Senin, 27 Oktober 2025

Makam Ds.Joan Thomas Werndly di Kaidipang



Boroko di Kaidipang September 1917.
(Walter Kaudern, The National Museums of World Culture/Wikipedia). 


Ketika Kompeni Belanda berkuasa di Sulawesi Utara termasuk kawasan Bolaang Mongondow Kristen Katolik dilarang. Hanya Kristen Reformasi atau Protestan yang diperkenankan. Agama yang dikenal penduduk sebagai agama Kompeni disebarkan kepada penduduk oleh para guru yang dikirim dari Ternate dan Ambon. 

Secara berkala datang para pendeta (predikant) dari Ternate pusat kegubernuran Maluku, bahkan sebelumnya dari Ambon. Kunjungan hampir rutin setahun sekali yang terus berkurang intensitasnya, dua kemudian tiga hingga berjeda sepuluh tahunan sebelum akhirnya tidak ada lagi menjelang kebangkrutan Kompeni. 

Agama Kompeni wajib dipeluk oleh para raja dan mantri utama. Perjanjian-perjanjian yang diteken setiap calon raja yang dinominasikan dewan kerajaan, selama pemerintahan Kompeni di Sulawesi Utara mensyaratkan hanya ada Kristen Reformasi. Bahkan dalam pasal kontrak selalu ditegaskan seorang permaisuri wajib seorang Kristen pula. 

Para pendeta yang memperoleh gaji besar darpemerintah Kompeni berkunjung ke Manado, Amurang, Tanawangko dan Likupang di Minahasa serta negeri besar yang ada di Sangihe Talaud dan kerajaan-kerajaan di pantai utara Sulawesi. Mereka melakukan pengajaran agama, membezuk sekolah, melakukan pembaptisan penduduk, pemberkatan nikah dan sidi hingga perjamuan kudus. Pembaptisan yang memprioritaskan kalangan anak selalu massal mencapai ratusan jiwa.   

Ada banyak pendeta yang pernah berkunjung di kawasan Sulawesi Utara. Salah seorang diantaranya adalah Pendeta Werndly. 

Sejarawan dan arsiparis E.C.Godee Molsbergen dalam bukunya Geschiedenis van de Minahassa tot 1829 menyebutnya bernama Georg Heinrich Werndly. Seorang teolog terkenal yang menulis tata bahasa Melayu baku pertama, yang tahun 1737 diangkat menjadi guru besar di Lingen Jerman dan meninggal pada tahun 1744. 

Namun dari surat-surat Gubernur Maluku Jacob Christiaan Pielat dan penggantinya Elias de Haeze, termasuk tinggalannya sendiri berupa raport kunjungan gereja dan sekolah yang dilakukannya, predikant tersebut adalah Ds.Joan (Johan) Thomas Werndly.  

Werndly menjadi predikant Ternate sejak sebelum tahun 1725 bersama Ds.Didericus Bontekoe dan Ds.Joan Henric Molt. Belakangan Werndly bekerja dengan Ds.Johannes Scherius dalam Dewan Gereja (Kerkenraad) Ternate. 

Tahun 1728 selang tanggal 8 Juli hingga 22 Desember Werndly melakukan kunjungan gereja dan sekolah, dimulai dari Makian dan Bacan di Maluku Utara, lalu di Sulawesi Utara di Manado, Amurang, Bolaang, Bolaangitang, Kaidipang, Buol, Atinggola hingga di Sangihe, Tagulandang dan Siau. 

Ds.Werndly berada di Kaidipang 21-23 Agustus 1728 dan membaptis 101 anak pada 22 Agustus. Balik kembali di Kaidipang 24 September, dari perjalanan ke Buol dan Atinggola, keesokan harinya sebelum ke negeri Bolaang ia membaptis 29 anak dan mengawinkan 3 pasangan suami-istri. 

Sekolah Kaidipang menurutnya mempunyai 83 murid, diantaranya 20 anak perempuan. Sedangkan jemaat Kristen sebanyak 1.477 orang. Untuk mengelola sekolah dan jemaat ada dua guru, Mattheus Danielsz dan Silvester Patilima guru yang baru diangkat Werndly.  


SAKIT DEMAM

Tahun 1733 Ds.Werndly kembali melakukan kunjungan gereja dan sekolah di Sulawesi Utara. Tapi ketika tiba di Kaidipang ia jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 24 Agustus 1733. Siang kedatangannya, Werndly sempat 4 kali melakukan pembaptisan kepada 346 anak. Pendeta tersebut dikuburkan di gereja Kaidipang.   

Raja Kaidipang ketika itu, Albertus Cornput (1729-1740) dalam sepucuk surat kepada Gubernur Elias de Haeze di Ternate bertanda Caudipan 30 Agustus 1733 melaporkan Ds.Werndly tiba di Kaidipang siang 15 Agustus 1733, tapi malam harinya demam menyebar ke seluruh tubuhnya hingga kematiannya. Ia masih dapat berbicara hingga tanggal 23 dan meninggal pukul setengah tujuh malam hari Senin tanggal 24 Agustus serta dimakamkan di gereja Kaidipang pada Rabu pukul empat sore. 

Janda Werndly bernama Josina van Bemmel tidak berhasil mengupayakan pemindahannya ke Ternate. 

Laporan terakhir tentang makam Werndly datang dari Ds.Ulpianus van Sinderen. Sinderen berkunjung di Kaidipang tahun 1761 masa Kaidipang telah dipimpin oleh Raja David Cornput (1750-1763). 

Sinderen melakukan perbaikan gereja Kaidipang dan perawatan makam Pendeta Werndly serta menunjuk Raja David Cornput dan guru Pieter Thomas sebagai pengelola kolekte gereja untuk pelayanan orang susah serta perawatan gereja dan makam Werndly. Guru kedua Kaidipang adalah Lucas Longi.  

Lokasi bekas gereja yang menyimpan makam pendeta Belanda tersebut tidak lagi diketahui, karena negeri ibukota Kaidipang sempat berpindah. Apalagi agama Kristen kemudian ditinggalkan ketika Raja Willem David Cornput (1782-1820) bersama penduduknya pindah menganut Islam pada masa pemerintahan Kompeni Inggris. 

 

 

 REFERENSI:

 Bolaang Mongondow Masa Kompeni dan Hindia-Belanda, Sejarah kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaangitang, Kaidipang, Kaidipang Besar, Bolaang Uki dan Bintauna, naskah.

B.J.van Doren, Bijdragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz, 1 (Amsterdam, 1860).

E.C.Godee Molsbergen, Geschiedenis van de Minahassa tot 1829, Landsdrukkerij Weltevreden, (1928).

J.E.Heeres, Bouwstoffen voor de Nederlandsch-Indische Kerkgeshiedenis, MNZG 45, M.Wyt&Zonen, (Amsterdam,1901). 

Selasa, 21 Oktober 2025

Kristen Lama di Bolaang Mongondow

 


Peta kawasan Bolaang Mongondow
NL-HaNA_4.MIKO_1630.
  


Banyak publikasi sekarang mengungkap masa pra-Islam di Bolaang Mongondow, Bolaangitang, Kaidipang, dan Bintauna, yakni kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di kawasan Bolaang Mongondow, adalah tempo pada periode dan pengaruh Kristen Katolik.

Pendapat demikian banyak dikemukakan oleh para penulis dan sejarawan daerah ini. Muncul dalam banyak tulisan lepas, bahkan terbitan berbentuk buku sejarah serta karya dan dalam jurnal ilmiah. Para raja kerajaan-kerajaan ini hingga ketika Islam menggantikan perannya sejak dekade awal abad ke-19 ditegaskan sebagai penganut Katolik.  

Pertanyaannya, benarkah demikian?   

Katolik pernah berjejak di kawasan yang sekarang mekar beberapa kabupaten dan kota ini. Misi pertama kali dibawa oleh padri Jesuit Diogo Magelhaes pada tahun 1563. Meski raja dan penduduk Bolaang Mongondow berkeinginan menjadi Katolik, Magelhaes menolak melakukan pembaptisan, karena rajanya telah diislamkan oleh Kaicil Guzarate yang datang dalam armada Ternate pimpinan Baabullah yang dikirim oleh Sultan Hairun. Magelhaes sekedar membaptis Raja Kaidipang pada persinggahan awal, dan ketika kembali dari Tolitoli, ia membaptis selama 8 hari 2.000 penduduk Kaidipang. 

Tahun 1568 Padri Pedro Mascarenhas mengunjungi ulang Bolaang Mongondow dan Kaidipang. Tapi, ia tidak melakukan pembaptisan apa-apa. Mascarenhas hanya meneguhkan penduduk yang dibaptis Magelhaes di Kaidipang serta memberi pengajaran agama. 

Misi Jesuit di Kaidipang selanjutnya tidak banyak diketahui, karena tidak ada laporan resmi adanya kunjungan imam Jesuit kembali. 

Upaya pengkristenan dilakukan kembali kaum Fransiskan dengan kedatangan Padri Sebastian de Benevente y Sanches (San Jose) dan Francisco Antonio de Santa Ana yang sempat dijamu oleh Ratu Kaidipang Dongue 15 Juni 1610. 

Dongue mengaku telah diajar iman Katolik oleh seorang imam yang berada di Kaidipang beberapa tahun sebelumnya, namun belum dibaptis. Ia akan dengan senang hati menerima baptisan kudus jika seorang imam tinggal menetap di Kaidipang. Tap kedua padri tersebut martir di Buol dan Tagulandang pada 18 dan 28 Juni 1610. 

Fransiskan masih melakukan upaya pengkristenan tahun 1612 dengan mengirim Padri Juan del Cano dan Cristobal Gomes, tapi juga tidak ada laporan hasil pekerjaan mereka di pantai utara Sulawesi. 


LINKAKOA DAN ORANG DEKAT

Katolik tumbuh kembali pada periode menjelang akhir pengaruh Spanyol dari para imam Jesuit. Tahun 1675 Ratu Bolaangitang Linkakoa yang disebut pula Sinkakoa atau Luihahoa dibaptis Padri Carlo Turcotti bersama 500 penduduk yang mencakup sejumlah warga Kaidipang di dekat Bolaangitang. 

Laporan Belanda bahkan mengungkap upaya para imam Katolik dimulai dua dekade sebelumnya. Predikant Ternate Ds.Jacobus Montanus yang berkunjung di Sulawesi Utara 9 Juni-30 September 1673, dalam raportnya mencatat peristiwa tanggal 31 Januari 1652 ketika Linkakoa menerima kedatangan padri Spanyol tanpa sepengetahuan dari Sultan Ternate Mandarsaha yang mengklaim kepemilikan atas Bolaangitang dan Kaidipang. 

Di bawah Linkakoa, Bolaangitang adalah negara satelit dari kerajaan Katolik Siau. Raja Siau Don Ventura Pinto de Morales bersama Raja Tadohe dari Bolaang Mongondow telah menaklukkan Bolaangitang dan Kaidipang. Sebagai pemenang, Siau menjadi penguasa Bolaangitang, dan Kaidipang dimiliki Bolaang, dimana Linkakoa diangkat menjadi Ratu Bolaangitang, sedangkan Bolaang mengangkat Mobiling sebagai Raja Kaidipang. Mobiling menjadi suami pertama dari Linkakoa. 

Ketika dibaptis Turcotti, Linkakoa, yang digambarkan Gubernur Kompeni Belanda Robertus Padtbrugge sebagai seorang berpembawaan berani dan dalam segala hal adalah wanita yang gagah tersebut, memakai nama Dona Magdalena atau Elena Linkakoa. Atau dalam laporan Belanda lainnya disebut Elisabet Linkakoa atau juga Maria Linkakoa. 

Gelar kehormatan orang-orang yang telah dibaptis Katolik di masa Spanyol adalah Dona untuk wanita dan Don untuk pria

Selain Linkakoa, kerabat dekatnya adalah adik wanitanya yang bernama Dona Maria Duongo atau Dwong, serta Don Carlo jogugu yang menjadi salah seorang dari beberapa suami Linkakoa. Kemudian saudara ipar Linkakoa Don Ignacio Tambuca dan Don Francisco Gama seorang penasehatnya. Tokoh lain yang kelak memilih menjadi Kristen Reformasi seperti halnya Linkakoa adalah Kapiten Laut Don Pedro Goma dan Kapiten Don Santiago Bolangoa. 

 

SAUDARA LOLODA  

Di Bolaang Mongondow pengaruh Katolik dan Spanyol pada era tersebut meliputi keluarga dekat Raja Loloda Mokoagow. 

Loloda sempat dekat dengan Spanyol, meski laporan-laporan Belanda menegaskannya sebagai pagan. Kepercayaan pagan yang dianut Loloda diungkap oleh President Maluku Abraham Verspreet kepada Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker dan Dewan Hindia di Batavia 24 Agustus 1669. Hal mana ditegaskan kembali oleh Gubernur Cornelis van der Duyn dan penggantinya Salomon Lesage dalam surat bersama kepada Gubernur Jenderal Mr.Wllem van Outhoorn 14 Juli 1696. 

Seorang saudara laki-laki Loloda, yakni Pangeran Makarompis digambarkan Gubernur Padtbrugge sangat Spanyol. Kendati demikian tidak diketahui apakah Makarompis sempat menjadi Katolik ataupun Kristen Reformasi kemudian. Tapi dalam kapasitas jogugu di negeri Ayong Makarompis dikenal menjadi penganjur utama pembaptisan penduduk Ayong tahun 1679 ketika Kompeni Belanda mulai menanamkan legitimasinya. 

Makarompis pernah menjalin koalisi erat dengan Spanyol dan Siau. Ketika Makarompis menggerakkan perlawanan terhadap Loloda selama perang saudara yang berlangsung tahun 1670-1676, ia dibantu pasukan dan amunisi untuk perang oleh komandan infantri Spanyol di Siau Kapten Andreas Serano. Biasanya sebagai prasyarat dari hubungan dan bantuan Spanyol, apabila sekutunya telah memilih menganut agama kepausan. 

Apalagi dari surat Komandan Manado Vandrig (kemudian Letnan) Jochem Sipman (1668-1675) juga surat President Maluku Cornelis Francx pada Gubernur Amboina Anthonio Hurdt 26 Januari 1673 serta surat protes Gubernur dan Kapten Jenderal Spanyol di Manila A.Vergas Urtado (Juan de Vargas y Hurtado) pada pemerintah tinggi Kompeni di Batavia 10 Januari 1679, pada perang tersebut Makarompis diasistensi langsung oleh Jesuit dari Siau. 

Padri Manuel Espanol menjadi penasehat Makarompis Juli 1672 bersama seorang letnan dan dua serdadu Spanyol. Mereka berhasil membangun dua benteng pertahanan di Ayong. 

Tahun 1673 Padri Francisco Miedas yang bertindak sebagai penasehat Makarompis. Bulan Juni tahun tersebut Miedas datang bersama Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi. Batahi putra Don Ventura Pinto de Morales yang datang dengan 70 korakora dan binintang, meski ekspedisinya dengan tujuan utama ingin menghukum Raja Kaidipang Binangkal, sengaja membantu Makarompis dengan membunuh pendukung Loloda di Amurang Hukum Bala dan dua anak laki-lakinya. 

Tapi tiga saudara lain dari Raja Loloda dan Makarompis dari nama mereka kemungkinan kuat pernah dibaptis Katolik sebelum tahun 1675. Meski tidak ditemukan dokumen Katolik atau laporan dari pemerintah Spanyol di Manila yang mencatatkan adanya aktivitas dan pembaptisan oleh padri Katolik di Bolaang Mongondow. 

Ketiganya adalah Sougeha yang menggunakan nama Don Pedro Sougeha. Kemudian Dona Isabella, dan Konda atau Gonda yang memakai nama Dona Maria. 

Kemungkinan Padri Turcotti yang melakukan pembaptisan itu. Turcotti masa itu berada di Bolaangitang. Dugaan lain adalah Padri Manuel Espanol atau juga Padri Francisco Miedas. 

Selama pertikaian Loloda dan Makarompis, kedua saudara wanita mereka yakni Dona Isabella dan Dona Maria alias Gonda atau Konda tidak mendukung Makarompis. Mereka harus lari dari Mongondo, negeri ibukota Loloda masa itu. 

Jochem Sipman melaporkan pada President Willem van Cornput 20 Mei 1675 kalau Kapiten Laut Jeronimo Daras (mantan jogugu Siau, lalu menjadi menantu Loloda) bersama Bartholomeus Rampengang Hukum Manado yang dekat dengan Loloda, pada tahun 1674 telah diminta Loloda mengungsikan adiknya Dona Isabella dan kemudian Dona Maria bersama seluruh keluarganya untuk tinggal di Manado. 

Dona Isabella jatuh sakit dan meninggal di Manado tahun 1675. Sedangkan Dona Maria yang disebut pula dengan nama Catalina atau Catharina Conda oleh Loloda dalam sepucuk suratnya kepada Gubernur Cornelis van der Duyn 30 November 1692 adalah janda dari Raja Tolitoli Malikampo atau Patilima. Bulan Maret sebelumnya Dona Catalina dilaporkan Fiskal Jacob Claasz telah tinggal di negeri Passir, dekat dengan negeri Pajoa. 

Don Pedro Sougeha sendiri dilaporkan Coopman (pedagang) Daniel Fiers dan Boekhouder (pemegang buku) Jan Walraven de la Fontaine, yang melakukan kunjungan komisi di wilayah Bolaang Mongondow, terbunuh bersama 35 orang pengikutnya atas perintah Raja Buol. 

Setelah permusuhan panjang, kedua pejabat Kompeni Belanda itu menginisiatif perdamaian Bolaang Mongondow dan Buol dengan penandatangan perjanjian damai antara kemenakannya Raja Jacobus Manoppo dari Bolaang Mongondow dan Raja Jacobus Ladowali dari Buol yang diteken di ibukota masing-masing kerajaan selang Mei 1697. 

Katolik di kerajaan yang ada di kawasan Bolaang Mongondow secara resmi dilarang Padtbrugge sejak ekspedisinya ke Sulawesi Utara pada tahun 1677.   

 

.

REFERENSI:

Bolaang Mongondow Masa Kompeni dan Hindia-Belanda, Sejarah kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaangitang, Kaidipang, Kaidipang Besar, Bolaang Uki dan Bintauna, naskah buku.

Coleccion de Documentos Ineditos Para la Historia de Espana, Correspondencia de Don Geronimo de Silva con Felipe III, 52, (Madrid, 1868).

Arthur Basilio de Sa, Documentacao para a historia das missoes do Padroado Portugues do Oriente: Insulindia, 3 (1663-1567), Agencia geral do ultramar, Divisaao de Publicacoes e Biblioteca, (Lisboa, 1954).

B.J.J.Visser, Onder Portugeesch-Spaansche Vlag. De Katholieke Missie van Indonesiƫ 1511-1605, (Amsterdam, 1926).

---Onder de Compagnie, Geschiedenis der Katholieke Missie van Nederlandsch-Indie 1606-1800, (Batavia, 1934).   

Hubert Jacobs, Documenta Malucensia 1(1542-1577), Instititum Historicum Societatis Iesu, (Roma, 1974).

P.A.Tiele, De Europeers in den Maleischen Archipel, BKI, (‘s-Gravenhage, 1877-1887). 

Sigfridus Stokman, De Missies der Minderbroeders op de Molukken, Celebes en Sangihe in de XVIe en XVIIe eeuw, Collectanea Franciscana Neerlandica 2, (‘s-Hertogenbosch, 1931).

 

Jumat, 12 Mei 2023

Kapataran, Kisah Negeri Kristen Tondano Pertama

 

 

Lukisan Danau Tondano tahun 1820-an (New York Public Library).

 

 

Kapataran sekarang adalah ibukota Kecamatan Lembean Timur di Kabupaten Minahasa.


Sebelum dikenal dengan nama Kapataran, sampai awal abad ke-19, nama negerinya dalam berbagai dokumen adalah Atep, karena penduduk masih terkonsentrasi tinggal bermukim di pantai Atep di dekatnya. 

 

Atep didirikan oleh para pemukim Tondano (Touliang) yang pindah dari negeri besar Tondano pada abad ke-18. Bersama dengan Tataaran, Koya dan Telap, Atep termasuk negeri awal yang didirikan penduduk Tondano ketika masih tinggal di atas air Danau Tondano.


Keunikan Atep karena sejak awal berdiri masa Kompeni Belanda telah menyandang predikat sebagai negeri Kristen orang Tondano. Sebab penduduk Atep yang pertama menerima Kristen Protestan. Sementara Tondano pada umumnya masih pagan.

 

Sejarahnya, menurut dokumen Kompeni Belanda, dimulai tanggal 2 September 1779 ketika para Hukum Tondano menyatakan kepada Residen Manado bernama Koene Koenes (1778-1780) keinginan mereka untuk masuk Kristen dan meminta seorang guru untuk mengajar agama.

 

Kepala-kepala Tondano yang bertanda krois dalam surat tersebut adalah Hukum Tua (Oud Hoekum) Sumondak, Pangalila, Lensun dan Walintukan, serta para Hukum Muda (Jonge Hoekum) terdiri Mandagi, Rumende, Mogot, Kosegeran, Tambahani, Mamentu, Supit, Lowing, Wulur, Andu dan Rantung.

 

Untuk mewujudkan keinginan tersebut Rumende yang menjadi Hukum Muda di Atep dipercaya menjadi utusan dari para Hukum Tondano untuk pergi langsung ke Ternate menemui Pejabat Gubernur (Gezaghebber) Maluku Alexander Cornabe. Rumende dipilih dan ditunjuk mereka untuk menjadi pemimpin orang Kristen Tondano.

 

Permintaan para kepala Tondano melalui Rumende dipenuhi Cornabe. Predikant Ternate Ds.Georgius Jacobus Huther datang langsung ke Tondano bulan Agustus tahun 1780 dan melakukan pembaptisan pertama Tondano di negeri Atep. 

 

Hukum Rumende disetujui oleh Cornabe sebagai kepala orang Kristen Tondano dengan akte pengangkatan serta memperoleh simbol kehormatan sebagai tanda jabatan berupa rotan dan kenop perak.

 

Atep segera menjadi pusat komunitas Kristen Tondano. Padahal awalnya para kepala Tondano sengaja menyiapkan negeri baru Kolongan di pantai Tondano sebagai lokasi khusus untuk orang Kristen Tondano. 

 

Johannes Boot, pengganti Residen Koenes diperintahkan Cornabe  mengumpulkan semua penduduk Tondano yang telah masuk Kristen. Mereka harus pindah dan tinggal di negeri Atep, terpisah dengan penduduk yang masih pagan.

 

Sebuah sekolah dibuka pula oleh Predikant Huther, dengan menempatkan guru Urbanus Matheosz seperti keinginan para kepala Tondano.

 

BEDA FAM

Hukum Rumende memiliki saudara muda bernama Wuysang. Keduanya masuk Kristen dan memilih nama masing-masing sebagai fam.

 

Hukum Rumende dengan nama baptis lengkap Alexander Agatha Rumende. Nama depan Alexander untuk menghormati Cornabe. Sedangkan adiknya memilih nama Gerrit Jan Wuysang.

 

Jabatan Alexander Agatha Rumende dari Hukum Muda menjadi Hukum Tua dengan gelar resmi adalah Penghulu orang Kristen Tondano.

 

Gerrit Wuysang sendiri diterima menjadi serdadu (soldaat) Kompeni Belanda pada tahun 1781 dengan gaji 9 gulden. Gerrit masuk kesatuan milisi Borgo Manado, dan bekerja di garnisun benteng Amsterdam Manado dengan ikatan dinas selama 5 tahun. Masa kerjanya berulang diperpanjang residen karena kualifikasi dan kualitasnya.

 

Tahun 1791, Hukum Tua Atep sekaligus Penghulu orang Kristen Tondano Alexander Agatha Rumende jatuh sakit dan meninggal karena cacar. Wabah cacar di Minahasa ketika itu menelan korban jiwa yang besar.

 

Dengan persetujuan Gubernur Cornabe, adiknya Gerrit Wuysang diangkat sebagai Hukum Tua negeri Kristen Atep. Gerrit yang berusia 34 tahun diberhentikan terlebih dahulu sebagai serdadu di benteng Amsterdam Manado. Dalam dinas tersebut Gerrit menggunakan nama Jan Wuysang.

 

Gerrit Wuysang berperan besar dalam perang Minahasa di Tondano tahun 1808-1809. Gerrit pun membangun negeri Kapataran dengan memindahkan penduduk dari pantai Atep.

 

KRISTEN BARU

Setelah Pendeta Huther, Atep/Kapataran masih dikunjungi pula oleh Ds.Johan Ruben Adams tahun  1791. 

 

Kemudian masa Hindia Belanda, pada Maret 1819 Predikant Semarang Ds.Dirk Lenting datang dan tinggal beberapa hari di Kapataran, di mana Lenting membaptis beberapa orang setiap hari. Sebagian besar adalah penduduk Kapataran sendiri, bahkan ada dari negeri-negeri di tepi danau dan dekat Tondano. Sebanyak 530 orang dibaptis dan semuanya masih muda.

 

Tahun 1819 ini oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) dicatat sebagai pendirian dari Jemaat (Gemeente) Kapataran dengan Lenting sebagai pendiri.

 

Setelah kunjungan Lenting, Predikant Ambon Ds.Joseph Kam ikut mengunjungi Kapataran dan membaptis beberapa penduduknya.1

 

Namun, pekerjaan para predikant sejak periode Kompeni tersebut kemudian terbengkalai hingga Zendeling NZG Johan Friedrich Riedel datang bekerja di Tondano. 

 

Pendeta Sierk Coolsma mengungkap orang-orang Kristen di Kapataran sangat bangga dengan nama Kristen mereka. Tapi masih tenggelam dalam kekafiran dan tanpa kehidupan spiritual.

 

Ketika Riedel pertamakali mengunjungi Kapataran tahun 1833 dia menemukan hanya sisa beberapa orang Kristen, dan sebuah sekolah yang telah berdiri di Kapataran sejak masa Kompeni.

 

Tapi selama bertahun-tahun, Riedel hanya membaptis beberapa anak dari orang tua Kristen, dan menolak untuk membaptis orang dewasa.

 

Riedel kecewa karena meski ada sekolah, gereja, guru (meester) yang merangkap guru jemaat (voorgangers), kehidupan jemaat menyedihkan. Anak-anak tumbuh dengan bingung karena contoh buruk. Dibesarkan dalam ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Orang yang dibaptis hanya melihat gereja dari luar dan hanya dua atau tiga orang yang masuk gereja di hari Minggu. Sebaliknya ia melihat kesombongan yang sia-sia atas nama agama Kristen karena mengikuti kebiasaan lama.

 

Masa sebelumnya pembaptisan selalu massal. Banyak orang dibaptis dalam ketidaktahuan, tidak siap dan tanpa pemeriksaan atau penguatan iman. 


Kotbah pertobatan dari Riedel yang tegas memberi pengaruh di jemaat lama Kapataran pada tahun 1847. Dan, pekerjaan Hessel Rooker sejak tahun 1855 berhasil mentobatkan semua penduduknya.

 

 

1.Dari berita tahun 1930, pada 22 November 1929 di Kapataran dilaksanakan pesta gereja memperingati 110 tahun kepala negerinya Wuysang dibaptis di Ambon oleh Pendeta Kam.

 

 

SUMBER:

Dokumen Kompeni Belanda.

Maandbericht van het Nederlandsche Zendelinggenootschap 1856.

Overzicht van Inlandsche en Maleisisch Chineesche pers no.6 1930.

S.Coolsma, Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie, 1901