raja Saban (baca
Raja-raja Manado yang Diinternir Belanda 2).
Kolongan benar-benar
menjadi musuh Siau, ketika Don Martin Tatandam menggantikan Buntuan menjadi
Raja Kolongan (kemudian mulai disebut Taruna). Raja Francisco Xavier membalas
dengan memberi perlindungan kepada Paccarila (Pocarila), saudara Tatandam yang beserta
pengikutnya diberi tempat tinggal di Tamako, koloni Siau di Sangihe Besar.
Sekutu lain Siau, Raja
Manganitu Don St.Jago (Santiago, dikenal dengan nama Bataha Santiago) yang
menentang Ternate dan Belanda, ditangkap dan digantung di Taruna tahun 1675
oleh Sultan Amsterdam, pengganti Mandarsyah. Ia menolak menyediakan pasukan
dalam kontingen Sangihe yang diwajibkan Sultan Ternate bagi daerah ‘taklukannya’
untuk membantu Belanda dalam memerangi Sultan Hasanuddin di Makassar.
Piantay, adik Don
St.Jago yang mengklaim tahta Manganitu dengan 800 pengikutnya lari ke Tabukan,
kemudian mencari perlindungan kepada Raja Francisco Xavier Batahi. Ia meminta
bantuan Spanyol dan dibaptis (menurut sumber Spanyol bernama Don Carlos Espana
Bantay), serta mengirimkan kemenakannya putra Don St.Jago bersekolah di Manila.
Dari Tamako Siau, Don Carlos Piantay menjadi oposisi bagi Raja Martin Takineta
yang diangkat Sultan Amsterdam sebagai Raja Manganitu. 1
Kerajaan besar lain
di Sangihe Besar yakni Tabukan yang diperintah Raja Kaicil Garuda atau Burudao
yang berada dalam pengaruh Sultan Ternate justru menjalankan politik damai
dengan Siau. Masa pemerintahan ayahnya, Tabukan menjalin persahabatan dengan
Spanyol dan Siau, bahkan ayahnya Gama telah dibaptis tahun 1641. 2
Namun, ketika Raja
Gama berkuasa, Ternate dibantu Belanda berhasil menguasai Kepulauan Sangihe, sehingga
Tabukan menjadi musuh Siau. Sikap anti-Ternate Raja Garuda tersulut ketika Sultan memecah-belah Tabukan dengan membentuk kerajaan boneka Limauw (dan Quisussa) di wilayahnya. Ia masih berharap perbaikan hubungan, dengan mengawinkan putrinya Maimuna dengan Sultan Amsterdam
yang baru naik tahta. Tapi, bukannya dijadikan permaisuri, putrinya
dikembalikan tahun 1675 sehingga Raja Garuda merasa sangat terhina.
Tidak heran Raja
Garuda menjalin hubungan damai dengan Raja Francisco Xavier, dan berharap
putrinya menjadi istri Raja Siau yang menjadi musuh utama Ternate. 3
Tetangga Siau di selatan, Tagulandang meski tidak mendukung Ternate, menjadi sekutu Belanda di Sangihe bersama Taruna (mengganti nama Kolongan sebelumnya), seperti dicatat Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker 13 November 1673 (baca juga Mengenal Raja-raja Tagulandang).
Kerajaan kecil
Kandhar (Kendahe) yang diperintah raja Islam justru tidak terlibat langsung
dalam sengketa politik dengan Siau dan Spanyol tersebut.
TERLAMBAT
Berbeda dengan para
padri Jesuit yang melihat potensi Siau dan Sangihe, penguasa Spanyol sendiri
tidak memberi perhatian khusus, karena menganggap Siau tidak menguntungkannya.
Untuk menunjukkan hal
sebaliknya, para padri dan orang Spanyol di Siau sejak tahun 1661 mulai menanam
kembali pohon cengkih yang diambil dari Tagulandang. Mereka berharap Siau akan
menjadi pemasok utama kebutuhan Spanyol akan cengkih karena monopoli
perdagangan VOC di Maluku serta politik tebang pohon yang dilakukannya di
kawasan lain.
Kedatangan para
pengungsi dan misi Spanyol dari benteng terakhirnya di Gamalama Ternate yang
diserahkan kepada Belanda tahun 1663, membuat Siau menjadi pos satu-satunya
yang masih dimiliki Spanyol di Indonesia. Namun penguasa Spanyol tetap tidak
menganggapnya strategis. Berpatokan pada perjanjian yang disepakati di Ternate
bahwa Siau menjadi sekutunya, Gubernur di Manila menganggap Siau aman dari agresi Belanda
Setelah gagal
mengupayakan pengiriman tentara dari Manila, Padri Francisco Miedes mencoba
membangun pertahanan Siau untuk sewaktu-waktu menghadapi invasi Belanda dan Sultan Ternate.
Ia merekrut orang-orang Spanyol, Portugis bahkan tahanan yang dibawa pindah
dari Ternate.
Keberadaan
orang-orang Spanyol di Siau mencemaskan Belanda yang kemudian menganggap mereka
sebagai perusuh monopoli perdagangan. Selain itu Belanda khawatir terjadinya gangguan
keamanan, bahkan pada kemungkinan pemberontakan dari kerajaan-kerajaan lain di
Sangihe.
Laporan Belanda
mencatat di tahun 1663 orang-orang Spanyol dari Siau menyerang kembali Sangihe
Besar yang menurut Kompeni telah menjadi haknya setelah diserahkan Ternate.
Spanyol disebut membajak buah dari banyak pohon kelapa, sehingga Kompeni
menaksir kehilangan sebanyak 2.500 kendi minyak.
Laporan lain
mengungkap Padri Miedes dengan salah satu koleganya dan 50 orang dari Filipina
memiliki niat untuk membangun kekuatan di Siau. Dagregister Batavia tahun 1664
menyebut Miedes bersama konfraternya dan 30 tahanan dari Benteng Spanyol
Gamalama tengah menghimpun kekuatan.
Benteng Spanyol Santa
Rosa di Ulu tahun 1668 dicatat Belanda hanya berkekuatan 1 sersan, 1 kopral, 11
atau 12 Eropa dan 6 sampai 9 serdadu pribumi.
Terancam oleh Belanda
dan Ternate, sementara tidak diperdulikan penguasa Spanyol, Raja Francisco
Xavier Batahi tidak berputus asa. Tahun 1669 ia menulis ke Manila meminta bantuan
pasukan Spanyol dan padri Jesuit.
Tidak berbalas, awal
tahun 1670 Raja Francisco mengirim duta resmi ke Filipina. Sang duta tiba di
Manila bulan Februari 1670, dan diterima Gubernur Spanyol Manuel de Leon
(memerintah 24 September 1669-11 April 1677) dalam audiensi yang diadakan di
Colegio para Jesuit (Seminari San Joseph atau San Jose).
Duta tersebut membawa
surat dari padri di Siau (Francisco Miedes), menjelaskan tindakannya membangun
kekuatan di Siau dengan harapan mendapatkan perhatian dan bantuan militer besar
dari gubernur. Miedes berbicara niat Belanda untuk menguasai Siau yang
menuntunnya pada pengabdiannya untuk mempertahankan persahabatan (dengan Siau).
Karena itu para religius (di Siau) diberdayakan untuk meredam kepura-puraan
Belanda, dan pada saat yang sama (tindakannya) untuk meyakinkan Raja Siau akan dukungan
dari Spanyol.
Ternyata tidak juga
dibantu. Jadi tidak sabar, Raja Don Francisco Xavier Batahi mengikuti jejak
ayahnya Don Ventura Pinto de Morales, dengan datang langsung ke Manila. Ia tiba
di ibukota jajahan Spanyol tersebut bulan September 1671, dan selama di Manila menginap
di Seminari San Joseph serta bertemu dengan Gubernur Manuel de Leon. 4
Kepada Gubernur Manuel
de Leon, Raja Francisco Xavier membentangkan
kecemasannya yang besar terhadap aksi Belanda dari Maluku yang memanfaatkan
Sultan Ternate. Ia merasa terganggu, apalagi Sultan Ternate (Mandarsyah) telah
mengancam akan mengambil kerajaan dan negerinya. Oleh sebab itu ia meminta
Gubernur Spanyol memberinya tentara.
Selain meminta
bantuan militer untuk menghadapi Belanda dan Ternate, ia meminta pengabaran
injil terus dilanjutkan, serta pengorganisasian sakramen. Ia pun memprotes
karena kepedulian Padri Provincial SJ yang masih kecil di Siau.
Gubernur Manuel de
Leon memberi Raja Siau dua puluh tentara Spanyol dan beberapa Pampango dari
Luzon di bawah komando Kapten Andreas Serrano. Padri Provincial saat sama
mengirim ke Siau seorang imam Jesuit . 5
Padri Miguel de
Pareja asal Spanyol yang menyertai Raja Siau sebagai visitator bertugas hingga tahun 1671. Ia mencatat
hampir tidak ada Katolik di pulau-pulau dalam lingkup pengaruh Belanda setelah kepergian Spanyol dari Maluku. Tinggal
Siau yang menolak semua tawaran perlindungan Belanda. Gubernur Maluku dari Belanda di
Ternate (Abraham Verspreet) yang juga seorang Katolik menjelaskan kepada Pareja bahwa ia mendapat
perintah dari Batavia untuk ‘mengambil’ Siau dengan paksa, tetapi diputuskannya
untuk mengesampingkan tanpa batas.
Upaya perdamaian semu
dicapai ketika di Manado President (Gubernur) Maluku Cornelis
Francx tanggal 13 Juli 1673 meneken perjanjian dengan Kapten Spanyol Andreas Serrano dan Padri Francisco Miedes.
Tidak lama kemudian,
menurut Belanda, perjanjian damai dilanggar dengan terjadinya pembunuhan
beberapa orang Talaud.
Tanggal 4 Juli 1676,
Raja Siau unjuk kekuatan. Dengan armada Hongi ia datang ke Tagulandang, bahkan
tinggal selama 12 hari.
Para direktur (Bewindhebbers, Tuan-tuan 6) VOC yang
memimpin Kompeni, akhirnya memerintahkan Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia 'untuk
membawa Siau dengan cara teraman di bawah perlindungan kami.’
Belanda mengunakan
kepanjangan tangan Ternate. Raja dan mantri Ternate pada 3 Mei 1677 memutuskan
bertindak melawan Siau, dimana Gubernur Belanda Dr.Robertus Padtbrugge dengan
senang hati menawarkan kerjasama penuh, sambil ‘menjaga perdamaian dengan
Spanyol’. 6
Sultan Amsterdam
alias Kaicil Sibori sejak berkuasa tahun 1672 mengganti ayahnya Mandarsjah
mengklaim Siau sebagai wilayah miliknya.
Tanggal 1 Agustus
Raja Amsterdam bertolak dengan chaloup de Rooden Haan dan de Eendracht dengan
dua kora-kora melintasi Pulau Sulu, Gapi dan Banggai ke Manado dimana ia
bergabung dengan Padtbrugge yang memimpin kapal Vliegende Swaan dan chaloup
Terlucco.
Di Manado tanggal 16
Oktober telah berkumpul raja-raja lain. Dalam pertemuan bersama Padtbrugge dan Sultan Ternate, mereka
menyampaikan berbagai tuntutan. Oleh Raja Bolaang, Raja Siau dituntut
penggantian budak saudara perempuannya yang meninggal di Siau. Raja Kaidipang
restitusi bagi putrinya yang menurutnya diperlakukan tidak baik oleh Raja Siau.
Raja Taywila Intji Mannes suami Ratu Bolaang Itang menuntut perkara pembunuhan
Raja Taywila sebelumnya. Tabukan untuk atas nama D’Arras menuntut pengembalian
semua orang, budak dan teman-temannya yang bersamanya ketika masih jadi Jogugu,
mengganti bila budak telah mati, begitu pun penggunaan lahannya diganti, selain
itu pemulihan jabatan dan martabatnya. Sedangkan Raja Taruna menuntut pengembalian
budak dan penduduknya .
Perang diputuskan
hari itu, dan pernyataan perang yang ditujukan kepada Kapten Spanyol langsung dibawa oleh Sersan Hendrik Muschke.
Kapal-kapal bertolak
dari Manado 22 Oktober dan pada sore harinya telah tiba di sudut selatan dari
Pulau Pondang yang berada di sebelah timur Siau.
Manila di saat
terakhir mengupayakan bantuan tentara bagi Siau. Namun pasukan yang dipimpin
seorang kapten itu tidak berani meneruskan perjalanannya dari Zamboanga,
mengetahui Siau telah dikepung armada Ternate dan Belanda.
Meski di belakang
layar, Gubernur Patdbrugge memimpin sendiri ekspedisi. Selain kapal VOC, armada
diperkuat 25 kora-kora dari Banggai, 23 kora-kora dari Ternate dan Xula, 1
kora-kora dari Tagulandang (kemudian bertambah 2 lagi). Kora-kora Raja Bolaang
Loloda datang dalam iringan 7 kora-kora bersama Ternate yang mengerahkan 1.180
prajurit di bawah Kapitein Laut Rheti. Bolaang mengirim lagi 1 gilala (galai
kecil). Kemudian Raja Kaidipang dan Gorontalo dengan 180 prajurit serta1
kora-kora dari Limboto. Termasuk dari Tabukan, Taruna dan Kandhar (Kendahe). Selain
itu Ternate masih dibantu pasukan bantuan dari daerah taklukannya di Sulawesi Tenggara
Tambuku dan Lohia di bawah Kapitein Baccary.
Tidak diketahui pasti jumlah prajurit dari Sangihe yang terlibat dalam ekspedisi. Spanyol sendiri mencatat Belanda dan Ternate mengerahkan 2 galeon, 4 charivas, 4 pataches dan 30 kora-kora.
Tidak diketahui pasti jumlah prajurit dari Sangihe yang terlibat dalam ekspedisi. Spanyol sendiri mencatat Belanda dan Ternate mengerahkan 2 galeon, 4 charivas, 4 pataches dan 30 kora-kora.
Robertus Padtbrugge,
tokoh utama aneksasi Siau meraih gelar doktor dalam kedokteran tahun1663 di
Leiden. Ia bekerja di dinas Kompeni Belanda, memulai di Basra (Iran) 1667 sebagai
Koopman, lalu Opperkoopman 1670 di Ceylon (Srilanka) dan misi ke Muscat (Oman)
1672. Ia diangkat menjadi Gubernur Maluku di Ternate tahun 1676 (kelak 1680 merangkap
di Banda dan 1682-1687 Gubernur Ambon).
DETIK-DETIK MENENTUKAN
Hari Sabtu tanggal 23
Oktober 1677, armada menuju negeri Ulu dengan benteng Spanyol Santa Rosa
berada. Kapal dan kora-kora memblokade Ulu dari jarak 2 mil dari daratan,
dengan tembakan pembuka dari meriam.
Guru Don Juan de
Leon, murid Pater Emmanuel Espanol yang mengerti bahasa Spanyol dari kapal
Terlucco dikirim ke darat mengumumkan kedatangan mereka kepada Kapten Spanyol dengan
membawa surat dan hadiah dari Padtbrugge.
Tapi ditunggu sekian
lama, utusan tidak kembali lagi. Padtbrugge mengirim kembali surat kepada
Kapten Spanyol disertai anggur dan daging ham yang diberikan pula untuk Pater
Espanol.
Utusan terakhir yakni
kapten kapal de Vliegende Swaan Jan van der Wal, Boekhouder Cornelis Ringerijk dan Asisten Paulus Harcxe kembali
dengan cerita bagaimana sang Kapten Spanyol mengamuk tapi panik ketika membaca
dan menafsirkan surat Padtbrugge, sementara Pater Espanol tidak berbicara.
Kepada mereka, Kapten
Spanyol menegas akan mempertahankan benteng Santa Rosa bersama 17 orang
Portugis lainnya. Ia tidak menginginkan orang Ternate menjadi tuan di Siau.
Harxce mengatas namakan Raja Amsterdam, meminta Kapten Spanyol menyerah
mengingat perjanjian damai antara Spanyol dan Belanda.
Malam hari datang
Juan de Leon membawa protes dalam bahasa
Spanyol dari kapten.
Meriam dari kapal
kembali ditembakkan Minggu 24 Oktober di dekat gereja ketika berlangsung
ibadah, sehingga menimbulkan ketakutan penduduk. Pendaratan dengan perahu
bersenjata mulai dilakukan. Kapten kembali melakukan protes. Siang hari terjadi
kebakaran dan karena angin kencang membakar gereja dan pastori.
Kamis 26 Oktober,
dilakukan penembakan meriam lagi. Sekitar tengah hari guru de Leon muncul untuk
kedua kalinya hari itu, meminta kedatangan ke pantai dengan tongkang untuk
berbicara dengan Kapten Spanyol. Namun, tidak ada pertemuan, bahkan sang guru
dilarang kapten untuk datang ke kapal.
Karena Spanyol tidak
menginginkan mediasi. Padtbrugge dan Sultan Amsterdam memutuskan menurunkan 2
pengikut Jeronimo d’Arras ke darat. Kemudian d’Arras sendiri dengan pengikutnya
mendarat dan terlibat pertempuran dengan prajurit raja yang dipimpin saudaranya
Kapitein Laut Santiago Manumpil.
Jumat 29 Oktober,
terjadi aktivitas Gunung Awu (Gunung Api) dengan lontaran material debu, sehingga
kapal-kapal jadi berselimut abu.
Pendaratan di darat
dilakukan pada hari Sabtu tanggal 30 Oktober. Jeronimo d’Arras menjadi pelopor
dengan 10 atau 12 pengikutnya melompat ke darat di bawah lindungan tembakan
dari kapal Rooden Haan, kemudian diikuti prajurit Ternate. Meriam dari benteng
Santa Rosa membalas menembak Rooden Haan yang mendaratkan pasukan di darat.
Prajurit Kaidipang,
Bolango dan Gorontalo dikejutkan serangan orang Siau sehingga lari kembali ke
kapalnya.
D’Arras dengan sedikit
pengikutnya bertempur gagah berani. Demikian pula dengan Sadaha tua Calamata
dari Banggay, Majuda dan Kapitein Laut Rheti terlibat pertempuran seru,
sementara Raja Amsterdam dan saudaranya Kapitein Djena (Rotterdam) menyaksikan
pertempuran yang berlangsung dari kejauhan.
Banyak orang yang
tewas dan terluka di kedua belah pihak. Perang baru berakhir ketika malam tiba,
dimana pihak Ternate membuat barikade kuat.
Minggu 31 Oktober,
tidak terjadi pertempuran, namun Raja Amsterdam terus menembakkan
meriam 6 pon hingga sore hari. Para mantri Tagulandang yang disertai raja muda
mengutarakan keprihatinannya dengan Siau, dan meminta izin Gubernur dengan
salah satu kapalnya untuk pergi ke Pehe di pantai barat Siau, yang menjadi
tempat tinggal Raja Francisco untuk mencoba membujuk dengan cara lembut, serta membawa
jaminan dan ‘itikad baik’ Padtbrugge untuk melindungi Siau.
Padtbrugge melihat
ketakutan besar di kalangan Siau karena Ternate. Ini pun menyebabkan keengganan
dari prajurit Binangkal, Gorontalo dan Limboto, apalagi Bolaang yang dipimpin
Pangeran Makarompis saudara Raja Loloda untuk berperang di bawah Ternate.
Raja Amsterdam telah
menunjuk Kapitein Laut Rheti untuk memimpin penyerbuan esok paginya. Malam itu
justru para prajurit Kaidipang, Gorontalo, Limboto dan Bolaang tidur dengan
nyenyak setelah minum-minum dan tanpa penjagaan. Bahkan di kora-koranya mereka
memakai bendera putih serta pakaian pun sama putih.
Hari Senin tanggal 1
November, armada diperkuat chaloup Terlucco yang baru kembali dari Sangihe.
Sekitar jam sepuluh,
dengan dentuman meriam, pertempuran kembali terjadi antara Siau dengan Ternate
yang berlangsung selama satu jam penuh. Kemudian berulang lagi selama satu jam
lebih, dimana banyak jatuh korban di pihak Ternate, termasuk Sadaha yang
terluka dan kemudian meninggal esoknya. Kapitein Laut Rheti sempat terdesak dan
lari karena keperwiraan prajurit Siau.
Namun kemudian
orang-orang Siau terpukul mundur, apalagi pasukan Ternate dibantu granat, meriam
dan tembakan kanon dari Raja Amsterdam dan dari kapal-kapal di lepas pantai.
Meski membekali diri
dengan banyak senapan, prajurit Gorontalo, Limboto, Bolaang dan Kaidipang tidak
banyak menggunakannya. Namun dalam serangan terakhir, andil mereka telah
mendorong Ternate memenangkan pertempuran. Di pihak Ternate jatuh korban jiwa 9
orang dan 23 terluka.
Akhirnya sore hari
sekitar pukul tiga, dua bendera putih dikibarkan dari pihak benteng Santa Rosa.
Padtbrugge segera mengirim tongkang dengan bendera perdamaian, sambil meminta
Raja Amsterdam menghentikan tembakan ke pihak Spanyol. Tiga tentara Spanyol
mendatangi kapal Padtbrugge membicarakan penyerahan benteng, sambil meminta
perlindungan Kompeni.
Kapten Serrano datang
dengan tongkang tersebut dan resmi menyerah. Ia meminta orang-orang Siau tidak
di bawah Ternate, tapi berada di bawah Kompeni, selain perlindungan terhadap
para padri, sehingga juga Raja Siau akan puas dan rela di bawah Kompeni.
Kendati demikian
penjarahan serta pembakaran tetap berlangsung.
1.
Gubernur Robertus Padtbrugge membuat solusi pembagian kekuasaan di Manganitu
dengan kontrak 10 Desember 1677. Don Carlos Piantay menjadi Pangeran dan Kepala
Kaum Kristen di Cajuris, dan Raja Martin Takineta sebagai pemimpin kaum Islam
(kelak masuk Kristen).
2.
Menurut tradisi memakai nama Marcus Vasco da Gama. Namun ketika Kaicil Garuda sekeluarga
dibaptis Ds.Zacharias Caheing 2 Desember 1677, ia memilih nama Franciscus
(Francisco), diakuinya kepada Padtbrugge, seperti nama ayahnya ketika dibaptis
Kristen Katolik dulu. Dalam kontrak dengan Padtbrugge, Raja Garuda memakai nama
Francisco Maccarompus atau Macarompo, tapi lebih dikenal Makaampo.
3.
Jose Miguel Herrera Reviriego menyebut putri Raja Tabukan kawin dengan Sultan
Mandarsyah, dan perkawinannya dengan Raja Francisco terjadi sebelum aneksasi Siau,
dimana Raja Francisco menuntut sang putri masuk Kristen. Namun dari Jurnal
Padtbrugge, ia dijodohkan dengan Sultan Amsterdam, dan perkawinan dengan Raja
Siau baru terjadi setelahnya. Padtbrugge sendiri ketika berkunjung ke Tabukan
menyerahkan mas kawin titipan dari Raja Francisco.
4. Menurut H.de la
Costa, Raja Francisco Xavier tercatat sebagai alumnus non-Spanyol dari Colegio
Jesuit bergengsi San Jose (San Joseph) Manila tahun 1672. Ia datang ke Manila masih
sebagai putra mahkota untuk bersekolah di Colegio San Jose, dan kembali setelah
menyelesaikan pendidikannya bersama Padri Miedes dan Cebreros yang cuti pendek.
Ia kemudian menggantikan ayahnya, dan mengirim adiknya yang akan
menggantikannya sesuai hukum Siau untuk menerima pendidikan di perguruan tinggi
sama.
5. Padri Fray Juan de
la Conception dan Padri Pedro Murillo Velarde menyebut audiensi Raja Francisco
Xavier dengan Gubernur Manuel de Leon berlangsung tahun 1670. Sementara Manuel
Artigas menyebut tentara yang diberikan Gubernur kepada Raja Fransisco Xavier
sebanyak 14 orang.
6. Kastilia atau Spanyol di Jurnal
Padtbrugge, justru dikambinghitamkan sebagai musuh besar dalam aneksasi Siau, meski
sebenarnya hanya terdiri 17 orang.
*).Foto koleksi
KITLV.
LITERATUR
Artigas y Cuerva, Manuel, Historia
de Filipinas,
Manila 1916. Internet Archief.
Chijs, Mr.J.A.van der, Dagh-register
gehouden int Casteel Batavia aano 1664, 1893.
Chirino, Padre (Pedro) Labor Evangelica Ministerios
Apostolicos, Madrid 1660. Google Books.
de la Conception, Padre Fr.Juan, Historia General de
Philipinas, tomo VII,1789.
Google Books.
de la Costa SJ, H. The
Jesuits in the Philipines 1581-1768, Harvard University Press, Cambridge
Massachusetts,1961. Google Books.
Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en
de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677), Bijdragen
tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie, tweede deel, ‘s
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867.
Miguel Herrera Reviriego, Jose, Manila y Filipinas en
el mundo interconectado de la segunda mitad del siglo XVII. www.academia.edu.
Murillo Velarde, P. Pedro, Historia de la Provincia de Philipinas de la Compania de
Jesus,
segunda parte 1616-1716, Manila 1749. Internet Archief.
Van der Aa, Robide, De
Vermeestering van Siau door de Oost-Indische Compagnie, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van
Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.