Oleh: Adrianus Kojongian
Raja Salmon Bawole diapit guru dan pembantu. *) |
Dinasti Jacobs(z)
mulai berkuasa di bawah Raja Philips Jacobsz yang naik tahta menggantikan
Cornelis Tamarol tahun 1792. Ia berasal dari Siau, dihadis sebagai cucu Raja
Siau Daniel Jacobsz.
Ketika Kompeni
Inggris (East India Company) berkuasa
di Keresidenan Manado, Raja Jacobsz meneken kontrak dengan Kompeni Inggris 25
Maret 1812. Kemudian kontrak baru dengan pemerintah Hindia-Belanda yang menggantikan
Kompeni Belanda 4 Agustus 1818.
Penggantinya di tahun
1820 adalah anaknya Johannis Philips Jacobsz yang meneken kontrak politik 12
April 1828. Berikut memerintah anak Johannis, yakni Frederik Philips Jacobsz.
Tahun 1825,
Tagulandang yang berada sekitar 16 mil
dari ibukota Manado, dicatat E.de Waal terdiri atas tiga negeri besar.
Tagulandang di sebelah barat, tempat kedudukan raja, lalu Haas di timur dan
Minanga di bagian utara.
Ibukotanya, negeri
Tagulandang terbagi atas tiga kampung, yakni: Tagulandang, Malio-mara
(Balahumara) dan Bakula (Bakulaihi). Sedang di wilayah jajahannya di Kepulauan
Talaud, dicatat hanya satu negeri, yakni Pulutan di Pulau Karakelang yang
dominan dimiliki kerajaan Tabukan. Itu pun, hanya setengah bagian Pulutan.
Kepemilikan Tagulandang
atas Pulutan dicatat pula hanya separuh negeri dalam raport 5 Januari 1826 dari
Gecommitteerde Arnoldus Johannes van Delden ketika berkunjung ke Karakelang
(van Delden kelak Sekretaris dan pejabat Residen Manado).
Gunung utama Ruang
atau Ruwang yang ditulisnya Duwang, sekitar satu jam sebelah barat Tagulandang,
di pulau senama, terus-menerus mengeluarkan asap. Erupsi Gunung Ruang terakhir,
terjadi tahun 1808, menghancurkan semua rumah, kebun dan pepohonan di
sekitarnya, termasuk negeri tua Tagulandang. Meski tidak sampai jatuh korban
jiwa.
Penduduk Tagulandang
tahun 1825 itu sebanyak 1.132 orang, sekitar 300 laki-laki dan sisanya
perempuan dan anak-anak.
Di bawah raja, rang
dan titel para kepala, seperti di Siau dan kerajaan lain di Kepulauan Sangihe
ketika itu, adalah President Raja, Jogugu yang terdiri 2 atau 3 orang,
President Jogugu, Kapitein Laut 5 sampai 6 orang; Hukum Majoor 2 sampai 3
orang, Hukum 5 sampai 6 orang, Sadaha Negeri 1 orang, Kapitein Bicara 3 sampai
4 orang, Sangaji 3 sampai10 orang, Kimelaha 5 sampai 6 orang dan Sawuhi.
Selain kepala bobato,
masih ada kepala dengan gelar Sahada Kecil 3 sampai 4 orang, Sabandar 1 sampai
2 orang, Jurubahasa 1 sampai 2 orang, Marinjo Bicara 3 sampai 4 orang, Marinjo
Balla 3 sampai 4 orang, serta 3 sampai 14 Marinjo.
Kemudian ada pula
perwira dan serdadu yang bertugas mengatasi pemberontakan atau mengejar bajak
laut atau memimpin kegiatan sipil lain. Majoor 3 sampai 4 orang, Kapitein
Majoor 1 orang, Kapitein Raja 2 sampai 3 orang, Kapitein Prang 6 sampai 8
orang; Kapitein 10 sampai 12 orang, Luitenant 10 sampai 12 orang, Afferissen 6 sampai 8 orang,
Serjant-Majoor 3 sampai 4 orang, serta Korporal 4 sampai enam orang.
Tidak aneh, sebut de
Waal, dalam beberapa negeri bisa ada 150 orang bobato.
Raja pun, memiliki
sejumlah dayang terdiri gadis-gadis muda, putri orang kaya. Mereka bertugas
menjaga jenasah ketika seseorang dari keluarga kerajaan meninggal.
Raja Tagulandang di
tahun 1825 itu memiliki 30 pria dan wanita muda dari negeri yang bekerja
untuknya setiap hari. Mereka berkewajiban memberi makan, dan dikenal sebagai
budak negeri.
BENCANA RUANG
Tanggal 2 September
1854, putra Raja Frederik, yakni Lucas Jacobsz naik tahta Tagulandang. Di
Manado, bersama mantrinya ia meneken kontrak baru dengan Belanda diwakili
Residen Casparus Bosscher 12 November 1860.
Kontrak terdiri 27
artikel (pasal) mengatur hubungan dan kewajiban raja serta mantrinya. Klausal
utama adalah Tagulandang sebagai milik Belanda dan dengan demikian mengakui
Raja Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda sebagai penguasa tertinggi. Karena
itu pemerintah Hindia-Belanda berhak untuk memecat raja dan menunjuk
penggantinya setelah berkonsultasi mantri (rijksgrooten) yang terdiri president
raja, jogugu dan kapitein laut. Dalam hal kematian raja, Residen Manado harus
segera diberitahu, dan pemerintahan sementara dipegang president raja menunggu
penunjukan raja baru oleh gubernemen (pemerintah).
Penduduk Tagulandang pun
terhitung sejak Januari 1861 harus membayar pajak sebesar 1 gulden tiap rumah
tangga per tahun, yang dapat dibayar tunai atau diganti minyak, tripang, karet,
kakao, kopi dan lain-lain. Untuk sementara waktu, besaran pajak Tagulandang
ditetapkan seratus gulden yang harus dibawa raja secara pribadi ke Manado.
Sepersepuluh total
pajak tersebut jadi insentif raja dan mantrinya. Dengan pembagian untuk raja
3/10, president raja 2/10, jogugu 1/10 dan kapitein laut 4/10.
Para mantri yang ikut
bertanda (sesuai tulisan) adalah President Raja Dirk Jacobsz, President Jogugu K.S.Matheous,
Kapitein Laut Ernst Mongonto, Hukum Majoor J.S.Jadoding dan Kapitein Bicara
S.L.Ohonanmeng. Dua pejabat tidak terbaca namanya yakni jogugu dan kapitein
laut lain.
Raja Lucas Jacobsz masih
pula meneken kontrak 21 Juli 1864 dengan Residen Willem Christiaan Happe (baca Residen Manado 2
dan Tentang Residen Manado).
Masa memerintahnya,
Johann Friedrich Kelling, Zendeling dari Gossnersch
Zendingvereeniging (kemudian Sangi en
Talauer-comite) asal Brandenburg Jerman tiba di Siau 15 Juli 1856, lalu mulai
bekerja di Tagulandang. Ia bertugas hingga meninggal dunia di Tagulandang 13 Agustus
1900.
Tahun 1856 di
Tagulandang terdapat tiga sekolah. Sekolah Gubernemen di negeri Tagulandang
dengan 42 murid (tahun 1854 77 murid) dipimpin guru A.Mattheus. Sekolah Negeri
di Haas dengan 19 murid dipimpin guru F.Mattheus (tahun 1854 70 murid), dan
Sekolah Negeri (tweede school) di
Minanga dengan 24 murid, dipimpin guru J.M.Lalongkang (tahun 1854 60 murid). Di
tahun 1871, Sekolah Gubernemen di Tagulandang telah dipimpin guru J.Sondag
(lalu J.Bawole). Sondag sendiri menggantikan S.Bawole. Sekolah Gubernemen Haas
dengan guru J.Makasihi sejak 1866, dan Sekolah Gubernemen Minanga dipimpin guru
S.Ponto sejak 1861.
Residen Manado Albert
Jacques Frederic Jansen dalam raport 12 Agustus 1857 mencatat wilayah
Tagulandang di Pulau Karakelang, yakni Pulutan terdiri atas negeri Dahan,
Kalumu dan Bohonbaru.
Yang unik, para
kepalanya memakai gelar raja. Negeri Pulutan bahkan dengan dua raja bernama Welembuntu
dan Selehan, di bawah kuasa kerajaan Tagulandang. Sementara Siau juga
mengangkat kepala di Pulutan dengan nama Raja Bohanbitu.
Negeri lain yang
diklaim Tagulandang, yakni Dahan dengan raja bernama Sengade, dan negeri Nunu
dengan raja bernama Paleto atau Papalapu. Sementara negeri Kalumu dipimpin
seorang bergelar Kassielieratu.
Raja Lucas Jacobsz
meninggal 3 Maret 1871 dengan tubuh tidak ditemukan ketika terjadi bencana alam
berupa letusan gunung api di Pulau Ruang, yang menimbulkan terpaan ombak
dahsyat (tsunami setinggi 14 depa);
menyapu dan menghanyutkan seisi ibukotanya yang berlangsung malam hari sekitar
pukul delapan. Tanda pertama dari aktivitas gunung tersebut dari pantauan
Zendeling Kelling, sudah terdeteksi paruh akhir bulan Februari, meski kemudian
tenang selama 14 hari.
Penduduk Tagulandang ketika
kejadian sekitar 3.000 jiwa (tahun 1862 berjumlah 3.114), bermukim di tiga
negeri besar Haas, Minanga dan Tagulandang, serta dua negeri kecil Mulingan dan
Bulangan.
Negeri Tagulandang,
ibukota, dengan sekitar 1.000 jiwa yang terdiri atas tiga kampung: Tagulandang,
Bakulaihi dan Balahumara hancur. Selain raja dan beberapa kepala penting, total
416 orang kehilangan nyawanya dalam peristiwa tersebut. Korban terbanyak
terjadi di kampung Tagulandang. Dari sekitar 500 penduduk, 277 orang tewas
akibat tersapu tsunami.
Perkebunan dan
tanaman penduduk pun rusak parah, termasuk banyak rumah penduduk. Bangunan gereja,
juga sekolah dan rumah Zendeling Kelling ikut rusak, meski tidak sampai hancur
karena berada di tempat ketinggian di ujung utara kampung.
Zendeling Kelling berjasa
memimpin banyak upaya pertolongan ketika kejadian dengan dibantu 30 orang
lainnya.
Mengisi kekosongan
pemerintahan, setelah musyawarah, pada tanggal 1 April 1871 Jogugu Christijan (Christiaan)
Mattheosz yang selamat dari bencana, ditunjuk menjadi pemangku fungsi raja.
Musyawarah tersebut dihadiri Kontrolir F.S.A.de Clercq yang dikirim khusus oleh
Residen Manado untuk melakukan inspeksi akibat kerusakan letusan Gunung Ruang.
Christijan Mattheosz
kemudian dipilih sebagai raja 23 Januari 1875, dan dilantik Residen
Manado Mr.Samuel Corneille Jan Wilhelm van Musschenbroek di Manado sebagai Raja
Tagulandang dengan meneken acte van
verband dan bevestiging tanggal 6
Agustus 1875. Beslitnya dari Residen Manado 7 Oktober 1874 nomor 154, dan
peneguhan dari Gubernur Jenderal J.W.van Lansberge 24 Oktober 1876 bernomor 54.
Raja Christijan
Mattheosz memerintah hingga tahun 1885. Ia digantikan oleh Raja Laurens Jacobs,
dari dinasti Jacobs.
Namun, Raja Laurens
Jacobs memerintah singkat sekali, karena meninggal dunia. Namanya tidak pernah
tercatatkan di almanak resmi pemerintah Hindia-Belanda.Tapi disebut jelas pada
akte konfirmasi dari Raja Salmon Bawole.
MINTA BERHENTI
Salmon Bawole dipilih
menggantikan Raja Laurens Jacobs yang meninggal. Pertama pada tanggal 24
November 1885 di Taruna (Tahuna) bersama mantrinya ia meneken kontrak politik.
Kemudian pelantikannya di Tagulandang dengan acte van verband dan bevestiging
28 November 1885.
Untuk pertama
kalinya, ia diberikan gelar kebesaran Paduka Raja. Raja Salmon Bawole baru diteguhkan dengan turunnya beslit
dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda O. van Rees 6 September 1888.
Gereja di Tagulandang masa Salmon Bawole. *) |
Di kontrak 29 pasal dengan Residen
Jhr.Johannes Cornelis Wilhelmus Adrianus van der Wijck 24 November 1885, yang
juga telah melantiknya sebagai raja, Tagulandang kembali ditegaskan sebagai
milik Belanda dan dipinjamkan kepada Salmon Bawole.
Total pajak Tagulandang masih tetap
sama seperti kontrak 1860, yakni 100 gulden per tahun, dengan besaran 1 gulden
tiap rumah tangga atau dipertukarkan barang produksi. Begitu pun persentase
hasil pajak untuk raja dan mantri masih sama, meski tanpa jatah untuk jogugu.
Dengan kontrak
tersebut, perdagangan budak pun dilarang secara resmi, termasuk mengimpor atau mengekspornya.
Begitu pun dilarang melakukan pelecehan terhadap orang-orang bebas atau orang
merdeka (bekas budak) dan anak-anak mereka.
Raja sendiri masih
menerima upah dari pungutan zeepas,
tapi, dibatasi pada variasi 5 sampai 12 gulden untuk jenis kapal kora-kora dan sopeh, serta 0,50 sampai 5 gulden untuk klas lloto (bloto), tombilang
dan londeh. Dari penangkapan ikan,
raja berhak mendapatkan sirip dari semua hiu yang ditangkap. Kemudian, sangat
dilarang di kalangan penduduk untuk pergi memancing tripang di Pulau Pasige,
karena menjadi milik raja. Izin dapat diberikan oleh raja pada pembayaran 10
sampai 12 gulden.
Penduduk pun harus
memberikan raja setiap tahun dari setiap kebun satu gantang padi dan satu kula
minyak. Raja berhak atas 25 orang pekerja pinontol
per hari. Untuk president raja dibatasi 10 pria, jogugu 7 pria dan setiap
kapitein laut 2 orang tiap harinya. Pekerja untuk raja wajib mendayung perahu
ketika dia bepergian.
Di masa Raja Salmon Bawole, dengan
keputusan Residen Manado Marinus Cornelis Emanuel Stakman dalam pertemuan
dengan raja-raja Sangihe dan para kepala Talaud di Lirung 15 September 1889, daerah
taklukan Tagulandang di Pulau Karakelang dibentuk sebagai satu distrik (Pulutan).
Distriknya dibagi dua wilayah jogugu yakni Pulutan dan Lehang, dengan Jogugu
Pulutan bertitel President, sementara kepala kampung seragam bertitel kapitein laut.
Keputusan tersebut untuk mengakhiri pemakaian dan penjualan banyak gelar (disebut
Residen Jansen harga pangkat) oleh para raja terhadap kepala-kepala di Talaud.
President Jogugu di
Pulutan ketika itu adalah Sasohlok dan Jogugu Lehang bernama Ralendeng.
Kejoguguan Pulutan mencakupi 4 kampung: Pulutan, Bawalanga, Bune dan Bawangbaru
(Bowongbaru). Sementara kejoguguan Lehang terdiri kampung Lehang, Alumu dan
Aloh.
Raja Salmon Bawole
masih meneken tambahan kontrak 17 Oktober 1890 dengan Residen Stakman. Lalu 28
September 1894 dan 26 November 1899, masing-masing dengan Residen Eeltje Jelles
Jellesma.
Dengan kontrak
terakhir (meski resminya mulai berlaku 1895) penduduk Tagulandang berusia 18
tahun ke atas mesti membayar pajak rumah tangga yang juga disebut Hasil sebesar
2,50 gulden per tahun dan untuk penduduk di wilayah yang ada di Talaud 1 gulden.
Total pajak
Tagulandang adalah 3.476 gulden di tahun 1895. Antaranya dari penduduk Pulutan
108 gulden dan Lehang 145 gulden.
Raja dan mantri tetap
memperoleh sepersepuluh bagian pendapatannya. Persentase untuk raja 3/10,
jogugu 2/10 dan kapitein laut 5/10.
Penduduk Landschap
Tagulandang tahun 1900, sebanyak 6.000 jiwa, dengan 3.306 orang Kristen. Di
Pulau Biaro, dihuni sekitar 700 penduduk, dipimpin kepala, seorang Kapitein
Laut.
Raja Salmon Bawole
kemudian minta berhenti. Permintaannya disetujui dengan beslit gubernemen Hindia-Belanda
28 April 1901 nomor 24.
Laurentius Manuel
Tamara, terpilih bulan Agustus 1901 menggantikan Salmon Bawole. Ia dilantik di
Tagulandang oleh Kontrolir Afdeeling
Sangi-en Talauereilanden Hendrik Frederik Nikolaas Roskott mewakili Residen
Manado, sebagai raja dengan meneken akte van verband tanggal 24 Maret 1902, dan
memperoleh pengukuhan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda W.Rooseboom dengan
beslit 12 Juni 1902 nomor 39. Gelarannya adalah Paduka Raja. Ia telah duduk
sebagai anggota Landraad Manado sejak 7 April 1889.
Raja Laurentius Tamara dengan keluarga dan mantrinya. *) |
Landschap Tagulandang
dalam tambahan kontrak 3 Desember 1901 yang diteken Raja Laurentius Tamara
terdiri Pulau Tagulandang, Dikai, Pasige, Ruwang, Biaro, Salangka, Seha,
Sehakadio dan Tanungkeoang. Sementara di Kepulauan Talaud kejoguguan Pulutan dan
Lehang, serta dua pelabuhan Tagulandang dan Minanga (seperti disebut dalam
kontrak November 1899), dimana pengaturan pelabuhan, polisi pelabuhan dan hak
untuk memungut bea pelabuhan diambilalih pemerintah kolonial.
Raja Laurentius
Manuel Tamara meneken kontrak tambahan dengan Kontrolir Sangi-en Talaut- eilanden Cornelis Antoon Nieuwenhuijsen 30
November 1905. Penduduk di Tagulandang yang berusia 18 tahun ke atas tambah dibebani
pajak sebesar 4 gulden, sementara di Talaud tetap 1 gulden per tahun.
Kenaikan pajak
terhitung 1 Januari 1905, dari semula hanya 2,5 gulden itu, karena masing-masing
wajib pinontol diharuskan membayar tambahan pajak berupa uang pokok sebesar 1
gulden per tahun yang disimpan oleh Kontrolir di Taruna. Kemudian pula uang kas
(wangkas) 0,25 gulden yang disimpan kontrolir
pula sebagai kas landschap (rijkkas).
Dari sini kelak, raja dan mantri utamanya digaji.
Sebaliknya pelayanan
pinontol untuk raja dan jogugu (tidak ada lagi president raja) dibatalkan. Terkecuali
dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah tinggal dari raja dan mantri, masih tetap
dibantu oleh penduduk yang tidak dibayar. Juga dalam perjalanan dinas, mereka
dibantu termasuk sebagai kuli dan pendayung dalam pekerjaan yang tidak dibayar.
Hanya kapitein laut yang tetap memiliki sejumlah pinontol yang ditentukan banyaknya
oleh Residen Manado. Jumlahnya juga tidak kurang dari 2 dan tidak lebih dari 5
orang tergantung banyaknya wajib pinontol dari kampung bersangkutan.
Total pajak
Tagulandang di tahun 1906 adalah 6.982 gulden. Sangat memberatkan rakyat, meski
tergolong paling sedikit dibanding kerajaan lain yang ada di Kepulauan Sangihe.
Raja Laurentius
Tamara masih meneken korte verklaring
(pernyataan singkat) uniform model 16
November 1910 bersama mantrinya.
Dengan deklarasi (verklaring)
15 Mei 1912 klaim dan wilayah Tagulandang yang berada di Kepulauan Talaud
berakhir. Dua wilayahnya, Pulutan dan Lehang, diserahkan kepada pemerintah
Hindia-Belanda yang kemudian memasukkan ke dalam kejoguguan Zuid Karakelang (Karakelang Selatan).
Demikian pun dengan wilayah taklukan dari kerajaan Siau, Tabukan,
Kandhar-Taruna dan Manganitu yang ada di Kepulauan Talaud. Semua wilayah
tersebut kelak disatukan menjadi Landschap Kepulauan Talaud (Talaud-eilanden), dipimpin Dewan Jogugu (raad van djogoegoe atau landsgrooten) 27 Maret 1916, kemudian seorang
Raja sejak 8 September 1921 ketika Julius Sario Tamawiwij dilantik menjadi Raja
pulau-pulau Talaud dengan meneken akte van verband.
Seperti Raja Salmon,
Raja Laurentius Manuel Tamara minta berhenti, dan disetujui gubernemen Hindia-Belanda
17 September 1912 dengan beslit nomor 23. Penggantinya adalah Cornelius
Tamalero(h), yang sementara menjabat sebagai Jogugu Minanga.
Cornelius Tamalero
(namanya sering ditulis pula Tamarelo) mulai memerintah Tagulandang sejak tanggal
1 November 1912 setelah meneken korte verklaring model seragam. Ia memperoleh
pengukuhan dari Gubernur Jenderal A.F.W.Idenburg dengan beslit 1 April 1913
nomor 23. Gelarannya adalah Paduka Raja.
Di masanya, tanggal
29 Mei 1914 Gunung Ruang kembali meletus. Selain lava, melemparkan material
batu dan debu. Akibatnya merusak hampir semua rumah di Tagulandang. Lebih
seratus rumah dilaporkan roboh.
Raja Cornelius Tamalero
mengikuti jejek dua raja yang digantikannya. Setelah 5 tahun memerintah, ia
minta berhenti, dan disetujui bulan Februari 1917.
Raja Siau Anthonie
Jafet Kansil Bogar ditunjuk Residen Manado sebagai pemangku sementara Raja
Tagulandang. Meski yang resmi menjalankan pemerintahan sehari-hari di
Tagulandang adalah Jogugu Johannis Manosoh.
Ketika meninggal 12
November 1918, Raja Kansil Bogar digantikan saudaranya A.D.Laihad, Jogugu Ulu
yang juga memangku sementara posisi Raja Tagulandang. Ia menjabat hingga 7
Februari 1921 ketika digantikan Lodewijk Nicolaas Kansil, juga untuk sementara
bertanggungjawab menjalankan fungsi Raja Tagulandang.
Setelah lebih lima
tahun tanpa raja, Hendrik Philips Jacobs, keturunan dinasti Jacobs, dilantik
menjadi Raja Tagulandang 8 Desember 1922 dengan meneken korte verklaring model
seragam. Seperti raja-raja lain ia memperoleh gelaran khas Paduka Raja.
Ia memperoleh
pengukuhan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda D.Fock 17 Juni 1923 nomor 12.
Raja Hendrik Philips
Jacobs kelak merangkap sebagai pemangku sementara Raja Siau April 1929 hingga 16
September 1930, setelah pengasingan Raja Lodewijk Nicolaas Kansil untuk masa
empat tahun di Parigi Sulawesi Tengah. Raja Hendrik Philips Jacobs terkenal ketika
itu karena menjadi salah satu dari 3 anggota Majelis Adat (Adat-rechtbank) yang tahun 1929 menyidangkan perkara Raja Kansil
bersama Raja Kandhar-Taruna Christiaan Ponto dan Raja Tabukan Willem Alexander
Sarapil (baca pula Tiga Raja Sangihe dan Resident Schmidt).
Raja telah memperoleh
gaji dari uang kas onderafdeeling sebesar 350 gulden per bulan (dikorting 17
persen). Masih ditambah tunjangan untuk biaya perjalanan dan akomodasi. Selain
raja, Jogugu Minanga memperoleh gaji termasuk ongkos perjalanan dan akomodasi.
Di Tagulandang tidak
ada lagi jabatan mantri, selain satu jogugu tersebut. Kepala kampung yakni kapitein
laut tetap memperoleh upah dari tagihan pajak.
Sejak tahun 1921 Zendeling
Tagulandang adalah W.Grau dari Sangi en Talauer-comite. Tanggal 7 Oktober 1924 ia
hilang di laut dalam perjalanan ke Pulau Biaro bersama Penolong Injil Tiendas
berasal Tomohon.
Tanggal 25 Agustus
1930 untuk jasa pengabdiannya, Raja Hendrik Jacobs menerima penghargaan bintang
emas kecil (kleine gouden ster) voor trouw en verdienste.
Masanya, sejak awal
1930-an di Tagulandang berkembang pergerakan kebangsaan yang berhembus dari
Siau, di bawah Gustaf Ernest Dauhan dengan PNI kemudian Partai Indonesia (PI
atau Partindo). Melalui berkala ‘Pertimbangan’ yang dipimpinnya, Dauhan
bersengketa dengan Raja Tagulandang yang menolak keberadaan Partindo di
Tagulandang.
Persoalan kemudian
berbuntut hingga ke pengadilan. Dengan tuduhan menghasut dan menghina raja,
Dauhan pada Mei 1934 sampai dihukum penjara satu tahun oleh pengadilan kolonial.
Raja Hendrik Philips
Jacobs berhenti atas permintaan sendiri awal bulan Maret 1936. Anaknya Willem
Philips Jacobs menggantikannya. Namun, posisinya sebagai akting (waarnemend) raja atau regent atau wakil
raja.
Kebijakan pertama
pejabat raja baru di awal tahun 1939 adalah melarang lewat ‘titah raja’ lebih
sepuluh ribu penduduknya mengkonsumsi gula dan teh, karena pertimbangan
penghematan.
Kue kering pun
ditabukan apabila disiapkan dari tepung. Disarankan pada perayaan pesta oleh
penduduk cukup dengan menyediakan lemper dan sejenisnya, sementara untuk ulang
tahun sekedar minum. Menu pokok yang diresepkan adalah kiha.
Kondisi ekonomi Tagulandang
saat itu memang parah, setelah beberapa tahun terakhir harga kopra anjlok
hingga tingkat terendah. Sementara penduduk dituntut harus membayar pajak.
Tapi, justru banyak suratkabar
di Batavia (Jakarta) mengkritik kebijakannya secara pedas. Pejabat raja disebut
terlalu khawatir dan bertindak demikian untuk lancarnya pemasukan pajak dari
penduduk. Sementara di seluruh tanah jajahan ketika itu tengah gencar
dianjurkan penduduk untuk lebih banyak mengkonsumsi gula dan teh.
Penduduk Landschap Tagulandang
dicatat Ensiklopedia Hindia-Belanda 1939 sebanyak 10.967 pribumi, 433 Cina, 1
timur asing (vreemde oosterling), total 11.401 jiwa. Di Pulau Biaro, terdapat
tiga kampung, yakni Biaro, Karungo dan Buang, sementara pulau vulkanik Ruang
tidak berpenghuni. Begitu pun dengan Pulau Pasige, tapi sering didatangi
nelayan yang mengambil tripang. Ruas jalan hanya dua di Pulau Tagulandang. Satu
di sepanjang pantai, dan satunya di seberang, dari Minanga-Boweleu-Tagulandang.
Jalan pesisir antara Tagulandang dan Haas lumayan untuk kendaraan.
Wakil Raja Willem
Philips Jacobs ditahan Jepang bersama raja-raja lain dituduh pro-Belanda dan
dipancung di Tahuna 19 Januari 1945. Meski ada versi lain pula terjadi 7 Juli
1942, atau juga 9 November 1944. Ikut dibunuh Jepang adalah jogugunya
B.L.P.Jacobs (baca juga: Misteri Kematian Raja-raja dan Tokoh Satal).
Paul Adriaan Tiendas,
anak Penolong Injil Tiendas, diangkat Jepang menjadi Syutjo (raja) 1944. Kemudian pemerintahan Tagulandang dijalankan Jogugu
Hermanus Obed Hamel 1946. ***
Inilah Raja-raja Tagulandang
Lohoraung, Ratu Putri
Balango, Raja
Bawias, Bawiose,
(Anthony Bapias), Raja 1664-1675.
Monia, President Raja, 1675-September 1677.
Philip Anthonisz, Raja, 1675/29 Juni 1684-14 Maret 1715.
Dengan Regent Jogugu Jacobus Totuho dan Kapitein Laut Cornelis Franz.
Kemudian Regent Jogugu Joan Abbema dan Manuel Fransz hingga 1684.
Manuel Fransz, Jogugu,
sebagai Regent 1715-1724.
Philip Ratimanikis, Raja 17 Agustus 1724-1754.
Kapitein Laut, Regent Oktober 1733-27
Januari 1734.
Andries Tamarol, Raja 16 Agustus 1754-1782.
Cornelis Tamarol, Raja 20 Juni 1782-1798.
Philips Jacobsz, Raja 1798-1820.
Johannis Philips Jacobsz, Raja 1820-1842.
Frederik Philips Jacobsz, Raja 1842-1854.
Lucas Jacobsz, Raja 2 September 1854-3 Maret 1871.
Christijan (Christiaan)
Mattheosz, Jogugu, Regent 1 April
1871-Oktober 1874.
Raja 7 Oktober
1874/23 Januari 1875-1885.
Laurens Philips Jacobs, Raja, 1885.
Salmon Bawole, Raja 28 November 1885/6 September 1888-28
April 1901.
Laurentius Manuel Tamara, Raja 24 Maret
1902/20 Juni 1902-17 September 1912.
Cornelius Tamalero, Raja 1 November 1912/1 April 1913-Februari
1917.
Anthonie Jafet Kansil Bogar, dari Siau, pemangku
sementara Februari 1917-12 November 1918, dengan Jogugu Johannis Manosoh
sebagai pelaksana sehari-hari.
Anthonie Dulage Laihad, dari Siau, pemangku sementara
November 1918-Februari 1921.
Lodewijk Nicolaas Kansil, dari Siau, pemangku
sementara 7 Februari 1921-8 Desember 1922.
Hendrik Philips Jacobs, Raja 8 Desember 1922/17 Juni 1923-Maret
1936.
Willem Philips Jacobs, Pejabat Raja 1936-1944.
Paul Adriaan Tiendas.
Hermanus Obed Hamel.
Raja lain
(versi
Pigafetta dan Valentijn)
Babintan, Raja November 1521.
Roytelet, Raja 1606.
*). Foto dari Het Sangir-en Talaut-comite,
Lichtstralen, 5de aflevering 10e jaargang, dan Maritiem Digitaal Belanda.
LITERATUR
Almanak van Nederlandsch-Indie/Regerings Almanak, 1856, 1858, 1862,
1867, 1871, 1873, 1879, 1880, 1887, 1890, 1892, 1901, 1903, 1906 dan 1911. Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin.
Brumund, J.F.G. Indiana, P.N.van Kampen,
Amsterdam, 1854.
Delpher Kranten, Bataviaasch Handelsblad 1871, Provinciale
Noordbrantsche en ‘s Hertogenboscsche Courant 1871, Bredasche Courant 1914, Het
Nieuws van den Dag 1924, De Indische Courant 1936, De Sumatra Post 1934 dan 1939.
Jansen, A.J.F., Rapport
Resident Menado 12 Agustus 1857, dalam Explanation of the Netherlands
Government in reply to a request made on December 21,1926 by the arbitrator in
the dispute concerning the Island of Palmas (or Miangas), The Hague, 1927.
Snelleman, Joh.F. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie 1905, vierde deel, ‘s-Gravenhage-Leiden, Martinus Nijhoff-E.J.Brill,
1905.
Staten Generaal
Digitaal, Overeenkomsten met Inlandsche
Vorsten in den Oost-Indischen Archipel, dan Koloniaal Verslag.
Steller, E. De
Sangi-Archipel, H.de Hoogh, Amsterdam, 1866.
Stibbe, D.G. dan Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, achtste deel, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1939.
Van de Velde van Cappellen, S.D., Verslag eener Bezoekreis naar de Sangi-Eilanden, Mededeelingen van
wege Nederlandsche Zendelinggenootschap, eerste jaargang, M.Wijt&Zonen,
Rotterdam, 1857.
Waal, E.de, De
Sangir-eilanden in 1825, Indisch Magazijn, ter Lands Drukkerij, Batavia, 1844.