Oleh Adrianus
Kojongian
Raja Siau Don
Francisco Xavier setelah mendapat jaminan keselamatan dan perlindungan
Padtbrugge, terutama tidak diserahkan kepada Sultan Ternate, akhirnya bersedia
bertemu dengan Gubernur Belanda Robertus Padtbrugge.
Hari Selasa tanggal 2
November 1677 dengan diantar penerjemah Hendrik Cors (sebelumnya bernama Henrico
Parera) ia datang dari kediamannya di Pehe yang berada di pantai barat Siau. Ia
menemui Padtbruge di atas kapal komando de Vliegende Swaan. Ia disambut selayaknya
raja oleh barisan kehormatan pasukan Kompeni.
Padtbrugge
menggambarkan, sang raja agak takut untuk sementara waktu. Penuh emosi tapi
ketakutan. Mengatakan kepadanya sangat sakit dan merasa tidak nyaman dengan
kapal. Tapi, kemudian ia mendapat keberanian serta wajahnya
menjadi cerah setelah meminum 3 sampai 4 gelas anggur rum.
Raja Don Francisco Xavier,
menurutnya, berkulit sangat putih, agak pendek, berusia sekitar dua puluh dua
tahun, seorang pria yang tampan seperti ‘orang melukis.’ Ia pun tampak memiliki
keberanian seorang pria, tenang dalam esensi dan alasan, serta sangat maskulin.
1
Semua permintaannya
berada di bawah Kompeni, perlindungan dan tidak ada Ternate diizinkan
Padtbrugge.
Untuk menepis
keraguan Raja Siau, Padtbrugge mengirim Asistennya Paulus Harcxe kepada Raja
Amsterdam meminta titah dari Sultan Ternate itu. Sore hari Harcxe kembali
dengan membawa akta dalam bahasa Arab dan Melayu yang berisikan penyerahan Siau
dari Ternate kepada Kompeni Belanda. Upaya Pater Carol Torcotti dan Manuel
Espanol untuk menemani raja selama pembicaraan tersebut ditolak mentah-mentah Patdbrugge,
sehingga Espanol sangat marah.
Raja Amsterdam
kemudian datang. Kedua musuh tersebut bersalaman, dan akhirnya setelah meminum
beberapa gelas anggur, mereka berbicara akrab dan berpelukan bersama.
Raja Amsterdam telah
menamai benteng Spanyol di Ulu dengan nama Maetsuyker, mengganti nama Santa
Rosa. Joan Maetsuyker adalah Gubernur Jenderal VOC ketika itu.
Saat berpisah dan
kembali ke darat, Raja Don Francisco Xavier merasa bingung, ketika Padtbrugge
memberikan tanda persahabatan dan kehormatan berupa 1 alegia dari perak, 1 selimut dari Surat, 1 bethiles warna biru, topi hitam dan 1 bethiles warna merah.
Untuk tiga orang
saudara raja masing-masing memperoleh 2 bethiles warna biru. Sementara mantri (rijksgrooten) yakni Jogugu (Thomas
Mahonis) dua salpicados dan 1 bethiles
merah. Dua orang Hukum menerima 1 bethiles biru, Kapitein Laut salpicados, dan
Kapitein Laut kedua berupa topi.
Mengunjuk perhatian
dan rasa perduli, Raja Amsterdam ikut meminta satu bethiles putih. Ia kemudian memberikannya
pada Raja Siau sebagai ‘murni dari hati dan kasih sayangnya.’
KONTRAK
Perjanjian perdamaian
berisi 7 pasal diteken di tenda lapangan Ulu hari Senin tanggal 8 November 1677,
dihadiri kemudian ditandatangani bersama oleh Raja Taruna Don Martin Tatandam,
Raja Bolaang (mengatasnamakan Manado) Loloda (Mokoagow) dan Raja Kaidipang
Binankal (Maurits).
Raja Francisco Xavier
memakai nama Francisco Batahe. Sementara mantrinya yang ikut bertanda adalah Jogugu
Don Thomas (Mohonis), Kapitein Laut Juan Nauchas, Kapitein Laut Don St.Jago,
Hukum Don Pedro (di kontrak besoknya bernama lengkap Pedro Laomba) serta Sangaji
Don Vincent (di kontrak berikutnya bernama lengkap Vincent Gamulala dan telah
berpangkat Hukum).
Perjanjian tidak
melibatkan Raja Tabukan Kaicil Garuda dan Raja Taywila Intji Mannes yang telah hadir
bersama Pangeran dari Gorontalo, Limboto dan mantri Tagulandang.
Kepada Raja
Amsterdam, Siau berjanji membayar sebagai denda dan ‘pelanggaran kejahatannya
kepada Ternate’ 500 porselin, 50 bilah pedang, 50 gong, 50 musket, 50 kati
emas, 50 budak dan 1 kora-kora.
Raja dan mantri Siau
berjanji akan menyerahkan semua orang Ternate yang telah datang kepadanya baik
orang bebas atau budak.
Demikian pula pengembalian
orang-orang dari Manganitu yang telah melarikan diri ke Saluran di Tabukan lalu
pindah di Tamako, sekitar 1.500 jiwa (sebagian diantaranya telah menjadi warga
dari Don Carlos Piantay yang bersaingan dengan Raja Manganitu Don Martin Takinita).
Jeronimo d’Arras oleh
Raja dan mantri dipulihkan jabatan dan otoritas sebelumnya, harus dihormati dan
melihatnya sebagai Jogugu kerajaan.
Raja pun secepatnya
mengembalikan kepada Raja Kaidipang miliknya anak perempuan dan ibunya begitu
perjanjian ditandatangani (yang kemudian dijemput Raja Binangkal di Pehe).
Demikian dengan pengembalian penduduk dan budak dari Taruna yang diserbu di
masa silam. Untuk tuntutan Raja Bolaang, dikembalikan budak dan milik saudara
perempuannya yang meninggal.
Khusus hubungan
antara Kompeni Belanda dengan Siau diatur dalam kontrak politik yang diteken Selasa
sore esok harinya (9 November 1677) di atas kapal de Vliegende Swaan yang
merapat di benteng Maetsuyker. Raja Siau (dengan nama pula Francisco Batahe)
bersama 5 mantrinya terdahulu ditambah d’Arras dalam posisi baru sebagai Jogugu
pertama. Sementara Padtbrugge mewakili Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker.
Klausal utama verbond
berisi 16 pasal ini, adalah Siau sebagai milik Kompeni, tapi dikembalikan
kepada raja sebagai pinjaman. Kemudian tidak mentolerir agama selain Protestan
yang direformasi menurut doktrin Sinode Dordrecht. Meski Katolik masih
ditoleransi; namun semua simbol-simbolnya dihilangkan. Raja dan mantri harus
membantu usaha pendeta dan guru yang akan ditempatkan untuk ‘mempromosikan
agama Kristen yang sejati.’
Raja dan mantri Siau tidak
menerima Spanyol, Portugis, Perancis, Inggris, Denmark dan Swedia.
Selain itu, semua
pohon cengkih di Siau, termasuk di Pulau Kabaruan dan Talaud harus ditebang.
Permohonan Raja Francisco untuk memanennya lebih dulu ditolak dengan tegas oleh
Padtbrugge.
Raja Siau pun masih
diminta untuk mengembalikan pelarian dari Taruna yang berlindung pada
Pacarilla, saudara Raja Martin Tatandam di Tamako.
Ikut meneken kontrak
tersebut Raja Taruna Don Martin Tatandam dan putra Raja Tabukan Beta Lalero
(kemudian 2 Desember 1677 dibaptis bernama Marcus, dan bernama lengkap Jacobus
Marcus Lalero).
Raja Amsterdam dengan
pasukannya bertolak meninggalkan Ulu hari Kamis 11 November. Ia berpisah dengan
Raja Siau dengan pelukan hangat. Raja Amsterdam berharap keselamatan dan berkah
luar biasa dalam pernikahannya dengan putri Tabukan bekas istrinya. 2
Gubernur Padtbrugge
pada 13 November menyerahkan kembali pada Raja Siau hadiah berupa 4 parcalla
putih, 4 bethiles berwarna putih coklat biru, dan 4 chiavon.
Orang-orang Spanyol
diangkut ke Batavia melalui Ternate. Tahun 1680 dikirim ke Makau, koloni
Portugis di Tiongkok. Dua padri diantaranya dibawa ke Manila oleh Antonio Nieto
tahun 1681. Namun, missive Gubernur Jenderal Rijcklof van Goens 21 Desember
1678 mencatat Kapten Andreas Serrano meninggal karena sakit di Ternate 7 Desember,
sementara Pater Emmanuel Espanol, Jeronimo de Cebreros dan Carlos Torcotti pada
9 Mei dari Manado dikirim ke Simuay di Mindanau.
Jeronimo d’Arras
menjadi Jogugu pertama berkedudukan di Ulu, sementara Thomas Mahonis sebagai
Jogugu kedua bertempat di Pehe.
Di Siau, Padtbrugge
menempatkan pasukan pendudukan terdiri 1 konstapel, 2 kopral dan 8 serdadu.
Tahun 1682 Belanda
membangun benteng baru di Ulu yang diberi nama Doornenburg di
bawah komandan Kopral Frans Jacobs dengan kekuatan 21 serdadu. Missive Gubernur Jenderal Cornelis
Speelman 19 Maret 1683 menyebut dilakukan perbaikan penjara dan serdadunya dikurangi, tinggal 11 dan
terakhir 10 orang (sejak tahun 1691 pos dipimpin Sersan Leendert Hendriksz
sampai pasukan pendudukan ditarik 1696). Benteng tersebut dibangun di atas
bekas benteng Maetsuyker yang sebelumnya bernama Santa Rosa.
TURUN TAHTA
Resolusi dari Kastil
Orange Ternate 20 September 1679 mencatat pengunduran diri Raja Siau, sebagai
‘bentuk penebusan dosanya’. Namun, sumber-sumber Spanyol mencatat ia sengaja diturunkan
dari tahtanya. Adiknya Don Jeronimo Habo disebut menjadi penggantinya.3
Namun manuskrip Kompeni Belanda mencatat Raja Batahi tetap memerintah Siau hingga kematiannya tahun 1687.
Gubernur Jenderal
Johannes Camphuys 23 Desember 1687 mencatat kematian Raja Don Francisco Xavier. Karena putranya masih kecil baru berusia 9 tahun, untuk sementara waktu pemerintahan Siau dikendalikan satu badan di bawah Kapiten Laut Santiago Manumpil, ipar Raja bersama Jogugu Thomas Mahonis.
Putra Raja Pangeran Jacobus Xavier dibawa ke Ternate untuk mendapat pendidikan dan tinggal di rumah Gubernur Maluku Johannes Cops di kompleks Malayu.
Spanyol sendiri
menyesali jatuhnya Siau ke tangan Belanda. Penguasa Spanyol di Filipina
menganggap Siau dan rajanya sebagai bagian Spanyol. Gubernur Juan de Vargas
y Hurtado (dokumen Belanda mencatat sebagai A.de Vergas Urtado) memprotes
kepada Hooge Regering (pemerintah
tinggi) VOC di Batavia 10 Januari 1679 yang diulang tahun 1680. Ia memasalahkan
‘penghapusan’ garnisunnya dan spiritual mereka (Katolik) dari Siau, juga
kekerasan dan penahanan yang dilakukan Gubernur Maluku (terhadap para padri).
Ia meminta pengembalian pulau tersebut, memulihkan garnisunnya dan garnisun
Kompeni pergi dari Siau.
Namun, pemerintah
tinggi Kompeni menjawab dengan dramatis. Dengan surat resminya ke Ternate 17 Januari
1680, sisa-sisa Spanyol di Siau dilarang. Penduduk Siau diminta tidak perlu lagi
berbicara bahasa Spanyol. Begitu pun nama-nama Spanyol agar diganti.
Tuntutan penguasa Spanyol
di Manila atas Siau dan penghukuman bagi orang Belanda yang bersalah masih
dibawa ke Raja Spanyol Carlos II dan pengadilan banding (Real Audiencia) Spanyol di tahun 1681.
DUTA TERAKHIR
Upaya Siau paling
akhir untuk berhubungan dengan Spanyol terjadi tahun 1689 ketika Manila sedang mempersiapkan
pelantikan Gubernur baru Don Fausto Cruzat y Gongora yang telah ditunjuk sejak
31 Januari 1686, tapi baru resmi menjabat 25 Juli 1690 dengan menggantikan gubernur
interim Alonso de Avila Fuertas.
Tanggal 17 Oktobert
1689 seorang kepala Siau bernama Pedro Decolivan dengan kapal kecil tiba di Iloilo (Pulau Panay) dengan
tujuan meminta Gubernur Filipina membebaskan mereka dari kuk Belanda.
Decolivan dan rombongannya
semua orang Kristen, datang ke Filipina pada bulan Agustus dengan dalih akan
pergi ke benteng Belanda Malayu di Ternate untuk menghindari kecurigaan.
Mereka berhasil mencapai Pulau Mindanau, di Ligan (Iligan), lalu ke
Dapitan kemudian menyeberang ke Iloilo yang berada di Pulau
Panay.
Dalam perjalanan, mereka berdoa Rosario setiap hari. Mereka pun bernasar menghadiri Misa di kota Kristen pertama yang ditemui (Dapitan) karena Tuhan membantu mereka dalam perjalanan yang sulit dan berbahaya, serta mempersembahkan sedikit uang yang mereka bawa.
Setelah sampai di
Dapitan, mereka memutuskan pergi ke Iloilo untuk mencari Padri Jesuit Jeronimo
Cebreros yang pernah bekerja di Siau sampai tahun 1677 (Cebreros meninggal di
Manila Agustus 1713).
Sumber Spanyol lain
mengungkap yang datang adalah orang-orang utusan Raja Siau.
Dari Iloilo mereka ke
Manila bertemu dengan anggota sementara Audiencia yang berkuasa di Filipina.
Selama pembicaraan, para utusan mengatakan Belanda telah memotong semua pohon
cengkih mereka, membangun sebuah benteng di Santa Rosa dan Belanda berusaha
memperluas ajaran Calvinisme di Siau.
Jadi, orang-orang
Siau meminta diizinkan kembali berada di bawah perlindungan Spanyol. Mereka
menyatakan bahwa raja yang baru mau pun penduduk Siau (dan Sangihe) akan
mendukung mereka dengan suara bulat ketika mereka pulang.
Mereka pun yakin,
apabila orang Spanyol memutuskan untuk kembali ke Siau, maka para prajurit
Kompeni Belanda di pulaunya tidak punya pilihan lain untuk pergi selamanya.
Menurut para utusan,
mereka dikirim raja lama yang sebelum kematiannya telah memerintahkan semua
kepala Siau untuk menghubungi Spanyol. Bahwa dia (raja lama) belum pernah
melakukannya meski sangat diinginkannya selama tiga tahun terakhir, disebabkan
penentangan seorang kepala yang mengembik orang-orang Belanda yang terus
memata-matai semua gerakannya dan menuduhnya berupaya mendekati Spanyol yang
dicintainya.
Para utusan
menjelaskan bahwa jika Spanyol kembali, mereka akan mengiringnya, dan Siau siap
bergabung dengan Spanyol dengan segenap kekuatan mereka untuk mengusir Belanda.
Namun, ambisi
ekspansi Spanyol di Siau yang didukung padri Jesuit bertolak belakang dengan pendapat
Fausto Cruzat y Gongora. Gubernur baru itu sejak awal menentang
untuk melakukan tindakan eksternal apapun, sementara Manila, menurutnya, tidak
memiliki kendali penuh atas wilayah yang termasuk dalam provinsinya.
Kepala dimaksud utusan tersebut, Jogugu d’Arras sangat
berkuasa di masa pemerintahan Gubernur Padtbrugge. Ia ikut menyertai ekpedisi
terakhir Padtbrugge (21 Oktober 1680-11 Agustus 1681) dengan kapal ‘t Wapen van
Middelburgh hingga ke Bwool, Toli-Toli dan Gorontalo.
Raja Siau menurut
Valentijn banyak berselisih dengan Jeronimo d’ Arras. Ketika Padtbrugge diganti
Gubernur baru Jacob Lobs tahun 1682, Raja menggunakan kesempatan
memberhentikannya. Tapi, masih masa Lobs sebagai Gubernur Maluku, Gubernur
Jenderal Cornelis Speelman 19 Maret 1683 mencatat raja mengangkat kembali d’Arras
sebagai Jogugu.
Tahun 1688, menurut surat Gubernur Jenderal Johannes Camphuys
30 Desember 1689, Jogugu d’Arras dari Siau (bersama Jogugu Taruna Philip
Datunseka, bekas Raja Saban) oleh Gubernur Johan Henrik Thim ditahan dan dengan
dirantai dibawa ke Batavia dan kemudian dibuang ke Pulau Obi di Halmahera
Selatan (Datunseka di Ceylon).
Namun dari berita
Camphuys 14 Maret 1690, diungkap perintah pemulangan d Arras ke Siau
kembali.
1. Gubernur Jenderal
Rijcklof van Goens 13 Februari 1679 menulis Raja Siau sebagai seorang pemuda.
2. Putri Raja Tabukan
Kaicil Garuda (Burudao) menurut tradisi bernama Maimuna. Dikawinkan dengan
Sultan Ternate Kaicil Sibori (Amsterdam), tapi tahun 1675 dikirim kembali ke
ayahnya, beralasan tidak diterima di Ternate. Alasan lain yang dikemukakan
Sultan Amsterdam, sang putri ingin pulang kembali dan ia tidak mampu
menahannya. Namun Raja Tabukan merasa sangat terhina dan ingin mengenal agama
Kristen serta menjodohkannya dengan Raja Siau musuh utama Ternate. Maka
kesempatan Padtbrugge datang, ia menjelaskan Tabukan bukan milik Ternate dan
ingin berada di bawah perlindungan Kompeni Belanda. Tanggal 3 Desember 1677
Raja sekeluarga dibaptis Kristen Protestan oleh Pdt.Zacharias Caheyng di
Tabukan dengan Padtbruge dan Raja Taruna Don Martin Tatandam --yang sebenarnya
ingin dikawinkan oleh Sultan Amsterdam-- menjadi saksi atau ayah baptis. Raja
memakai nama seperti ayahnya dulu Franciscus (tradisi menyebut ayahnya Marcus
Vasco da Gama) dan 3 putranya bernama Mattheus, Marcus dan Martinus. Ratu
memakai nama Maria, kedua putri Catharina dan Anna, sementara menantunya
Susanna (istri putra kedua). Catharina adalah nama Kristen dari Maimuna.
3. Resolusi menyebut
pengunduran dirinya bersama Raja Tabukan dan Tagulandang. Namun tidak terjadi pengunduran demikian. Surat Gubernur Jenderal Cornelis Speelman 10
Maret 1683 menjelaskan Raja Fransiscus Makaampo meninggal dan digantikan putra
keduanya Marcus Lalero. Sementara Raja Tagulandang Philip Anthoniszoon
baru meninggal 14 Maret 1715. Valentijn dalam bukunya menyebut bahwa raja yang
ada di sini (Siau) sebelum tahun 1689 bernama Francisco Xavier. Gubernur
Jenderal Speelman 19 Maret 1683 juga menulis Raja Siau yang berayah mantukan
Raja Tabukan.
4. Berdasar missive
para Gubernur Jenderal, 3 putra Raja Francisco Xavier yang kemudian memerintah
setelah adiknya adalah Jacobus Xavier, David Munasa alias Xavier dan Jacobus
Raramo yang dalam tradisi Siau dikenal sebagai Raramenusa. Kalau Monasehiwu adalah
putra Francisco Xavier, maka jelas dialah David Munasa dalam laporan Belanda.
*). Lukisan dari buku
Valentijn.
LITERATUR
Artigas y Cuerva, Manuel, Historia
de Filipinas,
Manila 1916. Internet Archief.
Coolhaas, Dr.W.Ph. Generale
Missiven van Gouverneurs-Generaal
en Raden aan Heren XVII, deel III,
1656-1674, deel IV 1675-1685,dan
deel V 1686-1697.
de la Costa SJ, H. The
Jesuits in the Philipines 1581-1768, Harvard University Press, Cambridge
Massachusetts,1961. Google Books.
Heeres, Mr.J.E. dan Dr.F.W.Stapel, Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, derde deel (1676-1691),
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie,
deel 91, ‘s-Gravenhage, Martinus
Nijhoff, 1934.
Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en
de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677), Bijdragen
tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867.
Klerk, R.de, J.E.Mijlendonk dan W.A.Alting, Rapport over ‘s Compagnie regt op de Groote-Oost.
Miguel Herrera Reviriego, Jose, Manila y Filipinas en
el mundo interconectado de la segunda mitad del siglo XVII. www.academia.edu.
Murillo Velarde, P.Pedro, Historia
de la Provincia de Philipinas de la Compania de Jesus, segunda parte
1616-1716, 1749, Internet Archief..
TANAP Ternate.
Valentijn, Francois, Oud
en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam 1724
Van der Aa, Robide, De
Vermeestering van Siau door de Oost-Indische Compagnie, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van
Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.