Makam Laksamana Hengkengunaung di Kiawang. (foto Iverdixon Tinungki, barta 1.com), |
Di Salurang Tabukan berada makam dari Makaampo, sementara di Kiawang Siau makam dari Hengkengunaung.
Keduanya adalah tokoh legendaris. Makaampo adalah
raja pertama dari kerajaan Tabukan, dan Hengkengunaung seorang laksamana (Kapiten
Laut) dari kerajaan Siau.
Makaampo dan Hengkengunaung hidup sejaman, meski dikisahkan usia Hengkengunaung
jauh lebih muda dari Makaampo.
Tapi, terdapat perbedaan masa hidup kedua tokoh pada buku dan tulisan sejarah yang beredar.
Sejarawan Sangihe menyebut Makaampo hidup atau berkuasa di
sekitar tahun 1530-1575. Sementara sejarawan dari Siau mencatatkan periode
hidup dari Hengkengunaung adalah tahun 1590-1668.
Tentu jadi tidak semasa.
Kisah kedua tokoh ini memang beragam. Makaampo umpama dibahas Walter Aebersold dalam Bekem Makaampo. Het verhaal van Makaampo (BKI 113 tahun 1957) dan J.E.E.Scherrer dengan De afkomst van Makaampo (BKI 115, 1959).
Aebersold dengan teks Sangihe mengkisah lengkap riwayat putra Tangkuliwutung dan Nabuisang tersebut sedari masa kecil, hingga kematiannya. Scherrer lebih membahas silsilah Makaampo serta raja-raja Tabukan keturunannya.
Makaampo adalah pribadi yang keras, bahkan menurut Scherrer brutal.
Karena itu Hengkengunaung dari Kiawang diminta membunuh Makaampo oleh penduduk Tamako. Sebab anak-anak mereka diambil dan dijadikan umpan hiu.
Mokoampo hanya dapat dibunuh dengan pedangnya sendiri.
Saat sedang menangkap ikan di karang Batuketi pantai Sahabe, budaknya bernama
Tahapansiang berkhianat, menyerahkan pedang saktinya pada Hengkengunaung sehingga
pahlawan dari Siau tersebut berhasil membunuh dan mengayau kepalanya.
Aebersold mencatat pula versi lain kematian Makaampo terjadi di Rainis Talaud oleh budaknya
bernama Sakiunaung yang menyerahkan kepala Makaampo pada
Hengkengunaung di Tamako, dan membawanya ke Pehe Siau.
Paman Makaampo bernama Ansiga dan Makalupa dengan menggunakan budak bernama
Kumale berhasil mengambil kembali kepala Makaampo dan dikuburkan di Salurang.
MASA BABULLAH
Dokumen tua yang menyebut Raja Makaampo dan kematiannya adalah
dari raport Gecommitterde Dirck de Gheijn
(menjabat winkelier) dan Andries
Oloffsz (sekretaris) yang berkunjung di Sangihe Oktober 1675 hingga Februari
1676.
Ketika kedua komisi ini datang, Tabukan telah dipimpin oleh Raja Garuda, karena para
rajanya disebutkan mulai dari Makaampo (ditulis Macca ampou), Buaten
(Bouating), Gama (Gamma) dan Garuda (Garouda). Di masa Raja Buaten, Islam
tumbuh di Tabukan dibawa oleh Kasisi Lebe Metaly.
Makaampo adalah penakluk Talaud, tapi kematiannya sekedar dicatatkan dilakukan
oleh orang Siau.
Gheijn dan Oloffsz menyebut Raja Makaampo bersamaan dengan Raja Siau bernama
Boyssang yang menguasai Pulau Kabaruan di Talaud, bukan dengan kekerasan tapi
melalui persahabatan (vrienschap). 1
Raja Boyssang dimaksud adalah Raja Wuisang yang bernama Don Joao (Juan dalam bahasa Spanyol) yang
memerintah Siau tahun 1587-1590. Raja Wuisang menggantikan ayahnya Raja Posumah
(Don Jeronimo). Pemerintahan Raja Wuisang singkat, dan digantikan saudaranya Winsulangi
(Don Jeronimo II).
Tapi paling penting karena Gheijn dan Oloffsz menegas masa pemerintahan Raja Makaampo adalah bersamaan pula dengan Raja Ternate Babou. Menurut mereka, Ternate tidak menduduki
Tabukan dengan kekuatan senjata, tapi selalu menjaga persaudaraan (broederschap), ketika datang dengan tujuh korakora di masa Babou dan
Makaampo tersebut.
Babou adalah Babu atau Babullah, Sultan Ternate yang berkuasa tahun 1570
hingga meninggal 1583. Ia menggantikan ayahnya Hairun yang dibunuh Portugis dan
bersumpah untuk membalas dendam. Babullah baru berhasil mengusir Portugis dari
benteng St.Pedro di Gamalamma Ternate 1574, kemudian melakukan
penyerangan di Kepulauan Sangihe, berkali-kali ke Pulau Siau yang merupakan kerajaan Katolik di bawah pengaruh Portugis.
Dalam Documenta Malucencia II (1980), Hubert Jacobs SJ menggambarkan salah satu serangan dari armada korakora Ternate pada bulan September 1587. Ternate menyerang Siau dengan kekuatan 3.000 prajurit dari Pulau Sangihe Besar. Menghancurkan bekas ibukota Ulu, membunuh banyak orang, dan mengambil sebagai tawanan 70 atau 80 orang baik laki-laki mau pun anak-anak, termasuk menawan 40 atau 50 orang di Pulau Makelahi dekat Pehe.
SEORANG MANTRI
Raja Makaampo dan Hengkengunaung setidaknya hidup di era Siau dipegang oleh Raja Posumah dan Raja Wuisang. Bahkan kemungkinan masih hidup di masa awal pemerintahan Raja Winsulangi, di mana kematiannya oleh Laksamana Hengkengunaung terjadi.
Sebagai laksamana, Hengkengunaung adalah seorang mantri yang memimpin angkatan laut Siau. Jabatan yang biasanya dipegang oleh seorang Kapiten Laut.
Masa Winsulangi, ketika Siau mulai dipengaruhi Spanyol, mantri-mantri yang membantu pemerintahannya tercatat. Menurut Hubert Jacobs, ketika berada di Manila 28 Juni 1593 dan membuat perjanjian dengan Gubernur dan Kapiten Jenderal Gomez Peres Dasmarinas, Raja Jeronimo Winsulangi didampingi para mantri yang ikut meneken kontrak politik. Nama mantri-mantrinya adalah: Don Pedro Siao, Thome Mangapa, Don Martin, yang menjabat Socapitana mayor de la mar (Kapiten Laut atau laksamana) serta Manuel Sarbeja, Francisco Papamdodoras Mananca, Don Antonio Sangajas (Sangaji) dan Don Duarte.
Kemungkinan salah satu Kapiten Laut atau mantri Siau di atas adalah nama Kristen dari Laksamana Hengkengunaung. 2
Makaampo sendiri digantikan anaknya Raja Buaten, kemudian cucunya Raja Gama yang dari dokumen Katolik telah berkuasa sebelum tahun 1639. ***
1 Residen Manado A.J.F.Jansen 12 Agustus 1857 mengungkap berdasar tradisi
Siau, kepemilikan Kabaruan oleh Siau dimulai setelah kepala Talaud bernama
Mahadija Ponto mengawini putri dari Lokombanua (Basilawewe). Lokombanua yang
dianggap menjadi Raja Siau pertama adalah ayah dari Raja Posumah yang meninggal
tahun 1587.
2.Bulan Juni 1614 Siau diduduki Kompeni Belanda yang mengangkat Duarte Pareira atau Kaicil Kaluwan (Kaliwen) sebagai raja baru pada 15 Agustus 1614. Raja Winsulangi dan putranya Don Juan melarikan diri ke Ternate kemudian tinggal di Manila. Tanggal 12 Oktober 1615 Raja Pareira dan 450 penduduk Siau lainnya dibawa Belanda ke Pulau Ai di Banda Maluku. Baru awal tahun 1620 Raja Winsulangi berhasil mengusir Belanda di Siau dengan bantuan Spanyol, dan berkuasa kembali hingga meninggal tahun 1624, dan digantikan anaknya Don Juan.