Rabu, 16 Desember 2020

Raja Kristen Manado

 

 

 

 

 

Manado Tua dari pantai Manado tahun 1929. *

 

 

 

Kerajaan Manado diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-15, dan baru berakhir ketika diduduki Raja Bolaang Loloda pada paro kedua abad ke-17.

 

Orang Eropa pertama yang telah melaporkan tentang Manado meski hanya melihatnya dari dekat adalah Simao de Abreu (Dabreu). Pada bulan Mei 1523 ia dikirim Kapten (Capitao, lebih sering disebut Gubernur) Portugis di Maluku pertama Antonio de Brito (berkuasa 1522-1526) untuk menemukan rute baru ke Malaka melalui Kalimantan. 

 

De Abreu yang juga sepupu de Brito tiba di depan Pulau Manado lalu berangkat ke Panguensara (Tagulandang). Kemudian dengan melewati Selat Dantreminao (Treminao) dan Taguina (Taquy) di antara Mindanao dan Basilan, serta Kepulauan Sao Miguel (St.Michael) Filipina, ia berlayar ke Kalimantan dan tiba di Malaka melalui Selat Cincapura (Singapura). 1]

 

Kendati belum bernilai ekonomis seperti Maluku untuk orang Eropa, posisi Manado dan Minahasa sangat strategis di jalan ke pulau rempah-rempah Maluku. Dari Cina dan Luzon melalui Mindanao, dan dari Malaka melalui Brunai dan Kalimantan Utara. Tidak heran, jung pedagang Cina telah melaluinya. Bahkan, menurut Dr.David Henley, ujung utara Minahasa telah dicatat sumber Tionghoa di abad ke-14. 2]

 

Tahun 1538 Antonio Galvao sebagai Kapten Maluku (1536-1539) mengirim sebuah kapal ke arah utara dengan kapten Francisco de Castro. Castro, seorang Portugis kelahiran Spanyol diberi tugas untuk mengubah sebanyak mungkin orang yang ditemui menjadi Katolik serta menjalin persahabatan dengan penguasa setempat. Ia disebut telah membaptis banyak orang dari Celebes (dimaksud Sulawesi bagian utara), Makassar (Sulawesi bagian selatan), Ambon, Morotai dan di banyak tempat lain hingga Mindanau. Sesuai perintah Galvao, kebanyakan dari mereka yang dibaptisnya, mendapat nama Joao (Juan, Joannes, John) untuk mengenang Raja Portugis Joao III (1521-1557). Namun Castro membaptis juga orang-orang dengan nama Antonio Galvao dan saudaranya Michael.

 

Meski Galvao tidak spesifik menyebut Manado, namun Raja Manado besar kemungkinan adalah salah satu tokoh yang dibaptis. 

 

TANAH EMAS

Padri Jesuit Baltasar Dias dalam sepucuk surat ke konfrater Portugalnya bertarik Malaka 19 November 1556 memberitakan kabar yang didengarnya dari Bruder Nicolao Nunez yang baru tiba di Malaka dari Maluku bersama Padri Joao da Beira. ‘’Ada yang disebut Selebes, dimana ada raja yang beragama Kristen, yang disebut El-Rei do Manado. Di negeri ini mereka mengatakan bahwa ada banyak emas.’’ Sayang orang-orang Kristen Manado ini, karena tidak ada pengembalaan, disebutnya, sebagai banyak jiwa yang terhilang. 3]

 

Tidak diketahui siapa yang membaptis Raja Manado serta penduduknya. Kemungkinan adalah kapten Francisco de Castro yang tahun 1538 dikirim Galvao. Namun Nunez menceritakan hal ini baru di tahun 1556, sekitar 18 tahun kemudian. Castro disebut sejarawan Jesuit de Sousa didampingi oleh dua orang imam sekuler (dibiayai pemerintah bukan ordo), sementara teolog dan sejarawan Jesuit lain Jarricus (Pierre du Jarric) mengatakan Castro sendiri adalah seorang imam. Di Ternate saat Galvao berkuasa, ada 2 imam, Simon Vas, tapi martir di Morotai 1535; serta Francisco Alvares.

 

Atasan Nunez sebagai Superior Maluku Padri Joao da Beira yang bekerja di Maluku antara tahun 1547 dan 1556 dalam surat awal tahun 1553 mencatat bahwa di Sulawesi Utara ia telah melakukan pembaptisan. Jadi kuat dugaan Raja Manado tersebut telah dibaptis olehnya di tahun 1552. 4]

 

Aernsbergen mencatat surat Beira tahun 1552 dari Halmahera bahwa ia menerima tangisan tanpa henti. Orang menginginkan iman dan pelukan Kristus. Ia juga menyinggung Minahasa. ‘’Ada yang mendiami daerah terpencil, dibagi menjadi empat ‘kerajaan’ yang berbicara bahasa yang sama, baik iklim, tanah subur, tidak ada Islam.’’ Beira merujuk pada keempat anak suku Minahasa.

 

Meski tidak memiliki kekayaan cengkih dan rempah-rempah seperti Maluku, emas Manado, atau dari daerah Sulawesi Utara pada umumnya, telah menjadi buah bibir Portugis sejak belasan tahun sebelumnya. Sulawesi umumnya dibayangkan sebagai tanah emas.

 

Berita emas ini dimulai oleh Ruy Gagoa ketika menyurati Raja Joao III pada 15 Februari 1523 bahwa Sulawesi memiliki emas yang memberikan kepadanya untuk beberapa mangkuk kecil yang disebut marguaridates, dengan bobot emas menurut berat benda. Kemudian juga navigator Spanyol Andreas de Urdaneta menulis Sulawesi mengirim emas ke Maluku setiap tahun dan juga sebagai pemasok kayu cendana. Urdaneta ditawan Portugis di Ternate sedari akhir 1526 hingga 1535. 5]

 

Banyak bagian Sulawesi, baik selatan atau utara disebut kaya emas.

Selain Urdaneta, Baptista Apancoro (Baotista da Poncoron) dan Leao Pancado (Leone Pancaldo), dua nahkoda armada Ferdinand Magellan (Magelhaes) asal Italia yang berhasil keluar dari Maluku dengan kapal Victoria, ketika berada di Mozambik melaporkan kepada Raja Carlos V dari Spanyol tanggal 25 Oktober 1525 bahwa di sebuah pulau bernama Nassara Sanguin (sebutan Sangihe), Portugis telah mengumpulkan emas sepotong demi sepotong dari quentas yang disebut margaridetas yang bernilai sedikit di Spanyol.

 

Ini pun dilakukan Kapten Maluku di Ternate sebelum Galvao, Tristao de Ataide (1533-1536). Dalam surat kepada Raja Joao III tanggal 20 Februari 1534 ia mengiming-imingi sang raja sebagai, ‘’tuan dari semua Makassar dan Celebes, dari mana semua emas berasal.’’ Ataide sebenarnya berharap anggaran untuk belanja sebuah ekspedisi ke Sulawesi.

 

DI PULAU

Dekade ketiga abad ke-16 nama Manado tidak asing lagi bagi Portugis. Jorge de Castro Kapten Maluku (1539-1544) pengganti Galvao, sengaja mengklaim dirinya sebagai Kapten dari Raja Portugis atas pulau Maluku, Banda, Kalimantan, Mindanau, Sanguim (Sangihe), Ciao (Siau), Manado, Pancare (Tagulandang), pantai Celebes dan lain-lain.

 

Perhubungan Manado dengan kerajaan-kerajaan kecil lain di Sulawesi Utara dengan Portugis di Ternate telah terjalin. Portugis memiliki kepentingan untuk memperoleh beras dan sagu untuk kebutuhan serdadu dan penduduk di benteng-benteng Ternate, Ambon, dan Malaka. Pelabuhan Manado telah disandar kapal-kapal mereka, termasuk jung-jung dari Cina.

 

Demikian pula orang Manado telah biasa pergi ke Ternate. Sebelum tahun 1563 telah muncul di benteng Portugis Ternate utusan yang menyatakan mereka ingin menjadi Kristen dan minta dikirimkan imam untuk membaptis mereka. Utusan diduga kuat dikirim Raja Manado. Bahkan menurut Padri Pero Mascarenhas, permintaan telah berkali dilakukan. 

 

Mereka telah menemui Kapten Portugis di Ternate Henrique de Sa (1562-1564) juga Rektor Jesuit Padri Marcos Prancudo. Maka ketika Padri Diogo de Magalhaes (Magelhaes, Magellan) tiba di Manado Mei 1563, penduduk telah mengetahui bahwa seorang imam akan datang untuk menjadikan mereka Kristen.

 

Dari surat Prancudo kepada pendiri sekaligus Superior Jenderal Serikat Jesus (kedua) Padri Diego Lainez 12 Februari 1564 diungkap Padri Antonio de Quadros Provincial di Goa telah mengetahui rencana penyediaan imam untuk memenuhi keinginan penduduk di Sulawesi ini. Prancudo juga memastikan pembaptisan atas Raja Manado, Raja Siau dan penduduk Manado dilakukan di lokasi ibukota yang sekaligus pelabuhan Manado yang berada di Pulau Manado (Manado Tua). 7]

 

Dalam surat Padri Pero (Pedro, Petrus) Mascarenhas bertanda Ternate 13 November 1564 serta surat Magalhaes bertanda Manado 28 Juli 1563 tergambar Manado masa itu merupakan kerajaan merdeka yang berjaya. Sultan Hairun dari Ternate pada Mei 1563 berupaya menaklukan kerajaan-kerajaan pesisir yang ada di Sulawesi Utara, sementara de Sa mengimbangi dengan segera menyiapkan dua kora-kora dan permintaan kepada Prancudo untuk menyediakan seorang misionaris yang terpenuhi dengan datangnya Magelhaes dari Ambon.

 

Armada Ternate di bawah pimpinan Baab (Babu, Babullah) putera Hairun, dan Kaicil Guzerette baru dapat menaklukan Bolaang, yang dipimpin oleh anak Raja Manado. Di Manado, Ternate telah didahului armada Portugis yang dikirim de Sa.

 

Setelah empat hari perjalanan, mereka tiba di Manado pada Mei tersebut. Magalhaes disambut dengan sukacita. Kepada raja, Magalhaes menyerahkan hadiah berupa baju dari Kapten de Sa. Raja dan penduduk sangat bersemangat dengan agama Portugis, dan ia didesak untuk tinggal lebih lama, sehingga Magalhaes tinggal selama 15 hari (versi Aersnbergen 14 hari). Ia mengajar penduduk prinsip-prinsip agama Katolik untuk persiapan baptisan kudus. Pengaruh Islam belum ada, karena penduduk sebelum dibaptis dinyatakan masih animisme

 

Magalhaes kemudian membaptis raja bersama 1.500 penduduk yang merupakan orang-orang terpilih. Juga Raja Siau yang berada di Manado ikut dibaptis. Ada palang salib di pantai yang mungkin dipasang sejak lama, juga bendera Raja Manado dan bendera Raja Siau. Visser dan Tiele menyebut palang salib dipasang usai pembaptisan seperti lazim terjadi di masa itu, dengan dihadiri seluruh penduduk dan kedua raja.

 

Magalhaes bersama raja dan penduduk kemudian menghancurkan segala yang berbau paganisme, seperti tempat-tempat pengorbanan dan patung-patung.

 

Dari Manado, Magalhaes pergi ke pantai Sulawesi dan mencapai Balam (Bolaang) dimana rajanya adalah anak dari Raja Manado. Dengan menangis raja meminta untuk menjadikannya Kristen dengan semua penduduknya. Tapi, Magalhaes menolak, karena ia baru diislamkan Kaicil Guzarate.

 

Raja Manado kemudian berangkat bersama Magalhaes ke Ternate. Menurut Prancudo, raja datang ke benteng Portugis untuk mengetahui adat istiadat mereka, dan bagaimana rasanya menjadi seorang Kristen. Kunjungannya dianggap sebagai kehormatan dan pengharapan besar akan sangat membantu pekerjaan Tuhan di Sulawesi.

 

Kendati demikian upaya penaklukan telah berkali dilakukan sebelumnya. Sebab dari laporan para misionaris penduduk sangat memusuhi Ternate. Kerajaan Manado saat itu merupakan kerajaan utama di Sulawesi bagian utara dan tengah. Raja dan penduduknya (orang Manado) disebut ditakuti di kawasan ini karena dikenal suka berperang. Dengan mendengar namanya saja, penduduk sekitarnya sudah ketakutan.

 

Setelah Magalhaes, Padri Mascarenhas ikut mengunjungi Manado akhir September 1568. Dalam perjalanannya ke Sangihe Raja Manado ikut mendampingi dengan armadanya. 

 

Mascarenhas mencatat pada awal November di Manado ia didatangi orang Minahasa yang merindukan Kekristenan. Ia menyebut Minahasa dengan Batachini (Batachina, umumnya adalah sebutan Portugis dan Spanyol untuk Halmahera), berpenduduk lebih dari 100 ribu jiwa yang merindukan Kekristenan. Mereka meminta Raja Siau sebagai penerjemah. Tapi, Mascarenhas hanya memberi harapan bahwa mereka nanti dibaptis para Jesuit yang akan datang untuk tinggal. Menurutnya, ia datang sekedar mengunjungi penduduk yang sudah Katolik. Di sini, Mascarenhas meneguhkan iman orang yang telah dibaptis, sementara orang kafir diberinya pengajaran agama. Tapi, ia tidak melakukan pembaptisan.

 

Manado baru berhasil dikuasai Ternate ketika Sultan Hairun terbunuh tahun 1570, dan putranya Baab mengobarkan perang total mengusir orang Portugis yang harus mengungsi di Tidore. Baab juga melancarkan ekspansi besar-besaran hingga ke kerajaan-kerajaan kecil yang berada di Sulawesi.

 

Setelah pembaptisan oleh Magalhaes dan kunjungan terakhir Mascarenhas, sejak tahun 1572 Manado tidak pernah dikunjungi misionaris, karena perang yang terjadi dengan Ternate. Misionaris melaporkan terjadi penganiayaan sementara Portugis tidak berdaya untuk melindungi, meski telah dibantu sekutu Spanyol (sejak 1580 kedua negara menjadi satu). Sementara Ternate kelak memperoleh sekutu Belanda.

 

Kendati demikian, raja dan penduduk Manado tetap setia dengan Kristen. Kapal armada Spanyol mulai terlihat di perairan bahkan berlabuh di pelabuhan Manado Tua. Tanggal 21 Maret 1582 Visitor Maluku Padri Bernardino Ferrari mencatat Raja Selebe (Manado) dan Siau melalui seorang utusan mengungkapkan keinginan mereka untuk mengunjungi para padri di Tidore, tapi mereka tidak dapat meninggalkan pulaunya karena tidak tahu apakah orang Spanyol sekutu Portugis. 

 

Baru di tahun 1590-an Raja Manado mengakui Ternate sebagai yang dipertuan. Pemimpin Misi Maluku Padri Antonius Marta melaporkan kepada Gubernur Spanyol di Filipina Gomes Perez Dasmarinas di tahun 1593, Pulau Manado termasuk salah satu dari 72 wilayah yang membentang dari Mindanau di utara hingga Bima di selatan dan Papua di timur yang menjadi wilayah milik Sultan Baab. Bahkan diperincinya-- seperti dicatat Valentijn pula-- Manado berkewajiban membantu Ternate dalam perang mereka dengan mengirim kontingen sebanyak 2.000 prajurit. Sebelumnya di tahun 1588 Marta melaporkan ke Provincial di Goa Kekristenan benar-benar hilang.

 

Klaim Sultan Ternate atas Manado tergambar pula pada kontrak Laksamana Belanda Cornelis Matelief 26 Mei 1607 dan Francois Wittert Juli 1609 yang menyebut Manado sebagai milik Ternate. Sampai tahun 1680 Sultan Amsterdam (Kaicil Sibori) masih menyebut Manado Tua, Banca (Bangka), Salisse (Talise), Lembeh, Ganga (Gangga), Maij (Nain) dan Piso miliknya.

 

Namun karena pengawasan yang kurang menyebabkan Manado tidak mutlak dikuasai Ternate apalagi tanpa pasukan pendudukan. Sejak periode awal abad ke-17, kerajaan Manado telah benar-benar merdeka dari Ternate. Bahkan Manado berhasil membangun kekuatan dan armada lautnya serta membangun aliansi dengan berbagai kerajaan di Kepulauan Sangihe dan pesisir utara Sulawesi, hingga kerajaan-kerajaan yang ada di Teluk Tomini Sulawesi Tengah. Termasuk dengan Tidore dan Bacan di Maluku. Sementara dengan orang Eropa, Raja Manado menjalin persahatan dengan Portugis, termasuk kemudian dengan Spanyol. Tapi, Manado berdagang pula dengan Belanda. ***

 

 

--------

1] Ada versi berkembang Manado pertamakali dicapai orang Eropa di tahun 1512 ketika armada yang dipimpin Antonio de Abreu dengan 3 kapal (salah satunya dikapteni Francisco Serrao) dalam perjalanan dari Ternate menyaksikan pelabuhan Manado sebagai pelabuhan beras dan kayu cendana, dengan perahu jung dari Cina dan Ternate. Abreu dikirim Alfonso de Albuquerque yang baru merebut Malaka untuk Portugis pada Desember 1511 untuk menemukan Kepulauan Rempah Banda dan Maluku (Spice Islands). Sumber-sumber barat membantah penemuan Manado di tahun 1512 ini. Sebab rute perjalanan yang ditempuh Abreu adalah dari Malaka, Grisee, Ambon, Banda dan kembali ke Malaka, tidak melalui jalur utara. Demikian pula Galvao mengungkap pelayaran melalui selat Sabam di dekat Sumatera, Palembang, ke Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Solor, Adonare, Alor, Wetar, Rozengain dan Aru. Kemudian ke utara ke Gunung Api, Buru, Ambon, Seram dan Banda. Tahun 1512 dari Banda mereka kembali ke Malaka. Serrao yang kapalnya karam, terdampar di pulau kecil (Ternate) bersama sembilan Portugis lain hingga meninggal pada awal 1521.

2] Kratoska menyebut daerah Minahasa (bagian utara Sulawesi) dikunjungi juga oleh Gomes de Sequiera dan Diogo da Rocha tahun 1525 dalam pelayaran yang membawanya ke Mindanau kemudian Kepulauan Carolina di Pasifik barat yang sempat dinamai Kepulauan Sequiera. Ada dua pendapat berbeda, bahwa mereka dikirim untuk menemukan daratan arah utara oleh Antonio de Brito (masa transisi ke Don Garcia Henriques). Namun menurut Galvao oleh Kapten Don Jorge de Menezes dan yang digantikannya Garcia Henriques. Da Rocha bertindak pemimpin ekspedisi dan Sequeira kapten kapal. Da Rocha dianggap penemu pulau-pulau arah timur Mindanau serta Pulau St.Lazarus di Carolina.

3] De Sa mengatakan Manado di Ilha (pulau) Manado. Bruder Nunez (kelak jadi padri) yang tinggal selama 9 tahun di Maluku sejak 1547 memberitahukan hal ini juga kepada rekannya Bruder Luis Frois, sekretaris bagi Rektor St.Paul’s College dan Provincial Jesuit di Goa yang ikut melaporkan ke Portugis tentang Raja Manado yang beragama Kristen. Luis Frois kelak ditahbis menjadi imam dan terkenal sebagai misionaris Jepang berteman dekat dengan penguasa Oda Nobunaga.

4] Joao da Beira kelahiran Spanyol adalah misionaris pertama yang dikirim ke Maluku oleh Francisco Xavier (Franciscus Xaverius) tahun 1547. Aernsbergen mengungkap tradisi lokal Minahasa yang menyatakan bahwa Rasul Xaverius mendatangi Minahasa dan berkotbah di Kema dan atau di Manado sekembalinya dari Ternate via Ambon ke Malaka April-Juni 1547. Kendati demikian para sejarawan Katolik lain membantah adanya kejadian ini, karena tidak ada dalam surat-suratnya yang menyatakan pernah menginjak Manado atau Kema.

5] Urdaneta ikut dalam ekspedisi Garcia Jofre de Loaisa 1525 bersama Juan Sebastian Elcano, dan salah satu dari sedikit awak yang selamat dan tiba di Maluku. Ia kembali dalam armada Portugis dan tiba di Lisbon Juni 1536, kemudian lari ke Spanyol. Kelak ia menjadi biarawan Augustinian (OSA) bekerja di Filipina lalu Meksiko. Kayu cendana sendiri tidak dimiliki Sulawesi, menurut Maria Schouten mengutip F.S.Watuseke dalam On the name Celebes 1975, adalah pterocarpus indicus, yakni kayu linggua atau angsana. Selain emas dan cendana, Sulawesi berpamor kekayaan lain, diantaranya lilin, madu, lem dan damar.

7] Beberapa sejarawan berpendapat pembaptisan pertama Katolik oleh Jesuit di Sulawesi Utara telah dilakukan Magalhaes di lokasi Manado sekarang. Bahkan Aernsbergen secara pasti menunjuk di Sindulang. Sindulang baru resmi berdiri ketika penduduk Babontehu terakhir di Pulau Manado Tua dikumpul Gubernur Kompeni Belanda Dr.Robertus Padtbrugge di tahun 1679, dengan pendirian Balak Manado.

 

 

*Foto dari De reis door den Indischen archipel van Prins Leopold van Belgie, Amsterdam, 1933. 

 

 

-----

LITERATUR

Aernsbergen SJ, A.J.van, De Katholieke Kerk en Hare Missie in de Minahasa, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde, vol.81, Batavia, 1925.

Aritonang, Jan Sihar, Karel Adriaan Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia, Brill, Leiden-Boston, 2008.

Barros, João de. Da Asia de João de Barros: Dos feitos, que os Portuguezes fizeram no Descubrimento, e conquista dos mares, e terras do Oriente.vol. decada quarta, parte segunda. Regia Officina Typografica, Lisboa, 1777.

Cortesa, Armando (ed),The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodrigues, Works issued Hakluyt Society, second series no.LXXXIX, London, 1944.

De Sa, Artur Basilio, Documentacao Para a Historia das missoes do padroado Portugues do Oriente: Insulindia, vol.1 (1506-1549), vol.2 (1550-1562), dan vol.3 (1563-1567), Agencia Geral do Ultramar, Madrid, 1954-1955.

Galvano, Antonio, Richard Hakluyt, The Discoveries of the World from Their First Original Unto the Year of Our Lord 1555, Hakluyt Society, London, 1862.

Henley, David, A Superabundance of Centers: Ternate and the Contest for North Sulawesi, Cakalele, vol.4, 1993.

Kratosta, Paul H. (ed.), South East Asia, Colonial History: Imperialism before 1800, London, 2001.

Schouten, Maria Johanna, Patrimonio enigmatico:os Portugueses na memoria colectiva na Minahasa, Veritas-Revista Cientifica da Universidade Nacional Timor Lorosa’e, vol.4 no.3 Desembro 2016.

Tiele, P .A., De Europeers in den Maleischen Archipel, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1877.

Valentijn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, vyf deelen, Joannes van Braam dan Gerard Onder de Linden, Dordrecht dan Amsterdam, 1724.

Visser MSC, B.J.J., Onder Portugeesch-Spaansche Vlag, De Katholieke Missie van Indonesie 1511-1605, N.V.de RK Boek-Centrale, Amsterdam, 1925.

Wessels SJ, P.Cornelio., De Katholieke Missie in Noord-Celebes en op de Sangi-eilanden, 1563-1605, Tijdschrift voor Godsdienst, Wetenschap en Letteren, 1933.

 


Sabtu, 05 Desember 2020

Kerajaan Manado Dalam Legenda

 

 

 

 

 Pemandangan Manado 1890-an dengan latar belakang Manado Tua. *

 

Manado di masa lalu pernah berbentuk kerajaan. Namun kerajaan Manado ini bukan Manado di daratan Pulau Sulawesi, melainkan Manado di Pulau Manado Tua sekarang.

 

Manado daratan yang merupakan kawasan Minahasa tidak pernah berbentuk kerajaan. Tapi republik-republik negeri dan pakasaan yang merdeka dan mengatur diri sendiri. Republik yang sering berperang antarmereka, meski sering berkoalisi, baik koalisi kecil atau besar. Seperti pada perang melawan Spanyol 1644 atau perang-perang dengan Raja Bolaang (Mongondow) Loloda.

 

Dari tradisi dan legenda Minahasa kawasan Manado merupakan tanah adat Tombulu. Telah dibagi demikian oleh para leluhur Minahasa keturunan Toar-Lumimuut ketika berlangsung pembagian foso atau pahawetengan nuwu Minahasa di Watu Pinawetengan.

 

Sumber-sumber Portugis dan Spanyol mengungkap kerajaan Manado memang pernah bercokol di Pulau Manado Tua. Kalangan penulis Belanda tentang Minahasa ikut menegas keberadaan kerajaan ini. Satu-satunya pengecualian adalah Pandita Nicolaas Graafland, penulis Hikayat Pulau Manado Tua. Ia berpendapat Manado di Pulau Manado Tua sekedar dipimpin seorang hukum tua. Sementara Dr.J.G.F.Riedel menyebut kepalanya kolano, sebutan seorang raja di masa silam. 

 

Dari kalangan Minahasa, dua sejarawan terkenal H.M.Taulu dan F.S.Watuseke ikut mencatat dalam buku dan tulisan mereka akan kerajaan ini.

 

DARI SELATAN

Pendiri dan penduduk kerajaan Manado --yang dikenal dengan sebutan orang Babontehu-- aslinya memang bukan orang Minahasa, meski kelak telah terjadi percampuran di antara mereka. Bahkan pada akhirnya mereka disamakan dengan orang Minahasa sejak tahun 1679.

 

Riedel di tahun 1862, menyebut orang Babontehu datang dari pihak selatan. Tidak diperincinya selatan itu dari bagian Bolaang Mongondow, Gorontalo atau daerah lain dari Sulawesi.

 

Seorang datu beserta anak-anaknya setelah bertengkar dengan istrinya perkara gundik, telah meninggalkan negerinya mencari tempat kediaman lain.  1]

 

Datu ini mula-mula singgah di Molibagu (wilayah bekas kerajaan Bolaang Uki, sekarang ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan) lalu di Pasolo, Baleng-baleng (Pulau Baling-baling di Desa Tumbak Kecamatan Pusomaen Kabupaten Minahasa Tenggara), dan Lembeh. Tapi mereka selalu diusir sehingga pindah ke Bangka.

 

Dalam versi tulisan lain, disebut Riedel, alasan kepindahan mereka dari Pulau Lembeh karena terjadi Prang Hudang (kapang).

 

Ketika berada di Bangka, orang-orang Bacan mengganggu kehidupan Datu dan penduduknya.  2]

 

Maka mereka kembali pindah ke Pulau Nain. Terakhir di Pulau Manado Tua, di Tanjung Buaroh, lalu membangun benteng batukarang. Di sini sang datu meninggal pada usia lanjut.

 

Menurut Riedel, pengganti datu yang meninggal adalah anak cucunya bernama Mokodompis yang pertama. Pemerintahannya mendatangkan perpecahan, sehingga sebagian penduduk di bawah orang gagah bernama Borimanin, Bahakikih, Bokarakombang dan Wiliuman berpisah, pindah ke Pulau Talise.

 

Kedua bersaudara Lumentut dan Mokodompis kemudian membangun koalisi dengan Kolano Ternate dan Tobelo, berperang dengan penduduk yang lari ke Talise.  3]

 

Tapi karena gagah berani, mereka tidak dapat dikalahkan. Mereka kemudian dibujuk untuk tinggal kembali di Manado Tua. Mereka inilah yang berhasil mengalahkan Tomini dan menuntut upeti darinya.

 

ASAL BACAN

Meski hampir persis, Graafland tahun 1868 lebih merinci bahwa asal mula orang Babontehu datang dari Bacan di Maluku Utara. Seorang raja Anuw di Bacan berperkara dengan istrinya gara-gara seorang pelayan yang elok yang dijadikannya gundik. Karena suami-istri tak ada damai lagi, raja merajuk. Ia mengumpul rakyatnya, keluarga serta sang gundik lalu datang ke sebelah barat mencari tanah lain untuk kediaman.

 

Mereka terdampar ke Tanah Minahasa, awalnya di suatu jiko (teluk), yakni Molibagu. Ketika dilihat raja tempat itu tidak baik, mereka berlayar melalui Tanjung Flesko, masuk ke jiko bernama Pasolo yang mempunyai sarang burung. Tapi tidak ada tempat untuk bermukim, maka mereka bertolak ke Pulau Baleng-baleng. Di sini mereka sekedar singgah, memasak makanan dan menyiapkan perahu.  

 

Kemudian mereka menyeberang ke Pulau Lembeh yang juga mempunyai sarang burung. Tapi mereka hanya tinggal beberapa hari, karena sang raja melihat tak ada lokasi pelabuhan yang baik. Mereka menyeberang dan tiba di Pulau Bangka.

 

Raja merasa pulau ini baik untuk tempat tinggal. Baru tinggal beberapa bulan, datang utusan dari raja besar di Bacan meminta seratus anak muda sesuai perjanjian mereka di tahun penghabisan. Tapi raja tidak mau menepati janjinya.

 

Maka, mereka keluar dari Bangka. Datang ke Pulau Nain Kecil dan Nain Besar. Di sini raja bersengketa dengan anak perempuannya. Karena sedih dan merajuk si putri meninggal dan kuburnya menjadi parigi batu. Jadi takutlah raja, sehingga pindah berdiam di Pulau Manado Tua. 

 

Beberapa tahun kemudian sang raja mati.

 

Pengganti raja ini adalah dua orang tua yakni Lumentut dan Mokodompis. Masa mereka muncul tujuh bersaudara yang perkasa dan gagah dalam perang. Ketujuhnya adalah Bukarakombang, Boremanung, Manikunusa, Sahadagi, Bahakiky, Huntamoniaga dan satu-satunya wanita bernama Dongintairang.

 

Kedua pemimpin yang melihat keperkasaan mereka, berkuatir sehingga mereka berseteru. Ketujuh bersaudara pindah ke Pulau Talise, di suatu tanjung. Tapi, karena banyak ikan terdampar di pantai yang menyiar bau busuk --sehingga tempatnya dinamai tukang sorong-- mereka pergi ke sebelah pulau, menemukan goa sarang burung.

 

Mereka menyeberang ke Pulau Bangka di suatu jiko Lalimata di utara pulau, lalu ke jiko Libas di timurnya, dimana mereka tinggal dengan menanam sagu. Tapi mereka ditemukan orang Tobelo, sehingga pindah lagi ke sebelah tanjung, arah timur di jiko Totohe dan menanam sagu.

 

Mokodompis menyuruh orang memanggil mereka supaya pulang ke Babontehu. Tapi tujuh bersaudara itu tidak mau pulang. Mereka lari ke jiko Tambah.

 

Mendengar mereka tidak mau ikut panggilannya, Mokodompis datang sendiri dan membujuk. Jadilah mereka kembali ke Babontehu. Malah Dongintairang diperistrinya.

 

Di Manado Tua, keenam bersaudara minta izin untuk pergi berperang (rumoraho). Mokodompis setuju dengan syarat diberikan padanya satu budak perempuan. Pergilah keenam bersaudara dengan satu perahu bininta ke Tomini. Mereka mengalahkan Tomini, dan Raja Tomini menyerahkan anak perempuannya bernama Haungsapa. Ia diberikan pada Mokodompis sebagai budak.

 

Karena cantik, Haungsapa telah diambil sebagai gundik. Ia melahirkan 2 anak, dinamai Bimusij Utahatuadij (karena anak dibudak) dan Mahasu.            

 

SEMPAT BERJAYA

Menurut Riedel tahun 1869, orang Babontehu berdiam di pulau-pulau utara Minahasa, seperti di Manado Tua, Talise dan Bangka. Pemerintahannya mencapai masa keemasan di jaman Lumentut dan Mokodompis Pertama (1). Pemimpin Babontehu menjalin hubungan dengan para pangeran dari Ternate dan dengan kepala Tobelo. Sementara bajak laut Babontehu berkuasa di perairan Teluk Tomini, serta ditakuti di kawasan lain, di mana mereka menuntut upeti.

 

Kerajaan Tomini di Sulawesi Tengah ditaklukkan oleh panglima bernama Manikunusa. Sebagai tanda takluk putri pangeran Tomini bernama Haungsapa diserahkan dan kemudian dikawini oleh Mokodompis Pertama.

 

Manado melebarkan kekuasaan, bahkan mengambilalih Bolaang. Salah seorang cucu Lumentut sempat menjadi Raja Bolaang, kendati pemerintahannya hanya dalam waktu singkat.

 

Minahasa sendiri tidak pernah terjamah kekuasaan Raja Babontehu. Menurut penelitian Riedel, orang Babontehu jarang berhubungan dekat dengan penduduk Minahasa. Pertemuan di sepanjang pantai, terutama dengan Tombulu, hanya untuk saling tukar makanan. Ketakutan oleh hutan liar dan penduduk yang berdiam di pedalaman menyebabkan Babontehu tidak pernah berupaya untuk berkuasa di Minahasa.

 

Seperti Riedel, Gubernur Kompeni Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC, Kompeni Hindia-Timur) di Maluku Robertus Padtbrugge di tahun 1679 mengungkap antara penduduk Manado di pulau dengan penduduk pedalaman Minahasa awalnya tidak mengenal satu sama lain. Orang Manado di pulau bahkan tidak tahu ada penduduk di pedalaman. Mereka baru mengetahui melalui sekam padi yang terbawa arus sungai dari pegunungan bahwa ada orang di pegunungan yang telah menabur padi. Dari waktu ke waktu, terutama oleh perburuan babi hutan, mereka bertemu, tapi tidak dapat berdamai atau berhubungan baik.

 

Hanya di masa pemerintahan Manirika, beberapa keluarga Babontehu sempat pergi ke daratan barat Minahasa di sekitar puncak Tanjung Pisok untuk menanam padi dan menjaganya dari gangguan. Tapi hanya untuk waktu yang singkat, sampai padi dipanen.

 

Satu peperangan yang terjadi dengan Minahasa adalah Perang Mandolang. Seorang pemuda dari Mandolang bernama Tamuntuan ketika pergi ke Pulau Babontehu telah memperistri Tinontongpatola, anak Pongeba. Pemimpin Babontehu marah karena wanitanya kawin dengan lelaki Tombulu. Ia memerintahkan untuk merampas kembali wanita itu. Tetapi serangan Babontehu sampai dua kali dapat dihalau penduduk Mandolang yang gagah berani, dengan membinasakan perahu-perahunya. 4]

 

Menurut Riedel, pada masa Lumentut berkuasa, Babontehu masih berjaya.

 

Namun, karena pemerintahan yang lemah dan masalah internal ketika suksesi, di jaman pemerintahan Pasibori, Babontehu mengalami kemunduran luar biasa, sehingga kemudian dikuasai Bolaang. Banyak penduduknya lari  ke Sangihe di Siau dan Tagulandang, mendirikan beberapa negeri, antara lain Sahabe dan Bukide. Akibat perpindahan ini hampir membuat seluruh Talise dan Bangka kehilangan penduduk. 5]

 

Penduduk Babontehu yang selamat dan tidak mau tunduk kepada Bolaang telah meminta bantuan orang-orang Spanyol untuk membebaskan mereka dari Bolaang.

 

Kapal galeon Spanyol telah mendarat di Kema di pantai timur Minahasa. Namun, karena petunjuk Babontehu, mereka membangun pemukiman di Tumpahan Wenang di Teluk Manado, lokasi kota Manado sekarang.

 

Berbeda Riedel yang menyebut adanya beberapa raja, Graafland mengungkap dalam hikayatnya, keberadaan Babontehu di Pulau Manado Tua hanya dalam periode pendek. Sebab, masih di masa pemerintahan Mokodompis dan Lumentut datang tantangan perang dari Raja Bolaang-Mongondow. Menghadapi Bolaang, kedua pemimpin Babontehu membuat benteng batu karang di Popoh (Poopoh), desa di Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa sekarang. Keenam pahlawan bersaudara sangat perkasa, sehingga orang Bolaang-Mongondow mundur.

 

Gagal dalam perang terbuka, orang Bolaang menggunakan siasat dengan melepas sepasang yaki. Tidak lama, binatang tersebut berkembang biak, sehingga tanaman dan kebun di Pulau Manado Tua habis oleh para yaki. Orang Babontehu menjadi susah karena kelaparan sehingga Mokodompis dan Lumentut bersepakat meninggalkan pulau. Tapi, masih berada di Pulau Manado Tua, Mokodompis meninggal dan dikubur di situ.

 

Dipimpin Lumentut dan Mahasu, putra Mokodompis dari Haungsapa dan keenam pahlawan itu, orang Babontehu masuk ke daratan Minahasa. Mereka mendarat di Tanjung Batu Itam, kemudian ke muara Tumumpa. Ada pula yang singgah di Bitung kecil di Kiyama (Kema), di pantai timur Minahasa.

 

Orang Kinilow (Kakaskasen) yang telah bersahabat dengan Babontehu sejak masih tinggal di pulau, mendengar kedatangan mereka di Manado (Wenang), telah meminta tolong Babontehu untuk menghubungi Kompeni Belanda.              

 

Dengan bekal makanan (dofoma), keenam pahlawan Babontehu menggunakan perahu bininta pergi ke Ternate. Di Pulau Batang Dua mereka bertemu satu breek (jenis kapal) Kompeni Belanda, lalu mengantar Kompeni ke Manado.  

 

Padtbrugge memberi versi lain akhir Babontehu. Kendati penduduk Manado di pulau tinggal sedikit, dengan hanya 300 orang bersenjata, mereka sangat militan memberikan perlawanan terhadap Raja Bolaang. Setelah berkali berperang sengit, akhirnya terjalin persahabatan dan aliansi, dan karena Babontehu tidak lagi memiliki raja, mereka kemudian tunduk pada Raja Bolaang.

 

Kesulitan air bersih, merajalelanya monyet yang menghancurkan kebun-kebun yang ada, telah menyebabkan mereka pindah ke Manado daratan.

 

RAJA-RAJA

Versi Riedel, tokoh yang pernah menjadi Raja Manado antara lain Mokodompis Pertama (1), Lumentut Pertama (1), Mokodompis Kedua (2), Manirika, Lumentut Kedua (2) dan Pasibori.

 

Taulu menyebut sejumlah rajanya. Dimulai Lumentut Pertama (1) tahun 1540. Putranya Makarompis atau Mokodompis sekitar tahun 1560-an. Lumentut Kedua (2) sekitar tahun 1625. Manirika Pertama (1), Pasibori, dan Manirika Kedua (2). Manirika Kedua adalah raja terakhir, ketika diusir Raja Bolaang Loloda tahun 1655. ***

 

 

-----------


1] Datu, menurut Dr.W.Ph.Coolhas, penulis Kroniek van het Rijk Batjan yang terbit 1923, awalnya adalah sebutan raja di Bacan. Kemudian disamakannya sebagai Sangaji, titel dari keluarga raja, kemudian sebagai pejabat di bawah raja dan jogugu, memimpin satu distrik atau beberapa negeri. Datu juga menurut Dr.F.W.Stapel dalam Corpus diplomaticum Neerlando-Indicum 1938 adalah titel raja di Bugis.

2] Bacan adalah kesultanan di pulau senama, sekarang masuk Provinsi Maluku Utara.

3] Di versi tahun 1869 Riedel menyebut Kolano Mokodompis yang telah membuat perjanjian persahabatan dengan Sultan Ternate. Tobelo sendiri adalah wilayah di Halmahera Utara yang menjadi bagian dari Kesultanan Ternate, sekarang ibukota Kabupaten Halmahera Utara.

4] Mandolang di masa silam adalah salah satu dari baru beberapa gelintir negeri besar Minahasa. Sekarang di bekas negeri ini berdiri Desa Tateli, Tateli Satu, Teteli Dua, Tateli Tiga dan Tateli Weru. Sementara mengenang kejayaannya tempo dulu, nama Mandolang sejak tahun 2012 dilestarikan pada nama kecamatannya, mekaran Kecamatan Pinaleng.

5] Sebuah versi lain dikemukakan Riedel, bahwa telah terjadi pernikahan antara para penguasa Babontehu dengan Bolaang, kemudian terjadi rebutan kuasa sehingga kerajaan Babontehu berakhir.

 

 

* Foto Dr.Willy Kukenthal dari buku Forschungreise in den Molukken und in Borneo, terbitan 1896, koleksi Digitalisierte Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin (SSB);

 

 

LITERATUR

Graafland, N., De Manadorezen, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, deel XV, Batavia,1868.

    De Minahassa Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand (Eene bijdrage tot de land-en Volkenkunde), eerste deel, M.Wijt&Zonen, Rotterdam,1867.

Padtbrugge, Robertus, Beschrijving der zeden en gewoonten van de bewoners der Minahasa, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde, deel  XIII,1866.

Riedel, J.G.F., Het Oppergezag der vorsten van Bolaang over Minahasa (Bijdrage tot de kennis der oude geschiedenis van Noord-Selebes), Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XVII, Batavia,1869.

     Inilah pintu gerbang pengatahuwan itu apatah dibukakan guna orang-orang padudokh tanah Minahasa ini, bahagijan kalima, ter lands-Drukkerij, Batavia,1862.

Taulu, H.M., Sedjarah Minahasa, Badan Penerbit dan Penjiar Buku Membangun, Manado,1951.

Valentijn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, vyf deelen, Joannes van Braam dan Gerard Onder de Linden, Dordrecht dan Amsterdam,1724.