Oleh: Adrianus Kojongian
Kompeni Belanda
bersemangat menyebarkan Protestanisme di kalangan penduduk, dengan rutin
mengirim pendeta dari Ternate, kemudian juga guru yang banyak bertindak menjadi
pemimpin umat lebih dua abad. Kunjungan para pendeta yang biasanya mengikuti perjalanan
Gubernur Maluku di Ternate atau komisi-komisi sipil dan militer, meski singkat,
karena melakukan hal serupa di kerajaan lain di Kepulauan Sangihe dan Talaud,
Manado dan daerah Sulut lainnya--adalah menginspeksi gereja dan persekolahan
yang ada, serta melakukan pembaptisan yang selalu massal, ditandai pembuatan
raport yang ada sampai sekarang.
Setelah Ds.Zacharias Caheyng
tahun 1677 dan Ds.Cornelis de Leeuw 1680, Predikant Ternate yang membezuk dan melakukan
pembaptisan di Siau dan Sangihe Besar adalah Ds.Gillius (Gillis) Camminga tahun
1691/1692 dan 1697, Ds.Gerrit van Aken 1694, serta Ds.Joannes Stampion 1696/1698.
Di abad ke-18
Predikant Ternate yang berkunjung adalah Ds.Abraham Feijlingius tahun 1701, Ds.Petrus
Nood 1703, Ds.Arnoldus Brands 1705/1706, Ds.Wilhelmus van Welij 1708, Ds.Joachim
Petrus Cluisenaar 1720, Ds.Dominicus Sell 1722/1725, Ds.Jan Hendrik Molt 1726/1727
dan Predikant Johannes Scherius 1735. Pendeta terakhir di masa Kompeni Belanda adalah
Ds.Ulpianus van Sinderen tahun 1761, Ds.Georgius Jacobus Huther tahun 1781 dan Ds.Johan Ruben Adams 1789.
Agama Katolik sendiri,
menurut Padri Pedro Murillo Velarde di tahun 1748, telah benar-benar musnah di
Siau. Ia berpendapat demikian dari kesaksian orang Siau yang datang berdagang
di Manila dan dari seorang Protestan Siau.
Kristen Protestan awalnya
tumbuh pesat, karena penduduk dan para kepala Kristen, banyak berpindah dari
Katolik memeluk Protestan.
Surat resmi Gubernur
Jenderal Cornelis Speelman tanggal 19 Maret 1683 mencatat penduduk Kristen Siau
sebanyak 3.933 orang. Di negeri Pehe 2.580 orang, terdiri 670 pria, 645 wanita
dan 1.265 anak laki-laki dan perempuan. Di Ulu yang merupakan negeri utama 1.353
orang Kristen, terdiri 295 pria dewasa, 361 wanita, dan 697 anak laki-laki dan
perempuan.
Kendati demikian, Predikant
Ternate yang menyertai kunjungan Gubernur Robertus Padtbrugge tahun 1680-1681
Ds.Cornelis de Leeuw tidak puas dengan keadaan Kekristenan di Siau dan tempat
lain di Kepulauan Sangihe.
Persekolahan pun
terbilang maju. Di tahun 1689 Valentijn mencatat kondisi pendidikan yang ada di
Siau. Di negeri Ulu dengan guru (meester)
Jan de Silva mempunyai 70 murid, dengan siswa aktif 20. Di Ondong guru Domingos
Denamos dengan 40 murid dan yang aktif 25. Di Pehe guru Lucas Furtados memiliki
80 murid, tapi yang selalu hadir 20. Sementara sekolah di Lehi dipimpin Philip
Babondak dengan 40 murid, dan siswa aktif 10. Total murid di Siau sebanyak 230
orang, tapi yang aktif hanya 75 siswa. Sementara Tamako yang memiliki 200 orang
Kristen, sekolahnya dipimpin guru David Sahari, dengan 40 murid, tapi yang
aktif 12 sampai 13 orang.
TIGA BERSAUDARA
Dari missive para Gubernur Jenderal VOC, Raja
Siau Don Francisco Xavier meninggal tahun 1689. Pewaris tahta
Pangeran Xavier yang bernama Jacobus baru berusia 14 tahun masih tinggal di
kompleks benteng dan pemukiman Belanda Malayu di Ternate. Sejak usia 9 tahun,
ia dibawa ke Maluku, dididik secara Protestan serta dibesarkan di rumah mantan
Gubernur Maluku Johannes Cops.
Surat Gubernur
Jenderal Johannes Camphuys 26 Maret 1691 mencatat sepeninggal Raja Siau dan karena
Pangeran Xavier masih di Ternate, pemerintahan untuk sementara waktu dijalankan
oleh Regent, Kapitein Laut Santiago Manumpil.
Menurut Francois Valentijn
sendiri, Regent Santiago Manumpil menjalankan pemerintahan sementara Siau bersama-sama Jogugu Jeronimo d’Arras, Jogugu Thomas Mahonis, Kapitein Laut Noas (Padtbrugge:
Juan Nauchas) dan Hukum Andries Backomisie; sampai putra mahkota Pangeran
Xavier mampu memerintah.
Penunjukan Santiago
Manumpil, ipar dua raja sebelumnya, melangkahi dua jogugu di atasnya Jeronimo
d’Arras dan Thomas Mahonis.
Tidak heran muncul
ketidakpuasan. Tanggal 8 Desember 1691 Rijksgrooten
(para mantri) bersama sangaji dan bobato Siau lainnya menyurat ke Ternate.
Menurut pengganti Camphuys,
Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn dalam surat 24 Maret 1692 pemerintahan Regent
Kapitein Laut Santiago Manumpil menjengkelkan dan brutal, sehingga menimbulkan
keluhan. Rijksgrooten Siau telah meminta agar Pangeran Jacobus Xavier yang telah
mendapatkan pendidikan Belanda termasuk pendidikan agama Kristen (Protestan) dilantik
di Benteng Orange Ternate.
Jogugu Jeronimo
d’Arras kemudian menggantikan peran Santiago Manumpil. Surat-suratan dari Gubernur
Maluku Cornelis van der Duin selalu ditujukan kepadanya.
Tapi, sejak tahun
1694 Jogugu Thomas Mahonis tampil berkuasa setelah putrinya dikawini oleh raja
muda Jacobus Xavier yang telah resmi menjalankan pemerintahan. Raja Jacobus Xavier juga mengawini putri Tagulandang, adik Raja Philip Anthonisz.
Protestan di masa Raja
Jacobus Xavier dan Jogugu Thomas Mahonis justru tumbuh lamban.
Valentijn mencatat
tahun 1695 hanya terdapat 3.934 orang Kristen dengan 11 anggota sidi
(bandingkan tahun 1683 sebanyak 3.933 orang). Kemudian ada 4 gereja, 4 sekolah,
4 guru dengan 263 siswa.
Koloni Siau di
Kepulauan Talaud, yakni Pulau Kabaruan tahun 1695 memiliki 1.164 orang Kristen
di dua negeri utama Taduwale dan Mangaran, dengan 2 gereja dan 2 sekolah
dipimpin 1 guru dengan 20 murid (baca Kepulauan Talaud Tempo Dulu 3).
Raport Ds.Arnoldus Brands
dari Ternate tahun 1705 mengungkap penduduk Kristen Siau bertambah. Ulu sebagai
ibukota mempunyai 1.450 orang Kristen dan 150 murid, tapi putrinya sedikit.
Ondong terdapat 492 orang Kristen, 25 murid dan 40 anak dibaptis. Pehe 1.000
orang Kristen dan 44 murid. Negeri Lehi 356 Kristen, 25 murid dan 25 anak baptis.
Sementara Tamako 588 Kristen dengan 55 murid sekolah, 40 anak dibaptis dan 4
pasangan dikawinkan.
Pulau Kabaruan mempunyai
komunitas Kristen besar. Negeri Taduwale dengan 1.020 orang Kristen dan sekolahnya
mempunyai 82 murid. Sementara Mangaran berpenduduk 1.000 orang Kristen dengan
82 siswa.
Di tahun 1705 ini,
menurut Valentijn, dari penduduk negeri Ulu terdapat 500 pria dewasa, di Pehe
300 orang, Ondong 160, dan Lehi 110 pria dewasa. Dari total 3.298 penduduk Siau
terdapat 1.070 pria dewasa yang sewaktu-waktu dipanggil bertugas sebagai
prajurit.
Bila Kompeni
berperang atau untuk melawan bajak laut Mindanau dan Sulu, berdasar order
Gubernur Maluku, Siau diwajibkan menyiapkan 6 kora-kora, dan 300 prajurit,
seperti halnya Tabukan. Dari Pehe 4 kora-kora dengan 200 prajurit, dan Ulu 2
kora-kora serta 100 prajurit.
Raja Siau Jacobus
Xavier meninggal dalam usia muda tahun 1703. Gubernur Jenderal Willem van
Outhoorn tanggal 1 Desember 1703 mencatat kematiannya, serta kedatangan dari
Jogugu Siau Thomas Mahonis di Ternate bersama empat bobato Siau. Mereka membawa
keputusan pertemuan para mantri Siau tanggal 28 Agustus berkaitan pemilihan
raja baru untuk menggantikan Jacobus Xavier yang meninggal.
Mantri bobato Siau
telah memilih dari dua saudara Raja Jacobus Xavier, pangeran yang termuda,
David Munasa alias Xavier.
Gubernur Jenderal Joan
van Hoorn memberitakan tanggal 30 November 1706 Raja David Munasa mengunjungi
pantai barat Sulawesi, Manado, Kaidipang di Bolaang-Mongondow hingga Bwool di
Sulawesi Tengah. Ia hendak menghukum beberapa rakyatnya yang melarikan diri
setelah terlibat tindak kriminal. Tapi, ia diminta kembali, setelah didesak
para raja yang dilawatinya.
Raja David Munasa
alias Xavier memerintah hingga meninggal awal tahun 1713.
Menurut Valentijn,
pada tahun 1712 terjadi letusan hebat Gunung Awu (sekitar 1900 meter) di utara
pulau. Namun tidak ada kerusakan berarti, karena lahar mengalir melalui jurang
besar, sementara batu-batu terlontar dan berakhir di laut.
Van Swoll dalam surat
tanggal 26 November 1714 mengungkap mantri Siau telah memilih putra dari pangeran mangkat
Jacobus Raramo, yakni Pangeran muda Daniel Jacobs (z) sebagai pengganti.
Jogugu bersama mantri
Siau datang ke Manado meminta Residen Hendrik van den Burgh untuk melantiknya.
Namun, Residen menyarankan mereka berangkat ke Ternate, agar Daniel Jacobs dilantik
oleh Gubernur Maluku (David van Petersom) dengan meneken kontrak politik.
Utusan Siau terdiri Jogugu dan mantri dicatat tiba di Ternate 13 Juli 1714.
Tahun 1728, raja yang
bergelar Lohintundali membangun sekolah baru di Pehe serta meminta seorang
guru.
Masa memerintahnya,
terjadi permusuhan dengan Manganitu memperebutkan pulau-pulau kecil di dekat
Siau dan Manganitu. Tahun 1726 Raja Manganitu melaporkan pengusiran penduduknya
dari Pulau Karakitan dan Kalama. Tahun 1728 ia pun melaporkan pembunuhan
beberapa orang Manganitu. Raja Manganitu mengeluhkan pula aktivitas Siau di
Pulau Para, Salunkere, Seha dan Nitu di selatan Karakelang yang kelak diputus
menjadi milik Siau.
Setelah tiga tahun
bersengketa, dengan desakan Gubernur Maluku Jacob Christiaan Pielat, Raja
Daniel Jacobs menandatangani perjanjian damai dengan Raja Jacob Marten Lasarus
dari Manganitu di Kastil Orange Ternate tanggal 15 Maret 1729.
Tapi, kemudian perselisihan
timbul kembali dengan Manganitu. Kedua kerajaan bersengketa soal Tamako,
enklave Siau di Sangihe Besar yang berbatasan Manganitu.
Gubernur Jenderal
Diderik Durven 30 November 1730 mencatat protes dari Raja Daniel Jacobs karena
Raja Manganitu mengangkat pejabatnya di Tamako. Kimelaha Johannes Bangkilang sebagai
sadaha, David Tavoliu sebagai kimelaha. Johannes Dangenan sebagai sadaha serta
Salmon Lasienken sebagai mirinjo.
Selain itu, Raja
Daniel Jacobs mengeluh karena pengusiran penduduknya dari Pulau Kalama.
Masalah Tamako akan
berlarut-larut meski kedua raja mencoba menyelesaikannya di tahun 1733.
Setelah memerintah 37
tahun, Raja Daniel Jacobs meninggal akhir bulan Desember 1751.
Terjadi kekosongan
hampir 1 tahun. Anaknya Ismael Jacobsz berangkat ke Ternate, dan dilantik menjadi
Raja Siau tanggal 1 Desember 1752 setelah meneken kontrak politik di Kastil
Orange dengan Gubernur Maluku Jan Elias van Mijlendonk yang mewakili Gubernur
Jenderal Jacob Mossel.
Dalam kontrak terdiri
29 pasal, masalah perbatasan antara Siau dan Manganitu di Tamako yang telah
berlangsung lama ditetapkan di Taranke. Klausal lain adalah pembatasan
aktivitas penduduk di Kepulauan Talaud. Harus ada persetujuan khusus dari
Sersan Komandan di Tabukan, bila bepergian di luar wilayah Pulau Kabaruan yang
menjadi miliknya.
Siau kemudian
terlibat perang dengan Malurong dan Mangindano (Mindanau).
Tahun 1762 Kapitein
Laut Lulie dan sejumlah penduduk Siau membunuh seorang pangeran dari Sarangani
bernama Salawo dengan semua pengikutnya di Pulau Masauw. Orang-orang Malurong di
Sarangani yang sebenarnya dimiliki oleh kerajaan Kandhar (Kendahe) ingin
membalaskan dendamnya dan meminta bantuan dari Mangindano.
Tahun 1764 mereka
menyerbu Siau, membakar negeri dan menawan penduduk dijadikan budak.
Raja Ismael Jacobs meminta
bantuan kerajaan tetangga di Sangihe Besar untuk melengkapi armada honginya. Ia
pun meminta izin Gubernur di Ternate (Jacob van Schoonderwoert) yang bahkan
bergabung dengan mengirim beberapa kora-kora dipimpin oleh Hemmekam (Koopman
Francois Bartholomeus Hemmekam).
Hasil dari ekspedisi bersama
tersebut Malurong dan Mangindano dikalahkan dan dihancurkan. Rumah-rumah
dibakar habis.
Tanggal 7 Oktober
1786 Ericus Jacobsz, putra Ismael menjadi Raja Siau yang baru dengan meneken
renovasi dari kontrak lama yang dibuat ayahnya pada 1 Desember 1752 silam.
Kemudian adiknya
Eugenius Jacobsz yang terkenal dengan nama Umboliwutang menjadi raja sejak tahun
1790.
Bangkrutnya Kompeni Belanda
menyebabkan kunjungan para predikant yang semakin jarang benar-benar terhenti. Namun,
pengajaran agama tetap digembalakan oleh para guru.
Lebih tiga dekade tanpa
dibezuk pendeta, baru tahun 1822 di bawah pemerintah Hindia-Belanda, Siau kembali
dikunjungi Predikant Makassar P.van der Dussen. Ia meninggal ketika berada di
Ondong, sehingga dikuburkan di situ.
Berikut tahun 1829
Predikant Ambon Joseph Kam dan tahun 1832 Predikant Manado Gerrit Jan
Hellendorn datang berkunjung ditemani oleh Zendeling Johan Friedrich Riedel dari Tondano .
Raja Eugenius Jacobs
meninggal tahun 1823. Ia dicatat membuat pasar pertama di Siau, sehingga
memajukan perdagangan.
Ketika berjangkit
wabah cacar yang menelan banyak korban jiwa di seluruh Sangihe tahun 1823,
salah seorang anak Raja Eugenius Jacobs, yakni Pangeran Taba ikut terkena. Ia telah
divaksinasi dengan obat koepokstof
dari Ternate, tapi tidak mempan, justru sembuh ketika dicacar alam dengan
menggunakan sulfur berasal letusan Gunung Awu (Api). Pengobatan ini menyebabkan
Siau menjadi yang pertama mampu mengatasi wabah tersebut, sehingga kemudian
diikuti kerajaan lain..
Pengganti Raja
Eugenius di tahun 1823 adalah kemenakannya Octavianus Paparang.
Tahun 1825, masa
memerintahnya, E.de Wal mencatat raja berkediaman di negeri Ondong sebagai
ibukota (sekarang Kecamatan Siau Barat). Negeri Ondong, menurutnya, dibentuk
oleh 3 kampung, yakni Ondong, Kalumpang dan Paniki. Negeri besar lain adalah
Ulu terbentuk oleh 4 kampung: Bahu, Akesimbeka (dicatat Aki-Sanbokka),
Tarorane (Taroerame) dan Tatahadeng (Tatahading).
Di sebelah barat
Siau, sekitar dua mil di laut, terdapat pulau kecil Makalehi, dimana telah
ditanam pohon kelapa dan buah-buahan. Di sisi timur Pulau Siau, setengah sampai
satu mil dari pantai terdapat pulau-pulau Buhias, Pondang, Mohoro, Laweang dan
Massane, dimana ketiga pulau yang pertama dihuni. Pulau Mohoro memiliki usaha sarang
burung yang dikelola oleh penduduk
Kemudian lebih ke
utara, terdapat rangkaian pulau di bawah Raja Siau, yakni Babondeka, batu
Mamaloko, Sangasolang yang seperti dua pulau kecil; Nitu, Para, Sarankere,
Siha, Mahangetang, Massape, Karakitan dan Kalama.
Pulau Babondeka,
Sangalosang dan Mahangetang tidak dihuni. Karakitan dan Kalama memiliki usaha
sarang burung yang menjadi milik pribadi dari Raja Siau.
Di Sangihe Besar, enklave
milik Siau negeri Tamako terbentuk oleh kampung Pakol (Pakal), Balana (Balane) dan
Naga (Nagie). Kemudian ada pula kampung Dagho.
Tahun 1836 penduduk
Siau (termasuk pulau-pulau miliknya serta negeri Tamako dan Dagho di Sangihe
Besar) dicatat terdiri 1.300 laki-laki serta 3.700 wanita dan anak-anak.
Raja Octavianus
Paparang menjabat hingga tahun 1839 ketika Nicolaas Ponto, anak kedua Raja Salmon
Ponto dari Bolaang Itang diangkat menjadi Raja Siau yang baru. Silagonda ibu Raja
Nicolaas adalah putri dari bekas raja Ismael Jacobs (baca pula Mengenal Sedikit Raja-raja Bolaang-Itang).
Raja Nicolaas Ponto
meninggal akhir tahun 1849. Kemenakannya Jacob Ponto (dalam dokumen banyak ditulis
Jacobsz Ponto), anak kakaknya Daud Ponto yang menjadi Raja Bolaang Itang, dipilih
sebagai Raja Siau tanggal 22 Januari 1850.
Raja Jacob Ponto mulai
menduduki tahtanya sejak 26 September 1850 (versi lain 12 September 1850). Ia memperoleh
pengukuhan dalam martabat raja dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
A.J.Duymaer van Twist dengan beslit tanggal 23 Oktober 1854.
Menurut Dr.S.A.Buddingh,
pendidikan terakhir Raja Jacob Ponto, adalah sekolah gubernemen (Gouvernements Lager School), sekolah
paling bermutu yang ada di Manado di bawah pimpinan guru Belanda Herman Carl Dircks
serta Kweekeling C.A.Winter.
Zendeling NZG di
Amurang Simon van de Velde van Cappelen ketika berkunjung di Siau tahun 1855
mencatat model rumah penduduk yang masih sederhana, atap tinggi dari daun nipah
berlantai bambu belah, di atas tiang kayu atau pilar, dengan tirai sebagai
pemisah untuk kamar tidur dan ruang duduk. Bahkan banyak yang masih lebih
sederhana, dan banyak pula yang dihuni beberapa keluarga, dan rata-rata tanpa
furnitur. Baik pangeran mau pun rakyat lebih suka tidak menggunakan meja dan
kursi. Tapi, rumah raja, sudah dari batu.
Antara Ondong,
ibukota di barat dengan Ulu di timur, yakni dua negeri besarnya, terdapat jalan
yang cukup bagus, meski menurutnya baru berupa jalan setapak.
Komunitas Kristen
berada di Ondong, Ulu, Sawan, Makalehi, Para, Karakitan, Kalama, Dagho dan
Tamako. Jemaat yang setia ditemukannya di Ondong. Pembaptisan paling banyak
dilakukannya di sini. Ia membaptis di Jemaat Ondong lebih dari 1.200 orang.
Guru sekolah gubernemen
di Ondong L.P.Lalockij yang menerima pelatihan selama beberapa tahun dari
Pendeta Joseph Kam di Ambon telah bekerja selama 20 tahun. Guru sekolah negeri lainnya
adalah muridnya dan mereka rata-rata telah bekerja selama lebih dari dua puluh
tahun.
Sekolah gubernemen
Ondong memiliki murid aktif sebanyak 91 orang. Di Tamako, sekolah gubernemen
dipimpin A.Makagiansar (yang telah bekerja selama 35 tahun), dengan murid 86
siswa. Sekolah lain merupakan sekolah negeri. Di Ulu sekolahnya dipimpin guru
J.Lakihad dengan 46 murid. Di Sawan, 30 murid dipimpin P.Loeminka. Di Makalehi
guru L.Johannis mempunyai 23 murid. Di Karakitan, guru P.Gamonsinan 20 murid.
Di Para guru D.Makkahebi 12 murid, serta di Dagho guru J.Makahikang dengan 24
murid. Sementara sekolah negeri di Kalama, yang gurunya meninggal, memiliki 12
murid aktif.
Tahun 1855 Komisaris Emanuel Francis
mencatat penduduk Siau sebanyak 6.000 jiwa. Guru di Ondong dan Tamako
masing-masing bergaji 8 gulden per bulan, sementara guru di Ulu bergaji 5 gulden.
Menurut Ds.Steven Adriani
Buddingh yang datang ke Siau bersama Residen Albert Jacques Frederic Jansen tahun
1859 beberapa rumah batu kasar di Ondong dimiliki para Jogugu dan mantri lain
dengan perabotan sangat jarang.
Ondong berpenduduk
2.307 orang, semua Kristen, dengan jumlah murid 78 siswa. Begitu pula dengan
negeri kedua Siau Ulu yang memiliki benteng Doornenburg di pantai timur, semua
Kristen, sama halnya dengan penduduk di Pulau Para dan Makalehi yang memilki 2
sekolah. Gereja Ondong telah terbuat dari batu dengan atap daun nipah dan
tembok dikapur, dengan ruang interior cukup luas berisi beberapa bangku kayu, khusus untuk pembesar kerajaan.
Gereja dimanfaatkan pula untuk sekolah, hampir semua anak laki-laki, karena
anak gadis masih langka pergi ke sekolah. Para siswa masih duduk di tanah
dengan papan tulisnya.
Buddingh membaptis
hingga kelelahan 391orang di Ondong. Negeri Tamako, menurutnya, memiliki jemaat
sebanyak 1.500 orang Kristen dengan 1 sekolah dan 150 murid. Siswa di sini membayar
uang sekolah dalam bentuk beras, kopi dan buah-buahan. Uang seperti umumnya di
Sangihe tidak dikenal. Semua perdagangan dilakukan dengan barter. Sarang burung
dan minyak kelapa ditukar umpama tembikar Cina. Botol kosong atau pakaian Eropa
juga menjadi alat pembayaran.
Empat Zendeling pekerja dari Gossnersche Zendingvereeniging, semua orang Jerman, untuk Kepulauan Sangihe dibeslit 15 Juli 1854, tiba di Siau tanggal 15 Juli 1856. C(arl) J(oachim) M(ichael) L(udwiq) Schroder ditempatkan di Tabukan. E(rnst) F(raugott) Steller di Manganitu, serta J(ohann) F(riedrich) Kelling menangani Tagulandang. Kemudian A(ugust) Grohe untuk Siau berkedudukan di Ulu.
Tahun 1867 Zendeling Grohe pindah di Tamako (meninggal 30 Juni 1885). Ulu Siau ganti dilayani oleh C(arl) F(riederich) W(ilhelm) Tauffmann yang sebelumnya bekerja di Makatara Kepulauan Talaud. Ketika Java-Comite (lalu Sangi en Talaud-comite) menangani pelayanan, Tauffmann pindah di Tabukan.
Dua kakak-beradik putra Zendeling Tagulandang J.F.Kelling bekerja di Siau. Martin Kelling (kelahiran Tagulandang 27 Februari 1863) sejak tanggal 13 Januari 1888 ditempatkan di Ulu, kemudian pindah di Dagho 1890 dan terakhir di Tamako tahun 1893 hingga meninggal di Tamako 12 Juli 1912. Adiknya Paul Kelling (kelahiran Tagulandang 10 Desember 1865) mulai melayani di Ulu tahun 1890 sebagai ganti Martin dan bekerja hampir 34 tahun hingga meninggal di Ulu tanggal 22 Juli 1924. ***.
*).Foto dari Wikimedia
Commons.
LITERATUR
Algemeen Verslag van den staat van het schoolwezen in Nederlandsch-Indie, Batavia 1855,1859.
Brilman, D. De Zending op de Sangi-en
Talaud-Eilanden,
1938. Delpher Boeken.
Brumund, J.F.G. Indiana,
Amsterdam, 1854.
Buddingh, Dr.S.A.,
Neerlands Oost-Indie, 1852-1857, Rotterdam 1860.
Cappelen, S.D.van de Velde van, Verslag eener Bezoekreis naar de
Sangi-Eilanden, Mededeelingen van wege het Nederlandsche
Zendelinggenootscahp, eerste jaargang, 1857.
Coolhaas, Dr.W.Ph. Generale
Missiven van Gouverneurs-Generaal
en Raden aan Heren XVII, deel 6 1698-1713,
deel 7 1713-1724, deel 8 1725-1729, deel 9 1729-1737, deel 10 1737-1743, deel 11
1743-1750 dan deel 12 1750-1755. Resources huygens.knaw.nl.
Dinter, B.C.A.J.van, Eenige
geographische en ethnographische aanteekeningen betreffende het eilad Siaoe, Tijdschrift voor
Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XLI, 1899. MMKITLV.
Francis, E. Herinneringen
uit den levensloop van een Indisch’ Ambtenaar van 1815-1851, Batavia 1859.
Heeres, Mr.J.E. dan Dr.F.W.Stapel, Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, derde deel (1726-1752), Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsche-Indie, deel 96, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1938. Internet Archief.
Murillo Velarde, P.Pedro, Historia
de la Provincia de Philipinas de la Compania de Jesus, segunda parte
1616-1716, 1749, Internet Archief.
Naamboek van de wel-edele heeren der Hooge Indiansche
Regeering Batavia,
ultimo 1789, Batavia. DPO.
Regeeringsalmanak 1867,1871,1872,1873,1875,1878,1880,1889,1892.
Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin.
TANAP Ternate.
Valentijn, Francois, Oud
en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam 1724.
Waal, E.de, De Sangir-Eilanden in 1825, dalam Indisch
Magazijn, ter Lands Drukkerij, Batavia,1844.
Wladcy Celebesu, Wladcy Siau, Wikipedia, wolna encyclopedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.