Sabtu, 18 Agustus 2018

Kepulauan Talaud Tempo Dulu (5)





                      Oleh: Adrianus Kojongian



 
President Jogugu Beo dan bawahannya tahun 1902. *)




Belanda semakin merasa Pulau-Pulau Talaud sangat penting, setelah Amerika Serikat mengklaim Miangas, pulau paling bersipatan dengan Filipina. Segera dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia-Belanda J.B.van Heutsz tanggal 4 Mei 1906 dibentuk Afdeeling Sangi-en Talaud-eilanden berkedudukan di Tahuna yang dipimpin seorang asisten-residen tituler, yakni H.Ch.Douwes Dekker mulai 11 Juni 1906, dan kemudian H.Th.Pino Post 26 Agustus 1908.

Kepulauan Talaud pun dibentuk sebagai satu onderafdeeling mencakup Kepulauan Nanusa dan Pulau Palmas alias Miangas. A.D.Vischer diangkat sebagai Kontrolir Kepulauan Talaud berkedudukan di Lirung Pulau Salibabu, menempati posnya sejak Agustus 1906. Untuk membantunya diangkat pula J.E.Franken sebagai Aspiran Kontrolir. Selain itu ditempatkan seorang penulis pribumi dengan gaji 25 gulden per bulan dan empat opas polisi bergaji 12,50 gulden.

Kebijakan baru tersebut sangat mendadak. Karena baru pada 1 Oktober 1903 Residen Manado Steven Jan Matthijs van Geuns yang belum lama mengganti Jellesma menetapkan kembali Lirung sebagai tempat bagi pejabat sekelas Posthouder. J(ohannis) E(ugenius) Leidelmeijer yang telah memimpin Talaud sejak tahun 1888 masih dipercaya sebagai pejabatnya (hingga 1905).

Setelah Kontrolir Vischer, berturut-turut pejabat Belanda yang memimpin Onderafdeeling Kepulauan Talaud adalah: E.Gobee (kontrolir) Desember 1910, L.Th.van Heusden (civiel gezaghebber dengan fungsi kontrolir) 1911, M.R.Brouwer (civiel gezaghebber) Februari 1913; J.H.Riem (kontrolir) Januari 1915, J.P.de Kat Angelino (kontrolir) 1916, Th.P.Craus (civiel gezaghebber) Januari 1918, W.C.Voorn (aspiran kontrolir) April 1922 dan A.F.Neijs (civiel gezaghebber) Oktober 1922.

PEMERINTAHAN SENDIRI
Kebijakan berikutnya terjadi tahun 1912. Kepulauan Talaud dicanangkan menjadi Landschap ‘merdeka’ dengan pemerintahan sendiri yang mandiri. Lepas dari semua kerajaan induk, serta memiliki uang kas landschap yang tersendiri pula.

Klaim dari semua raja di Sangihe Besar, Siau dan Tagulandang atas depedensinya di Kepulauan Talaud diakhiri.

Pejabat Raja Siau Abraham Jacob Mohede di Ulu bersama landsgrootennya dengan deklarasi (verklaring) tanggal 6 Mei 1912 menyerahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda kejoguguan Mangaran, Kabaruan dan Taduwale. Disusul Raja Tabukan David Sarapil dengan verklaring 11 Mei 1912 menyerahkan kejoguguan Lirung, Moronge, Salibabu, Kiama, Beo, Lobbo, Essang, Banada, Amata dan Rainis. 

Lalu Salmon Ponto Raja Kandhar-Taruna (Taruna telah digabung dengan Kandhar 1898) pada 13 Mei 1912 menyerahkan kejoguguan Nanusa. Bersama dengannya, di Tahuna di tanggal sama, Raja Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis menyerahkan Tarung dan Niampak. Dua hari kemudian (15 Mei 1912) di Tagulandang, Raja Tagulandang Laurentius Manuel Tamara menyerahkan kejoguguan Pulutan dan Lehang. 

Kesemua kejoguguan yang diserahkan diambilalih serta diterima resmi dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia-Belanda A.F.W.Idenburg 18 Februari 1915 nomor 18.

Namun, tindakan penyerahan koloni-koloni itu sangat tidak disukai raja-raja Sangihe. Terutama Pejabat Raja Siau Abraham Mohede menentang terang-terangan penyerahan wilayahnya di Talaud, termasuk rencana Belanda menggabungkan kejoguguan Tamako serta pulau-pulau Mahumu, Kalama, Karakitan, Mahengetang, Bara, Nitu, Salangkere, Siha, Silahe, Bowondeka dan Sengelon kepada Manganitu. Meski kemudian menjadi tokoh paling pertama meneken deklarasi penyerahan wilayahnya di Talaud, Mohede segera diberhentikan dengan keputusan pemerintah kolonial 19 Juni 1912 nomor 8. Hanya sebulan setelah meneken verklaring. Ia digantikan pejabat lalu definitif raja Anthonie Jafet Kansil Bogar yang kemudian menyerahkan enklave Tamako serta pulau-pulau tersebut kepada Manganitu 9 Januari 1913.

Raja Tagulandang Laurentius Manuel Tamara juga minta berhenti, dan disetujui dengan keputusan gubernemen 17 September 1912 nomor 23, digantikan Cornelius Tamaleroh (baca Mengenal Raja-raja Tagulandang 2).

Landschap baru diberi nama Kerajaan Kepulauan Talaud (Talaud-eilanden) mencakup semua kejoguguan bekas depedensi. Ibukota kerajaan ditetapkan di Beo di Pulau Karakelang. Segera pula kedudukan kontrolir Kepulauan Talaud yang berada di Lirung dipindahkan ke Beo bulan September 1915.

Penunjukan Beo sebagai ibukota, awalnya mendapatkan tentangan keras dari President Jogugu Lirung Simon Petrus Tukunan (fam sering ditulis Toekoenan atau Tucunan). Namun, kemudian tanggal 20 September 1913, Tukunan datang ke Manado menemui Residen Philipe Jules van Merle, dan menyatakan keterikatannya dengan pemerintah kolonial, serta keinginannya untuk tetap berada di wilayahnya.

Berdasar pasal 4 beslit 18 Februari 1915, Zelfbestuur Landschap Kepulauan Talaud dilaksanakan oleh Dewan Jogugu (Landsgrooten), terdiri dari para jogugu dan dipimpin oleh kontrolir Talaud-eilanden.

Peresmian dewan jogugu berlangsung 27 Maret 1916 dengan penandatanganan korte verklaring (pernyataan singkat) uniform model (model seragam) yang memperoleh peneguhan dengan beslit gubernemen 29 September 1916 nomor 3.

Para jogugu yang bertindak sebagai bestuurder Landschap Kepulauan Talaud dan telah meneken korte verklaring adalah Julius Sario Tamawiwij (fam sering hanya dicatat Tamawiwi); Corinus Lampah, Nicolaas Goemansalangi, Cornelis Alex Sario Tamawiwij dan Petrus Willem Bamboeloe.

Julius Sario Tamawiwij adalah Jogugu Karakelang Utara (Noord Karakelang) sejak tahun 1915. Ia menjadi tokoh menonjol di Talaud menggantikan peran President Jogugu Lirung S.P.Tukunan. Tahun 1920 ia menjadi jogugu seluruh Karakelang. Corinus Lampah Jogugu Salibabu, tapi kemudian digantikan Cornelis Alex Sario Tamawiwij tahun 1920. Sementara Nicolaas Goemansalangi adalah Jogugu Kabaruan, sebelumnya sampai 1915 menjabat President Jogugu Mangaran.

Kemudian, dengan kesepakatan dari Dewan Jogugu yang memperoleh beslit dari gubernemen Hindia-Belanda 15 Juli 1921 nomor 24, pasal 4 dari keputusan 18 Februari 1915 dicabut. Kepada Jogugu Karakelang Julius Sario Tamawiwij diberikan otoritas sebagai raja.

Julius Sario Tamawiwij resmi diangkat menjadi Raja Kepulauan Talaud dengan meneken korte verklaring model seragam tanggal 8 September 1921 dan akte van verband. Segera pada 28 Juli 1922 dengan beslit bernomor 31, ia memperoleh pengakuan dan konfirmasi (pengukuhan) Gubernur Jenderal D.Fock. Gelarannya sebagai Paduka Raja.

TINGGAL DUA
Dalam perkembangannya, Kepulauan Talaud dari 18 kejoguguan yang ada, sejak tahun 1915 disederhanakan lagi, tinggal tersisa 5 kejoguguan. Jabatan President Jogugu ditiadakan, dan Jogugu disederajatkan sebagai kepala distrik.

Kejoguguan Karakelang Selatan (Zuid Karakelang) terdiri 15 negeri, yakni: Beo, Makatara, Matahit, Tarohan, Rusoh, Tarun, Melonguane, Mala, Kiama, Tule, Pulutan, Alo, Rainis, Bantane dan Tabang.

Kejoguguan Karakelang Utara (Noord Karakelang) terdiri 15 negeri: Lobbo, Rae, Awit, Ensem, Kuma, Essang, Lalue, Bulude, Bambung, Gemeh, Arangkaa, Apan, Ammat, Dapalan dan Binalang.

Kejoguguan Pulau Salibabu terdiri 8 negeri, yakni: Lirung, Moronge, Salibabu, Bitunuris, Balang, Sereh, Kalongan dan Musi.

Kejoguguan Pulau Kabaruan terdiri 8 negeri, yakni: Mangaran, Kabaruan, Birang, Akas, Damau, Taduwale, Pangeran dan Bulude.

Kemudian, kejoguguan Kepulauan Nanusa terdiri 6 negeri, yakni: Karatung, Miangas, Kakorotan, Marampit, Laluhe dan Dampulis.

Lima kejoguguan pun berangsur-angsur dikurangi, sehingga terakhir tinggal tersisa dua. Di Lirung dan Nanusa. Tidak ada lagi dewan jogugu. Tetapi para jogugu yang menjadi pejabat Landschap.

Di tahun 1932, penduduk Kepulauan Talaud terdiri 31 orang Eropa dan yang sederajat, 23.566 penduduk asli (pribumi), 225 orang Cina dan 16 orang timur asing (vreemde oosterlingen). Total 23.838 jiwa. Penduduk Talaud hampir semuanya telah beragama Kristen Protestan.

Ds.Brilman mencatat di awal 1930-an penduduk Kepulauan Talaud sekitar 24.000 jiwa, dengan sekitar 13.000 tinggal di Karakelang, sementara catatan koran tahun 1936 sebanyak 25.000 jiwa.

Valentijn sendiri menghitung penduduknya di akhir abad ke-17 sebanyak 13,000 jiwa dan Komisaris E.Francis di tahun 1846 memperkirakan 13.650 jiwa. Sementara di tahun 1911 penduduk Kepulauan Talaud sekitar 25.000 jiwa, dengan Pulau Salibabu berpenduduk 4.500 orang, Kabaruan 3.500, Karakelang 14.000 dan Kepulauan Nanusa 3.500 orang.

Pulau Miangas di Kepulauan Nanusa menjadi perhatian internasional, berawal 21 Januari 1906 Gubernur Provinsi Moro dari Amerika Serikat Jenderal Leonard Wood mengunjunginya, setelah juga datang diam-diam di tahun 1903. Amerika Serikat kemudian mengklaim Miangas berdasar pasal 3 perjanjian damai Amerika Serikat dan Spanyol 10 Desember 1898 (Perjanjian Paris) yang menyebut Pulau Miangas termasuk dalam kepulauan yang dikenal sebagai Filipina. Belanda memprotes menganggap Miangas sebagai bagian dari wilayah kepemilikannya selama lebih 200 tahun.

Setelah korespondensi diplomatik yang alot, dengan perjanjian khusus 23 Januari 1925, disepakati penyelesaian sengketa atas kedaulatan Miangas oleh Permanent Court of Arbitrase (mahkamah arbitrase antarbangsa) di Den Haag Belanda. Hakim tunggal Prof.Dr.Max Huber memutuskan 4 April 1928 Miangas yang berpenduduk hampir 700 jiwa sebagai bagian dari wilayah milik Belanda.

Merayakannya, tanggal 7 Mei 1929 di Miangas, dihadiri Raja Pulau-Pulau Talaud dan Residen Manado dilakukan upacara pengibaran bendera Belanda.

Raja Julius Sario Tamawiwij kelahiran tahun 1881 adalah anak Swensie Sario Tamawiwij, bekas President Jogugu Beo. Ia mulai berdinas dalam pemerintahan lokal Talaud dalam usia 18 tahun sejak 1899, dan bulan Maret 1917 dipilih duduk mewakili Kepulauan Talaud sebagai anggota Landraad Manado. Ia dipuji suratkabat sangat dihormati dan dicintai rakyatnya.

Bulan Agustus 1930 Raja Julius merencanakan mengundurkan diri, dan merekomendasikan saudaranya Metusala sebagai pengganti. Namun batal dan ia masih memerintah Kepulauan Talaud hingga meninggal dunia di Manado 19 Juli 1931 di rumah familinya, janda dari Zendeling Wilhelm Richter, Carolina Auguste Sario Tamawiwij (baca pula Kepulauan Talaud Tempo Dulu 3).

Jenasahnya dilepas Residen Manado Anton Philip van Aken, Ds.F.E.T.Kelling dan banyak pejabat Belanda lain, serta penduduk asal Talaud di Manado. Dengan kapal uap gubernemen Zwaluw dibawa ke Talaud dan dimakamkan di Beo 28 Juli 1931.

Saudaranya Metusala Sario Tamawiwij (beberapa koran masa itu menulis sebagai saudara muda dari Raja Julius), ditunjuk menjadi pejabat (waarnemend) raja.

Suksesi Kepulauan Talaud ternyata tidak berjalan mulus. Banyak calon raja bermunculan, baik dari anak-anak Raja Julius, mau pun anak Metusala sendiri yang bernama Ernst Reinier Sario Tamawiwij yang beberapa tahun tinggal dengan Kontrolir J.P.de Kat Angelino di Toli-Toli. Juga dari keluarga bangsawan lain.

Awal tahun 1932 Metusala dipilih secara resmi. Namun penentangan terkuat datang dari Jogugu yang juga menjadi salah seorang kandidat raja. Volksraad (dewan rakyat Hindia-Belanda) dan pemerintah kolonial dibanjiri petisi dan tuduhan yang baru berakhir setelah polisi kolonial melakukan penangkapan.

Masa itu, sebuah peristiwa bersejarah terjadi di Lirung tanggal 30 April 1933. Estefanus Pata Gagola bekas guru gubernemen di Gorontalo dan aktivis Indische Partij, dengan Perkumpulan Anak Muda Lirung (Pamil) pada perayaan hari ulang tahun Putri Juliana berpawai keliling Lirung memakai kemeja dan blus merah-putih. Akibatnya Gagola, H.L.Tucunan Kapitein Laut Lirung dan C.A.S.Tamawiwij ditangkap Belanda dan ditahan di penjara Sukamiskin Bandung. Mereka menjadi para perintis kemerdekaan Indonesia dari Talaud.

Setelah tanpa raja definitif lebih empat tahun, baru bulan Mei 1935 Metusala Sario Tamawiwij dilantik secara resmi sebagai Raja Kepulauan Talaud dengan pesta adat besar dan seremoni oleh pejabat Residen Manado, yakni  Asisten Residen A.Stuurman. Ia diteguhkan dengan gelaran Paduka Raja dan meneken akte van verband.

Raja Metusala memperoleh pengakuan dan konfirmasi pemerintah kolonial sebagai raja awal bulan Agustus 1935.

Dalam kedudukannya, ia menerima gaji dari uang kas landschap Talaud sebesar 260 gulden per bulan (dikorting 17 persen). Selain itu tunjangan untuk biaya perjalanan dan akomodasi. Dua jogugu (di Lirung dan Nanusa) ikut memperoleh gaji, ditambah tunjangan biaya perjalanan dan akomodasi. Kepala kampung (kapitein laut) tidak menerima gaji, tapi insentif dari pengumpulan dan persentase pajak.

Putra Metusala yakni Ernst Reinier telah bekerja di salah satu perusahaan pelayaran besar di Batavia, dan suratkabar-suratkabar menganggapnya sebagai calon kuat pengganti ayahnya nanti.

Tapi, tahun 1939 Raja Metusala Sario Tamawiwij tiba-tiba diberhentikan.

Bestuur-assistent P.G.Koagouw diangkat Residen Manado menjadi pejabat (waarnemend) Raja Kepulauan Talaud yang baru menggantikan Metusala Sario Tamawiwij,

Koagouw berasal Minahasa sebelumnya bertugas sebagai bestuur-assistent di Sulawesi Tengah. Residen Manado M.van Rhijn menganggap eksperimen penempatan bestuur-assistent F.P.Parengkuan sukses sebagai raja adinterim di Siau, sehingga menempatkan Koagouw di Kepulauan Talaud.

Dua jogugu yang membantu pemerintahan Koagouw adalah J.S.Lantaka di Nanusa dan Theopilus Binilang Jogugu Lirung. Tidak beberapa lama ia diangkat resmi menjadi raja definitif, karena Almanak 1941 telah mencatatnya sebagai raja.

MASA JEPANG
Posisi strategis Kepulauan Talaud sebagai salah satu batu loncatan untuk menguasai Indonesia membuat Jepang telah memata-matai Talaud sejak tahun 1930-an. Sebuah kapal selamnya tahun 1936 muncul di perairan Salibabu dekat Lirung, dan beberapa waktu kemudian di pantai utara Karakelang. Juga adanya 5 warga Jepang yang dicurigai menjadi mata-mata dengan menyamar sebagai pedagang.

Ketika Jepang menduduki Talaud, Raja Koagouw ditahan dan kemudian dieksekusi di Tahuna 19 Januari 1945, meski menurut versi lain pencopotan lalu pengeksekusiannya bersama raja dan kepala Sangihe lain terjadi tanggal 7 Juli 1942 atau bahkan 9 November 1944 (berkait Misteri Kematian Raja-raja dan Tokoh Satal).

Jogugu Lirung Theopilus Binilang diangkat Jepang menjadi raja (syutjo) menggantikan Koagouw.

Raja Binilang dan Wesseldijk 1945. *)


Kepulauan Talaud memang bernilai strategis. Jepang menempatkan satu garnizun berkekuatan 3.000 orang dengan lokasi teluk Beo yang vital untuk dukungan armadanya. Komandan Garnizun Talaud terkenal adalah Kolonel Shigerie Koba.

Sebuah batalion dari Resimen ke-111 Divisi ke-32 Jepang di Beo di bawah Mayor Tamura terkenal pula karena sadisnya. Beberapa bulan sebelum Jepang menyerah tanpa syarat, tiga orang penerbang dari Royal Australian Air Force (RAAF) dari Australia dan seorang pilot Amerika Serikat melakukan pendaratan darurat di Kepulauan Talaud saat terbang dari Morotai ke Kepulauan Numfoor.

Tanggal 23 Maret 1945 keempat penerbang dieksekusi di markas batalion di Beo dalam acara yang disebut Roman Holiday untuk menstimulasi moral pasukan.

Keempat tahanan diikat pada kayu berbentuk salib dan diposisikan di depan pasukan Jepang yang sengaja diatur dalam empat kompi. Tiap kompi dengan satu tahanan. Para tahanan kemudian ditusuk dengan bayonet melalui hati oleh tiap anggota kompi.

Kemajuan Sekutu dalam Perang Pasifik menjadikan Talaud terutama Beo sasaran dari pesawat pembom yang berpangkalan di Biak dan Morotai.

Bukan hanya fasilitas militer yang rusak, tapi kota Beo benar-benar hancur total, termasuk pelabuhannya akibat pemboman yang dilakukan oleh formasi pesawat B-25 Mitchell dari Sekutu yang menimbulkan kebakaran hebat pula. Tidak ada rumah yang tersisa, hanya Gereja Beo yang berada di pinggiran kota dimana di pekarangannya berada nisan Zendeling Willem Richter mengalami rusak sebagian.

Gereja Beo setelah pemboman. *)

Pasukan Sekutu dari Australia di bawah Mayor R.C.Garnsey yang bertindak sebagai Komandan Talaud Force dengan kapal HMAS (Her Majesty’s Australian Ship) Bowen mengambilalih kekuasaan di Talaud dari Jepang. Pasukan Sekutu telah diboncengi perwira L.C.Wesseldijk dari NICA Belanda. Tanggal 14 Oktober 1945 di Lirung dan Beo diumumkam pembebasan bagi penduduk Talaud dari penjajahan Jepang.

Tanggal 3 November 1945 Komandan Garnizun Talaud Kolonel Koba ditahan bersama Mayor Tamura, dan perwira lain dari batalion Beo. Mereka di bawa ke Morotai dan diadili di pengadilan militer Sekutu (Australia) atas kejahatan perang, serta dihukum mati (masih berkait Ironi Dai Nippon di Pengadilan Militer Morotai).

Raja Kepulauan Talaud Theopilus Binilang masih memerintah hingga sistem kerajaan dihapus. ***


Raja-raja Kepulauan Talaud

Dewan Jogugu (Landsgrooten), 27 Maret 1916/29 September 1916-15 Juli 1921.
Julius Sario Tamawiwij,
Corinus (Cornelis) Lampah
Nicolaas Goemansalangi
Cornelis Alex Sario Tamawiwij
Petrus Willem Bamboeloe.
Raja Julius Sario Tamawiwij, 8 September 1921/28 Juli 1922-19 Juli 1931.
Pejabat Raja Metusala Sario Tamawiwij.
Raja Metusala Sario Tamawiwij, Mei 1935/awal Agustus 1935-1939.
Pejabat lalu Raja P.G.Koagouw, 1939-1944.
Raja Theopilus Binilang.


*).Foto dari Nederlands Institute voor Militaire Historie, dan Australian War Memorial.


LITERATUR
Almanak 1941.
Delpher Kranten: Bataviaasch Nieuwsblad 1903,1914,1915,1922,1931. De Indische courant 1931,1932,1935. De Preanger-Bode 1911. Het Nieuws van den dag 1906,1910,1918,1930,1935,1936,1939. Het Vaderland 1932. Nieuwsgier 1954.
Explanation of the Netherlands Government in reply to a request made on December 21,1926 by arbitrator in the dispute concerning the island of Palmas (or Miangas), The Hague 1927.
National Library of Australia, Trove-Digitised newspaper and more. Koran-koran selang 1945-1946.
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1905,1906,1908,1909,1912.
Snelleman, Joh.F. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, vierde deel, ‘s-Gravenhage-Leiden, 1905.
Staten Generaal Digitaal, Overeenkomsten met Inlandsche Vorsten in den Oost-Indischen Archipel dan Koloniaal Verslag 1915,1918,1920,1922..
Stibbe, D.G. dan Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, achtste deel, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1939. 
The Island of Palmas Case (or Miangas), Award of the Tribunal, Arbitrator M.Huber, The Hague 4 April 1928.

Kamis, 16 Agustus 2018

Kepulauan Talaud Tempo Dulu (4)






             
                     Oleh: Adrianus Kojongian



Lirung tahun 1899/1900. *)





Eksploitasi kekayaan Kepulauan Talaud telah diupayakan di awal 1873, ketika dua pengusaha Eropa dari Batavia menetap di Lirung, dengan tujuan mendirikan perusahaan pertanian untuk penanaman tembakau. Namun keluhan kemudian diajukan oleh penduduk Talaud yang jadi pekerja kepada Residen di Manado terhadap perlakuan pengusaha dan opziener.

Penyelidikan lokal di bawah seorang kontrolir segera dimulai yang berujung penuntutan pidana. Tindakan para pengusaha dinilai menimbulkan ketegangan bagi penduduk yang sangat sederhana. Keresahan berkurang ketika orang-orang Eropa tersebut meninggalkan Talaud. Tapi, di tahun 1875, salah seorang pengusaha itu diizinkan kembali untuk melanjutkan usahanya di Salibabu.

Perhatian pemerintah kolonial terhadap Kepulauan Talaud semakin besar. Apalagi sampai di dekade ketiga paruh kedua abad ke-19 tersebut dilaporkan pembunuhan dan pembantaian, perdagangan budak dan masalah hak asasi manusia, perang antarnegeri, ketidakamanan, sengketa perbatasan, perampasan harta benda yang menyebabkan penduduk menjadi miskin, terabaikan, bahkan harus bersembunyi di gunung. Maka disimpulkan, Talaud membutuhkan penerapan hukum dan pengawasan yang kuat.

Sebagai langkah awal, tahun 1882 telah ditempatkan perwakilan Residen Manado, A.van Senden sebagai kontrolir klas 2 untuk Kepulauan Sangihe dan Talaud berkedudukan di Tabukan, kemudian di Tahuna 1886. Namun, pengawasan kontrolir di Talaud tidak efektif, sehingga tanggal 2 Oktober 1888 di Lirung untuk pertamakali ditempatkan seorang pejabat Belanda, yakni Johannis Eugenius Leidelmeijer sebagai Posthouder Kepulauan Talaud. Pemegang pos masih bekerja di bawah kontrolir di Tahuna yang ketika itu telah dijabat J.G.Washington Lux yang baru menggantikan J.de Gruiter.

Langkah berikut, perbudakan di Kepulauan Talaud dilarang resmi sejak tahun 1885 dengan kontrak politik yang dibuat Residen Jhr.Johannes Cornelis Wilhelmus Adrianus van der Wijck dengan para raja Sangihe penguasa Talaud selang bulan November. Tagulandang tanggal 24 diteken oleh Raja Salmon Bawole bersama Raja Taruna Egenos Laurens Tamarol Rasubala. Kemudian Raja Siau Jacob Ponto meneken pada 26 November 1885.

Sejak tahun 1860-an kontrak serupa untuk menghentikan perbudakan baru sekedar imbauan untuk mencegahnya. Seperti diteken Raja Tagulandang Lucas Jacobsz 12 November 1860 dengan Residen Casparus Bosscher. Kemudian Tabukan dengan perjanjian 19 Juli 1865 oleh Raja Hendrik David Paparang dan Raja Manganitu Manuel Mocodompis 15 Januari 1866. Kedua raja terakhir dengan Residen Frederik Justus Herbert van Deinse.

Namun, sejak tahun 1885, memperdagangkan budak, merampok manusia, termasuk mengimpor atau mengekspornya dilarang keras dengan sanksi kriminal. Demikian pula dilarang melakukan pelecehan terhadap orang-orang bebas atau orang merdeka (bekas budak) dan anak-anak mereka.

Meski demikian, perbudakan masih berlangsung diam-diam, sehingga pelarangan berulang diperbarui dengan kontrak hingga 1890-an.

President Pengganti Raja Tabukan Cornelis Siri Darea bersama Raja Tagulandang Salmon Bawole dan Pejabat Raja Manganitu Salmon Katiandagho paling dipuji dalam upaya menghapus perbudakan di kerajaan mereka termasuk di Talaud. Cornelis Siri Darea bulan Juli 1890 memperoleh penghargaan bintang perak (zilveren medaille) voor burgerlijke verdiensten (pahala sipil) karena jasa tersebut.

PEMBARUAN
Residen Marinus Cornelis Emanuel Stakman yang baru menjabat mengikuti jejak Jansen dengan mengunjungi Kepulauan Talaud tahun 1889. Ia segera melakukan intervensi dengan berbagai pembaruan. Terutama merombak sistem pemerintahan yang telah berlangsung beberapa abad. Ia pun memangkas sebagian besar kekuasaan raja-raja Sangihe di Talaud.

Dalam pertemuan di Lirung dengan para raja Sangihe dan mantrinya bersama para kepala Talaud 15 September 1889, Stakman dengan resmi mengakhiri pemakaian gelar raja dan aneka gelar lain di Kepulauan Talaud.

Negeri-negeri Talaud di bawah para raja Sangihe dibagi menjadi distrik, dan kejoguguan, dengan kepala bergelar Jogugu (setingkat kepala distrik kedua). Di setiap wilayah, salahsatu dari mereka, diangkat dengan gelar President (setingkat kepala distrik), sementara setiap kepala kampung bergelar Kapitein Laut.

Para Jogugu dari Landschap milik Tabukan adalah Lirung (dengan 12 kampung atau negeri). Moronge (5 kampung). Salibabu (6 kampung) dan Kiama (7 kampung). Kemudian Beo (8 kampung), Lobbo (4 kampung), Essang (16 kampung), Arangkaa (8 kampung), Amatta (7 kampung) dan Rainis (4 kampung). Jogugu Lirung dan Beo beroleh titel President. President Jogugu Lirung memimpin Pulau Salibabu dan bagian selatan Pulau Karakelang. President Jogugu Beo bertanggungjawab wilayah barat dan bagian utara dari Karakelang.

Landschap milik Siau terdiri kejoguguan Menarang (Mangaran 8 kampung), Kaburuan atau Kabaruan (7 kampung) dan Taduwale (6 kampung), dengan Jogugu Menarang beroleh titel President.

Di Landschap milik Manganitu, Jogugu Niampak (4 kampung) dan Tarung (4 kampung), dengan Jogugu Niampak bergelar President.

Landschap milik Tagulandang, Jogugu Pulutan (4 negeri) dan Lahang (3 negeri), dengan Jogugu Pulutan bertitel President.

Di Landschap milik Taruna, Kepulauan Nanusa (6 kampung) diperintah President di Laluge (Laluhe), dibantu Jogugu di Mahampi (Marampit) yang akan mengisi posisi President bila lowong.

Residen Stakman melakukan pula pertukaran wilayah antara Tabukan dan Manganitu. Negeri Lobbo, Hay (Rae) dan Awika (Awit) milik Manganitu jadi milik Tabukan. Sementara negeri Tabukan yang diserahkan ke Manganitu adalah Panpalu, Tarung (Tarun) dan Sawang, sehingga menyatu dengan negeri Tarugan (Taruan), Niampak dan Busah.

Para jogugu dengan resmi diangkat dan diberhentikan oleh Residen Manado setelah berkonsultasi raja masing-masing. Setiap Jogugu dibantu 8 orang wajib pinontol dan kapitein laut 4 orang tiap harinya. Penduduk pun membantu dalam membangun rumah mereka. Biaya lain tidak diizinkan dan siapa saja yang meminta lebih banyak dari penduduk akan dipecat. Sebuah kapal diberikan untuk memperlancar pekerjaan mereka dan menjadi milik setempat. Satu perahu dikirim setahun sekali kepada raja Sangihe yang akan membawa upeti tikar atau tagaho seperti yang telah ditentukan. Selain itu dilarang memberi apa pun kepada para penguasa di Sangihe.

Keputusan penting lain dari Residen Stakman adalah pembentukan peradilan berupa Majelis yang persidangannya dipimpin jogugu tertentu yang dipilih president jogugu. Anggota majelis adalah para jogugu dan kapitein laut.

Para kepala negeri, yakni kapitein laut dipilih oleh penduduk setempat dan oleh Residen Manado dikonfirmasi atau ditolak dengan konsultasi dengan jogugu. Sementara kepala lebih rendah diangkat dan diberhentikan jogugu.

Pertemuan Lirung, selain Stakman dan J.E.Leidelmeijer, dari pihak Belanda dihadiri Kontrolir Sangi-en Talaudeilanden J.G.Washington Lux. Sedangkan raja dan mantri dari Sangihe ada O.Sirih Darea President Pengganti Raja Tabukan (Cornelis Sirih Darea) dan Kapitein Laut F.Oefol. Dari Manganitu, President Pengganti Raja Lambert Ponto (menggantikan 1886 Salmon Katiandagho) dan Kapitein Laut S.Manoppo. Dari Tagulandang Raja Salmon Bawole. Dari Siau Jogugu Lemael Dadae (Samuel David, setelah Raja Jacob Ponto diasingkan 1889). Dan, dari Taruna President Raja Salmon Dumalang disertai Kapitein Laut S.Legrans.

Sementara para kepala Talaud yang hadir, adalah para raja yang menerima pengangkatan baru sebagai jogugu dan president jogugu. S.P.Tukunan President Jogugu Lirung (Simon Petrus Tukunan). S.Tamawiwij President Jogugu Beo (Sario Tamawiwij). M.S.Tamawiwij Jogugu Lobbo (Maurits Sario Tamawiwij). A.P.Tingginehe Jogugu Moronge. W.Bambulu Jogugu Salibabu (Willem Bambulu). Memata Nusa Jogugu Kiama. Timbangnusa Jogugu Rainis. Tamiboeie President Jogugu Niampak. Timbangnusa Jogugu Tarung. Sasohlok President Jogugu Pulutan. Ralendeng Jogugu Lehang. D.Pandenaijan President Jogugu Mangaran. Maasiaka Jogugu Kabaruan dan Malenok Jogugu Taduwale.

ARANGKAA
Situasi politik di masa pengganti Stakman, yakni Eeltje Jelles Jellesma yang menduduki kursi residen sejak 4 November 1892 memanas mulai medio 1893 di pantai utara Karakelang. Jogugu baru Arangkaa Larenggam yang mengganti kakaknya Raja Manee (atau disebut juga Maneh) yang meninggal pada tahun 1892 mengklaim kembali wilayah yang pernah dituntut kakaknya yakni tanah Tetepuan yang dikuasai President Jogugu Lirung.

Kedua pihak jadi bersitegang. Kontrolir Tahuna L.F.Hoeke menugaskan Posthouder Leidelmeijer untuk menyelesaikan kasus secara damai. Leidelmeijer berhasil membujuk President Jogugu Tukunan yang merasa terhina untuk memeriksa kembali klaim Arangkaa.

Sebuah pertemuan dibuat di Lirung dihadiri beberapa kepala Talaud. Dengan suara bulat diputus tuntutan Arangkaa tidak berdasar.

Larenggam yang juga dikenal dengan nama Pengatani Rarengang tidak menerima. Segera ia mempersiapkan perang melawan Lirung dan empat kepala lain di Karakelang yang menentang perjuangan Arangkaa terhadap Tetepuan. Kabar bahwa di Arangkaa semua orang tangguh dipanggil menimbulkan ketakutan besar.

Tanggal 21 Juli Residen Jelesma tiba di Lirung dengan kapal uap pemerintah Zeeduif. Ia segera memanggil semua kepala Talaud, namun pertemuan tidak dihadiri Larenggam. Jellesma berpendapat klaim Arangkaa tidak berdasar pula.

Pagi hari tanggal 23 Juli, Zeeduif disertai 32 perahu bersenjata di bawah pimpinan President Jogugu dan Jogugu dari Pulau Salibabu, Kabaruan dan Karakelang Selatan tiba di Arangkaa. Kontrolir Tahuna L.F.Hoeke mengirim surat mengatasnamakan Residen memanggil Larenggam dengan empat kapitein lautnya dan beberapa kepala keluarga berpengaruh, termasuk putra Raja Manee untuk datang ke Zeeduif menjelaskan ketidakhadiran dalam pertemuan di Lirung.

Larenggam menolak menerima surat itu dan berharap Residen dan Kontrolir akan datang kepadanya.

Residen mengirim utusan lagi, tapi dengan pemberitahuan lisan kepada Larenggam memberi tempo satu jam atau ia akan dipaksa dengan kekerasan. Namun, Larenggam tidak memperdulikannya.

Setelah 3 lontaran granat dan 15 tembakan salvo dari senapan Beaumont berasal dari Zeeduif, pasukan kepala-kepala Talaud menyerang Arangkaa.

Larenggam dengan sekitar 20 prajuritnya datang ke pantai. Mengikuti cara perang Talaud, menari dengan tombak atau pedang di kanan dan perisai di tangan kiri menanti kedatangan musuh.

Ketika terjadi pertempuran, tiga pengikutnya terkena tembakan, dan yang lain segera mengundurkan diri. Salah satu korban adalah putra Larenggam, sementara ia sendiri sedikit terluka.

President Jogugu Lirung mendekati rumah tinggi Larenggam, memanggilnya untuk secara sukarela menyerahkan diri kepada Residen. Larenggam melemparkan tombaknya, yang dibalas President Jogugu dengan tembakan yang merengut nyawa Larenggam.

Pembumihangusan Arangkaa kemudian dilakukan, sementara penduduk telah mengungsi ke tempat lebih tinggi.

Selain Larenggam, 7 pengikutnya ikut tewas. Orang-orang yang ditangkap, yakni 3 Kapitein Laut, 2 mantan Jogugu dan 1 pengikut Larenggam diadili Majelis, diputus untuk periode yang pendek atau lebih lama dengan kerja paksa dan dirantai.

Ketika Jellesma sebulan kemudian datang ke Kepulauan Sangihe dan Talaud, ia mengunjungi Arangkaa yang hancur. Kepada penduduk Arangkaa ia memberi pengampunan, tapi ditentukannya bahwa negeri itu tidak bisa lagi dibangun. Sementara negeri Taruhan (Taturan) dan Gemeh, setidaknya untuk saat itu akan tunduk pada pengawasan President Jogugu dari Beo.

Kejoguguan dan negeri Arangkaa memang hilang. Ketika Stakman melakukan pembaruan 1889, Kejoguguan Arangkaa yang dimasukkan Distrik Beo terdiri atas 8 negeri, yakni Arangkaa, Taturan, Gemeh, Taruan, Malaka (Malat), Bannada, Apanna (Apan) dan Laho (Lahu). Setelah kejadian, negeri Taturan, Gemeh dan Taruan digabung kejoguguan Essang. Sedang Bannada, Malaka, Laho serta Apanna dibentuk sebagai satu kejoguguan bernama kejoguguan Bannada.

Arangkaa baru kembali menjadi satu negeri beberapa tahun kemudian, dimasukkan kejoguguan Karakelang Utara. 

Tokoh-tokoh yang oleh Belanda dianggap berjasa dalam penghancuran Arangkaa seperti President Jogugu Lirung Simon Petrus Tukunan dan Maurits Sario Tamawiwij, Jogugu Lobbo, yang beroleh promosi menjadi President Jogugu Beo, pada bulan November 1893 diberikan penghargaan medali perak (zilveren medaille) jasa sipil. Sementara Posthouder Leidelmeijer tanggal 27 Agustus 1900 memperoleh medali emas (gouden medaille) Oranje Nassau-Orde (baca Bintang-Bintang Manado (1).

KEJOGUGUAN
Di tahun 1895, kejoguguan di Kepulauan Talaud adalah: di bawah kerajaan Tabukan: Lirung (11 negeri, berkurang satu dibanding 1889). Masing-masing: Lirung, Naha dan Bantik (disatukan), Bambangne, (Kampung) Baharu, Palang, Tuwone, Sereh, Terohlan, Balane, Kolongan dan Alude. Moronge (5 negeri): Moronge, Bune, Lota, Alri, dan Palang. Salibabu (5 negeri, berkurang satu): Salibabu, Pelong, Tidore, Dalung atau Duala dan Lawassan atau Loassan atau Toade. Hilang negeri Bawongtiwuda. Kiama (5 negeri, berkurang 2): Tule, Kiama, Mala, Bolang dan Melonguane (ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud sekarang berada, dengan penduduk 45 kepala keluarga). Hilang negeri Nanasaha dan Sawangantila. Kemudian Beo (8 negeri). Masing-masing: Beo, Marumung, Bowongpotoh atau Bonangpoto’s, Matahit, Peok atau Peoh, Makatara, Puna dan Buluda. Lobbo (4 negeri): Lobo, Hagila atau Hayila, Hay, Awika.

Essang (16 negeri): Esang, Bawongumawo, Sambuara, Enting, Batumarange, Ambia, Muima atau Kuma, Maririk, Laloe-e, Buluda dan Seang atau Saang (disatukan), Mamahang, Babung atau Bambung, Langimaituma atau Langgundituma, Taturana, Gemeh dan Taruan. Hilang 2 negeri: Prunan dan Dare. Tapi, bertambah 3 negeri eks Arangkaa, yakni Taturan, Gemeh dan Taruan. Banada (4 negeri) bekas Arangkaa: Banada, Malaka, Laho dan Apana. Negeri Arangkaa tidak dicatat. Amata atau Ammat (7 negeri): Dapihe, Lapalang atau Lapalana, Amat, Ganala atau Ganalo, Riung, Binalang dan Puabatu atau Tuabatu. Rainisa atau Rainis (4 negeri): Rainisa, Tabanga, Poni atau Pani ie dan Nunuk atau Nunu.

Di bawah kerajaan Manganitu: Tarung (4 negeri). Masing-masing: Tarung atau sebelumnya Tarung Bowone, Balane, Pampalu dan Sawang. Nijampak atau Niampak (4 negeri): Niampak, Batulumu, Ruso dan Perogan atau Teraghan.

Di bawah kerajaan Tagulandang: Lehang atau Lalana (3 negeri). Masing-masing: Lehang, Alumu atau Munwie dan Aloha atau Alas. Pulutana atau Pulutan (4 negeri): Pulutana, Bawalanga, Bune dan Bowongbaru.

Di bawah kerajaan Siau: Toduale atau Taduwale (5 negeri, berkurang satu). Masing-masing: Toduale, Damao, Bawong Mononga atau Bawangmanangga, Akasa dan Pereta. Hilang negeri Dasunama. Kaburuan atau Kabaruan (5 negeri, berkurang dua): Kaburuan, Hiuran dan Pantuge (disatukan), Ihika, Birang atau Wiranga dan Napo atau Napu. Hilang negeri Beo. Mengarang atau Mangaran: (6 negeri, berkurang dua): Mengarang, Taduna, Rarange, Oradaala, Buluda dan Pangeran serta Panulang atau Panulan yang disatukan. Hilang negeri Salupoola.

Di bawah kerajaan Taruna: Nanusa (6 negeri). Masing-masing: Laluhe, Mahampi, Kakerotan, Dampuli, Karaton dan Meangasa (Miangas).

Dengan kebijakan Residen Jellesma pula, sejak awal tahun 1895 penduduk Kepulauan Talaud berusia 18 tahun ke atas diharuskan membayar pajak rumah tangga (hassil) sebesar 1 gulden, atau diganti barang produksi, seperti minyak kelapa, teripang, karet, koffo, tikar, beras dan sebagainya. 

Sebelumnya penduduk Kepulauan Talaud sejak pajak diberlakukan di seluruh kerajaan Kepulauan Sangihe tahun 1861 diistimewakan untuk tidak perlu membayar.

Kalau di kerajaan induk, penduduknya dipaksa membayar 1 gulden lalu naik 2,5 gulden tahun 1895, dan di tahun 1905 naik lagi dibebani 4 gulden, penduduk wajib pajak di Talaud tetap 1 gulden.

Total dari seluruh Talaud di tahun 1895 terdapat 5.819 pembayar pajak dengan nilai 5.819 gulden (tahun 1904 sebanyak 4.978, 1905 4.649). Di tahun 1918 pajak Kepulauan Talaud sebesar 28.873,62 gulden, dengan wajib pajak terbesar ada di Moronge dan Karatung.

Kondisi ini bertahan hingga Landschap Kepulauan Talaud dibentuk. ***


*).Foto Ekspedisi Siboga dari Wikimedia Commons.

LITERATUR
Delpher Kranten, Bataviaasch nieuwblad 1893. De Locomotief 1893. De Preanger-bode 1911. Het Nieuws van den dag 1900. Soerabaijasch handelsblad 1893.
Notulen van de Algemeene vergadering, gehouden te Lirung op den 15den September 1889 dalam Explanation of the Netherlands Government in reply to a request made on December 21,1926 by the arbitrator in the dispute concerning the Island of Palmas (or Miangas), The Hague,1927.
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1883,1886,1888,1889.
Staten Generaal Digitaal, Overeenkomsten met Inlandsche Vorsten in den Oost-Indischen Archipel dan Koloniaal Verslag  1873,1874,1887,1888,1890,1894,1895,1915,1920.