Oleh: Adrianus Kojongian
Kora-kora Maluku. *) |
Lepas dari sumpah
setianya kepada Spanyol, Raja Don Jeronimo (II) kembali berpaling kepada Portugis.
Tahun 1601 ia pergi ke Tidore meminta bantuan Komandan Portugis di Tidore Rui
Gonzales de Segueira untuk menghadapi ancaman Sultan Said Barakat dari Ternate
dan Belanda. Belanda telah menjadi kekuatan maritim baru di Indonesia Timur,
apalagi setelah kongsi dagang Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC) atau dikenal pula dengan nama Kompeni Belanda
berdiri tahun 1602.
Putra Don Jeronimo bernama Don Juan yang
berumur 5 tahun bersama sembilan pengiringnya dipermandikan di Tidore tahun
1601 ini.
Namun, harapan Don
Jeronimo kembali sia-sia. Portugis mengalami kekalahan di mana-mana. Benteng
Portugis di Tidore tanggal 11 Juni 1601 mendapat serangan Laksamana Belanda Jacob
Cornelisz van Nek atas permintaan Sultan Said. Segueira justru
meminta bantuan Gubernur Spanyol di Manila Don Francisco de Tello de
Guzman, karena bantuan yang ditunggu dari Malaka tidak pernah datang.
Tahun 1605 Portugis
makin terpukul. Ambon di bulan Februari 1605 dikuasai Laksamana Steven van der
Hagen, sehingga Padri Antonio Pereyra yang telah menjadi Pemimpin Misi di Ambon
kembali ke Siau. Kemudian pula kekuatan Portugis di Tidore dihancurkan Cornelis
Sebastiaenszoon, sehingga markas misi Maluku untuk sementara waktu dipindahkan
ke Siau.
Baru tahun 1606
pengganti Tello di Filipina Don Pedro Bravo de Acuna memimpin armada besar
melawan Kompeni Belanda dan Ternate. Armada de Acuna menyinggahi Siau dan
menjanjikan perlindungan. Ia berhasil menduduki Ambon dan Tidore serta
mengasingkan Sultan Said di Manila.
Raja Jeronimo ikut
berpartisipasi dalam penaklukan tersebut. Kora-kora Siau dilaporkan telah dilengkapi
dengan artileri kecil, dan di perairan Sulawesi menjadi kekuatan maritim yang
utama, serta menguasai beberapa tempat di pantai utara Sulawesi.
Raja
Siau dalam akta pengakuan takluk Sultan Said 10 April 1606 disebut Argensola sebagai sekutu Spanyol bersama Raja Tidore Kaicil
Mole, Raja Bacan Kaicil Raxa Laudin dan Sangaji Ruy Pereira dari Labuha.¹
Spanyol menggantikan Portugis. Misi di Siau, Kolongan, Manado, Bolaang dan Kaidipang kembali berkembang. Padri Antonio Pereyra
bekerja di Siau, dibantu Bruder Joao Paulo. Tahun 1606 ia membaptis Raja
Tagulandang bersama putrinya. Raja yang disebut bernama Roytelet datang di Siau
mengantar putrinya untuk kawin dengan Raja Siau (baca Mengenal Raja-raja Tagulandang). Seorang raja lain yang ikut dibaptis di Siau di periode ini juga adalah Raja Tolitoli Don Miguel Pololibuta.
Setelah Pereyra, kemudian
bekerja di Siau Pater Ioannes (Johannis) Baptista Scalamonti Oktober 1610 yang
kemudian bermisi di Manado hingga meninggal tahun 1620. Datang pula Gaspar vel
Emmanuel Monteiro, tapi begitu tiba bulan November 1611, ia terkena penyakit
sehingga kembali ke Ternate, dan meninggal Desember tahun yang sama. Lalu Padri
Pedro (Petrus) Gomes tahun 1613.
Ternyata Spanyol hanya
berjaya sementara di Maluku. Laksamana Belanda Cornelis Matelief de Jonge
memulihkan supremasi Belanda. Ia membuat perjanjian dengan Sultan Modafar
tanggal 26 Juni 1607 yang mengizinkan
Belanda membangun benteng di Ternate yang dinamai Malayu. Kedua pihak akan
saling membantu melawan Spanyol, serta Belanda memperoleh hak monopoli (octrooi) cengkih².
Siau yang berperan sebagai
tempat persinggahan vital armada Spanyol dari Maluku ke Manila atau sebaliknya,
dengan pelabuhan yang aman, hanya memperoleh perhatian kecil dari Gubernur
Spanyol di Manila dan Ternate.
Meski memiliki
benteng, tentara pendudukan Spanyol di Siau hanya beberapa gelintir, kebanyakan
serdadu rekrutan orang Pampango dari Pulau Luzon Filipina.
Komandan benteng berpangkat
paling tinggi sersan mayor. Kapten-kapten Spanyol yang muncul di Siau sekedar
menginspeksi, lalu mengambil hasil Siau. Terutama sagu dan kebutuhan logistik
lainnya. Sagu dibuat tortilla karena
benteng-benteng Spanyol di Maluku kekurangan bahan makanan. Cengkih sudah
ditanam di Siau, namun, tidak banyak menghasilkan.
Sejak tahun 1612 Siau
terancam oleh Ternate yang membangun kekuatan di Sangihe Besar. Gubernur Maluku
dari Spanyol di Ternate Don Jeronimo (Geronimo) de Silva mencatat pada Mei 1612
panglima Ternate Kaicil Ali, saudara sepupu Sultan Modafar, telah ‘merongrong’
Raja Siau untuk meninggalkan persahabatan dengan Spanyol dan bersahabat dengan
Belanda.
Raja Siau menolak.
Ternate, menurutnya, hanya ingin menguasai pulaunya sebagai batu loncatan untuk
pergi dan datang ke Manila serta sebagai sumber memasok kebutuhan makanan dan
persediaan perangnya.
Gubernur Jeronimo de
Silva khawatir Raja Siau mencari bantuan dari Raja Makassar. Maka, secepatnya ia
mengirim sebuah fregat ke Siau dipimpin oleh Sersan Mayor Don Fernando Ayala.
Tapi, sebelum fregat
tersebut tiba, Siau telah dikepung. Sekutu Ternate dari Pulau Miaos (Mayau), mengepung
Siau untuk membantu Kaicil Ali. Ketika mendarat, mereka membakar sembilan dari
sebelas tempat di Siau. Mereka pun menebang pohon buah-buahan dan cengkih serta
memusnahkan ternak penduduk.
Raja Siau dengan
prajurit dan armadanya berhasil menghancurkan pengepungan dan mengusir penyerbu
yang lari ke Tagulandang bergabung pasukan Kaicil Ali.
Raja Don Jeronimo berupaya
mendapatkan bantuan dari sekutu-sekutunya, di Tidore dan pulau lain di Maluku. Gubernur
Jeronimo de Silva dalam suratnya kepada Gubernur Filipina Don Juan de Silva
tahun 1613, mencatat adanya keluhan dari Raja Tidore, bagaimana dia dikepung
Raja Siau yang memintanya untuk membantu dengan galai-galai. Baru tanggal 20 Oktober,
Raja Siau yang disertai Kapten Gregorio de Vidana pergi dari Tidore menggunakan
dua kora-kora.
Kali ini Siau
mendapat perhatian besar. Selang tahun 1613, Gubernur Jeronimo de Silva
mengirim ke Siau Kapten Gregorio de Vidana. Kemudian Kapten Esteban de Alcaraz dan
Kapten Don Pedro Telles.
Namun pengiriman para
kapten tersebut tidak membawa kemajuan apa-apa, karena hanya singkat, terutama
untuk tujuan utama mengambil kebutuhan logistik.
PENDUDUKAN BELANDA
Awal tahun 1614
suasana di perairan Laut Sulawesi semakin memanas karena ancaman pasukan
gabungan Ternate dan Belanda.
Gubernur Jeronimo de
Silva putus asa dengan pertahanan Siau. Ia mencatat 1 Maret 1614 bantuan yang
ditunggu-tunggu dari Kapten Tellez tidak pernah tiba di Siau. Ia pun tidak dapat
berharap bantuan dari pasukan Kapten Sebastian Alvares Barroso. Siau sendiri hanya
dipertahankan pasukan kecil di bawah Sersan Mayor Pedro Zapata, dengan 5
serdadu, padahal artileri di benteng Siau telah ditarik ke Tidore.
Awal bulan Juni 1614 tempo
pasukan gabungan Belanda dan Ternate datang menyerbu, Raja Don Jeronimo yang
telah berusia tua dengan ditemani putranya meninggalkan Siau. Hal yang sangat
disesalinya.
Raja Don Jeronimo
mengikuti galera Spanyol yang dipimpin Kapten Aguado menyerang Tagulandang yang
justru mengakibatkan banyak kematian prajuritnya dan serdadu dari Spanyol
sendiri.
Tagulandang menjadi
musuh Siau setelah ekspedisi Kaicil Ali di Sangihe. Juga tersulut oleh
peristiwa martirnya dua padri Fransiskan (Ordo
Fratrum Minorum, OFM) asal Spanyol Antonio de Santa Ana dan Sebastian de
San Jose di Tagulandang yang terjadi tahun 1610.
Saat Raja Jeronimo berada
di Tagulandang inilah, tanggal 20 Juni 1614 Laksamana Laurens Reael dengan 3
kapal (de Roode Leeuw, de Maen dan jacht
de Pauw) bersama 7 kora-kora dari Sultan
Ternate di bawah Kaitjil Ali dengan mudah menaklukan Siau serta mengusir
orang-orang Spanyol. Penduduk Siau tanpa rajanya menjadi kacau balau. Banyak diantaranya
melarikan diri ke hutan, karena mereka tidak bisa tetap sebagai orang Kristen
di bawah Ternate.
Sersan Mayor Pedro
Zapata sendiri telah berangkat sebelumnya ke Tidore mengantar Padri Komisaris
Fransiskan Pedro de los Cobos.
Laurens Real
menempatkan Kapten Mathys sebagai komandan tentara pendudukan, tapi meninggal, digantikan
Letnan Cassiopijn dengan kekuatan 30 serdadu. Jacht de Pauw ditinggalkan untuk
menjaga Siau.
Gubernur Ternate
Jeronimo de Silva tanggal 20 September 1614 mengungkap kedatangan Raja Siau dan putranya ke Ternate.
Raja Jeronimo sangat
menyesali tindakan pasukan Aguado yang barbar di Tagulandang. Apalagi ia harus
kehilangan kerajaan, reputasi dan rakyatnya di saat tidak berada di Siau.
Kapalnya juga dicuri musuh, sehingga ia harus menderita, sebelum diselamatkan jacht
orang Cina pelo dibawa ke Gilolo (Jailolo) yang menjadi basis Spanyol.
Target utama Dr.Laurens
Reael yang menjadi Gubernur Maluku (kemudian Gubernur Jenderal VOC) adalah
menyerang Spanyol di Filipina. Siau sekedar batu loncatan, sehingga mesti
diamankan. Pasukan perintis dikirim dari Ternate di bawah Fiscaal Jan Lodewijk Rossingeyn
dengan kapal De Arend, De Hollandsche Leeuw dan De Maen.
Tiba di Siau tanggal
15 Agustus 1614, Jan Rossingeyn segera mengangkat Raja Siau yang baru,
Kaicil Kaluwan atau Kaliwen, seperti dicatat Gubernur Reael dalam resolusinya.
Orang-orang Spanyol memberinya nama Duarte, sementara Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen dalam surat 13 Desember 1619 kepada Raja Siau menulisnya
Duarte Pereira. Menurut laporan Belanda, orang-orang Spanyol akan membawa raja lama
dan putranya ke Manila ³.
Kedatangan Raja Don Jeronimo dan Don Juan, putra mahkota bersama saudara lainnya di Manila adalah untuk meminta bantuan Spanyol melawan Belanda. Menurut sumber Spanyol Raja Jeronimo tiba di Manila dengan 29 orang pengikut.
Namun Spanyol tidak dapat memberinya bantuan dengan segera. Kepada raja dan putranya oleh Spanyol diberi tunjangan tahunan untuk tinggal di Manila. Putra-putranya mendapatkan pendidikan di sekolah
para Jesuit.
Di Manila, Don Juan kawin dengan Dona Jeronimo dari Ternate yang sebelumnya menjadi istri dari seorang kepala dari Sultan Modafar. Saat berada di Ternate Dona Jeronimo telah melarikan diri ke benteng Spanyol, menjadi Katolik serta dibaptis, dan dipindahkan ke Manila karena takut akan balas dendam.
Selama di Filipina, Raja Siau Don Jeronimo ikut menemani Gubernur dan Kapten Jenderal Filipina Don Juan de Silva dalam ekspedisinya ke Malaka 1616, dan kemudian kembali ke Manila.
DITIPU
Nasib Siau diputuskan
di Ternate bulan September 1615. Gubernur Jenderal Gerard Reynst dengan disposisi
Raad Maluku di bawah Gubernur Dr.Reael memerintahkan pemindahan penduduk Siau
ke Kepulauan Banda dengan alasan, ‘’untuk
mencegahnya melayani lebih lanjut orang-orang Spanyol.’’
Penduduk Siau dianggap
cocok untuk dijadikan tenaga pekerja di perkebunan pala di Kepulauan Banda. Jadi
diputuskan mereka akan dibawa ke Neira (Bandaneira) dengan dilindungi benteng
dan serdadu. Selain itu Reynst memerintahkan penarikan pos militer Siau yang
dipertahankan 30 serdadu.
Tanggal 12 Oktober
1615 tiba di Mangnitou di sisi timur Pulau Siau kapal Old Zealand dan jacht De
Arent kiriman Gubernur Reael yang bertolak dari Ternate 23 September 1615. Pemimpin
misi yang dirahasiakan ini adalah Kapten Adriaan van der Dussen dan Kapten
Frederick Hamel.
Penangkapan massal
penduduk Siau dilakukan. Dengan dalih akan dibangun benteng dan negeri baru,
maka benteng Belanda yang berada di sisi utara pulau akan dipindahkan di lokasi
tersebut. Dalih ini memikat raja angkatan Belanda Duarte dan para kepala (Jogugu,
Kapitein Laut, Hukum) serta mayoritas penduduk untuk naik ke kapal yang telah
dijaga ketat.
Ketika semua
kepala dan penduduk telah berada di kapal, mereka semua terkejut setelah
mendengar bahwa atas perintah Gubernur Reael mereka akan dipindahkan.
Adriaan van der Dusen
dalam laporannya kepada Bewindhebbers
(para direktur) VOC 25 Juli 1616, mengisahkan kejadian berikut setelah
pengumuman itu adalah sebuah tragedi. Kecemasan penduduk yang disebutnya sebagai
‘mangsa komedi kami’ tidak dapat dilukiskan. Kepanikan terjadi, dimana beberapa
orang berhasil melompat ke laut dan melarikan diri dengan berenang. Kapitein
Laut, ipar Raja Duarte, salah satu tokoh Siau yang berhasil melarikan diri.
Di darat, penangkapan
penduduk dipimpin langsung oleh Letnan Cassiopijn dengan anak buahnya. Ia hanya
berhasil menangkap 30 anak laki-laki. Banyak penduduk telah melarikan diri dan bersembunyi
di hutan.
Kabar penangkapan
penduduk Siau lekas tersiar. Raja Kolongan (kemudian dikenal sebagai Taruna atau Tahuna) dan Raja Manado (dalam berita
Spanyol bernama Kaicil Tulo) yang menjadi sekutu Siau mencoba memberi
pertolongan dengan 15 atau 16 kora-kora. Namun upaya mereka gagal.
Kapal yang mengangkut
penduduk Siau secepatnya telah berlayar balik ke Benteng Malayu di Ternate.
Tercatat sebanyak 446 orang Siau yang ditangkap, terdiri 244 wanita, 78
anak-anak, 30 anak muda dan 94 pria dewasa, termasuk kaum bangsawan. Salah seorang yang ikut ditangkap adalah putri Raja Jeronimo.
Upaya pelarian dicoba
berkali-kali, namun banyak yang gagal, dan pelakunya di hukum berat. Ketika
tiba di Ambon 26 November 1615, 45 pria dan 2 wanita mendapat kesempatan untuk
melarikan diri. Mereka diselamatkan di benteng Spanyol di Ternate.
Sisanya dikirim ke
Pulau Ai di Kepulauan Banda (sekarang desa di Kecamatan Banda Kabupaten Maluku
Tengah Provinsi Maluku). Penduduk Ai banyak terbunuh atau melarikan diri,
sehingga populasinya perlu diisi ulang, untuk tujuan kelangsungan budidaya pala
dan fuli.
Mereka mendarat di
Pulau Ai yang sebelumnya dikuasai Inggris tanggal 6 April 1616 menggunakan
kapal Cheylon dan Rooden Leeuw dari Ambon dan Banda di bawah Letnan Gubernur
Banda Gysbert van Vianen dalam armada 12 kapal Kompeni yang dipimpin Jan Dirksz
Lam.
Selain penduduk dari Siau,
terdapat 100 orang Solor (orang bebas, vrij
lieden atau kemudian digolongkan orang Borgo), 26 Guserat (tahanan dari
India), 38 tahanan Spanyol dan 30 Mardiker (Mardijker,
bekas tahanan yang dimerdekakan).
Mereka semua bekerja
paksa di perkebunan pala, diawasi dua kompeni tentara berkekuatan 154 serdadu.
Tokoh-tokoh Siauw
yang berada di Banda antara lain Raja Duarte, Don Emanuel, salah satu tokoh
terkemuka di Siau, Dona Isabella (saudara perempuan raja) istri Hukum yang
berhasil melarikan diri di Siau, dan Quenco (kakak raja). Nenek raja sendiri
meninggal ketika mereka singgah di Ambon.
Tanggal 2 Juni 1616
sebanyak 84 pekerja paksa (diantaranya 50 orang wanita dan anak-anak) kembali
berhasil melarikan diri dengan menggunakan kora-kora di bawah pimpinan Quenco
saudara raja, yang dibantu orang-orang Banda. Quenco sering bertindak mewakili
raja berhubungan dengan orang Belanda dan kaum Mardiker, sehingga bebas
bergerak di Pulau Ai.
Tapi, 35 wanita dan
anak-anak serta 8 pria Siau lain berhasil ditangkap kembali bersama 13 orang
Banda. Dona Isabella, dan ibunya serta 3 pejabat Siau berpangkat Sangaji
ditahan karena dituduh menjadi perencana pelarian yang dibayar Dona Isabella dengan
rantai emas Portugis.
Kemudian pula, lebih
banyak lagi yang menghilang.
Sisa orang Siau di
Banda kemudian hari banyak dipekerjakan sebagai serdadu. Gubernur Jenderal Jan
Pieterzoon Coen dalam surat ke para Direktur VOC 6 Mei 1621 mencatat garnisun
di Neira dan Pulau Ai di benteng Revengie (Revenge) diperkuat satu kompeni Siau
berkekuatan 56 orang, dan ikut berperan dalam perebutan Pulau Run.
Selain itu, orang
Siau bekerja di perk-perk perkebunan pala. Mereka tidak digolongkan sebagai
kaum budak yang kemudian banyak didatangkan dari Sulawesi, Jawa dan Sumatra.
Salah seorang Siau
yang kemudian terkenal di Banda bernama Philip. Ia dianggap bekerja dengan
sangat baik, sehingga diangkat menjadi Kapitein orang Siau dan kaum Mardiker
yang tinggal di Pulau Ai.
Namun, dari laporan Gubernur
Banda Dr.Marten Sonck (Valentijn: Martyn Sonk) 23 September 1622 ia telah ditahan
setelah dituduh merencanakan melarikan diri serta membantu upaya pelarian
tahanan penduduk Pulau Run ke Pulau Seram yang dikuasai Inggris.
Sisa penduduk Siau di
Pulau Ai anehnya di masa berikut (sejak 1634) tidak tercatatkan lagi, baik
dalam laporan-laporan para penguasa di Ai dan Banda Neira. Valentijn juga tidak
menyebut dalam bukunya, ketika membahas keberadaan penduduk di Kepulauan Banda.
Kemungkinan besar orang Siau telah menyatu dengan penduduk setempat atau digolongkan
sebagai kaum Mardiker dan Borgo. Dr.Tiele menyebut sebagian besar orang Siau
berhasil melarikan diri. ***
¹.Raja Siau dalam
akta tersebut menurut Argensola bernama Cachil (Kaicil) Dini. Namun, ia
menyebut sebagai Raja Siam. Tiele memastikan Siam dimaksud sebagai Siau dan
raja ditulisnya Kaicil Dimi. Siam (Thailand) dalam berbagai arsip Portugis banyak ditulis sebagai Siao, nama yang dipakai Spanyol untuk menyebut pulau dan
kerajaan Siau pula.
².Brilman mencatat adanya
invasi Laksamana Paulus van Caerden 1608 di Siau. Namun, serangan tanggal 27
Agustus 1608 dari van Caerden dengan kapal Banda dan Patane disebut bukan di Siau,
tapi di Tsjau atau Tjio sebuah pulau kecil dekat pantai Gilolo (Jailolo). Setelah
sukses di Tsjau, van Caerden dicegat 2 kapal Spanyol di bawah pimpinan Don Pedro
de Hereda dari Ternate. Dalam pertempuran yang terjadi 17 September, ia
dikalahkan dan ditawan di benteng Portugis Gamalama.
³.Tidak diketahui
hubungan Duarte dan Raja Don Jeronimo. Kemungkinan kuat adalah salah satu
mantri Don Jeronimo berpangkat sangaji yang hadir di Manila dan bertanda pada
perjanjian dengan Gubernur Spanyol Dasmarinas 16 Agustus 1593 dengan nama
Duarte. Dari nama lain yang dipakainya Kaicil Kaliwen, dapat dipastikan ia
mengakui supremasi Sultan Ternate.
*).Sketsa Captain
Thomas Forrest dari A Voyage to New
Guinea and the Moluccas 1779.
LITERATUR
Argensola, Bartolome Leonardo de, Conquista de las Islas
Malucas, Madrid 1609. Google
Books.
Brilman, D. De Zending op de Sangi-en
Talaud-Eilanden,
1938. Delpher Boeken.
Chirino, Padre (Pedro), Labor
Evangelica Ministerios Apostolicos, Madrid 1660. Google Books.
Coleccion de Documentos Ineditos Para la Historia de
Espana, Correspondencia
de Don Geronimo de Silva, Madrid,1868. Google
Books.
de la Conception, Padre Fr.Juan, Historia General de
Philipinas, tomo VII,1789.
Google Books.
de Jonge, Jhr.Mr.J.K.J. De opkomst van het Nederlandsch Gezag
in Oost-Indie (1596-1610), derde deel, 1865. Internet Archief.
De Portugezen uit de Molukken verdreven; aanhoudende
schermutselingen tussen Hollanders en Spanjaarden. De Molukken, Banda, Ambon en
Sarangani (1560-1640). Colonial Voyage.
Sanches Pons, Jean- Noël, Mision
y Dimision, Las Molucas en el siglo XVII entre jesuitas portugueses ya
espanoles.
Tiele, Dr.P.A. -De
Europeers in den Maleischen Archipel,
Acehbooks
-De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indie, deel 1 1886;
dan tweede deel 1890, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhof. Internet Archief dan
Digitalisierde SSB
Valentijn, Francois, Oud
en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam 1724.
Visser MSC, B.J. Onder
Portugeesch-Spaansche Vlag, de Katholieke Missie van Indonesia 1511-1605,
Amsterdam 1925.
---Onder de Compagnie, Geschiedenis der Katholieke Missie van Nedel-Indie 1606-1800, G.Kolff&Co, Batavia, 1934.
Wessels,SJ, P.Cornelio, Catalogus
Patrum et Fratrum e Societate Iesu Qui in Missione Moluccana, Archivum
Historicum Societatis Iesu 1, 1932.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.