Senin, 15 Maret 2021

Tahuna Desember 1677

 

 

 

 

 


 

 

 

Kota Tahuna di tahun 1677 hanya negeri kecil saja. Berbeda dengan kondisinya sekarang sebagai ibukota dari Kabupaten Kepulauan Sangihe (sebelumnya malah ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud). Kotanya telah tumbuh sebagai kota terbesar di belahan utara Provinsi Sulawesi Utara yang memekar sebagai tiga Kabupaten.

Di tahun 1677, Tahuna dalam arsip-arsip kolonial masih dicatat sebagai Taruna. Hanya satu kerajaan kecil di Pulau Sangihe Besar, berbatasan di bagian utara dengan kerajaan Kendahe (masih disebut Kandhar) yang diperintah raja Islam Datu Buisan. Juga kerajaan Tabukan di timur dipimpin Kaicil Garuda atau Burudao, dan kerajaan Manganitu di selatan dengan Raja Don Martin Takinita bergelar Tabingnetan atau Takanetang (tradisi lokal Takaengetang)

Sketsa Tahuna di atas dirupakan oleh salah seorang pelukis yang ikut dalam ekspedisi Gubernur Kompeni Belanda (VOC) Dr.Robertus Padtbrugge ke Tahuna pada bulan Desember 1677.

Raja yang memerintah Tahuna masa ini adalah Don Martin Tatandam (sumber lain mencatat famnya sebagai Talantang atau Totando, sedangkan Valentijn Tatantang dan eks Residen A.J.F.Jansen Talandang).

Berbeda dengan Kendahe yang awalnya dikuasai penguasa Islam, Tahuna telah menganut Kristen sejak awal. Pengkristenan pertama di Tahuna dari Katolik berlangsung awal Oktober 1568, ketika Padri Jesuit Pedro Mascarenhas membaptis raja dan ratunya masa kerajaan masih dikenal dengan nama Kolongan. Mascarenhas telah memikul bersama sang raja didampingi sepupunya Raja Jeronimo dari Siau  salib besar yang didirikan di pantai Kolongan ketika itu. Juga membangun sebuah gereja. Namun Mascarenhas tidak mencatatkan nama sang raja. 

Tapi Hubert Jacobs SJ dalam Documenta Malucensia menyebutnya bernama Dom Miguel mengutip surat Provincial SJ di Cochin Pero Francisco 2 Desember 1612. Diduga dialah Tatehe (Tetehe), raja yang dalam tradisi lokal dianggap pendiri kerajaan Tahuna.

Pengganti Raja Tatehe adalah Buntuan. Buntuan masih sepupu dari Raja Tabukan Gadma. Atas undangan Gadma, Padri Juan Yranzo dan Padri Bartholome Tejada de San Diego dari Fransiskan datang ke Sangihe Besar, dan melakukan pembaptisan terhadap Buntuan dan Gadma tahun 1639. Raja Buntuan dibaptis bersama istri dan anak-anaknya. Ia mendapat nama serani Don Juan Buntuan. Buntuan adalah pendiri gereja serta biara Fransiskan di Kolongan.

Namun, pada Oktober 1666 Raja Don Juan Buntuan menyerah pada tekanan Kompeni Belanda dan Ternate. Ia kemudian memilih agama Kristen Protestan, sehingga pada September 1670 dilaporkan Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi kepada Gubernur Jenderal Spanyol di Manila Manuel de Leon.

Pengganti Raja Don Juan Buntuan adalah Don Martin Tatandam. Meski masih bernama Spanyol, ia sudah Kristen Protestan. 

Raja Martin Tatandam dilaporkan sebagai seorang yang berpengetahuan luas dan bersemangat dalam Kekristenan, dan sangat disukai oleh Gubernur Padtbrugge. Bahkan, bersama Padtbrugge, ia  menjadi ayah baptis (papa ani) ketika Raja Tabukan Kaicil Garuda sekeluarga dibaptis Protestan oleh Ds.Zacharias Caheing 2 Desember 1677 bernama Francisco Maccarompus (Makaampo).

Nama Tahuna baru resmi dipakai di masa Raja Martin Tatandam tahun 1675.

Arsip-arsip Spanyol termasuk Dagregister Batavia 1664 masih mencatat Raja Don Juan Buntuan sebagai Raja Kolongan dan berkediaman di Kolongan (sekarang di Kecamatan Tahuna Barat). Arsip Kompeni Belanda tahun 1670 mencatat nama kerajaan sebagai Kerajaan Kolongan. Terakhir pada awal tahun 1676 Raja Don Martin Tatandam ketika menyurati Gubernur Ambon Anthoni Hurdt masih membahasakan diri sebagai Kolano (raja) Kolongan. 

Nama Taruna pertama kali tercatat resmi dari laporan Predikant Jacobus Montanus ketika melapor pada Gubernur Anthoni Hurdt tanggal 17 November 1675 bertanda 'in de Negry Taroena' di Pulau Sangir. Dalam Dagregister Padtbrugge, juga korespondensi Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker ke Heren XVII 28 November 1676, nama Taruna umum dipakai.

Dampak baru pindahnya ibukota kerajaan dari Kolongan ke Tahuna di sebelah timurnya mungkin menyebabkan Tahuna dalam lukisan di Dagregister Gubernur Padtbrugge terlihat bersuasana sepi dan kecil saja.

Mungkin pula karena situasi politik Tahuna masa itu. 

Pasalnya, ketika Don Juan Buntuan masih memerintah, Sultan Ternate Mandarsyah melakukan tindakan pecah belah kerajaannya yang tidak disetujui Padtbrugge. Jogugunya Don Philip Datunseka (sumber lain Philip d’Atonseka atau Philip de Antonseca), seorang Protestan, diangkat Mandarsyah menjadi Raja Sawang (masih ditulis sebagai Saban), salah satu negeri bagian dari Taruna yang berada di utara Tahuna (sekarang di Kecamatan Tahuna). Pengganti Mandarsyah, anaknya Kaicil Sibori (Sultan Amsterdam) melantik Don Philip Datunseka secara resmi sebagai Raja Sawang tahun 1676, dimana Datunseka telah masuk Islam. Sawang kemudian digabungkan ulang dengan Taruna dan tahun 1686 Datunseka ditahan Gubernur Johan Henrik Thim, dibawa ke Batavia dan diasingkan ke Ceylon (Srilanka).

Masalah lain yang dialami Raja Martin Tatandam, ia memiliki pesaing ketika naik tahta. Adiknya Pangeran Don Paccarilla (sumber lain Pocarilla) tidak terima dan memeranginya. Setelah kalah perang, Don Paccarilla lari ke Tamako, kantong Siau di Sangihe Besar, meminta perlindungan Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi. Turut bersama Don Pacarilla ke Tamako lebih seribu orang pengikutnya. Pacarilla sering menyerang Taruna dan melarikan penduduknya. Gubernur Padtbrugge tentu saja mendukung Raja Don Martin Tatandam, apalagi Don Martin Tatandam telah meneken kontrak dengan Padtbrugge pada 3 November 1677 bersama mantri bobatonya, yakni Jogugu Francisco dan Hukum Mateo.

Pengaruh politik ini terlihat pada pemandangan Taruna ketika Gubernur Padtbrugge datang ke Taruna Desember 1677 dengan kapal chaloup de Eendracht (gambar F) yang buang jangkar agak jauh di lepas pantai. Banyak rumah-rumah di Taruna yang kosong tanpa penghuni di pinggir pantai (pemukiman cukup besar) hingga ke kaki bukit yang seperti digunduli (gambar D).

Bangunan terbesar terlihat sedikit jauh dari pantai, di balik pohon-pohon kelapa adalah istana raja (gambar A). Negeri ibukotanya (gambar B) hanya memperlihatkan sebuah bangunan besar yang mungkin juga sebuah istana lain serta dua rumah lainnya.

Di antara negeri raja dan istana Raja Don Martin Tatandam berada sebuah Gereja Protestan (gambar C). Gereja tersebut merangkap sebagai sekolah. Menurut Ds.Jacobus Montanus yang mengunjunginya pada November 1675, sekolah di Taruna ini dipimpin oleh meester (guru) bernama Marcus de Rosario dengan puluhan siswa.

Gambar E memperlihatkan lokasi berpagar di ketinggian bukit yang mungkin berfungsi sebagai pos untuk mengawasi perairan dan arus lalulintas di teluk.

Raja Don Martin Tatandam masih memerintah Taruna hingga tahun 1697 ketika diganti Don Louis Melangin yang dilantik di Ternate oleh Gubernur Salomon le Sage. Dalam tradisi lokal Don Melangin disebut Takaulimang, meninggal pada 20 Februari 1705.

Kelak tahun 1898 kerajaan Taruna disatukan dengan Kandhar menjadi Kerajaan Kandhar-Taruna, dengan pelantikan raja pertama Salmon Dumalang di Manado tanggal 31 Agustus 1898.***

 

 

 

*). Lukisan dari Dagregister Gubernur Padtbrugge, koleksi Nationaal Archief Den Haag (NL-HaNA_1.04.02_1337_0494, Inventaris van het archief van de Verenigde Oost-Indische Compagnie 1602-1795).

 

---------

LITERATUR

Aa, Robide van der, Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden (16 Aug.-23 Dec.1677, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1867.

Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, vyf  deelen, Joannes van Bram dan Gerard Onder de Linden, Dordrecht-Amsterdam, 1724.

 

Jumat, 12 Maret 2021

Ulu Siau Oktober 1677

 

 

 


 

 

Ulu Siau sekarang tentu berbeda sekali dengan kondisinya di tahun 1677. Sekarang statusnya adalah ibukota dari Kecamatan Siau Timur di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Kota Ulu mencakup Akesimbeka, Bahu, Bebali, Tarorane dan Tatahadeng yang berstatus kelurahan.

Bagaimana kondisinya sekitar 344 tahun silam? 

Gubernur Kompeni Belanda (VOC) di Maluku Dr.Robertus Padtbrugge menggambarkannya dengan detil dalam catatan harian (dagregister) perjalanannya per 16 Agustus -23 Desember 1677.

Di tahun 1677 itu, ketika Padtbrugge berada di Siau, Ulu adalah negeri terbesar di Siau. Ibukota dari kerajaan Katolik Siau. Raja yang memerintah Siau adalah Don Francisco Xavier Batahi, seorang lulusan perguruan tinggi Katolik terkenal di Manila Filipina, Collegio San Jose milik Jesuit.

Tapi di bulan Oktober 1677, kendati ibukota resmi kerajaan adalah Ulu, sang raja memilih tinggal di negeri Pehe yang berada di pantai barat Pulau Siau. Kejadian ini berkaitan dengan kondisi politik yang sangat tegang.

Ibukota Ulu yang berbukit-bukit dihiasi pepohonan dan barisan tanaman kelapa seakan tenang dan lengang. Padahal suasana ketika itu sangat genting, karena dalam keadaan perang. 

Negeri Ulu dilukis ketika Gunung Karangetang di belakangnya tengah beraktivitas. Padtbrugge mencatat peristiwa ini terjadi pada hari Jumat tanggal 29 Oktober 1677, saat Karangetang (gambar F) yang disebutnya sebagai Gunung Api atau Gunung Awu melontarkan material debu tebal. Kapal-kapal Kompeni dan sekutunya Ternate yang berada di dekat pantai Ulu dan perairan lepas pantai hingga jarak 2 mil jadi berselimut debu.

Ulu telah diblokade ketat sejak 22 Oktober oleh puluhan kapal besar dan kecil dari jenis chaloup milik Kompeni serta kora-kora dari Sultan Ternate Kaicil Sibori (Sultan Amterdam) dan bawahannya dari Banggai, Xula, Tambuku dan Lohia. Turut mengepung bersama di sudut Ulu adalah kora-kora dari Tagulandang, Bolaang, Kaidipang dan Gorontalo. Termasuk beberapa dari Tabukan, Taruna dan Kandhar (gambar I).

Raja Don Francisco Xavier Batahi resminya diperangi Sultan Amsterdam. Tapi kekuatan raksasa yang memusuhinya ini sebenarnya digerakkan oleh Padtbrugge yang menanti di kapal komando Vliegende Swaan (gambar H). Padtbrugge adalah orang di belakang layar dalam upaya penaklukan Siau dengan berkedok klaim Sultan Ternate.

Selain kapal bendera Vliegende Swaan, Kompeni Belanda sengaja mengerahkan chaloup de Rooden Haan, de Eendracht, serta chaloup Terlucco yang tidak terlihat pada lukisan.

Pertahanan Ulu tampak terbuka dari perairan lepas. Membantu Siau dan Raja Don Francisco Xavier Batahi hanya segelintir tentara Spanyol yang dipimpin oleh Kapten Andreas Serrano yang telah bertugas di Siau sejak tahun 1671. 

Tentara Spanyol bertahan di benteng Santa Rosa yang berada di dekat pantai (gambar A) dan sebuah anak sungai (gambar G) yang mengalir ke Teluk Ulu. Benteng Santa Rosa tampak tidak kokoh karena hanya dipagari kayu. Namun, meriam Spanyol dari Santa Rosa sekali-kali ditembakkan membalas muntahan meriam 6 pond Ternate dan Belanda yang menyerang pertahanan Siau. 

Benteng Santa Rosa sendiri hanya dipertahankan oleh 17 serdadu Spanyol, ditambah beberapa Pampango dan kaum mardiker Siau. Di tahun 1671 benteng Santa Rosa masih diperkuat dengan 20 tentara Spanyol dan beberapa tentara Pampango dari Luzon. Padahal lawannya mengerahkan sekitar 1.500 prajurit, 1.180 diantaranya dari kekuatan Sultan Amsterdam.

Benteng Santa Rosa tidak sampai hancur, karena Padtbrugge menjaga slogan perdamaian yang telah diteken kedua negara. Selama perang singkat itu, Padtbrugge berkali mengirim utusan (gambar perahu berbendera Kompeni Belanda yang bertolak dari kapal Vliegende Swaan) untuk membujuk Kapten Serrano menyerah. 

Di seberang dari benteng Santa Rosa, masih agak dekat dengan pantai pula terdapat sebuah negeri dengan gereja serta pastori milik Jesuit (gambar D). Pemukiman ini dihuni oleh orang-orang Spanyol, kaum mardiker dan para pengungsi Spanyol berasal dari Ternate. Di sini tinggal Padri Emmanuel Espanol dan Carol Torcotti. Tapi, ketika lukisan dibuat, para padri dan penduduk telah mengungsi di benteng Santa Rosa, termasuk kemudian Padri Jeronimo de Cebreros. Ditinggalkannya negeri tersebut karena pada hari Minggu tanggal 24 Oktober tembakan meriam dari kapal jatuh di dekat gereja ketika penduduk sementara beribadah. Siang harinya, karena tiupan angin kencang, terjadi kebakaran hebat yang membakar gereja dan pastori tersebut.

Pemukiman orang Siau sendiri berada di balik pebukitan, agak jauh dari pantai. Menyamping di atas bukit sebelah belakang benteng Santa Rosa terdapat negeri besar orang Siau (gambar B) yang berpagar. Sementara agak jauh terlindung oleh pepohonan lebat berada benteng orang Siau (gambar E) yang juga berpagar kayu dan dipertahankan oleh panglimanya Kapitein Laut Santiago Manumpil, ipar Raja Don Francisco Batahi. 

Berdekatan dengan pemukiman penduduk, di balik bukit lainnya berada dua negeri lain milik raja (gambar C) yang juga berbenteng. Kota raja ini akan ditempati raja ketika datang di Ulu. Juga rumah-rumah keluarga dan kerabat dekat raja serta kaum bangsawan Siau lainnya.

Meski pun pasukan Siau kalah perlengkapan perang, tapi mereka berperang dengan gigih. Bahkan, sempat memukul mundur pasukan ekspansi pada 26 Oktober dan di hari Sabtu 30 Oktober yang menyebabkan seorang panglima Sultan Amsterdam, Sadaha Calamata dari Banggay terluka dan meninggal. 

Namun, pada lusanya, hari Senin 1 November 1677, Kapten Andreas Serrano menyerah, diikuti pasukan Siau dan Raja Don Francisco Xavier Batahi.

Selengkapnya baca: Kerajaan Siau Tempo Dulu. Catatan Harian Padtbrugge.


  ------

*). Lukisan dari Dagregister Gubernur Padtbrugge, koleksi Nationaal Archief Den Haag (NL-HaNA_1.04.02_1337_0280, Inventaris van het archief van de Verenigde Oost-Indische Compagnie 1602-1795). Juga dari Spanish Moluccas (terima kasih kepada Tuan Antonio Campo Lopez, sejarawan Spanyol).

 

 

LITERATUR

Aa, Robide van der, Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677), Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1867.