(Kisah Terbunuhnya Kontrolir Haga) 3
Oleh: Adrianus Kojongian
Jalan di Kema masa Belanda. *) |
Siapa sebenarnya Hendrikus Zacharias, menyisakan misteri.
Pemimpin pergerakan menentang pelaksanaan Heerendienst atau kerja paksa di Kema
Minahasa tahun 1879 tersebut diketahui sebagai seorang Borgo Ambon. Leluhurnya datang
dari Ambon, berdinas sebagai schuters (penembak) di barisan Schutterij Manado.
Di masa silam kolonial Belanda banyak merekrut tenaga milisi untuk membantunya menjaga keamanan di Manado, dari pasukan asal Maluku, seperti dari Ambon atau pun Ternate.
Ayah Hendrikus Zacharias juga bekas anggota Schutterij, demikian pula dengannya sendiri.
Meski demikian, sempat muncul desas-desus kalau Hendrikus Zacharias adalah asli orang Minahasa. Kedua orang tuanya berasal dari Tondano. Ketika ayahnya meninggal, ibunya telah dikawini Zacharias yang kemudian mengangkat Hendrikus sebagai anak.
Di masa silam kolonial Belanda banyak merekrut tenaga milisi untuk membantunya menjaga keamanan di Manado, dari pasukan asal Maluku, seperti dari Ambon atau pun Ternate.
Ayah Hendrikus Zacharias juga bekas anggota Schutterij, demikian pula dengannya sendiri.
Meski demikian, sempat muncul desas-desus kalau Hendrikus Zacharias adalah asli orang Minahasa. Kedua orang tuanya berasal dari Tondano. Ketika ayahnya meninggal, ibunya telah dikawini Zacharias yang kemudian mengangkat Hendrikus sebagai anak.
Senin malam tanggal 29 September 1879 itu, Hendrikus Zacharias menyerahkan diri kepada Residen Manado Mr.P.A.Matthes di Kema dengan membawa barang bukti peda miliknya. Ia sebenarnya telah menyerah secara sukarela kepada Kepala Distrik Tonsea, dan dibawa menghadap Residen dengan diantar langsung oleh pamannya.
Ia kemudian diinterogasi Residen. ‘’Saya mataglap! Saya sebenarnya telah siap berangkat ke Manado. Tapi, Kontrolir datang marah-marah. Saya telah menawarkan kursi, tapi ditolaknya, bahkan Kontrolir menangkap saya dengan tangannya, sehingga saya telah menjadi mata gelap,’’ katanya.
Hendrikus Zacharias kemudian ditahan dan dibawa ke Manado, ditahan di penjara. Bersama dengannya ditangkap pula ke-12 orang rekannya sesama orang Borgo. Penyelidikan yang dilakukan sempat mengarah pada kemungkinan adanya suatu komplotan dalam peristiwa yang menewaskan Kontrolir Haga.
Indikasi mana dikembangkan dari teriakan khas persis kokok ayam jantan yang dilakukan Hendrikus Zacharias selama perkelahian dengan Kontrolir Hendrikus Haga. Teriakan itu dianggap pemeriksa sebagai bentuk isyarat bagi anggota komplotannya untuk melakukan pemberontakan. Tapi, hal itu tidak dapat dibuktikan, apalagi Hendrikus Zacharias membantah.
Menurutnya, tindakannya tersebut murni dilakukan dirinya sendiri, karena telah menjadi mata gelap. Dengan tegas ia meminta rekan-rekannya dibebaskan karena tidak bersalah dan ia sepenuhnya bertanggungjawab.
Pembunuhan Kontrolir Kema seakan memicu perlawanan terang-terangan terhadap pelaksanaan Heerendienst serta Koffiecultuur dan Domeinverklaring di Minahasa. Tindakan para Kontrolir untuk memuluskan program ala Jawa di Minahasa dengan tangan besi, telah memunculkan perlawanan dimana-mana. Setelah pembunuhan terhadap Kontrolir Hendrikus Haga, kembali terjadi serangan terhadap dua Kontrolir lain. Salah satunya adalah terhadap Kontrolir Tondano B.L.Repelius di awal tahun 1880 yang berhasil selamat.
Pemerintah kolonial Belanda mewaspadai kemungkinan terjadi perlawanan, dengan mengirim kapal perang, selain kapal yang berpangkalan di Ternate. Khusus di Kema, karena pasukan Schutterij telah bubar sejak 1878, di awal tahun 1880, ditempatkan sebanyak 25 orang tentara, bermarkas sementara di belakang rumah Kontrolir Kema.
Orang Borgo yang menentang Heerendienst langsung ditahan. Salah seorang tokohnya, yakni Kepala Borgo Likupang bernama Gerrit Pelenkahu dipenjara setelah dituduh hendak membunuh Kontrolir.
EKSEKUSI
Perkara Hendrikus Zacharias sendiri cukup berlarut-larut. Baru bulan Februari 1881, setelah lebih lima belas bulan kemudian putusan akhirnya baru turun. Grasinya kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ditolak.
Perkara Hendrikus Zacharias sendiri cukup berlarut-larut. Baru bulan Februari 1881, setelah lebih lima belas bulan kemudian putusan akhirnya baru turun. Grasinya kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ditolak.
Momen eksekusinya yang menimbulkan keharuan dan perasaan kasih digambarkan banyak suratkabar masa itu.
Ia telah divonis hukuman mati dengan cara digantung di penjara Manado. Pelaksanaannya ditentukan pada pagi hari Rabu tanggal 18 Februari 1881.
Tiga hari sebelum waktu eksekusi, vonis mati dan penolakan grasi disampaikan kepadanya. Hendrikus Zacharias sangat tenang, dan meminta keluarganya di Kema tidak diberitahukan agar tidak mendatangkan kedukaan mendalam bagi mereka.
Malam hari sebelum digantung, Hendrikus Zacharias masih bermain dengan beberapa temannya sesama tahanan. Ia tampil sangat rapi, dan meminum anggur yang diberikan kepadanya.
Kepala Penjara Manado yang mungkin melihat keceriaan Hendrikus Zacharias sebagai pertanda buruk bertanya apakah ia dengan senang hati akan menerima Tuan Pandita dan berbicara dengannya.
Kepada Pendeta yang berdoa untuknya, Hendrikus Zacharias berkata kalau ia menyadari panggilannya telah datang kepadanya atas kemauan sendiri.
Sang sipir mengingatkannya untuk menjaga sikapnya dengan baik dan jangan melakukan hal yang salah, karena ia berprasangka Hendrikus Zacharias akan melawan di saat pelaksanaan eksekusi.
‘’Tidak ada! Saya ingin besok mati dengan kehormatan,’’ sahut Hendrikus Zacharias.
Seperti kesaksian sipir, Hendrikus Zacharias masih menambahkan kalimat, ’’Saya mati sebagai martir! Seperti Yesus, Tuhan kita, untuk mengampuni dosa-dosa kami, telah mati di kayu salib. Jadi, saya mati juga untuk pembebasan Heerendienst orang Borgo Kema.’’
Melihat ke arah sipir, Hendrikus Zacharias berkata kembali. ‘’Ya, nama saya karena itu akan diabadikan. Tuan, jangan khawatir. Tidak ada! Saya ingin besok mati dengan kehormatan.’’
Kekhawatiran Kepala Penjara Manado memang tidak beralasan, Karena esok paginya, di hari Rabu tanggal 16 Februari 1881 itu Hendrikus Zacharias berperilaku sangat tenang.
Dia pun dengan tenang mendengarkan Hoofddjaksa Manado membacakan keputusan hukuman matinya. Jaksa Kepala itu kemudian bertanya apakah ia masih akan menyampaikan pesan atau sepatah kata perpisahan.
Hendrikus Zacharias menggeleng, ‘’Apa yang harus saya katakan? Saya bertanya pengampunan dari hukuman mati, tapi Tuan Besar (Gubernur Jenderal) tidak memberinya. Jadi, saya akan mati!’’
Kemudian tanpa rasa takut Hendrikus Zacharias menaiki tangga ke tiang gantungan. Ia menyongsong maut hingga detik nafasnya terakhir, dengan senyum tersungging di bibir.
Kesedihan justru terlihat di hampir semua wajah orang-orang yang menyaksikan proses eksekusi gantung Hendrikus Zacharias. Beberapa orang meneteskan air mata, ada juga yang merasa kasihan dan menyesalkan Hendrikus Zacharias harus meninggal dengan cara demikian.
Kematiannya telah menimbulkan perasaan hormat dan kagum orang-orang yang hadir, karena Hendrikus Zacharias tanpa memperlihatkan rasa takut, dan menemui kematiannya dengan riang. ***
*).
Foto repro koleksi Maritiem Digitaal Nederland.
SUMBER TULISAN:
Delpher Kranten:
Algemen Handelsblad 1 Desember 1879, 4 April 1880; De Locomotief 20 November 1879;
Het Nieuws van den Dag 18 Desember
1879, 31 Desember 1879; Leeuwarder
Courant 7 Februari 1880; Soerabaiasch Handelsblad 23 Juni 1881; Soematra-Courant 13 Desember 1879.
Ensiklopedia Tou
Manado