Sabtu, 06 Desember 2014

Twapro, Akhir Kaum Pendukung Belanda di Minahasa






Oleh: Adrianus Kojongian








 

Delegasi Twapro dan PTB di tangga Istana Soestdijk. *)





Twapro, kepanjangan dari Twaalfde Provincie, adalah organisasi politik yang pernah populer di Minahasa selang tahun 1946-1950. Dari namanya, gampang ditebak, tujuan pengurus besarnya adalah ingin menjadikan Daerah Minahasa sebagai provinsi keduabelas (twaalfde provincie) dari Belanda. Memang, Negeri Belanda saat itu hanya terdiri atas 11 provinsi, dan banyak daerah, termasuk tanah jajahannya di Indonesia dan Karibia yang oleh segelintir kalangan masyarakatnya dicita-citakan sebagai provinsi keduabelasnya.

Minahasa sebagai Twaalfde Provincie, sebenarnya, sudah bergaung lama di masa kolonial. Prof.Ir.E.C.Gode Molsbergen, Landsarchivaris di Weltevreden menyebutnya di Nieuwe Rotterdamsche Courant 1929 ketika perayaan dua setengah abad Perjanjian Minahasa-Belanda. Aspirasi menjadikan Minahasa sebagai provinsi keduabelas makin sering terdengar di tahun 1930-an, terutama dari kalangan militer Manado dalam KNIL, bahkan keras berkembang dari eks marsose.

Adalah Jan A.Maweikere (namanya sering ditulis Mawikere) dari Tomohon yang tampil sebagai figur utama perpolitikan Minahasa selama setengah dekade memperjuangkan keinginan tersebut. Jan Maweikere adalah pensiunan sersan yang terakhir berdinas di kepolisian Hindia-Belanda dan menjabat detachementscommandant van de gewapende politie di Kalimantan.

Tomohon sejak Belanda berkuasa ulang dijadikan ibukota Keresidenan Manado. Di Kaaten Matani (sekarang Kelurahan Matani I Kecamatan Tomohon Tengah Kota Tomohon) tanggal 25 Maret 1946, Jan Maweikere mendirikan ‘partai’ Twapro yang bertujuan utama menjadikan Minahasa sebagai kesatuan dan provinsi keduabelas dari kerajaan Belanda.

Awalnya Twapro mendapat banyak simpatisan dan anggota dari kalangan pensiunan eks KNIL Manado. Propaganda Twapro gencar dilakukan sampai ke pelosok Minahasa, karena adanya penerbitan media tersendiri, berupa mingguan ‘Kesatuan Kerajaan’. Propaganda pun dilakukan liwat berbagai pemberitaan aktivitasnya di media-media Hindia-Belanda dan di Negeri Belanda liwat berita-berita telegram yang dirilis dari Tomohon. Baru mulai akhir tahun 1946, Twapro membuka lebar-lebar pintunya bagi keanggotaan untuk umum. Sejak saat itu Twapro berubah menjadi salahsatu organisasi politik besar di Minahasa.

Selain Jan Maweikere sebagai ketua, duduk sebagai pengurus besarnya pensiunan-pensiunan yang pintar berorasi dan berpropaganda, umumnya sesama orang Tomohon. D.Poluan, K.Mangundap dan J.A.Pitoy. Mangundap adalah pensiunan Hoofdcommies Departement van Oorlog penerima medali zilver Orde van Oranje-Nassau. Posisi sekretaris Twapro, pertama kali dipegang D.Poluan, kemudian digantikan oleh K.Mangundap 1947 dan D.H.Undap sejak 1949. Undap dari kalangan muda, adalah putra guru tua Zending terkenal di Tomohon Lambertus Undap.

Ketika Minahasaraad (Dewan Minahasa) dibentuk kembali dengan beslit gubernemen tanggal 27 Mei 1946 nomor 1, Jan Maweikere adalah salah seorang dari ke-21 anggota yang dilantik Conica Manado 31 Mei 1946.

Pernyataan politik Twapro selalu menegas kesetiaan kepada Huis van Oranje. Dalam telegramnya kepada Ratu Belanda Juli 1947, Twapro meminta bahasa Belanda tetap harus dipertahankan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Minahasa. Selain itu, Twapro berharap bendera Belanda tetap berkibar megah. Untuk itu, Twapro meminta donasi sebanyak 20.000 bendera yang akan dikibarkan pada perayaan ulang tahun Ratu Belanda.

POSISI KETIGA PEMILU 1948
Di percaturan politik, Twapro memboikot parlemen dan pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT), karena menganggap parlemen dan pemerintahnya sekedar interim. Ketika Minahasaraad memilih anggota parlemen NIT untuk pengganti kursi yang ditinggalkan Herman J.Wenas, Twapro sengaja tidak memberikan suara. Jan Maweikere tanggal 19 November 1947 menegaskan prinsip Twapro adalah menahan diri dari partisipasi dalam pemilu mana pun untuk parlemen NIT. Herman Wenas yang merupakan ambtenar senior dikenal sebagai simpatisan Twapro, dan kelak menjadi penasehat utama Twapro.

Perubahan drastis terjadi minggu kedua bulan Januari 1948. Tiba-tiba, Twapro memutuskan meninggalkan sikap non-kooperatifnya. ‘’Dan memastikan setiap saat dan dalam segala hal, dimana diperlukan akan memberikan bantuan kepada pemerintah, sesuai undang-undang pemerintah interim,’’ demikian pernyataan resminya. Walau demikian, keputusan Twapro tersebut adalah dengan penekanan akan sikapnya untuk terus mengejar tujuannya, yakni membentuk Minahasa sebagai provinsi keduabelas Belanda.

Twapro memperjelas posisi barunya tersebut adalah untuk memungkinkan ikut berpartisipasi dalam pemilihan dewan lokal (Minahasaraad) dan perwakilan lainnya di Minahasa. Pemilihan umum di Minahasa ini adalah yang pertamakali di Indonesia yang diselenggarakan atas dasar perwakilan proporsional, diikuti pria dan wanita berusia di atas 21 tahun.

Pemilihan tersebut berlangsung tanggal 1 Maret 1948, diikuti 236 kandidat memperebutkan 25 kursi yang tersedia di Minahasaraad. Ada 171.721 surat suara yang dikeluarkan dengan 500 kotak suara di seluruh Minahasa. (Berita lain mencatat hampir 136.000 pemilih yang muncul, dari 173.000 pemilih).

Pemungutan suara berjalan sangat tertib, dan hasilnya telah diketahui tanggal 6 Maret 1948. Hoofdenbond, organisasi politik para ambtenaar Minahasa memenangkan pemilihan umum, dengan 28.578 suara, diikuti Barisan Nasional Indonesia (BNI) 28.038 suara, dan di tempat ketiga adalah Twapro dengan 22.382 suara, atau sekitar 25 persen suara pemilih. Partai lain yang meraih suara adalah Pendirian Masjarakat Katolik (Pemakat) 8.320 suara, KRIS 1.758 suara, PGI+PGKI 4.827 suara, Barisan Rakyat 1.665 suara dan Pakasaan Tonsea 3.641 suara.

Hasilnya, kaum federalis mengalahkan kelompok dari barisan pendukung Republik Indonesia. Pembagian kursi di Minahasaraad setelah pemilihan umum adalah Hoofdenbond 7 kursi, Barisan Nasional Indonesia 7 kursi (termasuk kursi PSI), Twapro 5 kursi, Gerakan Pemilih (berasal dari Gerakan Indonesia Merdeka=GIM) 2 kursi, Persatuan Guru Kristen Indonesia (PGKI) 1 kursi dan Pakasaan Tonsea 1 kursi.

Secara individu, Jan Maweikere Ketua Twapro memperoleh suara terbanyak dari semua 236 calon yang berlaga di pemilu. Twapro seperti sebelumnya membentuk sayap kanan ekstrim di Minahasaraad.

Kendati demikian, hasil pemilihan itu tetap digugat Twapro yang mensinyalir terjadinya penyimpangan. Hal mana tentu saja disanggah Kepala Daerah Minahasa (KDM) Dirk August Theodorus Gerungan. Begitu pun Pemerintah NIT membantahnya, lewat pernyataan resmi Kementerian Penerangan 8 Mei 1948.

SINGA MINAHASA
Buntut ribut-ribut, pemerintah NIT ‘menegur’ Twapro, sementara Pemerintah Daerah Minahasa meminta Presiden NIT melarang Twapro dengan surat bertanggal 21 April. Teguran pemerintah NIT yang dianggap Twapro sebagai penghinaan, ditambah pelarangan tersebut, menyebabkan Twapro merubah nama organisasinya lewat pengumuman resminya pada minggu kedua Mei 1948. Alasannya adalah untuk mempertajam perjuangannya. Twapro berganti nama menjadi Singa Minahasa. Namun, meski merubah namanya, sebutan Twapro tetap melekat, dengan embelan Twapro-Singa Minahasa.

Koalisi longgar dilakukan dengan Komite Ketatanegaraan Minahasa (KKM) pimpinan Dokter V.L.Ratumbuysang. Twapro-Singa Minahasa seide dengan KKM agar Minahasa menjadi daerah istimewa. Bila KKM mengingini sebuah negara bagian yang terpisah dari NIT dan perwakilan sendiri di pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), Twapro mengingini negara bagian dibawah naungan Ratu Belanda. Twapro bahkan dalam kongres tiga harinya (27-29 April 1949) resmi memutuskan tidak ingin berhubungan dengan NIT, ‘tapi dalam arti untuk memasuki hubungan khusus dengan kerajaan bentuk baru, dengan status sama seperti Suriname dan Antilen Belanda.’’

Kongres Twapro di Tomohon tanggal 15 Oktober 1948 mengeluarkan mosi mendesak pemerintah Belanda agar mengadakan plebisit di Minahasa sesegera mungkin untuk penentuan status Daerah Minahasa. Bahkan, pengurus besar Twapro pada 18 Juli 1949 menegas keinginan mereka membentuk negara bagian tersendiri itu akan dikomunikasikan kepada Ratu dan parlemen Belanda. Termasuk pula pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden Amerika Serikat Harry S.Truman dan Presiden Filipina Elpidio Quirino.

E.D.Dengah, Jan Maweikere (tengah) dan K.Mangundap. *)

Tanggal 8 Desember 1948 Jan Maweikere memimpin delegasi Twapro-Singa Minahasa ke Jakarta, dengan anggota K.Mangundap dan E.D.Dengah, mantan Menteri Pekerjaan Umum NIT yang bertindak sebagai penasehat Twapro-Singa Minahasa. Delegasi mendesak agar hubungan Belanda-Indonesia dibawah Mahkota Belanda dipertahankan. Delegasi bertemu pejabat-pejabat Belanda serta kelompok-kelompok sehati dengannya, seperti Persatuan Timoer Besar (PTB).

Twapro-Singa Minahasa mengklaim di bulan Desember itu memiliki anggota terdaftar 60.400. Di bulan Januari 1949 Twapro mengumumkan mempunyai anggota sebanyak 67.559 orang, dan Juni 1949 dengan 72.000 anggota. Cabangnya tersebar di berbagai kota Minahasa, bahkan di luar daerah seperti di Makassar.

Menghadapi Konperensi Meja Bundar, Twapro-Singa Minahasa mengadakan kongres besar selama tiga hari (4-6 Mei 1949) membicarakan isu-isu politik yang berkembang. Salah satu keputusan kongres adalah meminta Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota Belanda) di Indonesia Dr.J.M.Beel agar mendesak L.N.'Babe' Palar, delegasi Republik Indonesia untuk PBB di Lake Succes memperhatikan Minahasa tempat kelahirannya. Babe Palar yang asal Tomohon diharapkan secara pribadi akan meyakinkan dunia kalau Minahasa sangat damai dan ketertiban berlaku, dan secara khusus bahwa penduduknya menganut paham Huis van Oranje.

Di hari-hari tersebut, sikap anti-NIT dari Twapro ‘terguncang’ ketika Perdana Menteri NIT Anak Agung Gde Agung menunjuk Jan Maweikere sebagai anggota parlemen NIT untuk mengisi kursi yang ditinggalkan Hendriks.

Twapro sampai harus menggelar kongres selama 3 hari (27-29 April 1949), dan memutuskan tidak menerima penunjukan ketuanya. Pengurusnya beranggapan pengangkatan Jan Maweikere sebagai anggota parlemen NIT tidak sesuai dengan tujuan Twapro-Singa Minahasa. Jan Maweikere sendiri menjawab penunjukannya itu sebagai hanya bisa menerimanya secara pribadi, dan bukan dalam kapasitas sebagai Ketua Twapro.

Buletin Twapro bulan Juni 1949 mengumumkan Twapro akan berpartisipasi dalam Konperensi Meja Bundar, dan bersama KKM dan partai lain seperti Pemakat membentuk delegasi bersama ke Jakarta untuk mendapatkan informasi serta memperjuangkan kepentingan Minahasa dalam KMB.

Delegasi KKM di Jakarta: G.C.Dimpudus, J.R.Tulaar, J.A.Maweikere, J.P.Mongula dan F.A.P.Pitoy. *)

Ketua delegasi adalah Jonathan Rondonuwu Tulaar asal Kamasi Tomohon, ketika itu menjabat Hoofd van de Residentie Waterstaat Dienst, Sekretaris delegasi G.C.Dimpudus, Ketua Pemakat. Anggota delegasi  Jan P.Mongula Sekretaris KKM serta Jan Maweikere Ketua Twapro. Di Jakarta, delegasi menemui berbagai instansi dan pihak, termasuk beraudiensi 13 Juni dengan Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia selama 1 jam. Delegasi didampingi penasehat KKM, anggota parlemen NIT asal Matani Tomohon F.A.P.Pitoy.

Twapro dan KKM mendapat angin segar dari pemerintah Belanda yang menegas bahwa semua kelompok masyarakat dan pihak dari Indonesia sedapat mungkin akan diwakili di Konperensi Meja Bundar. Meski, masih harus menunggu pembahasan persyaratan akhir dari Konperensi Meja Bundar yang akan dilaksanakan di Jakarta, dan belum diambil keputusan apapun pada komposisi delegasi Indonesia ke KMB, Twapro menegas keikutsertaan pihaknya—demikian pula dengan KKM—sudah final.

Kontak KKM di Negeri Belanda adalah Dr.S.J.Warouw, mantan Perdana Menteri NIT, sementara Twapro Herman Wenas, ambtenaar yang tengah cuti di Den Haag.

Delegasi Twapro yang dibentuk untuk KMB Juni 1949 sebagai ketua adalah Jan Maweikere, sekretaris D.H.Undap dan penasehat Herman J.Wenas. Tapi, akhir Juli 1949, delegasi Twapro mengalami perubahan komposisi. Penasehat Herman Wenas digantikan oleh Mr.Konrad Ranti, ambtenar di Departemen Onderwijs, Kunsten en Wetenschappen (OKW) di Jakarta. Anggota delegasinya menjadi K.Mangundap, D.Undap dan Mr.Ranti.

Mr.Ranti merangkap pula sebagai sekretaris pertama delegasi KKM. Delegasi KKM sendiri menyertakan intelektual Minahasa seperti Prof.dr.J.C.Engelen, mantan gurubesar Universitas Indonesia dan Dr.S.J.Warouw.

Tapi, pembentukan delegasi-delegasi tersendiri ini menimbulkan perdebatan sengit dan kekacauan di Minahasaraad yang berkepanjangan hingga akhir tahun 1949. Tanggal 7 Juli 1949 pleno Minahasaraad yang didominasi kelompok pendukung Republik memutuskan tidak ada delegasi terpisah ke KMB, dan memberi kepercayaan penuh pada NIT. Sebagai wakil, Minahasaraad kemudian menunjuk 2 anggotanya untuk menghadiri KMB, sehingga pihak oposisi di Minahasaraad seperti Twapro, Hoofdenbond dan Pemakat memprotes keras.

Delegasi Twapro dan PTB di Jakarta. Undap di depan.  *)

Delegasi Twapro yang diwakili D.H.Undap baru berangkat ke Negeri Belanda 29 Agustus 1949, bersama rombongan PTB pimpinan L.Polhaupessy, K.K.Vigeleyn-Nikijuluw, dan D.P.Zacharias. Status Undap sebagai anggota delegasi PTB/Twapro. Konperensi Meja Bundar sendiri telah mulai digelar di Den Haag 23 Agustus dan berlangsung hingga 2 November 1949.

Twapro, KKM dan PTB yang mengharapkan memilik posisi khusus dalam KMB harus gigit jari, meski telah melobi dan bertemu pengurus partai-partai politik Belanda, seperti Partai Liberal (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie=VVD), Partai Rakyat Katolik (Katholieke Volkspartij=KVP), Anti-Revolutionaire Partij (ARP) dan Christelijk-Historische Unie (CHU). Namun, propaganda dan publisitas besar media-media Belanda bahwa mereka telah setia kepada Ratu, bendera tiga warna dan melayani untuk kepentingan kerajaan, mendatangkan banyak simpati di Negeri Belanda. Ratu Belanda sendiri sengaja menerima perwakilan Twapro dan PTB bersama KKM di istana Huis ten Bosch, Rabu 19 Oktober 1949.

Delegasi PTB dan Twapro menuruni tangga Istana Huis ten Bosch. Undap kedua belakang. *)

Kecewa dengan NIT dan kegagalan di KMB menyebabkan koalisi Twapro dan KKM semakin gencar memperjuangkan Minahasa lepas dari NIT dan berdiri sendiri sebagai negara bagian dalam RIS, lewat pelaksanaan plebisit.

PEMILU PARLEMEN NIT
Dokter V.L.Ratumbuysang, Ketua KKM dalam wawancaranya dengan Locomotief Oktober 1949 mengklaim bersama Twapro dan partai pendukungnya memiliki mayoritas suara dari sekitar 400 ribu penduduk Minahasa, dengan 171.000 orang yang berhak memilih. Hitungan Ratumbuysang adalah kelompok kanan, terdiri Twapro memiliki 73 ribu anggota dan Pemakat 15 ribu anggota, berbanding terbalik dengan pendukung republik yakni: GIM dan PSI, dengan sekitar 40 ribu anggota. Ia meyakini sekitar 43 ribu suara yang belum menentukan sikapnya akan berubah setelah diberikan penjelasan-penjelasan. Ia pun membela Twapro, bahwa anggota Twapro yang pensiunan militer dan keluarganya hanya beberapa ribuan orang saja.

Pertemuan KKM di Tomohon. *)

Ternyata, pemilihan umum yang digelar di Minahasa 23 Oktober 1949 untuk memilih anggota baru parlemen NIT, membuktikan lain. Partai-partai kanan yang bersatu dalam front KKM mengalami kekalahan dari kaum nasionalis. Di distrik pemilihan (kiesdistrict) Minahasa Utara, kaum nasionalis dari Barisan Nasional Indonesia (BNI) dan Gerakan Indonesia Merdeka (GIM) serta kandidat non-partai unggul mutlak, dengan meraih 38.032 suara, sementara partai oposisi (KKM dan Twapro) hanya memperoleh 19.911 suara atau sekitar 19 persen pemilih.

Di Minahasa Selatan, KKM dan Twapro hanya meraih 29.141 suara, sementara kaum nasionalis dan non-partai meraih 36.080 suara. Meski perbedaannya tidak begitu besar, mayoritas pemilih dimenangkan nasionalis.

Bila digabung dua daerah pemilihan tersebut (Minahasa Utara dan Minahasa Selatan), KKM dan Twapro memperoleh 49.052 suara berbanding kaum nasionalis dan non-partai sebanyak 74.112 suara dukungan. Twapro sendiri secara keseluruhan berhasil mengoleksi 39.000 suara pemilih.

Untuk calon anggota parlemen NIT dari Minahasa Utara, H.R.Ticoalu dari Hoofdenbond meraih 32.386 suara melawan M.B.Tumbel dari BNI yang memperoleh 24.314 suara dukungan.

Di Distrik Pemilihan Minahasa Selatan, kekecewaan Twapro atas hasil keseluruhan pemilihan tersebut, terobati, karena Ketua Twapro Jan Maweikere unggul, meski tipis, dari saingan dekatnya Ds.Manuel Sondakh, Ketua GIM.  Jan Maweikere berhasil meraih 33.115 suara, sementara Manuel Sondakh hanya memperoleh 32.146 suara.

Dengan demikian Jan Maweikere terpilih mewakili Twapro di parlemen NIT dari distrik pemilihan Minahasa Selatan dan H.R.Ticoalu dari distrik pemilihan Minahasa Utara. Jan Maweikere sebagai anggota tertua, dipilih menjadi ketua sementara memimpin rapat anggota parlemen NIT baru yang bersidang di Makassar 21 Februari 1950. Ia kemudian bergabung dalam Fraksi Nasional Progresif.

AKHIR RIWAYAT
Upaya Jan Maweikere terakhir setelah pelarangan Twapro-Singa Minahasa Januari 1950, adalah membentuk front federalis di Tomohon, Gerakan Republik Indonesia Timur (GRIT) dengan sebuah pertemuan besar akhir Maret 1950 di Bioskop Sonya Kamasi Tomohon. GRIT mendukung upaya Dr.Chris Soumokil membentuk Negara Indonesia Timur. Namun, ketika Soumokil datang ke Manado dari Makassar dengan pesawat yang disediakan Kolonel L.Schotbergh, Territorial Troepencommandant Indonesia Timur dan Nieuw-Guinea, ia segera diusir. Perannya sebagai Jaksa Agung NIT dalam eksekusi mati pahlawan Robert Wolter Mongisidi yang berasal Minahasa menjadikan Soumokil dibenci di Minahasa. Karenanya Soumokil terbang ke Ambon dan kemudian 25 April 1950 memproklamasikan Republik Maluku Selatan.

Riwayat Twapro dan cita-cita Jan Maweikere berakhir ketika Batalyon 3 Mei dibawah Mayor A.H.Mengko mengambilalih kekuasaan di Manado, dan menahan antara lain pimpinan Twapro.

Kekuatan KKM dan Twapro otomatis tersapu bersih, ketika Dewan Minahasa pengganti Minahasaraad dibentuk dengan keputusan Perwira Teritorial Daerah Minahasa Kapten W.H.Korompis tanggal 19 September 1950. Dewan Minahasa yang baru terdiri atas 25 anggota mantan anggota Minahasaraad ditambah perwakilan semua pihak dan organisasi yang tidak terwakili dalam Minahasaraad tua. Masing-masing pihak atau organisasi memiliki 2 kursi.

Kepala Tinggi Pemerintahan H.D.Manoppo dengan tegas mengatakan Twapro dan KKM tidak lagi memiliki pengaruh apa-apa.

Republik Indonesia Serikat tamat riwayatnya, ketika Indonesia menjadi negara kesatuan 16 Agustus 1950. Jan Maweikere sendiri tidak sempat menyaksikan peristiwa-peristiwa terakhir karena pada Juli 1950 ia meninggal dunia di Tomohon. ***



*). Foto koleksi  KITLV-Het Geheugen van Nederland, dan  repro foto Delpher Kranten (Het Dagblad 18 Desember 1948, De Locomotief 1 September 1949 dan Java Bode 28 Oktober 1949).


BAHAN OLAHAN
Delpher Kranten:
De Locomotief 3 Maret 1948, 21 November 1947, 15 Mei 1948,13 Juni 1949, 15 Juni 1949, 19 Juni 1949, 30 Agustus 1949, 15 Oktober 1949, 21 Oktober 1949.
De Tijd 12 Desember 1949.
De Vrije Press 28 Januari 1949, 29 Maret 1949, 14 Juni 1949, 23 Juni 1950.
Heerenveense Koerier 15 Januari 1948.
Het Dagblad, 26 September 1946, 24 Juli 1947, 24 Januari 1948, 10 Maret 1948, 10 Mei 1948, 23 Oktober 1948, 18 Desember 1948, 30 Maret 1949, 7 Mei 1949, 27 Juni 1949, 30 Juli 1949.
Het Nieuwsblad voor Sumatra 6 Mei 1949, 14 Juni 1949, 18 November 1949.
Java-Bode 22 Oktober 1949, 11 Oktober 1949, 13 Oktober 1949, 20 Oktober 1949, 5 November 1949, 30 Januari 1950, 30 Maret 1950, 28 Juli 1950, 3 November 1950.
Leewarder Courant 15 Januari 1929, 22 November 1949, 26 November 1949, 23 Desember 1977.
Limburgsch Dagblad 24 Oktober 1949.
Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat, Dr.Ide Agung Gde Agung, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 1985.
Ensiklopedia Tou Manado.
Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, Korps Pembangunan Merah Putih 14 Februari 1946 Dewan Harian Khusus DKI Jakarta, 1977.
Sejarah Minahasa, F.S.Watuseke, Manado 1962.
Wikipedia.