Pemilihan Kepala Negeri di Minahasa (dari een kijkje in de Minahasa, M.Hamerster 1916). |
Kontrak kedua Minahasa dengan Kompeni Belanda yang diwakili Kapiten Paulus de Brievings dan Ondercoopman Samuel Hattingh ternyata tidak dihadiri sejumlah kepala Minahasa. Perjanjian tersebut dilaksanakan di Benteng Amsterdam Manado pada hari Kamis tanggal 10 September 1699.
Tokoh-tokoh dimaksud adalah para kepala negeri yang memiliki gelaran Hukum dan Hukum Majoor.
Saat itu para kepala Minahasa (dicatat sebagai lantstreecke van Manado) masih mayoritas sama dengan kepala-kepala
negeri di tahun 1695. Kecuali Kepala Hukum Majoor Paat dari Tomohon dilaporkan
meninggal tahun 1697. Wakilnya yang bernama sama, yakni Hukum Paat atau dicatat pula dengan nama Rontom Paat telah
diangkat sebagai provisioneel
(pejabat) Hukum Majoor Tomohon untuk menggantinya. Jabatan Paat didefinitifkan dan sebelum pelaksanaan kontrak, ia diangkat dalam posisi setara
dengan Supit dan Lontoh, yakni sebagai Kepala Hukum Majoor (Hoofd Hoecums Majoor). 1
Selain Paat, beberapa hukum yang tahun 1695 berada di
jajaran bawah struktur bobato negeri memperoleh promosi. Tahun 1696 Kapiten
Majoor Sumarauw diangkat menjadi Hukum Remboken, Letnan Londa menjadi Hukum lain
di Tongkimbut Bawah, serta Pesik yang tahun 1695 masih sersan menjadi Hukum
Tongkimbut Atas mendampingi Hukum Majoor
Tambuwun. Kemudian bulan September 1697 Sersan Ombin menjadi Hukum di Ares, dan
Kapiten Hendrik Oulaan Hukum dari Negeri Baru bersama Marcus Ravuty.
Di posisi para bobato, terjadi banyak perubahan,
penggantian tokoh yang meninggal dan pengangkatan baru. Seperti Gohan dari
Ponosakan yang tahun 1695 masih sersan telah naik dua tingkat menjadi kapiten, juga
Letnan Tamburian dari Tondano menjadi kapiten. 2
Dari 24 negeri utama Minahasa (dikenal kemudian di abad ke-18 sebagai balak dan terakhir distrik) sebanyak enam kepala negeri tidak hadir pada hari tersebut. Mereka adalah para hukum dari
Tongkimbut Bawah Kawulur, Bonkare dari Tombasian, Ondang dari Rumoong, Londa
dari Tompaso, Karauan dari Tonsawang dan Hukum Ratang dari Pasan. Para hukum
ini juga tidak mengirimkan seorang pun wakil.
Sementara Hukum Majoor Tondano Tambahani dan Lobo turut tidak hadir, sekedar mengirimkan seorang wakil yakni Kapiten Tamburian. Begitu pun Hukum Langowan Kumaat hanya mengirim wakil, yakni Kapiten Mangowal, Hukum
Ponosakan Buisan mengirim Kapiten Gohan. Sementara Hukum Majoor Tambuwun dari Tombasian Atas diwakili Hukum Pesik.
Sebelum penandatanganan kontrak sempat terjadi
perdebatan dalam pertemuan para kepala Minahasa yang disebut landraad karena absennya enam hukum tanpa
seorang wakil tersebut. 3
Pertemuan diikuti Gecommitteerde
Kapiten Brievings dan Hattingh, Sersan Henry de Chiese, Residen sekaligus
Komandan Benteng Amsterdam. Pihak Minahasa dipimpin ketiga Kepala Hukum
Majoor yakni Supit, Lontoh dan Paat, didampingi Lasut dan Lolabi dari Ares serta
para hukum dan perwakilan lain, ditambah dengan jurubahasa Manuel Parera.
Supit yang dominan sebagai pembicara menjaminkan dia
dengan dua rekannya sebagai perwakilan resmi untuk mewakili enam kepala
negeri lainnya, karena dikuasakan sebagai wakil mereka untuk menandatangani
perjanjian.
Perjanjian berisi 10 pasal tersebut tetap menjunjung kontrak
10 Januari 1679 dari Gubernur Padtbrugge serta perjanjian perdamaian dengan
Bolaang 31 September 1694, ditambah dengan berbagai kewajiban Minahasa serta di lain
pihak sejumlah jaminan dari Kompeni Belanda.
Para kepala Minahasa yang bertanda pada perjanjian adalah ketiga Kepala Hukum Majoor Supit, Lontoh dan Paat, sekaligus perwakilan enam negeri yang tidak hadir. Supit praktis mewakili Tombariri, Lontoh Sarongsong dan Paat Tomohon. 4
Kemudian Hukum Majoor beneden negeri (negeri bawah) yakni Ares adalah Lolabij (Lalawi?) dan Lasoet (Lasut). Klabat Bawah Hukum Diogo, Bantik Hukum Saloemanna (tahun 1695 dicatat Lakumanang), Negeri Baru Hukum Marcus Ravoutij (Ravuty), dan Manado Hukum David Liaha. 5
Klabat Bawah Hukum Balebanko (Walewangko), Tonsea Hukum Benas
(Wenas), Tondano Kapiten Tamburij (Tamburian), Remboken Hukum Sauma (Sumarauw),
Kakas Hukum Masuigij (tidak diketahui kalau identik dengan Massangnie tahun
1695), Langowan Kapiten Mangoua (Mangowal), Tongkimbut Atas Hukum Pessick
(Pesik), Kakaskasen Hukum Tikoenoeboe, Ratahan Hukum Loson (Losung) serta Ponosakan
Kapiten Gachan (Gohan).
PENOLAKAN
Tidak hadirnya cukup banyak kepala Minahasa dalam
perjanjian tersebut lebih disebabkan karena penolakan atas berbagai kewajiban yang dirasakan
menjadi beban berat bagi negeri-negeri. Apalagi negeri yang berada jauh di pedalaman Minahasa.
Selain kewajiban memasok padi ke gudang Manado dengan
pembayaran kain, sejak tahun 1697 negeri-negeri Minahasa telah dibebankan
berbagai kuota rutin untuk memasok kayu, balok, papan, bambu, atap, rotan, kapur,
batu dan sebagainya. Kemudian penyediaan tenaga kerja, tugas pengangkutan,
pengerjaan termasuk reparasi benteng, loji dengan segala fasilitasnya. Seperti rumah tinggal
komandan sekaligus residen, rumah istirahat, rumah orembai, pagar benteng, rumah
sumur, penampungan air, istal kuda, perbaikan kapal, pembangunan sekolah dan
banyak lainnya lagi.
Sejarawan dan arsiparis Dr.E.C.Godee Molsbergen
mengungkap penolakan yang meluas oleh penduduk Minahasa terhadap kontrak 1699 yang
berkembang pada awal abad ke-18 lebih disebabkan karena penduduk tidak
menginginkan perubahan akan adat budayanya yang lama. Semua pelaku kejahatan
seperti pembunuh harus diserahkan ke Ternate, sementara penduduk ingin pelaksanaan
hukuman seperti adat sebelumnya, agar rasa keadilan terpuaskan.
Masa itu hukuman bagi pembunuh adalah di toktok, sehingga Kompeni menuntut janji
ketiga Kepala Hukum Majoor dan hukum negeri lainnya termasuk keturunannya untuk
menghentikan tradisi menghukum penjahat dan pembunuh dengan cara demikian. Melanggarnya adalah
sanksi hukuman. Para penjahat dan pembunuh harus diserahkan kepada Kompeni yang
akan menentukan bentuk hukuman sesuai kejahatan yang dilakukan.
Kontrak tersebut, menurut Molsbergen, dianggap oleh para penentang
tidak sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh Padtbrugge yang dianggap masih lebih
baik dan dapat dimengerti.***
1.Dengan posisi sebagai Kepala Hukum Majoor, praktis
Supit, Lontoh dan Paat menjadi pemimpin utama di Minahasa, karena ikut menjadi
penentu bahkan terlibat langsung dalam pengusulan dan pengangkatan para hukum
dan hukum majoor termasuk bobato lain. Ketiganya banyak kali berselisih
dengan sengit, sehingga harus didamaikan komisi utusan Gubernur Maluku.
2.Hari itu juga usai penandatanganan kontrak, dilakukan pengangkatan
sejumlah bobato baru. Dari Tombariri Kapiten Majoor Pollo (tahun 1695 dicatat
Polij) menjadi Hukum negeri bernama Tonmamnas (?) menggantikan Tetekoang
(sebelumnya dicatat Tetengulkan). Penggantinya sebagai kapiten majoor adalah Letnan
Rapoo (Rapoe). Vandrig Polialoe jadi letnan, Sersan Nonon vandrig dan Kopral
Paraioe sersan. Di Tomohon diangkat Marinjo Bantuigk jadi sersan ganti Rominkewas
yang meninggal serta marinjo baru Alferas Soubat Maccatee dan Remoc. Di
Sarongsong Alferas Langij diangkat kopral. Di Klabat Bawah Letnan
Maninko dan sebagai marinjo Alferas Roetourambij. Di Ponosakan Kapiten Gakon
(Gohan) jadi Hukum. Kemudian sersan Tonsea Ontoukahoe. Letnan Bantik Vandrig Catopar dan
beberapa nama lainnya.
3.Landraad masa itu adalah persidangan para Hukum dan bobato
yang diselenggarakan di Benteng Amsterdam untuk penyelesaian perkara-perkara
yang terjadi.
4.Godee Molsbergen keliru menafsirkan Lontoh sebagai Kepala Tonsaronson sebagai Tonsea, karena mengacu Sarongsong di Airmadidi. Sementara Sarongsong dimaksud (sekarang masuk Kecamatan Tomohon
Selatan Kota Tomohon) adalah negeri yang kemudian menjadi balak dan
terakhir distrik sebelum dihapus statusnya tahun 1882. Tonsea saat perjanjian
1679 lalu 1699 adalah negeri lain yang dipimpin Hukum Wenas, dan negeri
Sarongsongnya belum tercatatkan berdiri. Ini juga menjadi salah tafsir ketika ada
publikasi Lontoh sebagai kepala Tonsea, Paat kepala Tombulu dan Supit kepala
Toulour, sementara berdasar berbagai laporan, jabatan Kepala Hukum Majoor,
tidak menentu wilayah kerjanya. Seperti inspeksi Supit mencakup hampir di
seluruh negeri Minahasa hingga di dekade-dekade awal abad ke-18. Demikian pula
dengan Lontoh dan Paat.
5. Negeri Manado berbeda dengan yang dimaksud Manado Hoofdplaats (pusat kota), inti Kota Manado, lokasi benteng
dan pusat pemerintahan Kompeni Belanda di selatan sungai Manado atau Sungai
Tondano. Lokasi negeri Manado berada di seberang utara Sungai Manado (sekarang Sindulang) dihuni
penduduk Babontehu berasal Pulau Manado Tua yang dipindahkan Padtbrugge.
6.Godee Molsbergen menambahkan detil kewajiban
negeri-negeri Minahasa untuk pembangunan benteng, gudang dan berbagai fasilitas
pendukung Kompeni lain di Manado. Sementara dalam teks Belanda raport Kapiten Paulus de Brievings kewajiban negeri-negeri tidak dicatatkan. Kewajiban tersebut diketahui bersumber dari instruksi Gecommitteerde Coopman Daniel Fiers dan
Ajun Boekhouder Jan Walraven de la Fontaine 6 September 1697 kepada
pejabat sementara Komandan Manado Kopral Jacob Jojens.
REFERENSI
Godee Molsbergen, Dr.E.C.Geschiedenis van de Minahasa tot 1829, Weltevreeden, 1928.
Stapel, Dr.F.W., Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, BKI, deel 93, ‘s-Gravenhage, 1935.
Inventaris arsip Kompeni Belanda 1602-1795 (1811). Nationaal Archief Nederland.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.