Oleh: Adrianus Kojongian
Laksamana Muda K.Hamanaka, Residen (Tidji) Manado. *) |
Pembunuhan
para raja dan tokoh masyarakat Sangihe-Talaud di Bungalawang Tahuna masa
penjajahan Jepang menyimpan banyak misteri yang sampai saat ini belum terungkap
jelas. Sejumlah penulis, saksi mata, bahkan keturunan dari para korban
bersilang pendapat kapan tepatnya tragedi mengenaskan itu terjadi. Ada
memastikan kejadiannya berlangsung tahun 1942, lalu 1944 dan paling banyak
berpendapat di tahun 1945. Tanggal-tanggalnya bervariasi 7 Juli 1942, 25
Agustus 1942, 9 November 1944, Desember 1944 dan terbanyak tanggal 19 Januari
1945.
Jumlah
korban dan siapa-siapa yang dipancung pun dipertentangkan. Beberapa kalangan
memastikan sepuluh orang yang dipenggal kepalanya, tapi banyak pihak dan saksi
mata menyebut lebih. Bahkan sebelum eksekusi mereka, di Bungalawang (kini
kelurahan di Kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe) pada hari bersamaan Kempetai (polisi militer) Tahuna terlebih
dulu telah mengeksekusi satu keluarga besar terdiri 30 orang berasal dari Tabukan.
Pendapat
seragam adalah korban terkenal yang dibunuh bersamaan, yakni: Raja Kandhar-Taruna (Kendahe-Tahuna) Engelhard Bastiaan, Pejabat Raja Tagulandang Willem Philips Jacob
Simbat, Raja Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis, Raja Talaud P.G.Koagouw, mantan Raja Kandhar-Taruna Christiaan Nomor Pontoh, Jogugu (sebutan Kepala Distrik) Kendahe Anthoni, Jogugu
Manalu (Tabukan Selatan) Karel Patras Macpal, serta istri dokter Gyula Cseszko
bernama Emma Rosza Haday von Oerhalma, tenaga Zending di Tahuna Sangihe-Talaud asal Hongaria
Eropa.
Ada
menambahkan yang dieksekusi hari itu pun termasuk sang dokter sendiri (meski
ditolak anak-anaknya dan saksi mata lain yang memastikan dokter Gyula tewas
dalam kamp interniran di Tondano). Lalu terdapat nama guru agama G.Tatengkeng,
kepala negeri Buang Kaliapas Jacobs yang versi lain telah dibunuh 25 Agustus
1942, Jogugu Tagulandang B.Jacobs, Jogugu Manganitu B.L.P.Jacobs (versi lain
1942); Jogugu Tamako H.J.P.Macahekum (selain versi Desember 1944). Kemudian
ada Jogugu Ondong E.Marthing, Jogugu Taidi dan W.A.Kansil, ipar Raja Manganitu
Willem Mocodompis yang memimpin Komite Nasional Siau. Data Belanda masih menambahkan
nama B.Hengkenbala, seorang Bootsman
(kepala kelasi) KM Eiland Tahuna dari kesatuan KM-KNIL yang dieksekusi 19
Januari 1945.
Raja Willem Mocodompis dan Ratu Ella. *) |
Raja
Kandhar-Taruna Engelhard Bastiaan masih muda. Ia menduduki tahtanya Agustus
1941 dalam kedudukan sebagai pejabat lalu definitif dengan menggantikan ayahnya Albert Abast Bastiaan yang wafat 11 Juni 1941. Raja yang
memperistri wanita berfam Parengkuan dari Minahasa itu, saat Jepang berkuasa sedari
Mei 1942 hingga Juli 1943 dipercaya menjalankan pemerintahan di bekas Onderafdeeling Sangihe en Talaud-eilanden
yang sebelumnya dikendalikan Kontrolir J.G.H.Kramps dan Kontrolir
W.Langendonk. Lalu dengan tuduhan dibuat-buat ia ditangkap Kempetai. Ada versi, posisi Syutjo (sebutan raja di masa Jepang) itu tidak lama dipegang,
karena ia disebut sudah dieksekusi di tahun 1942 juga.
Willem Philips Jacobs Simbat menjadi pejabat Raja Tagulandang sejak tahun 1939, menggantikan ayahnya Hendrik Philips Jacobs yang mengundurkan diri Maret 1936.
Raja Levinus
Israel Petrus Macpal dari kerajaan Tabukan kelahiran tahun 1 Mei 1891 adalah anak
mantan Jogugu Manalu (Tabukan Selatan). Ia menjabat Jogugu Tabukan Selatan
ketika naik tahta menggantikan raja sebelumnya Willem Alexander Kahendake
Sarapil yang diberhentikan dan diasingkan Belanda ke Kolonedale Sulawesi Tengah.
Pengangkatannya sebagai raja setelah meneken akte van verband 15 September 1930, dan sebelumnya telah bertindak sebagai pejabat raja diangkat Residen Manado April1929.
Raja
Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis kelahiran 11 Juni 1877
memerintah sejak 1905 sebagai President Pengganti Raja, lalu definitif raja 9 Maret 1910 setelah meneken korte verklaring dan dibeslit 6 Juni 1911. Ia anak mantan
raja Manganitu Manuel Soaha ‘Hariraya’ Mocodompis yang memerintah 1864-1880. Ia
memindahkan ibukotanya ke Tamako tahun 1916. Dianggap mampu, ia pun dipercaya
merangkap jadi pejabat Raja Tahuna periode 1928-1930, dan menerima bintang jasa
penghargaan dari Residen Manado tanggal 19 Mei 1936. Permaisuri (Boki)nya adalah Ella Louise Kansil (12
April 1890-Jakarta 2 Mei 1969), putri mantan Raja Siau Lodewijk Kansil. Putri
mereka Yolanda Wilhelmina Joachine Mocodompis (Manganitu 10 Januari 1910-Tahuna
20 November 1986) meraih gelar meester in
de rechten (Mr, sarjana hukum) dari Universitas Leiden Negeri Belanda.
Menurut keluarganya, Raja Willem Mocodompis ditangkap Kempetai bulan Desember
1944 dengan tuduhan mata-mata Sekutu, dipenjarakan sebulan, lalu dieksekusi
pancung tanggal 19 Januari 1945 di Tanjung Tahuna bersama mantan Raja Tahuna
Christian Pontoh, Raja Tahuna E.Bastiaan, Raja Tabukan Levinus Macpal serta 6
orang tokoh lainnya.
Christiaan
Nomor Pontoh adalah tokoh politik terkenal dari Tahuna. Mantan raja lulusan Hoofdenschool (Sekolah Raja) Tondano dan Middelvare Landbouwschool Buitenzorg 1909 ini
pernah dipilih menjadi anggota Volksraad
(Dewan Rakyat, DPR Hindia-Belanda) tahun 1920-1924 duduk di 'fraksi' Christelijk-Ethische Partij. Tanggal 13 Desember 1923 ia memperoleh Ridder in de Orde van Oranje-Nassau. Semula berkedudukan sebagai Jogugu, lalu mengganti ayahnya Salmon Ponto yang mengundurkan diri, sebagai pejabat raja Februari 1914, lalu dinobatkan Paduka Raja Kandhar-Taruna 21 Desember 1916. Pada 14 Mei 1930 diberhentikan Belanda, dan diasingkan selama 3 tahun di Luwuk Sulawesi Tengah, dan baru kembali di Tahuna
tahun 1933.
W.A.Kansil,
seorang pejuang yang memimpin Komite Nasional Siau (KNS). Dalam kapasitas
demikian tanggal 11 Desember 1941 ia mengambilalih kekuasaan di Siau dari
tangan Belanda. Jepang kemudian menunjuknya sebagai koordinator pemerintahan di
Satal sampai diambilalih Kenkanrikan
(Asisten Residen) Hirano. Setelah Raja Willem Mocodompis ditahan, ia ditunjuk
sebagai Wakil Syutjo (wakil raja) Manganitu di Tamako menggantikan iparnya
tersebut (yang resmi disebut pengganti sebagai raja adalah Jogugu Manganitu
Alexander ‘Ambong’ Ambrosius Darondo). Di tahun 1945 Kansil ditangkap dengan
tuduhan terlibat pemberontakan di Sangihe Besar serta dieksekusi mati.
R.G.Koagouw,
Raja Talaud, adalah ambtenar
(pejabat) kolonial berasal Minahasa. Semula ia menjabat sebagai Bestuur Asistent, posisi penting dibawah
komando langsung Kontrolir, ditempatkan di Sulawesi Tengah. Kemudian oleh Residen Manado M.van Rhijn tahun 1939 diangkat menjadi pejabat Raja Kepulauan Talaud menggantikan Metusala Sario Tamawiwij,
raja sebelumnya yang diberhentikan.
Dokter
Gyula Cseszko kelahiran tahun 1902 asal Hongaria, diutus tahun 1931 oleh lembaga
gereja bekerja sebagai tenaga dokter Zending di Sangihe. Ia dibantu istrinya Emma
Rosza Haday von Oerhalma (kelahiran 1907). Dirintisnya rumah sakit yang dinamai Liung
Kendage yang pembangunannya dimulai tanggal 10 Januari 1933. Di masa kesulitan
besar, bersama istrinya tetap berkarya. Namun dengan tuduhan memiliki bendera Belanda,
dituduh melakukan kontak dengan Sekutu serta konon pernah meneriakkan ‘Hidup
Ratu’ (Ratu Belanda Wilhelmina), tanggal 29 Maret 1944 ditangkap Kempetai. Menurut
putrinya yang juga bernama Emma, saksi melihat dokter tersebut di Airmadidi ketika
diseret dari mobil, dan sebulan kemudian ada di penjara Tondano. Ia meninggal
di sana setelah luka parah terkena pecahan bom yang dijatuhkan Sekutu. Istri
dokter Gyula, yakni Emma Rosza masih tetap bekerja di rumah sakit setelah
suaminya ditangkap. Dipercaya beberapa staf tidak menyukai diperintah wanita
kulit putih dan menyebar sas-sus ia memiliki radio yang sebenarnya tidak
dipunyainya. Tanpa periksa, tanggal 8 Agustus 1944 ia diciduk Kempetai Tahuna
dan disiksa bahkan disirami air keras dan dipukuli. Anak gadisnya Emma yang
berulangtahun ke-13 diambil dari perawatannya. Lalu tanggal 9 November 1944 (catatan
keluarganya) dipenggal di Tanjung Tahuna bersama para tokoh Satal lain.
Dr.Gyula Cseszko bersama Emma von Oerhalma dan para perawat. *) |
KISAH CARLOS MAKAGANSA
Carlos
Makagansa sepintas tidak berkaitan dengan peristiwanya. Apalagi ia adalah penduduk Kelurahan Kamasi
Kecamatan Tomohon Tengah Kota Tomohon. Mantan polisi ini bahkan belasan tahun bekerja
sebagai perangkat di Tomohon hingga pensiun sekretaris kelurahan di
Paslaten Tomohon.
Sebagai
asli orang Sangihe kelahiran Soataloara (kini kelurahan di Tahuna) tanggal 22
Agustus 1929, ia mengaku sebagai saksi mata, satu dari hanya dua orang saksi
mata tragedi berdarah yang menewaskan raja-raja, para bangsawan dan istri
dokter Gyula tersebut. ‘’Yang melihat banyak orang, meski sembunyi-sembunyi
karena takut, tapi itu ketika mereka dibawa dari kantor Kempetai. Sebab, di
lokasi Bungalawang hanya 2 orang yang melihat. Saya dan Kopral Wangkai,’’
ungkapnya.
Sayang
Carlos tidak mengingat persis lagi tanggal kejadiannya, namun ia yakin peristiwa itu terjadi
di tahun 1942. ‘’Saya saat itu baru 12 tahun, tapi dipercayai Jepang. Apalagi
saya sedikit tahu bahasa Jepang, belajar pada mata-mata Jepang yang membuka
toko Futaba dan kursus bahasa Jepang di Tahuna sebelum pecah Perang Dunia II.’’
Menurutnya,
para korban kebanyakan dituduh sebagai kaki tangan atau mata-mata Belanda dan
Sekutu. Hari itu, mereka dikeluarkan dari kantor Kempetai, bekas rumah milik
orang Tionghoa yang berada di pusat kota Tahuna, di lokasi kelurahan Sawangbendar
sekarang. Dari kawasan ‘Pecinan’ Tahuna itu, para korban yang diangkut truk
terbuka dibawa ke Bungalawang yang berjarak sekitar 2 kilometer dengan dikawal
seregu pasukan Kempetai. Karena takut, masyarakat tidak berani menyaksikan
dari dekat. Tapi berbeda dengan Carlos yang saat itu masih sebagai murid
Sekolah Zending Tahuna. Ia mengikuti dan melihat peristiwanya dari tempat
terlindung ketika para korban mulai dipenggal oleh 2 orang algojo.
‘’Saya tidak
lagi mengingat siapa lebih dulu dieksekusi, sebab yang saya kenal dekat hanya
rajaku Engelhard. Jadi dia yang saya ingat dan perhatikan jelas, apalagi eksekusinya
dilakukan paling akhir. Sebelum eksekusi berlangsung algojonya sengaja menghambur-hamburkan
garam ke mana-mana, entah apa maksudnya,’’ kisah Carlos yang mengungkap lagi masanya di
Tahuna 1929-1947 sering berada di istana raja Tahuna di Apengsembeka, dimulai
ketika Raja Albert Bastiaan meninggal dunia tahun 1939, dimana seluruh murid Sekolah
Zending hadir menyanyikan lagu penghiburan sekaligus penghormatan. Salah
seorang anaknya, yakni adik bungsu Raja Engelhard adalah teman sekelasnya
ketika pindah dari Hollands Inlands School
(HIS) Tahuna yang ditutup Jepang.
Sebelum
pembunuhan para raja sendiri, sang algojo telah melakukan pembantaian terhadap
satu keluarga besar berasal Tabukan, sebanyak 30 orang. Mereka, menurut Carlos,
dituduh melakukan pencurian di lokasi penimbunan persediaan perang Jepang yang
dikira sebagai gudang makanan. Hampir semua peristiwa pencurian yang terjadi di
kawasan Tahuna dan sekitarnya ditimpakan kepada mereka sebagai pelaku. Setelah
dibunuh mereka dikubur bersama dalam satu lubang tersendiri.
Akhirnya
tiba giliran eksekusi bagi korban terakhir yang masih hidup, yakni Raja Tahuna
Engelhard Bastiaan. Raja muda tersebut menolak ketika matanya akan ditutup. Ia
membungkuk di depan lobang galian lain yang telah berisi jenasah rekan-rekan
raja, para bangsawan dan Emma Rosza Cseszko. Lalu sang algojo sambil berteriak keras
mengayunkan samurainya, telak mengena tengkuk sang raja. Namun, ajaib tidak
terjadi apa-apa, bahkan mata pedang samurai hilang, entah kemana. Algojo kedua
mengambilalih. Kembali kejadian seperti tadi terjadi, mata samurai algojo raib.
Setelah dua kali gagal, kini kedua algojo beraksi bersama dengan mengganti samurainya dengan bayonet. Mereka menikam
menyilang dari sebelah-menyebelah. ‘’Kelihatannya bayonet algojo menembus dari
leher ke dada. Namun, kejadian gaib terulang. Rajaku hanya memberontak dan
tidak apa-apa, ia masih hidup. Malah ia berteriak dalam bahasa Sangir bahwa
Jepang tidak akan dapat membunuhnya. Sambil berteriak demikian ia melepaskan
diri dan lari,’’ kisah Carlos Makagansa.
Komandan
Kempetai mengancam akan membunuh semua keluarga sang raja. ‘’Bole lari dan
hidup, tapi semua keluarga, ibu dan adikmu akan dibunuh,’’ seru komandan. Kontan
Raja Engelhard yang baru lari sekitar 50 meter dari lobang galian berhenti. Sang raja ingat ibu dan 3 adiknya, dua gadis
dan satu laki-laki, si bungsu teman kelas Carlos.
Disinilah
Kopral Wangkai, menurut Carlos, berperan ikut mengambil bagian. Raja berseru-seru
mengatakan ia tidak akan dapat dibunuh oleh Jepang lalu meminta tolong papok (sebutan bagi tentara KNIL)
tersebut untuk menembaknya mati. Latar belakang sang kopral ternyata unik.
‘’Dia sebenarnya tahanan Jepang, pernah dieksekusi, tapi samurai, bayonet dan
tembakan peluru tidak membunuhnya. Jepang lalu mengancam membantai seluruh
keluarganya kalau tidak memberitahu kelemahan dari ilmu kebalnya. Ternyata
sang papok tidak mempunya istri dan keluarga, sehingga nyawanya selamat. Sejak
itu ia dipercaya Jepang, bebas berkeliaran di Tahuna, bahkan semua kebutuhan
hidupnya diberi Jepang dengan cuma-cuma.’’
Ketika diminta
Raja Engelhard demikian spontan Kopral Wangkai menolak. Namun raja kebal itu
kembali memohon. ‘’Oom, bunuh saya. Tolong tembak agar saya mati. Saya tidak
akan mati kalau Jepang yang melakukannya. Kalau saya hidup ibu dan saudara saya
akan mati. Lebih baik saya yang mati,’’ tutur Carlos menirukan bicara rajanya dalam bahasa Sangir.
Setelah
diminta berkali, Kopral Wangkai menyanggupi dengan syarat dibuat perjanjian
tertulis bahwa di kemudian hari dia tidak akan dituntut, karena sekedar iba
hati membantu sang raja untuk keselamatan keluarganya. Maka, nyawa Raja Tahuna
akhirnya melayang setelah ditembak sekali saja oleh Kopral Wangkai. Jasadnya
dikubur di lobang bersama tokoh Satal lainnya.
Istana Raja Tahuna. *) |
Kuburan
para korban kekejaman Jepang di Bungalawang tersebut pernah digali ulang oleh
pasukan Australia ketika Jepang sudah menyerah tak bersyarat pada Sekutu. Saat
itu konon telah dilakukan otopsi dan identifikasi. Tentang para korbannya Pejabat Conica (Residen) Manado Kolonel Inf.C.C.de Rooy dalam surat bertanggal 23 Oktober 1945 melaporkan hasil kunjungan Asisten Residen Mayor NICA W.Scheffer yang ikut 'inspeksi' Sekutu ke Satal dibawah pimpinan Mayor R.C.Garnsey A.I.F. Para korban eksekusi Jepang, ungkap de Rooy selain istri dokter Gyula terdiri 4 zelfbestuurders, 6 kepala distrik dan banyak kepala negeri.
Carlos Makagansa dan Kopral Wangkai
sendiri setelah kekuasaan Jepang runtuh telah dipanggil dan diperiksa oleh
Jaksa Victor Macahekum yang ternyata adalah anak dari Jogugu Tamako H.J.P.Macahekum
yang turut dieksekusi Jepang. Konon, menurut Carlos, dirinya bebas karena
sekedar saksi mata, begitu pun Wangkai tidak dituntut setelah memperlihatkan
surat perjanjian yang diteken Raja Engelhard sebelum eksekusinya.
Peristiwa pembantaian
dan penyelamatan anak-anak dokter Gyula baru menyentak dunia ketika suratkabar
bergengsi yang terbit di Singapura The Straits
Times, edisi 21 Agustus 1947 dan 22 Mei 1955 menurunkan tulisan veteran Richard
Hardwick tentang kisah tragis keluarga Cseszko. Anak-anak dokter Gyula dan
Emma, yakni: Emma (lahir 1931), Eva (1934), Gyula (1936) dan Jozsef (1939)
setelah eksekusi ibu mereka telah dirawat bidan asal Tagulandang, bekas anak
buah dokter Gyula di Minanga (kini desa di KecamatanTagulandang Utara) berjarak
sekitar 10 kilometer dari Tahuna. Mereka diselamatkan bulan Maret 1945, di saat
Keresidenan Manado dan Satal masih dikuasai Jepang. Kondisi mereka sangat
menyedihkan. Menderita penyakit tropis dan gizi buruk dengan tubuh penuh bisul.
Paling parah adalah Emma selain lemah dan ketakutan, ia pun menderita disentri
akut dan terus-menerus pingsan. Mereka diterbangkan diam-diam dengan pesawat
Catalina oleh Sekutu ke pulau Morotai Maluku Utara yang telah dibebaskan, baru
kemudian ke Australia. ***
SUMBER:
-Berbagai literatur tentang Sangihe-Talaud.
-Java Post Nederland, 15 April 2011
-The Staits Times Singapura,
21 Agustus 1947.
-Adrianus Kojongian dkk: Ensiklopedia
Tou Manado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.