Oleh: Adrianus Kojongian
Tagulandang, pulau di
Kabupaten Kepulauan Siau-Tagulandang dan Biaro, sempat menjadi kerajaan maritim
besar di belahan utara Sulawesi. Cakupan luas kerajaannya sebelum digabung
negara kesatuan Republik Indonesia meliputi pulau-pulau: Tagulandang, Pasige
(Pasigi), Ruang (dengan gunung apinya yang berkali meletus) dan Biaro. Kemudian
pulau-pulau kecil Selangka, Seha, Sehakadio, Batutombonang, Kauhagi dan
Tandukuang. Di utara berbatas kerajaan Siau, timur dengan Laut Maluku. Selatan
Selat Bangka dan Talise; serta sebelah barat dengan Laut Sulawesi.
Dari tradisi,
kerajaan Tagulandang yang disebut Mandolokang atau oleh penulis Barat banyak
ditulis Pangasar, Pangasare atau Panggasane atau juga Panguisara, didirikan dan
pertama diperintah oleh Ratu Putri Lohoraung. Sang ratu dihikayatkan berasal
Pulau Manado Tua (Babontehu).
Kemudian awal abad
ke-17, cucunya Balango menjadi raja menggantikannya. Balango dihadis sebagai anak
Wuatangsembah (Pahawuateng) dengan Tasikoa. Wuatangsembah sendiri adalah anak
dan pengganti Makaampo sebagai Raja Tabukan.
Sekitar tahun 1649, Bawias
atau Bawios atau Bawiose, anak Raja Tabukan Uda (Don Fransiscus Makaampo)
memerintah Tagulandang setelah mengawini Putri Tagulandang Ngijan Dampilan.
Kepada putranya, Raja Uda yang merupakan cucu dari penakluk Talaud Makaampo memberikan
sebagai hadiah perkawinan negeri-negeri: Pulutan, Dahan, Kalumu, Bohonbaru dan
Nunu yang berada di Pulau Karakelang Kepulauan Talaud.
Hadis Tagulandang
mencatat Bawios sebagai anak Raja Uda dengan Dolontego, putri Raja Balango,
sehingga ia masih terhitung cucu Balango
Catatan tertua yang menerakan
Tagulandang adalah dari tulisan Antonio Pigafetta. Sisa-sisa awak kapal Ferdinand
Magelhaes (Fernando Magellan) yang dipimpin Sebastian de Elcano pada awal
November 1521 berada di Kepulauan Sangihe-Talaud.
Pigafetta menyebut
Raja Tagulandang yang ditulisnya sebagai Paghinzara, bernama Babintan.
Meski tidak ada
rujukan lain tentang Raja Babintan, tapi, ini menandakan bahwa kerajaan
Tagulandang sebenarnya sudah lama berdiri. Bahkan jauh-jauh hari sebelum Ratu
Putri Lohoraung yang ditradisikan baru berkuasa sekitar tahun 1590-an.
Tahun 1544, salah satu kapal dari armada penjelajah Spanyol terkenal Ruy Lopez de Villalobos, di bawah Kapten Garcia d'Escalante yang berlayar dari Tidore pada 28 Mei, tiga hari kemudian tiba di Tagulandang, di negeri Minanga. Kelak dari Filipina ia kembali lagi di tahun sama. Kepala negeri Minanga bernama Banbusarribu telah memintanya untuk membantu mengalahkan negeri lain di pulau itu yang kemudian ditaklukkan d'Escalante.
Tahun 1544, salah satu kapal dari armada penjelajah Spanyol terkenal Ruy Lopez de Villalobos, di bawah Kapten Garcia d'Escalante yang berlayar dari Tidore pada 28 Mei, tiga hari kemudian tiba di Tagulandang, di negeri Minanga. Kelak dari Filipina ia kembali lagi di tahun sama. Kepala negeri Minanga bernama Banbusarribu telah memintanya untuk membantu mengalahkan negeri lain di pulau itu yang kemudian ditaklukkan d'Escalante.
Kemudian, di tahun
1606, ketika Raja Tagulandang yang dicatat Valentijn dengan nama Roytelet
bersama putrinya meminta dan kemudian dibaptis Kristen Katolik oleh Pater
Jesuit Antoni Pereira di Siau. Raja Tagulandang dan putrinya datang ke Siau
untuk urusan pernikahan dengan Raja Siau. Kepada Pater Antoni Pereira, Raja
Tagulandang menjanjikan bahwa semua rakyatnya akan menjadi Kristen asalkan padri
tersebut datang ke pulaunya.
Pater Antoni(us)
Pereira, asal Portugis bertugas di Siau tahun 1604-1606. Sementara Raja di Siau
bernama Hieronymus atau Jeronimo (2), adalah anak Posumah, Raja Siau yang telah
dibaptis Pater Diego Mascarenhas 1563 serta memakai nama Hieronymus (1). Raja Hieronymus
(2) berkuasa sejak 1590, dan dalam tradisi Siau disebut Jeronimo Winsulangi.
Sayang tidak disebut nama
Kristen yang telah dipakai oleh Raja Roytelet setelah dibaptis Pater Antoni
Pareira, atau apakah ia identik dengan tokoh Balango yang selama ini banyak ditradisikan
berkuasa di Tagulandang sejak tahun 1609. Sebab, tahun 1606 adalah masih masa
pemerintahan Lohoraung. Sedangkan raja dari versi tersebut adalah seorang pria.
Begitu pun agama
Katolik, tidak diketahui apakah sempat berkembang ketika itu. Namun, menilik
nama-nama raja, sangat tidak terdampak seperti Siau, Tabukan,Taruna (Tahuna) atau
pun Manganitu yang raja-rajanya banyak memakai gelaran Don atau nama berkesan
Portugis atau pun Spanyol sampai Kompeni Belanda berkuasa.
Tagulandang sendiri oleh
Kesultanan Ternate dianggap sebagai kerajaan bawahan. Banyak kerajaan di
Sulawesi Utara diklaim sudah sejak abad ke-16 berada di bawah supremasi Ternate.
Kontrak yang diteken
Laksamana François Wittert dengan Ternate Juli 1609, sebagai penegasan
konvensi pertama 26 Mei 1607, telah menyebut Pangasare atau Tagulandang sebagai
kerajaan di bawah mahkota Ternate, termasuk Sangihe.
Maka, sejak kontrak
tersebut, dengan dalih sebagai ‘pelindung’ Ternate termasuk kewajiban untuk membantu
melawan orang-orang Spanyol yang diberikan Sultan Ternate, dimana kontraknya mencakup
semua kerajaan di bawah Ternate; Kompeni Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) telah menggunakan pengaruh
kuat untuk monopoli perdagangan dan membangun koloni. Pendekatan ditempuh dengan
memelihara dan giat menjalin hubungan persahabatan sekaligus hubungan politik
dengan penduduk di Sangihe, termasuk dengan Tagulandang.
Gubernur Maluku Wouter
Seroyen bahkan di tahun 1646 telah membangun garnisun militer di Tagulandang.
Ia pun memerintahkan penduduk untuk menanam cengkih (nagelboomen).
Cengkih Tagulandang
telah terkenal sejak lama. Karena orang-orang Spanyol di Siau pertama
memperolehnya dari Tagulandang, seperti dicatat Ds.Gualterus Peregrinus.
Tanaman cengkih Tagulandang tahun 1653 diberantas seperti di tempat lain dalam
wilayah Gubernemen Maluku atas perintah Gubernur Jacob Hustaard. Valentijn
mencatat di tahun 1680 ditemukan kembali
satu pohon cengkih yang telah ditebang. Kemudian pula ditemukan tahun 1683 menurut
missive Gubernur Jenderal Cornelis Speelman 19 Maret 1683.
Delegasi Tagulandang
giat pula berkunjung ke Ternate, pertanda besarnya hubungan khusus Tagulandang
dengan Kompeni Belanda. Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker 24 Desember 1655
mencatat kedatangan orang-orang Tagulandang ( juga Tabukan) ke Ternate.
Bahkan, sebelumnya
pada 11 Mei 1664 Raja Tagulandang sendiri muncul di Ternate, dengan menggunakan
perahu.
Di tanggal 23 Juni
1664 (versi lain 21 Juli) Raja Tagulandang telah meneken kontrak politik dengan Kompeni Belanda diwakili Gubernur Maluku Anthony van Voorst. Ini
menjadi langkah berani Tagulandang, juga pertanda begitu longgarnya ikatan
antara Ternate dan Tagulandang.
Kontrak tersebut
menjadi perjanjian yang pertama terjadi dalam sejarah kerajaan-kerajaan di
Kepulauan Sangihe dan Talaud.
Di balik itu, kekuatan
gabungan Belanda dengan Sultan Ternate berkali dikerahkan untuk mengusir
Spanyol yang sejak 1580 bersatu dengan Portugis. Sehingga di tahun 1663 hanya
Siau yang didudukinya, setelah sebelumnya terusir dari Ternate dan Tidore. Pos terakhir
Spanyol di benteng Santa Rosa Siau itu pun ditaklukan tahun 1677.
Gubernur Robertus Padtbrugge
kemudian melakukan kontrak dengan para raja di antero Sangihe, termasuk
Tagulandang dan Siau. Kerajaan-kerajaan tersebut dinyatakan menjadi milik
Kompeni, dan dikembalikan kepada para raja sebagai pinjaman. Klausal penting
lain adalah tidak mentolerir agama selain Protestan yang direformasi menurut
doktrin Sinode Dordrecht; serta tidak menerima di kerajaannya Spanyol,
Portugis, Perancis, Inggris, Denmark dan Swedia.
Klaim Ternate baru resmi
berakhir, ketika Sultan Amsterdam (Kaitjil Sibori) yang ditahan Kompeni Belanda
meneken kontrak 7 Juli 1683 di Kastil Batavia. Dengan kontrak tersebut, Ternate
menjadi bagian sepenuhnya sebagai wilayah Belanda. Otomatis pula menurut
Kompeni Belanda wilayah klaim mahkotanya.
RAJA BAPIAS
Kristen Protestan telah
berkembang di Tagulandang ketika Raja Tagulandang dan sejumlah penduduknya memeluk
agama Kristen. Daghregister Batavia 1664 mencatat Raja Tagulandang bersama
istrinya telah dibaptis oleh Predikant Ternate Ds.Sibelio (Petrus Sibelius),
bersama 152 orang dewasa dan 31 anak-anak.
Meski tidak menyebut
nama raja, tapi dapat dipastikan kalau raja dimaksud adalah Bawias atau Bawioso.
Nama serani yang dipakainya adalah Anthony (Anthonie atau Anthonisz) Bapias
atau menurut Valentijn Anthoni Bapeas.
Tidak disebutkan
tempat pembaptisan dilangsungkan. Tapi, kuat dugaan di Ternate, karena Raja Tagulandang
berada di Ternate dari 11 Mei hingga akhir bulan Juni ketika ia meneken kontrak
politik dengan Kompeni Belanda.Ia sendiri memakai nama Anthony, menurut nama depan Gubernur Anthony van Voorst.
Yang menarik, karena
Daghregister mencatat sang raja ketika itu masih berusia muda, sehingga bisa
jadi ia belum lama naik tahta kerajaan. Mantan Residen Manado A.J.F.Jansen
mencatat dalam raport 12 Agustus 1857 kalau Raja Bawias baru memerintah pada
tahun 1664.
Kemungkinan ketika
berada di Ternate, meski telah naik tahta jauh-jauh hari sebelumnya, Raja
Bawias meminta untuk dinobatkan oleh Kompeni Belanda. Hal yang banyak dilakukan
oleh raja-raja di Sulut dan Gorontalo ketika itu.
Tahun 1675,
berkunjung di Tagulandang Predikant Jacobus Montanus yang melakukan pembaptisan
kudus. Ds.Montanus mencatat dalam raport bulan November, di Tagulandang terdapat
satu gereja. Kemudian satu sekolah dipimpin guru David Jacobsz, yang telah ditempatkan
oleh Predikant Fransiscus Dionysius sejak 1674; dengan murid sekolah sebanyak
50 anak. Juga 30 anak baptis, 15 orang tua dibaptis serta 30 wanita yang telah
katekisasi.
Raport Ds.Gualterus
Peregrinus Agustus 1676, sekolah di Tagulandang telah dipimpin oleh guru
Andries Furtados, dengan 22 murid sekolah, 73 orang dibaptis dan 4 pasangan
dikawinkan. Sementara guru David Jacobz pindah mengajar di Minanga.
MONIA
Tahun 1675 Raja
Anthony Bapias mangkat. Karena putranya masih muda, pemerintahan Tagulandang dijalankan
oleh Monia yang menurut jurnal Gubernur Robertus Padtbrugge adalah raja. Meski
disebut Predikant Montanus dan Peregrinus, hanya sebagai President atau Raja
Pengganti (substituut-koning),
seperti diakui sendiri oleh Monia ketika dipilih setelah kematian Raja Anthony
Bapias.
Menurut Ds.Montanus
di tahun 1675, Monia bertempat tinggal di negeri Tagulandang, sedangkan Jogugu
Joan Abbema di negeri Minanga.
President Monia
meninggal bulan September 1677, sebelum berlangsung penandatanganan kontrak
Tagulandang dengan Kompeni Belanda. Ia masih menulis surat terakhir per tanggal
16 September 1677, dan membahasakan diri sebagai President.
Perjanjian
Tagulandang berisi 13 artikel (pasal) dengan Kompeni Belanda di bawah Gubernur
Padtbrugge yang mewakili Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker berlangsung 9
November 1677 (dari rangkaian kontrak yang dibuat Padtbrugge dengan raja-raja
Sangihe selang 3 November-20 Desember). Meski ada versi perjanjian Tagulandang
baru diteken pada 20 Desember. Klausal-klausal kontrak tersebut mengikat
Tagulandang sebagai vassal dari Kompeni.
Kontrak kerajaan
Tagulandang diteken oleh Jogugu Jacobus Totuho, Jogugu Joan Hofman Batansuko,
Kapitein Laut Cornelis Franx, Hukum Petrus Casaheyn, Sangaji Minanga Claes
Papene, serta Sangaji Pedro Macasa.
RAJA PHILIP ANTHONISZ
Philip Anthonisz atau
ditulis Valentijn Philip Antoniszoon, anak Anthony Bapias, yang muda usia (masih
di bawah umur), belum dinobatkan memerintah sepeninggal ayahnya atau President
Monia. Pemerintahan sehari-hari sepeninggal Monia dijalankan oleh Regent, yakni
Jogugu Jacobus Totuho dan Kapitein Laut Cornelis Franz (Fransen). Keduanya disebut
pula menjadi regent masa akhir pemerintahan President Monia.
Jogugu Jacobus Totuho
yang sudah berusia tua, sebelumnya beragama Islam, tapi sejak tahun 1673 masuk
Kristen. Famnya dicatat Padtbrugge sebagai Tontuo, atau disebut juga Tontaco,
atau menurut Ds.Montanus, Tenthuhon.
Gubernur Padtbrugge sangat
tidak menyukai sang raja muda. Apalagi raja tersebut menderita penyakit kulit
yang parah, bahkan Padtbrugge menyebutnya lazerij,
yang kemudian dikutip pula oleh Gubernur Jenderal Cornelis Speelman 19 Maret
1683.
Namun, Komandan
Garnisun Tagulandang Sersan Joannes van der Linden menyerahkan kepada
Padtbrugge surat yang berisi kehendak terakhir President Monia tanggal 16
September 1677. Isinya adalah permintaan untuk mempertahankan sang raja muda.
Meski demikian, Padtbrugge
tetap menghormati raja muda ini. Seperti kepada raja dan mantri lain di Kepulauan
Sangihe atau di Sulawesi Utara dan Gorontalo yang dikunjungi dalam ekspedisinya
(16 Agustus-23 Desember 1677); pada hari Rabu 3 November 1677 Padtbrugge
menghadiahkan raja muda berbagai tanda mata ‘kehormatan’. Kain bethilles dari Coromandel India model
jilbab atau turban, selimut dari Surats India, salpicados, parcalla putih
dari Coromandel, dan topi coddebeij
dari Normandia. Termasuk mantri bobato (rijksgrooten),
kepada dua orang Jogugunya (8 ellen
sergie merah), Kapitein Laut (3 ellen sergie merah), Hukum (2 ps cheuvonys putih), Kapitein dan
Sangaji (4 ps cheavonys putih).
Untuk pemecahan
masalah raja, solusi yang ditawarkan oleh Gubernur Padtbrugge kepada Jogugu
Totuhu adalah raja yang masih muda dan belum berpengalaman, akan tinggal dan
dididik di Benteng Malayu yang menjadi tempat kediaman Gubernur Maluku di
Ternate. Lamanya, setidaknya selama dua tahun.
Raja muda, menurut
Padtbrugge, akan ‘dijinakkan dan ditundukkan’ selagi masih muda, sebelum
terlambat. Sehingga, nanti akan layak memerintah. Selain itu, penyakitnya akan
diobati.
Gubernur
Jenderal Rijcklof van Goens 13 Februari 1679 mencatat perawatan terhadapnya. Sedangkan
Gubernur Jenderal Cornelis Speelman 19 Maret 1683 mengungkap penyakit Raja
Tagulandang telah disembuhkan. Di Ternate, ia diajarkan dalam agama Kristen
bersama Raja Tabukan Jacobus Marcus Lalero yang tahun sebelumnya mengganti
ayahnya Fransiscus Makaampo.
Didikan dan
pengobatan rupanya berhasil, karena Raja Philip Anthonisz di masa berikut
sangat dipujikan para Gubernur Maluku.
Model pendidikan kepadanya,
tahun 1687 telah diterapkan pula pada putera mahkota Siau Pangeran Xavier
(Jacobus Xavier), anak Raja Fransisco Xavier (Don Francisco Xavier Batahe) yang
berusia 9 tahun. Ia dikostkan di rumah Gubernur Maluku Johannes Cops di Ternate
hingga usia 14 tahun, ketika dilantik sebagai Raja Siau di Ternate 1692.
Awal
tahun 1684, untuk penobatan secara resmi, Raja Philip Anthonisz yang bergelar
Aralungnusa bersama bobatonya berangkat ke Ternate. Ia meminta persetujuan
Gubernur dan Direktur Maluku Jacobus Lobs untuk melantiknya..
Gubernur Lobs
memanfaatkan peluang tersebut agar Raja Tagulandang meneken kontrak baru. Maka,
bertempat di Kastil Orange Ternate tanggal 29 Juni 1684, Raja Philip Anthonisz
meneken kontrak berisi 19 pasal dengan Lobs sebagai wakil dari Gubernur
Jenderal Joannes Camphuys. Dengan demikian pula, Philip Anthonisz dinobatkan
sebagai Raja Tagulandang.
Bobato yang ikut
bertanda pada kontrak tersebut adalah Jogugu Joan Abbema dan Manuel Fransen
serta Sangaji Mathias dan Frans Clasen.
Raja Philip Anthonisz
membangun gereja yang baik serta pemeliharaannya di Tagulandang. Ia pun
mengembangkan sekolah, dipimpin guru muda yang tahun 1683 telah dilatih di
Ternate. Salah satu dari 7 guru asal Sangihe hasil didikan Ternate itu, yakni
Francisco Matbons ditempatkan di Minanga. Sekolah di Tagulandang tahun 1689
memilki 117 siswa, sementara di Minanga 40 anak.
Gubernur Jenderal
Joannes Camphuys memuji Raja Philip Anthonisz. Dalam missive 26 Maret 1691,
Camphuys menyebut sang raja telah melakukan yang terbaik. Ia melakukan
perbaikan Kastil Orange dan bangunan lain di Ternate.
Pos militer Kompeni
di Tagulandang tahun 1691 itu dipimpin oleh Kopral Jacob Jojeus. Sejak tahun
1682 garnizun Tagulandang tinggal dipimpin oleh komandan setingkat kopral.
Tahun 1695,
Tagulandang dicatat memiliki 3 orang guru di dua sekolah, serta dua gereja
dengan 1.764 orang Kristen, 148 murid dan 53 anggota sidi. Kemudian terjadi
‘penurunan’, karena Ds.Arnoldus Brands tahun 1705 mencatat hanya satu gereja
dan satu sekolah di Tagulandang, dengan penduduk Kristen di negeri Tagulandang
sebanyak 1.590 orang dan 18 anggota sidi, sementara di Minanga terdapat 320
orang Kristen dan 7 anggota sidi. Jumlah siswa 150 anak, dengan sekolah di
Tagulandang 130 murid.
Tagulandang di masa
Raja Philip Anthonisz, seperti Siau, Tabukan, Kandhar (Kendahe), Taruna (Tahuna)
dan Manganitu memasok kepada Kompeni Belanda ratusan kendi minyak kelapa. Kalau
ditotal bersama-sama berjumlah tiga ribuan, termasuk pasokan kapur dan kayu.
Bahkan, di tahun 1682 penyetoran minyak kelapa mencapai puncaknya sebanyak
sepuluh ribu kendi berasal ketiga pulau tersebut.
REBUTAN TAHTA
Tanggal 14 Maret 1715
Raja Philip Anthonisz meninggal dunia, seperti dicatat surat resmi Gubernur
Jenderal Christoffel van Swoll 28 November 1715. Terjadi kekosongan
pemerintahan, sehingga ditunjuk mantri utama, yakni Jogugu Manuel Fransz,
dibantu Kapitein Laut Martijn Babole (Bawole?) untuk mengemudikan kerajaan.
Masalah suksesi
Tagulandang sampai berlarut-larut. Van Swoll mencatat 30 November 1716
kedatangan para kepala Tagulandang di Ternate menyoal pengangkatan raja. Kemudian
30 November 1717 ia menyebut adanya saran tertulis berbahasa Melayu dari Raja
Siau (Daniel Jacobsz bergelar Lehintundali), Raja Kaidipang (Willem Korompot) dan
Raja Tabukan (Jacobus Marcus Lalero) ketika berada di Ternate tentang pemilihan
Raja Tagulandang.
Pengganti van Swoll,
Gubernur Jenderal Hendrik Zwaardecroon dalam missive 6 Desember 1718 mengungkap
pemerintahan Tagulandang masih dijalankan sementara oleh Jogugu Manuel Fransz
(Fransen). Sang Jogugu kelak dinyatakan Zwaardecroon 30 November 1722 sebagai
tidak dapat diandalkan.
Dalam surat
Zwaardecroon 30 November tersebut, diungkap pula penunjukan Pangeran Philip
Anthonisz Makaampo anak Pangeran Tabukan Mattheus Makaampo dan cucu Raja
Fransiscus Makaampo, sebagai Raja Tagulandang yang baru.
Namun, ternyata
pemilihan Makaampo tidak dikehendaki oleh penduduk Tagulandang. Karena mereka
lebih menginginkan Pangeran Philip Ratumaniki atau Rattemaniki atau ditulis
pula Ratimanikis sebagai raja.
Siapa Pangeran Philip
Rattemaniki tidak ada data penjelasan. Tapi, pasti adalah kerabat dekat mendiang
Raja Philip Anthonisz dan berhak pula duduk di tahta Tagulandang. Kemungkinan
besar adalah kemenakan.
Begitu pun tidak ada
data resmi yang menyamakan Pangeran Philip Ratumaniki, dengan Johannis Anthonie
(Anthonisz) berjuluk Manihise atau dalam tradisi Tagulandang dikenal dengan
nama Johannis Batahi Jacobus Manihise, putra bekas Raja Siau Jacobus Raramo
(Raramenusa) dengan saudara wanita Raja Philip Anthonisz bernama Belisehiwu.
Kakak Raja Siau Daniel Jacobsz ini banyak dihadiskan berkuasa di Tagulandang sebagai
pengganti Raja Philip Anthonisz.
Tapi, julukan
Manihise memang punya kemiripan dengan nama Ratumaniki atau Ratimanikis dalam
dokumen resmi Belanda yang ada.
Surat Zwaardecroon tanggal
28 Maret 1724 masih menyebut pertanyaan menyangkut suksesi Tagulandang di antara
Pangeran Philip Ratumaniki atau Pangeran Philip Makaampo yang belum diputuskan.
Bahkan Ratumaniki dan
Makaampo pun, diungkapkannya, sama-sama memperebutkan tahta Tabukan,
sepeninggal Raja Jacobus Marcus Lalero (Dalore). Keduanya mengklaim berhak
menjadi rajanya.
Jalan tengah kemudian
diambil oleh Kompeni Belanda. Pangeran Philip Anthonisz Makaampo 10 Februari
1724 dilantik menjadi Raja Tabukan menggantikan pamannya Jacobus Marcus Lalero.
Sementara Pangeran Philip Ratumaniki tanggal 17 Agustus 1724 diangkat sebagai
Raja Tagulandang dengan meneken kontrak baru.
Menurut surat
Zwaardecroon 30 November 1724, pengangkatan Pangeran Philip Ratumaniki tersebut
setelah hampir 11 tahun Tagulandang tanpa seorang raja.
Raja Philip
Ratumaniki kemudian memerintah dengan mulus. Tahun 1726 Gubernur Jenderal
Mattheus de Haan melaporkan Raja Tagulandang membayar 12 musket (senapan) dengan 576 kendi minyak kelapa.
Namun, jabatan Raja
Philip Ratumaniki awal Oktober 1733 dibekukan. Gubernur Jenderal Dirk van Cloon
22 Desember 1733 menyebut Raja Tagulandang ditangguhkan jabatannya selama satu
setengah tahun karena masalah 75 orang budak. Pemerintahan untuk sementara
waktu diserahkan kepada Kapitein Laut.
Ketika itu, raja-raja
di Sangihe, Siau, Tagulandang hingga di pantai barat laut Sulawesi banyak
bersengketa soal budak.
Ternyata, penangguhan
jabatan Raja Philip Ratumaniki tidak berlangsung lama. Surat resmi dari Ternate
kepada rijksgroten (mantri) Tabukan mengembalikan martabat dan kehormatan
rajanya pada 27 Januari 1734.
Raja Philip
Ratumaniki meninggal tahun 1754. Missive Gubernur Jenderal Jacob Mossel 31
Desember 1754 mencatat terpilihnya Kapitein Laut Andries Tamarol sebagai Raja Tagulandang
menggantikannya.
Andries Tamarol
dilantik resmi menjadi Raja Tagulandang tanggal 16 Agustus 1754. Ia meneken
kontrak baru dengan Kompeni Belanda 9 April 1755.
Sepeninggalnya,
Andries Tamarol digantikan anaknya Cornelis Tamarol yang naik tahta 20 Juni
1782 dengan meneken bevestiging dan
pembaruan kontrak yang dibuat ayahnya tahun 1755. ***
*). Lukisan koleksi
Maritiem Digitaal Belanda.
LITERATUR
Alderley, Lord Stanley of, The First Voyage Round the World Magellan, London, Hakluyt,1874. Internet Archief
Brilman,D. De
Zending op de Sangi-en Talaud-Eilanden, 1938.
Coolhaas, Dr.W.Ph. Generale Missiven van
Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII, deel III,
1656-1674, deel
IV 1675-1676, deel V 1686-1697, deel VII 1713-1724; deel VIII 1725-1729; deel
IX 1729-1737, dan deel XII 1756-1761. Resources.huygens.knaw.nl.
Daghregistergeh Batavia 1664. ANRI.
Heeres, Mr. J.E. Corpus Diplomaticum
Neerlando-Indicum, eerste deel
(1596-1650), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsche-Indie, deel LVII, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1907.
Heeres, Mr.J.E. dan
Dr.F.W.Stapel, Corpus Diplomaticum
Neerlando-Indicum, derde deel
(1676-1691), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsche-Indie, deel 91, ‘s-Gravenhage,
Martinus Nijhoff, 1934.
Het Journal van
Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677), Bijdragen tot
de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1867.
Jansen, A.J.F., Rapport Resident
Menado 12 Agustus 1857, dalam Explanation of the Netherlands Government in
reply to a request made on December 21,1926 by the arbitrator in the dispute
concerning the Island of Palmas (or Miangas), The Hague, 1927.
Staten Generaal
Digitaal, Overeenkomsten
met Islandsche Vorsten in den Oost-Indischen Archipel.
Stibbe, D.G. dan
Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen, Encyclopaedie van
Nederlandsch-Indie, achtste deel,
‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1939.
Tiele, P.A. De Europeers in
den Maleischen Arcipel, Acehbooks
Valentyn, Francois, Oud en Nieuw
Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam,
1724.
Van de Velde van
Cappellen, S.D., Verslag eener
Bezoekreis naar de Sangi-Eilanden, Mededeelingen van wege Nederlandsche
Zendelinggenootschap, eerste jaargang, M.Wijt&Zonen, Rotterdam, 1857.
Van der Aa, Robide, De Vermeestering van
Siau door de Oost-Indische Compagnie, Bijdragen tot de Taal-Land-en
Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, ‘s Gravenhage, Martinus
Nijhoff, 1867.
Van der Chijs,
Mr.J.A. Inventaris van ‘s
Lands Archief te Batavia (1602-1816), Batavia, 1882,
Koleksi ANRI.
Visser, MSC, B.J. Onder
Portugeesch-Spaansche Vlag, de Katholieke Missie van Indonesie
1511-1605, Amsterdam 1925.
Wessels,SJ, P.Cornelio, Catalogus Patrum et
Fratrum e Societate Iesu Qui in Missione Moluccana, Archivum Historicum
Societatis Iesu 1,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.