Senin, 01 Oktober 2018

Kerajaan Siau Tempo Dulu.
Raja Jeronimo yang Saleh








                  Oleh: Adrianus Kojongian





PENGANTAR

Sejarah Siau adalah kisah kecemerlangan salah satu kerajaan tertua di Sulawesi Utara. Selama ini seakan semuanya sudah terpapar dan gamblang. Namun, ternyata, masih banyak misteri, dan kisah serta fakta yang belum terungkap dan sirna dalam banyak tulisan yang beredar tentangnya selama ini. Kecemerlangan yang dilembari perjuangan panjang menentang kolonialisme Belanda dan klaim tidak berdasar Sultan Ternate-- meski ironinya dengan pertolongan Portugis dan kemudian Spanyol yang sangat –sangat tidak memadai. Pembuangan dengan tipu daya sebanyak 446 orang penduduknya ke Pulau Ai di Kepulauan Banda Maluku menjadi tragedi memilukan dan luka mendalam di hati penduduknya yang menyebabkan Siau menjadi kerajaan paling akhir yang ditaklukkan Belanda di kawasan Provinsi Sulawesi Utara.



Peta Sangihe dari Pigafetta. *)


Siau, tempo dulu banyak ditulis Siao, Sjauw, Syao,Tsjau, Cio, Cau, Cauw, Chiauw atau Ciauw. Antonio Pigafetta penulis penjelajah Ferdinand Magelhaes menyebutnya Ciau. Sementara surat-surat para misionaris Jesuit yang pernah berkarya di pulau yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Siau-Tagulandang dan Biaro, menulis Siau dalam terjemahan Latin Sichaonia atau pula membahasakannya sebagai Sion.

Tradisi Siau menyebut Lokombanua lah raja pertama, disebut memerintah sekitar tahun 1510 atau 1520-an di Paseng, sekarang kelurahan di Kecamatan Siau Barat. Salah seorang menantunya adalah Mahadija Ponto (Mahadiaponto) yang mengawini Basilawewe. Mahadiaponto berasal Kepulauan Talaud, sehingga sejak itu Siau memiliki koloni di Talaud, yakni Pulau Kabaruan.

Belum diketahui pasti siapakah Raja Siau Ponto yang dicatat Pigafetta di bulan November 1521 --bersamaan waktu dengan tradisi menyebut Lokombanua lah raja ketika itu. Apakah Ponto dimaksud Mahadiaponto, atau menurut sejarawan Satal adalah menantu lain Lokombanua, yakni Kolano Kolongan Pontoralage yang mengawini Dolonsego.

Kemungkinan terakhir tidak berdasar, karena selain Raja Ponto dan Raja Babintan di Tagulandang, Pigafetta masih mencatat empat raja lain di Sangihe Besar. Keempat raja di Sangihe Besar tersebut adalah Raja Matandatu, Raja Lalagha atau Laga, Raja Bapti dan Raja Parabu. Raja Lalagha kuat dugaan identik dengan Pontoralage, menantu lain Lokombanua; sementara Matandatu mungkin pula Kolano Tabukan, kakek Makaampo.

Sisa armada Magelhaes setelah sang penjelajah terbunuh di Filipina, dengan dipimpin Juan Sebastian del Cano (Elcano) pada awal November 1521 berada di Kepulauan Sangihe-Talaud dari Sarangani dalam perjalanan ke Tidore dan Ternate. Kapal Spanyol tersebut melalui jalur pulau-pulau yang masuk Siau dari Tabukan, pulau-pulau yang ditulis Pigafetta sebagai Cheama (Kalama), Carachita (Karakitan), Para (Para) dan Ssanghalum (Sengelon).

Siau pun sempat disinggahi salah satu kapal dari armada Ruy Lopez de Villalobos yang dipimpin Garcia d’ Escalante pada awal Juni 1544.

Dari tradisi, Raja Lokombanua digantikan oleh putranya bernama Posumah.

Sebuah versi ditulis B.C.A.J.van Dinter tahun 1899, Lokombanua yang hidup di paruh kedua abad ke-16 adalah kepala suku (staamhoofd) Siau yang pertama. Dua putranya berseteru memperebutkan tahta. Penduduk pantai barat Siau dengan pusat kekuatan di Ondong mendukung Posumah putra kedua. Sementara penduduk pantai timur di Ulu mendukung kakaknya bernama Angkumang, beralasan sebagai putra tertua Angkumang yang berhak menggantikan ayahnya.
 
Karena tidak ada kesepakatan, terjadi perang yang membagi Pulau Siau menjadi dua bagian, memisah Ondong dan Ulu dari Tanjung Pihise di dekat Liwua ke Nameng di pantai utara.

Pertempuran menentukan berlangsung di Liwua, dimana Posumah menang dan diakui sebagai raja dengan gelar datu dan berkedudukan di Ulu, sedangkan Angkumang sebagai kepala kedua dengan gelar Jogugu di Ondong, mesti membayar pajak dan menjadi bawahan raja di Ulu.
 
Tapi Dinter menyebut rebutan tahta di antara kedua bersaudara ini terjadi setelah Lokombanua meninggal. Sementara berdasar catatan dari padri Jesuit Pedro Mascarenhas, ayah Raja Posumah --meski tidak disebut namanya--masih hidup di tahun Posumah digulingkan, bahkan kemudian dibaptis Kristen Katolik pula.

Berbeda kerajaan lain di Sangihe Besar yang berada di bawah supremasi Ternate, Siau tidak pernah dapat dikuasai, seperti halnya kerajaan lain di Kepulauan Sangihe.

Ketika Sultan Hairun mengirim armada ke Sulawesi Utara bulan Mei 1563 di bawah putranya Baabullah, Portugis di bawah Komandan Henrique de Sa segera mendahului dengan mengirim ekspedisi terdiri dua kora-kora.

Bertujuan mencegah pengaruh politik dan agama dari Ternate, Rektor Jesuit di Ternate Padri Marcos Prancudo mengirim Padri Diego (Didacus) Magelhaes (Magelhaen, Magellanes) yang baru tiba dari Ambon untuk ikut ekspedisi. Sebelumnya di Ternate telah datang utusan yang meminta tenaga misionaris.

Kora-kora Portugis tiba di Manado bulan Mei 1563 mendahului Baabulah. Padri Diego Magelhaes setelah membaptis Raja Manado dengan 1.500 rakyatnya pergi ke Pulau Siau.

Raja Posumah dipuji sebagai orang yang sangat saleh menunjukkan keinginan besar untuk dibaptis. Ia telah dibaptis bersama Raja Manado dengan nama Don Jeronimo (banyak ditulis pula sebagai Hieronymus atau Geronimo).Ia berhasil mengajak Raja Kolongan (kelak Taruna atau Tahuna) sekeluarga ikut dibaptis, bahkan bersama dengannya turut memikul salib besar di Kolongan.

Raja Don Jeronimo dicatat memiliki 6.000 prajurit dan pulaunya berpenduduk sebanyak 25.000 jiwa. Untuk penggembalaan, Pater Magelhaes dalam suratnya 28 Juli 1563, meminta seorang pastor untuk Siau.

Tapi Katolik tidak serta merta diterima. Raja yang ingin menerapkan aturan-aturan Kristen menurut petunjuk padri, mendapat tentangan dari rakyatnya. Pemberontakan terjadi, dan seorang diangkat pemberontak menjadi raja baru di ibukota Passem (Paseng).

Menurut Padri Pedro Mascarenhas dalam surat 6 Maret 1569, di tahun 1564, semua rakyat menentang Don Jeronimo, sehingga raja melarikan diri. Hanya satu negeri kecil yang tetap setia kepadanya, dimana raja bersama ayahnya, saudara laki-laki dan putranya yang masih kecil mengungsi.

Di pengungsian, Don Jeronimo merasa tidak aman. Ia berangkat ke Ternate, meminta bantuan Portugis untuk merebut kembali wilayahnya. Bantuan sulit diperolehnya, sehingga selama empat tahun ia mesti tinggal di pengasingan, di benteng Portugis, di kediaman dari para pater Jezuit.

Ternyata, di kalangan pemberontak terjadi perpecahan. Kecewa dengan raja baru yang diangkat, sebagian dari mereka kemudian kembali ke pihak raja. Mereka mengirim delegasi ke Ternate memintanya untuk kembali.

Tanggal 24 Agustus 1568 Don Jeronimo bertolak dari Ternate dengan satu galjoot bantuan Komandan Portugis Goncalo Pareyra (Pareira) Marramaque di bawah pimpinan Lourenco Furtado yang disertai Padri Pedro Mascarenhas untuk membantu pemulihan wilayahnya. Ia dijanjikan Pareyra bantuan besar ketika armadanya datang untuk menyerang Spanyol di Filipina.

Tiba di Manado, diketahui situasi di Siau masih sangat panas. Penduduk terbagi dua kubu, pemberontak dan pendukung Don Jeronimo yang dipimpin oleh ayahnya, raja tua.

Raja Jeronimo ternyata pengasih dan berbudi. Ia tidak menghukum para pemberontak yang kembali atau menyerah, tapi memaafkan mereka. Serangan pasukan Furtado dan pendukung raja tidak dapat mengalahkan sisa pemberontak yang ketika diserang banyak mundur ke gunung. Ibukota Paseng masih dikuasai pemberontak.

Menunggu bantuan tentara dari Pareyra, sementara waktu Raja Jeronimo tinggal di negeri berbenteng berpenduduk 800 jiwa yang dikuasai oleh seorang sepupunya. Gedung gereja dibangun dan ayahnya dibaptis Pater Mascarenhas.

Bulan Januari 1569, dua kapal Portugis dari armada Pareyra yang kembali dari Filipina di bawah pimpinan Mende Orneles datang di Siau. Orneles menawari raja bantuan yang diterima Don Jeronimo dengan rasa syukur.

Pemberontak dan negeri-negeri yang mendukung benar-benar dikalahkan. Terakhir ibukota ditaklukkan. Raja Don Jeronimo berkuasa kembali, dan doktrin Katolik dapat diterapkan dengan leluasa.

Ketika Mascarenhas kembali ke Ternate bulan Februari 1569 dengan kapal Orneles, ia membawa Don Joao, putra sulung raja yang berusia 9 tahun. Don Joao dibesarkan dan dididik di College (Seminari) Ternate oleh para pater Jesuit.

Gejolak politik di Maluku membawa pengaruh besar bagi penduduk Kristen di Siau. Kekuasaan Portugis hancur setelah pembunuhan Sultan Hairun dan pembalasan putranya Baabullah yang bersumpah tidak akan beristirahat sebelum Portugis terakhir pergi. Benteng Portugis di Ternate ditaklukkan 1574, sehingga pindah di Tidore.

Pekerjaan misi Jesuit di Siau jadi terbengkalai. Dalam suratnya 12 Mei 1581 Pater Bernardino Ferrario menulis Pulau Siau dan Sangihe masih wilayah Kristen, tapi diakuinya, ‘’mereka hanya nama Kristen, karena dalam sepuluh atau dua belas tahun tidak dikunjungi.’’

Baru tahun 1585 seorang padri ditempatkan di Siau. Rogerio Conradi (Rogier Koenraads) asal Vlaming tinggal di Siau dengan menyewa rumah dari penduduk. Upayanya membangun gereja gagal hingga kepergiannya tiga tahun kemudian.

Raja Don Jeronimo meninggal tahun 1587, ketika bagian selatan Pulau Sangihe Besar yang dimiliki Siau dikuasai oleh Ternate. Kemudian armada Sultan Baabullah dengan dibantu 3.000 prajurit menyerang Siau. Ibukota Siau dihancurkan. Ternate dilaporkan mengambil sekitar 80 orang tahanan.

Perang penghancuran yang dilancarkan Sultan Baabullah melawan Portugis berdampak luas bagi pengembangan Kristen. Pemimpin misi Padri Antonio Marta melaporkan tahun 1587 masih ada 1.400 orang Kristen di Siau dan sebuah kampung Kristen kecil di Pulau Sangihe, tapi Kekristenan di Sulawesi hilang.

Tahun 1588 ditempatkan kembali di Siau Padri Franciscus de Croce asal Italia yang bekerja hingga meninggal di Siau 1590. Kemudian Padri Antonio Pareyra (Antonius Pareira) asal Portugis.

Putra Don Jeronimo, yakni Don Joao alias Wuisang yang berusia 18 tahun (versi lain 22 tahun) yang mendapat didikan para padri di Ternate, kembali dan diangkat menjadi Raja Siau yang baru. Namun, Don Joao meninggal setelah hanya memerintah singkat, tidak lebih tiga tahun.

Adiknya Winsulangi yang bernama Kristen Jeronimo seperti ayahnya mulai memerintah sejak tahun 1590, ketika kesultanan Ternate sangat mengancam kerajaan Siau.

Padri Antonio Pareyra berpengaruh besar di masa pemerintahan Don Jeronimo. Ia tiba di Tidore awal tahun 1588, dan memulai kerja misi tahun 1592 di Siau. Setahun kemudian ia ke Manila, dan kembali ke Siau 1596 hingga pindah di Ambon lalu Tidore 1600, dan kembali ke Siau 1604.

VASSAL SPANYOL
Seperti kakek dan ayahnya, Don Jeronimo (II) sia-sia berharap bantuan Portugis, sehingga berpaling pada orang-orang Spanyol (sejak tahun 1581 Portugis bersatu dengan Spanyol dibawah Raja Felipe atau Philips II).

Di tahun 1593 Raja Don Jeronimo bersama Pemimpin Misi Tidore Padri Antonio Marta asal Italia dan Antonio Pareyra pergi ke Manila meminta bantuan Spanyol untuk menghadapi Ternate. Tanggal 28 Juni ia tiba di Manila dan bertemu Gubernur Gomez Peres Dasmarinas yang sementara menyiapkan armada untuk persiapan ekspedisi ke Maluku.

Tanggal 16 Agustus 1593 Raja Siau meneken kontrak politik dan menjanjikan kepada Raja Spanyol, Siau menjadi wilayah vassalnya. Gubernur Gomez Perez Dasmarinas bertindak sebagai wakil dari Raja Spanyol Don Felipe, sementara Padri Antonio Pareyra penerjemah.

Selain Dasmarinas sebagai Kurator Ordo Santiago, Gubernur dan Capitan General Kepulauan (Filipina), ikut meneken Padri Antonio Marta Superior Jesuit Maluku, Padri Antonio Pareyra, Kapten dan Sersan Mayor Pedro de Chaues, serta Kapten Pedro Sarmiento.

Dalam bahasa Siau, pernyataan yang diberi tanggal 12 Juni 1593 ditandatangani oleh ’Vasallen dari Raja Spanyol dan Portugal Don Pedro Siao, Thome Mangapa, Don Martin, Socapitan mayor de la mar (Kapitein Laut), Manuel Sarbeja, Francisco Papamdodoras Mananca, Don Antonio Sangajes dan Don Duarte.

Namun, bantuan dari Spanyol juga sia-sia, setelah Gubernur Dasmarinas terbunuh 25 Oktober 1593. Raja Jeronimo kembali ke Siau dengan sangat kecewa akhir bulan Desember 1593. Bantuan yang diminta dari putra dan pengganti Dasmarinas, yakni Don Luis Perez Dasmarinas tidak kunjung datang pula. ***



*). Peta dari buku Pigafetta.


LITERATUR
Alderley, Lord Stanley of, The First Voyage Round the World Magellan, London, Hakluyt,1874. Internet  Archief.
Brilman, D. De Zending op de Sangi-en Talaud-Eilanden, 1938. Delpher Boeken.
Coleccion de documentos ineditos para la historia de Espana, Google books.
de la Conception, P.Fr.Juan, Historia General de Philipinas, tomo VI,1788. Google Books.
Dinter, B.C.A.J.van, Eenige geographische en ethnographische aanteekeningen betreffende het eilad Siaoe, Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XLI, 1899.
Chirino, Pater (Pedro), Labor Evangelica Ministerios Apostolicos, Madrid 1660. Google Books
Tiele, Dr.P.A.De Europeers in den Maleischen Archipel,
 Acehbooks.
Valentijn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam 1724.
Visser MSC, B.J. Onder Portugeesch-Spaansche Vlag, de Katholieke Missie van Indonesia 1511-1605, Amsterdam 1925.
Wessels,SJ, P.Cornelio, Catalogus Patrum et Fratrum e Societate Iesu Qui in Missione Moluccana, Archivum Historicum Societatis Iesu 1, 1932.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.