Gunung Awu saat ini. (foto koleksi Tasin Effendi) |
Gunungapi Awu di Pulau Sangihe Besar yang lebih dikenal dalam bahasa Sangihe sebagai Burudu Awu telah berkali meletus dengan menelan korban jiwa sangat besar.
Erupsi mematikan gunung setinggi 1.320 meter dari permukaan laut ini terjadi 10-16 Desember 1711, 6-8 Agustus 1812, 2-7 Maret 1856, 7-12 Juni 1892 dan 12 Agustus 1966. Tidak terhitung erupsi skala rendah yang tidak memakan korban jiwa seperti pada Juni 2004.
Letusan paling awal dari Gunung Awu telah dicatatkan berlangsung 3-4 Januari 1641. Tapi, tidak mengungkap adanya korban.
Baru tahun 1711 korban jiwa pertama kali dilaporkan, sebanyak 3.030 orang. Laporan dari Sersan Andries Dulee, Komandan Logie Kompeni Belanda di Tabukan menjadi satu-satunya sumber kejadian. 1
Jumlah korban bervariasi, karena hitungan geolog Jerman Arthur Wichmann adalah 3.177 orang. Sementara angka resmi dari Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck 26 November 1712 hanya 2.797 korban meninggal.
Laporan Andries Dulee dikutip Francois Valentijn dalam buku Oud en Nieuw Oost-Indie terbitan 1724 dan dirujuk Wichmann di Die Vulkane der Sangi-Inseln yang terbit tahun 1921.
Selain korban jiwa, erupsi Gunung Awu tahun 1711 menyebabkan sejumlah negeri di kaki gunung tersebut rata dengan tanah, terutama di kerajaan kecil Kendahe.
Lima negeri yang disebut Valentijn ada sebelum tahun 1711 hancur lebur serta tertimbun material letusan sehingga ditinggalkan. Negeri-negeri tersebut adalah Kendahe dengan bagian Negeri Kristennya, Sarab, Sarudukel, Talawid dan Nirosenkayu.
Andries Dulee mendetilkan bencana mematikan hampir 311 tahun silam itu.
KAMIS, 10 DESEMBER 1711
Tengah malam, jam
menunjukkan pukul setengah dua. Di Tabukan muncul angin kencang dari arah timur
laut, bercampur dengan hujan deras, badai dan petir. Tidak lama kemudian
terjadi gempa bumi.
Sekitar jam dua, terdengar tangis ratapan di sekitar Rumah Kompeni. Meski cuaca gelap, masih cukup jelas untuk melihat orang-orang, dengan rombongan ratusan dan lima puluhan, yang berlarian di sepanjang pantai.
Saat itu angin yang begitu buruk datang dari arah gunung, sehingga Dulee tidak mendengar raungan dahsyat yang terjadi. Kejadian mana diikuti ratusan batu berjatuhan, sehingga Dulee dan orang-orang lari mencari perlindungan.
Letusan dan lontaran batu berlangsung sampai pukul setengah tiga. Tetapi angin tidak berhenti, sehingga abu yang jatuh dengan bau belerang menimbulkan aroma tidak enak. Sementara tangisan manusia masih terdengar, karena orang-orang membayangkan bahwa dunia akan berakhir.
Melihat ke belakang, ke Gunung Awu, Dulee membayangkan seolah-olah seluruh gunung, di sebelah barat (dari Tabukan), hanya segumpal api.
Karena semua orang melarikan diri, Dulee bertanya kepada beberapa orang yang lewat dengan istri dan anak-anaknya kemana mereka akan pergi, dan mengapa mereka tidak tinggal di negerinya.
Para penduduk menjawab bahwa Raja dan Bobato sudah pergi, dan bahwa mereka semua datang bersama dari Sarab, hendak pergi ke Teluk Petta dan Matiekje. 2
Dulee segera mengirim orang bertanya apakah Raja (Tabukan) sudah pergi. Ia memperoleh jawaban Raja masih di rumahnya, meski pun barang dan anak-anaknya sudah pergi mengungsi.
Dulee dan orang-orang di Logie tidak dapat berbuat apa-apa, hanya berdoa supaya diberi perlindungan dan keselamatan, karena hanya ada kematian di depan mata. Penantian yang panjang dan berlangsung sampai jam lima.
Akhirnya Dulee disertai empat anak laki-laki pergi ke kediaman raja, berharap raja tetap tinggal di negeri. Sebab, menurut Dulee, tidak ada orang yang hidup akan tergerak untuk melakukannya.
Dulee tidak menemukan raja. Seorang anak muda mengatakan tidak tahu kemana raja pergi. Tidak lama muncul dua mantri Tabukan, Kapiten Buca dan Kapiten Laut Gingang yang menanyakan raja.
Raja Tabukan akhirnya menemui Dulee meminta diizinkan tinggal di Rumah Kompeni, yang disetujuinya. Menurut raja, terjadi pelarian penduduknya karena mereka takut akan ‘air yang membara’ dari gunung. 3
Jam setengah enam, Dulee bersama orang-orang di Rumah Kompeni pergi ke gereja, tapi hanya sedikit orang di dalamnya.
Pada jam setengah sembilan gunung kembali bergetar. Ketika hari mulai cerah, letusan mereda, dan angin mulai bertiup dari utara, sehingga mengalihkan debu tebal dari Tabukan, tapi sebaliknya mengarah ke negeri Kolongan dan Tahuna.
JUMAT, 11 DESEMBER
Gunung masih menyala,
tapi tidak begitu kuat, seperti hari sebelumnya. Beberapa orang dari negeri
Banawabre atau Brae dan Matane datang ke Rumah Kompeni. Mereka tidak dapat
tinggal dan bertahan karena hawa panas yang timbul.
Laporan pertama yang masuk dari negeri dan di hutan, seratus tiga puluh enam orang tewas. Di antaranya Putri Lorolabo dan putrinya bernama Sarabanong. Laporan terakhir seratus tiga puluh orang ditemukan yang rusak oleh kebakaran.
Sejauh menyangkut Kendahe, belum ada laporan. Tapi diungkap lebih banyak material yang berjatuhan di Kendahe, daripada negeri-negeri lainnya.
Raja Tabukan diberi tahu adanya korban dari Negeri (ibukota Tabukan bernama sama) yang hilang di kebun. Para utusan menjelang malam datang dengan membawa tangan dan kaki manusia yang terbakar, serta dua puluh tiga orang lainnya yang ditemukan di kebun dari Kapiten Consa, dimana rumah-rumah terbakar habis menjadi abu. Kebun berjarak setengah mil dari Negeri. Dari Negeri Baru satu jam dan dari Matane tiga jam.
Hari itu dihitung lebih dari enam ratus orang melarikan diri ke Petta.
SABTU, 12 DESEMBER
Kondisi Gunung Awu tetap
sama seperti tanggal 11.
Pagi hari datang dua orang Tabukan yang telah pergi ke Matane pada Jumat untuk melihat teman-teman mereka. Mereka memberitahu Dulee nasib menyedihkan yang menimpa Raja Kendahe dan rakyatnya, baik Kristen mau pun Islam. Keduanya melaporkan semuanya mati, dan negeri tanpa rumah, baik besar atau kecil, hancur, dan rata dengan tanah. Bahkan pepohonan terbakar habis atau dihempaskan ke tanah, di negeri kecil Talawid yang terletak antara Matane dan Kendahe.
Ada seratus enam puluh orang Kendahe tersisa, dan Raja Siamsialam hari sebelumnya dimakamkan di Kendahe dengan seorang putranya yang mereka temukan di pelukannya. Raja tidak terbakar tapi tercekik oleh panas api.
Jumlah yang mati di Kendahe, pria, wanita dan anak-anak dua ribu tiga puluh kepala, termasuk guru sekolah Andries Pieterz dan marinyonya. Telah ditemukan milik Raja Kendahe, yakni sebuah kapal, dan lima potongan logam, dan mereka masih mencari lima lainnya dari satu atau dua bola pont (pont bals).
Malam hari diperoleh kabar Hukum Tabukan Abraham Datholomeus dan tiga putranya ikut mengalami bencana, tewas di Kendahe.
MINGGU, 13 DESEMBER
Gunung Awu berhenti mengeluarkan api. Dulee mengirim seorang serdadu bernama Thomas Justus dengan beberapa penduduk ke negeri Matane, Kendahe dan Negeri Baru yang kembali menjelang malam. Utusan telah menemukan di jalan lebih dari empat ratus orang. Semuanya mati lemas oleh panas api, sebab mereka tidak terbakar, tetapi tubuhnya utuh. Mereka menemukan pula di pantai air yang mendidih, dengan bukti kaki mereka terbakar oleh air panas.
Di Negeri Kristen Kendahe mereka menemukan seorang gadis kecil berusia sekitar delapan belas bulan yang terbaring di antara dua mayat. Ia sedikit terbakar di lengan, dan ketika melihat manusia, ia mulai berteriak, dan pada orang Sangihe meminta air. Gadis kecil itu sudah sejak tanggal 10 terbaring di sana. Ia akhirnya dibawa salah satu temannya.
Hukum Abraham Datholomeus dimakamkan di Kendahe bersama dengan ketiga putranya.
SENIN, 14 DESEMBER
Gunung Awu semakin
berkurang aktivitasnya, tapi tidak dengan uapnya. Datang orang Tabukan Gorahe,
dari Manganitu dan Tahuna. Mereka melaporkan di Kolongan tujuh puluh orang
telah terbakar, selain yang terluka parah dan masih hidup. Guru di tempat itu
melarikan diri dengan orang-orang yang tersisa ke Tahuna dan menetap di sana.
Sementara di Tahuna empat ratus delapan jiwa meninggal karena api, dan semua
yang tersisa lari berlindung ke Manganitu, karena di negeri itu meski jatuh
sejumlah batu, tidak sampai ada korban jiwa mau pun rumah yang rusak.
Mardiker Bastiaan de Gratia tanggal 12 tiba di Manganitu dengan kapalnya (jenis chaloup). 4
Dulee diberitahu bahwa di negeri Saluran, Manalu, Kulur dan Kuma tidak ada kerusakan yang terjadi pada rumah-rumah penduduk akibat letusan Gunung Awu.
SELASA, 15 DESEMBER
Datang dari negeri
Talawid yang terletak dekat Kendahe Sangaji Bengunang dan Kimelaha Malasigi
serta tiga puluh orang Kendahe lainnya. Mereka melaporkan telah menguburkan
raja mereka, dan bahwa secara keseluruhan, baik laki-laki, mau pun perempuan
dan anak-anak, masih sekitar seribu orang yang kuat. Tapi tidak ada yang bisa
diandalkan, karena Jogugu Thomas Sigugu berada di Sarangani dan diharapkan
segera pulang.
Saudara Raja Siamsialam bernama Culabato masih hidup di Tahuna. Ia melayani raja di Talawid. Saudara laki-lakinya yang lain bernama Salarangi ikut selamat, karena hidup berkebun di sebuah pulau. 5
Sangaji Bengunang mengaku masih mempertimbangkan apakah mereka akan melanjutkan hidup di Talawid. Sebab mereka cenderung tinggal di Tabukan atau tempat lain yang aman. Sementara Kendahe sepenuhnya musnah, rata dengan tanah.
Menjelang malam, dibawa tiga mayat dan dikuburkan raja di sebuah sumur, ditutup dengan tanah.
Dari pemeriksaan ketinggian di luar negeri Tabukan, lembah-lembahnya dipenuhi oleh ejecta Gunung Awu berupa magma dan batuan. Penduduk merasa takut material yang tertampung itu akan jebol lalu melanda negeri.
RABU, 16 DESEMBER
Dulee menerima laporan
dari beberapa penduduk, bahwa orang-orang tidak dapat pergi lebih dari satu jam
di hutan, karena sekitarannya masih terbakar, dan terlalu panas untuk pergi
lebih jauh.
KAMIS, 17 DESEMBER
Gunung masih berasap,
tapi tidak mengeluarkan abu lagi. Menjelang malam, sebuah kapal berangkat dari
Tabukan ke Tagulandang, dimana Dulee mengirimkan catatan kecil kepada Raja
Tagulandang meminta sebuah kapal untuk mengirimkan surat Kompeni kepada Opperhoofd (Residen) Manado Hendrik van
der Burgh.
KENDAHE BARU
Setelah peristiwa tersebut,
Kendahe ditinggalkan, karena semua negerinya hancur. Penduduk mengungsi di
kerajaan bertetangga hingga ke Sarangani dan Mindanau.
Baru tahun 1713 sisa penduduk kembali ke Kendahe. Dr.W.Ph.Coolhaas dalam seri besar Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie mencatat berita Gubernur Jenderal Christoffel van Swoll 20 November 1713. Sekitar 500 orang yang selamat dari letusan Gunung Awu berkumpul kembali di Kendahe, termasuk Johannes Karambut yang kelak diangkat menjadi Raja Kendahe pengganti kakaknya Siamsialam.
Penduduk seluruh Kendahe sebelum erupsi disebut Valentijn sekitar 3.000 jiwa.
J.B.J.van Doren penulis Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken enz yang terbit tahun 1860 lebih merinci jumlah orang Kendahe yang kembali, sebanyak 545 orang. Terdiri 165 pria dewasa dan 380 wanita serta anak-anak. Sebagian Kristen dan sebagian Islam.
Mereka mendirikan kembali dua kampung untuk komunitas masing-masing di negeri ibukota Kendahe. Kampung Sarani (Kristen) dan Kampung Islam. Kemudian mendirikan ulang negeri Talawid di utara. ***
1.Logie atau benteng kecil Tabukan lebih dikenal di
Kepulauan Sangihe dengan sebutan Rumah Kompeni. Logie tersebut telah ada sejak
1677, sebagai pos utama Kompeni Belanda di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Peran Logie
Tabukan berakhir ketika Sangihe-Talaud berbentuk Onderafdeeling tahun 1882,
dengan penunjukan Anthonius van Senden sebagai kontrolir pertama, di ibukota baru
Tahuna.
2.Bobato atau Rijksgrooten, adalah dewan menteri
(mantri), dipimpin raja, dengan jogugu sebagai perdana menteri. Anggota lainnya
di Kepulauan Sangihe-Talaud sangat banyak, antara lain Kapiten Laut
(Laksamana), Hukum Majoor, Hukum, Kapiten, Kapiten Bicara dll. Sementara
pemimpin negeri adalah Sahada, Sangaji, Kimelaha, Sawuhi, Marinyo (di luar
marinyo gereja dan sekolah) dll. Tahun 1825 E.de Waal dan J.B.J.van Doren mencatat
ada kerajaan yang negerinya sampai memiliki 150 orang bobato.
3.Raja Tabukan bernama
Mattheus Franciscus Makaampo.
4.Mardiker adalah
orang merdeka, kebanyakan bekas tawanan asing (Portugis atau Spanyol) dan bekas
budak yang di masa Kompeni diberi kebebasan setelah masuk Kristen Protestan.
5.Culabato, aksen
lain dari Karambut, yang dicatatkan pula dengan nama Karimbutu, Carimbuto atau
Bahakin Butu.