(Kisah Terbunuhnya Kontrolir Haga) 1
Oleh: Adrianus Kojongian
Wanita Borgo Kristen di Kema *).
Wanita Borgo Kristen di Kema *).
Kema
di tahun 1879 adalah negeri yang mulai ditinggalkan. Statusnya, memang tetap
nomor satu sebagai pelabuhan utama di Keresidenan Manado, namun perannya sebagai kemudi pemerintahan orang
Minahasa telah habis, ketika Kepala Distrik Tonsea Majoor Outford Johan
Pelenkahu lebih memilih tinggal dan mengatur administrasi daerahnya dari Airmadidi. Anaknya yang menggantikan, yakni Hukum
Besar Jan Hendrik Pelenkahu menirunya pula, jarang ke Kema, kecuali ketika harus berurusan dengan Kontrolir.
Memang, Kema masih berstatus ibukota Distrik Tonsea, namun kepala tertinggi orang Minahasa
ketika itu yang tinggal di Kema hanyalah Kepala Distrik Kedua, yakni Hukum Kedua
H.Pinangkaan yang tetap bekerja dan mewakili kepala distrik memerintah lebih 200-an
orang Minahasa asli.
Meski Kema didirikan orang Tonsea, tapi, sejak masa Belanda negeri ini telah
berkembang menjadi 'kota' orang Burger yang lebih dikenal dengan nama Borgo. Kaum yang
berasal dari persilangan ras orang Eropa dan pribumi, baik Minahasa dan Ambon atau Ternate ini sejak masa pemerintahan Kompeni
(VOC) sampai Hindia-Belanda telah memiliki hak eksklusif dibanding penduduk asli Minahasa.
Berbagai hak istimewa tersebut berhasil diperoleh
kaum Borgo dan keturunannya karena perannya sebagai pembantu terpercaya Belanda. Mereka
bergenerasi dan turun-temurun telah direkrut dan bekerja sebagai milisi bersenjata lokal yang dikenal dengan nama Schutterij. Selain menjaga pelabuhan Kema dan pemukiman penduduk, mereka pun bertugas menjaga keamanan negeri-negeri di pesisiran Afdeeling Kema yang mencakup hingga Likupang dan wilayah lain Tonsea terutama dari ancaman para bajak laut.
Maka, tidak mengherankan bila Kema menjadi salahsatu pusat
pertumbuhan Borgo terbesar di Tanah Minahasa setelah Manado. Mereka bahkan menjadi
mayoritas dari penduduk Kema, mencapai lebih dari seribu jiwa. Paling banyak sebagai pemeluk agama Kristen (Protestan) dan sedikit Islam.
Karena istimewa dan menjadi kelas tersendiri dibawah
orang Belanda, kaum Borgo pun memiliki kekebalan, tidak tersentuh
oleh tangan-tangan dari kepala Minahasa. Ini pula menjadi salahsatu penyebab Kepala Distrik
Tonsea pindah ke Airmadidi yang berjarak sembilan paal dari Kema. Orang Borgo ketika itu dianggap besar kepala dan sering tidak menghormat kepala Minahasa, karena merasa.derajatnya yang tinggi.
Hak istimewa yang mereka miliki secara turun-temurun
itu, karena mereka tidak perlu membayar pajak hasil (hasilbelasting) atau pun mengerjakan Heerendienst
yakni kerja wajib atau lebih tepat kerja paksa karena orang yang bekerja demikian tidak akan menerima upah satu sen pun.
Berbeda dengan penduduk asli Minahasa
yang harus dibebani bayar pajak hasil sebesar 5 gulden per tahun, serta melakukan pekerjaan Heerendienst. Untuk Heerendienst, saban orang Minahasa mesti bekerja selama 36 hari
dalam setahun, atau bahkan ada lebih 90 hari. Mereka juga harus melakukan pekerjaan negeri, yakni pinontol dan sawang untuk para kepalanya.
Semua orang Borgo tidak diperintah oleh Kepala Distrik Tonsea, tapi langsung
diperintah Kontrolir Kema yang berkedudukan di Kema dan terakhir dipegang oleh F.A.Hennige.
Kontrolir adalah pejabat berkuasa dibawah Residen, bertugas pula memata-matai
dan mengawasi para kepala distrik di wilayah kerjanya. Afdeeling Kema yang dipimpinnya, mencakup seluruhnya Distrik Tonsea ditambahi Distrik gabungan Likupang-Klabat
di-Atas yang baru saja di tahun 1878 digabung satu, dan kemudian akan
bernama Distrik Maumbi.
Orang Borgo memiliki kepala sendiri, yakni seorang yang
bergelar Wijkmeester. Mereka bermukim di dua kampung atau Wijk yang
disebut dengan nama Leter A dan Leter B. Mayoritas dari Borgo Kristen tinggal di Leter A yang di
tahun 1879 dipimpin oleh W.C.van Duim sebagai Wijkmeester.
Tentu saja, hak-hak istimewa yang selama ini hanya dikecapi
orang Borgo tersebut menimbulkan kecemburuan besar di kalangan para kepala dan penduduk
asli Minahasa.
REFORMASI SWAVING
Tahun 1879 Keresidenan Manado dipimpin oleh Residen
bernama Mr.Peter Adriaan Matthes. Meski baru memerintah sejak Mei 1878, namun ia
mewarisi ‘bom waktu’ yang ditinggalkan oleh Anthonie Hendrik Swaving yang
digantikannya. Ada ketidaksenangan besar berkecamuk di kalangan orang Minahasa,
terutama di kalangan para kepala yang merasakan penderitaan besar warganya
akibat dari ‘reformasi’ Swaving, yang selalu bekerja di tanah Jawa, dan
tiba-tiba dipindahkan ke Manado, kemudian memperkenalkan pembaruan gaya Jawa
tersebut.
Paling utama protes dibuat karena domeinverklaring, dimana tanah-tanah
yang tidak atau belum digarap dinyatakan sebagai milik negara, mengorbankan banyak lahan pasini penduduk. Orang Minahasa
disuarakan oleh para kepala dalam protesnya kepada pemerintah kolonial di
Batavia dan Staten-Generaal (parlemen Belanda), meyakini
mereka tidak pernah menjadi hamba Belanda atau merasa telah ditaklukkan dengan
senjata. Hubungannya dengan Belanda lewat pemerintah VOC ketika itu, dijalin
oleh kontrak persahabatan alias bondgenoten,
jadi sama setara dan Minahasa merupakan sekutu terhormat.
Tanah-tanah yang dirampas itu bukan hanya untuk
disewakan kepada pemodal swasta, tapi juga untuk pengembangan berbagai tanaman
produktif, terutama kopi yang sangat menguntungkan. Meski kopi telah lama
ditanam dan dibudidayakan di Minahasa, untuk terus menggalakkan koffiecultuur,
dan mulusnya lalulintas produksi, maka penduduk mesti digelorakan. Maka untuk itu banyak
pejabat usia muda yang masih bujangan dikirim dari Batavia untuk mengaturnya.
Pejabat muda yang sangat
bersemangat nekad melakukan berbagai upaya untuk memperoleh pujian atasan serta
meraih prestasi setinggi mungkin. Cara yang ditempuh adalah dengan memacu serta
memeras sebanyak mungkin sumberdaya manusia, yakni penduduk sebagai tenaga cuma-cuma
dengan bekerja Heerendienst di kebun-kebun kopi dan berbagai fasilitas umum (publieke werken). Untuk yang terakhir ini, penduduk dipaksa membangun jalan dan jembatan serta pemeliharaannya, termasuk
berbagai fasilitas lain seperti air.
Arus 'reformasi' mantan
Residen Swaving berdampak pula pada orang Borgo. Awalnya masih ada kelonggaran bagi mereka yang
bekerja sebagai anggota Schutterij. Tapi kemudian sisa-sisa hak istimewa orang Borgo benar-benar
berakhir di tahun 1878.
Dengan aturan baru yang dibuat menyangkut Schutterij, maka di bulan Oktober 1878 Detasemen Schutterij Kema yang dipimpin oleh
Letnan Satu David Ferdinand Celosse ditarik ke Manado. Anggota
pasukan asal Borgo di Kema dibubarkan. Akibatnya benteng perlindungan terakhir orang Borgo
Kema tidak ada lagi.
Ditambah keluarnya aturan baru tentang Heerendienst, mereka diwajibkan harus melaksanakan
kedua hal yang dibenci tersebut.
Aturan baru
tentang Schutterij dan Heerendienst itu berlaku pula bagi para Borgo yang tinggal atau bekerja di Amurang dan Belang. Seperti orang Minahasa umumnya, mereka pun harus tunduk, mesti membayar pajak dan
bekerja di berbagai fasilitas umum dengan tidak memperoleh upah.
Tidak mengherankan
bila dicatat di tahun 1878 terjadi bom kopi di Minahasa. Produksinya mencapai 35.462 pikul. Tapi, hanya
berselang dua tahun saja, gara-gara perlawanan diam-diam yang berkecamuk dengan
keengganan penduduk melakukan kerja paksa, di tahun 1880, hasil kopi
Minahasa yang masuk di gudang-gudang kopi milik Belanda turun sangat drastis, tinggal 13.500 pikul. Jumlah ini pun sudah terhitung dengan produksi dari perkebunan kopi Masarang di Tondano yang dikelola Firma De Bordes, sebanyak
820 pikul.
Banyak orang Borgo
memprotes dan melawan perampasan hak-hak yang telah mereka nikmati sejak
nenek moyangnya. Mereka melakukan aksi pembangkangan atau bersembunyi ketika
dipanggil Heerendienst. Akibatnya Kontrolir Kema bertindak keras menahan mereka di penjara Kema. Ia bahkan mengirim mereka ke Manado dan dibui
berbulan. Di Manado, mereka pun dipaksa bekerja membuat jalan dengan dirantai untuk pelanggaran
yang tergolong berat yang dikenal dengan nama dwangarbeid atau pekerjaan hina. Semua itu dianggap sangat merendahkan
martabat dan kebanggaan kaum Borgo. ***
*). Foto repro koleksi KITLV Digital Media Library.
BAHAN OLAHAN:
Delpher Kranten:
Algemen Handelsblad 1879, Het Nieuws van den Dag 1879, Java
Bode 1879, Soerabaiasch Handelsblad 1879, Soematra-Courant 1879.
Ensiklopedia Tou
Manado
Maka, tidak mengherankan bila Kema menjadi salahsatu pusat pertumbuhan Borgo terbesar di Tanah Minahasa setelah Manado. Mereka bahkan menjadi mayoritas dari penduduk Kema, mencapai lebih dari seribu jiwa. Paling banyak sebagai pemeluk agama Kristen (Protestan) dan sedikit Islam.
Hak istimewa yang mereka miliki secara turun-temurun itu, karena mereka tidak perlu membayar pajak hasil (hasilbelasting) atau pun mengerjakan Heerendienst yakni kerja wajib atau lebih tepat kerja paksa karena orang yang bekerja demikian tidak akan menerima upah satu sen pun.
Berbeda dengan penduduk asli Minahasa yang harus dibebani bayar pajak hasil sebesar 5 gulden per tahun, serta melakukan pekerjaan Heerendienst. Untuk Heerendienst, saban orang Minahasa mesti bekerja selama 36 hari dalam setahun, atau bahkan ada lebih 90 hari. Mereka juga harus melakukan pekerjaan negeri, yakni pinontol dan sawang untuk para kepalanya.
Semua orang Borgo tidak diperintah oleh Kepala Distrik Tonsea, tapi langsung diperintah Kontrolir Kema yang berkedudukan di Kema dan terakhir dipegang oleh F.A.Hennige.
Kontrolir adalah pejabat berkuasa dibawah Residen, bertugas pula memata-matai dan mengawasi para kepala distrik di wilayah kerjanya. Afdeeling Kema yang dipimpinnya, mencakup seluruhnya Distrik Tonsea ditambahi Distrik gabungan Likupang-Klabat di-Atas yang baru saja di tahun 1878 digabung satu, dan kemudian akan bernama Distrik Maumbi.
Orang Borgo memiliki kepala sendiri, yakni seorang yang bergelar Wijkmeester. Mereka bermukim di dua kampung atau Wijk yang disebut dengan nama Leter A dan Leter B. Mayoritas dari Borgo Kristen tinggal di Leter A yang di tahun 1879 dipimpin oleh W.C.van Duim sebagai Wijkmeester.
Tentu saja, hak-hak istimewa yang selama ini hanya dikecapi orang Borgo tersebut menimbulkan kecemburuan besar di kalangan para kepala dan penduduk asli Minahasa.
Dengan aturan baru yang dibuat menyangkut Schutterij, maka di bulan Oktober 1878 Detasemen Schutterij Kema yang dipimpin oleh Letnan Satu David Ferdinand Celosse ditarik ke Manado. Anggota pasukan asal Borgo di Kema dibubarkan. Akibatnya benteng perlindungan terakhir orang Borgo Kema tidak ada lagi. Ditambah keluarnya aturan baru tentang Heerendienst, mereka diwajibkan harus melaksanakan kedua hal yang dibenci tersebut.