Oleh: Adrianus Kojongian
Lukisan Pacat Supit Sahiri. *) |
Supit bernama panjang Pacat Supit Sahiri Macex, Lontoh terkenal sebagai Lontoh Tuunan atau Lontoh Tuunan Mandagi dan Paat alias Paat Kolano adalah tiga tokoh paling terkenal Minahasa di penghujung abad ke-17 dan permulaan abad ke-18. Mereka merupakan tiga serangkai penguasa Minahasa. Selain memimpin balak-balak mereka sendiri, posisi perantara yang disandang sebagai Hoofd Hoecums (Hukum) Majoor, membuat kuasanya melebihi para kepala balak lain. Posisi Hukum Mayoor Kepala atau Kepala Hukum Mayoor ini menempatkan mereka sebagai pemimpin dari para kepala balak di Minahasa yang sekedar menyandang gelaran Hukum Mayoor.
Penunjukan
Supit, Lontoh dan Paat yang jabatan dan namanya baru tercatat resmi dalam
Kontrak 10 September 1689, tapi mungkin sudah terjadi beberapa waktu sebelumnya
itu merupakan upaya pemerintah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk mengatur dan mengontrol para kepala
Minahasa yang sejak awal merupakan ‘presiden’ atau ‘raja’ merdeka di wilayahnya
masing-masing. Dengan personil VOC di Manado yang sedikit mereka membutuhkan
jasa kepala di atas kepala untuk memudahkan komunikasi serta hubungan dagang
dan pemasukan berlimpah bagi kas kompeni.
BAKU KERABAT
Uniknya
ketiga Hukum Mayoor Kepala Minahasa ini semuanya berasal dari sub-etnis Tombulu,
spesifiknya dari Kota Tomohon sekarang. Pacat Supit Kepala Balak Tombariri,
saat itu ibukotanya masih berkedudukan di Katingolan, kini area ampiteater
Yayasan Masarang Kelurahan Woloan I Utara Kecamatan Tomohon Barat; Lontoh
Tuunan Kepala Balak Sarongsong masih di Tulau-Amian Nimawanua kini area persipatan
KelurahanTumatangtang dan Lansot Kecamatan Tomohon Selatan, serta Paat Kolano Kepala
Balak Tomohon masih bertempat di Nimawanua kini Kelurahan Kolongan I Tomohon
Tengah. Kalau kita berjalan kaki, jarak-jarak antar-ibunegeri balak tersebut
paling jauh setengah jam saja.
Dari
antara mereka bertiga, Pacat Supit yang paling kontroversial, namun paling
menonjol sehingga terkesan seakan dialah kepala dan pemimpin mereka, meski yang
paling tua adalah Lontoh Tuunan yang kalem dan suka mengalah.
Pacat
Supit adalah anak Posumah, seorang panglima Tomohon dari Talete (kini Kecamatan
Tomohon Tengah) serta cucu Lumi Worotikan dengan Suey. Kakeknya Lumi adalah Kepala
Pakasaan Tomohon dan pemimpin besar Tombulu yang telah mengobarkan peperangan
besar mengusir Spanyol dari Tanah Minahasa di 10 Agustus 1644 setelah dihina martabatnya
bahkan ditempeleng serdadu rendahan Spanyol. Sukses mengenyahkan Spanyol, ia
kelak memimpin pasukan Tombulu dari Tomohon mengusir Raja Bolaang (Mongondow)
Loloda Mokoagow hingga ke pesisir selatan Minahasa. Sang kakek kelak tewas di lereng
bukit pegunungan Wulurmahatus yang dinamai Worotikan sampai hari ini, untuk
mengenangnya.
H.M.Taulu dan Pasekei Petor Spanyol tandamata kayauan Posumah. *) |
Ayahnya Posumah dihadiskan sebagai panglima besar Tomohon yang dalam perang pengusiran Spanyol 1644 berhasil mengayau kepala pemimpin Spanyol terakhir di Minahasa (Manado), menurut sejarawan Hersevien Manus Taulu bernama Don Pedro Alkasas. Posumah mengawini wanita bernama Winuni berasal Tombariri, dan melahirkan Supit dan wanita bernama Rego yang kelak dikawini Mumamengko.
Ayahnya meninggal usia muda, terbunuh dalam peperangan dengan Spanyol yang berkali coba menguasai kembali Minahasa, dan diwarugakan di Limondok (Sumondak), negeri lama Talete yang di tahun 2000-an telah berdiri rumah Walikota Tomohon ketika itu Jefferson Rumajar.
Ditinggal
mati suami, ibunya Winuni kemudian menerima pinangan Kepala Tombariri bernama
Ombeng yang juga menduda setelah istrinya bernama Tongkang meninggal. Maka,
Supit kecil pindah dan tinggal di tempat yang kini bernama Katingolan Kelurahan
Woloan I Utara yang di masa itu menjadi ibukota Tombariri. Supit bahkan menjadi
anak angkat Ombeng yang sangat disayangi melebihi kecintaan Ombeng kepada
putranya dari Tongkang bernama Rapar dan Ogi. Tidak heran kemudian Supit di
masa berikut tampil menjadi Kepala Balak Tombariri menggantikan Ombeng.
Lontoh Tuunan dalam reka lukis. *) |
Lontoh Tuunan sendiri adalah keturunan dari para Kepala Pakasaan Sarongsong turun-temurun dimulai dari Kalelekinupit, Sampouw, Tiow dan Manangka. Ia anak Mandagi dengan Kumetar alias Kinetar. Kakeknya adalah tonaas Wuwung yang memimpin Sarongsong dalam perang pengusiran Spanyol tahun 1644. Sedangkan ayahnya Mandagi selain sebagai kepala balak adalah panglima terkenal Tombulu yang memimpin langsung pasukan Sarongsong dalam perang pengusiran Raja Bolaang Loloda Mokoagow tahun 1673.
Paat
Kolano yang termuda di antara ketiga serangkai ini adalah keturunan dari
penguasa Tomohon dan Ares. Ayahnya Lewlew alias Leilei yang diwarugakan di
Talete adalah anak Kepala Tomohon bernama Tamboto dan Winuwus serta cucu tonaas
Mokoagow (Rori) yang memimpin kaum Tomohon pindah dari Meiesu. Ibu Paat bernama
Mananuner adalah wanita cantik putri dari Kepala Balak Ares Lolong dan Baong.
Paat Kolano. *) |
Pacat Supit mengambil istri resmi tiga orang. Istri tertua bernama Laya berasal Kamasi salah satu dari dua negeri awal Tomohon yang bersisa sampai sekarang (kini masuk kelurahan di Kecamatan Tomohon Tengah). Istri kedua bernama Suanen asal Ares, seorang putri lain dari Lolong, meski ada versi sebagai putri atau bahkan istri muda dari Rumondor Kepala Balak Ares setelah pemerintahan Lolong.
Istri
ketiga Supit adalah Woki Konda, putri Kepala Balak Pasanbangko (Ratahan) bernama
Watuseke. Istri lain Supit yang dikenal adalah Riri dan Wair dari Tondano serta
sejumlah istri lain di berbagai negeri Minahasa. Konon dituturkan, Supit mata
kranjang (don juan) dan ada pameo, ‘ada Supit ada wanita’. Bilamana sang kepala
melakukan turne di negeri-negeri
Minahasa, kepala-kepala balak dan hukum negeri suka menyediakan gadis cantik
untuknya.
Memang
masih tradisi dan adat seorang kepala atau orang kaya Minahasa di masa lalu
apalagi sebelum Kristenisasi lajim memiliki banyak istri dan selir. Tidak heran
keturunan Supit Sahiri berkuasa bersebaran dimana-mana. Bukan saja sekedar di
Tombariri (lewat Mongi dan Tinangon, anak dari Woki Konda), tapi berkuasa
pula di Tomohon (lewat anaknya Rondonuwu dari Laya yang kelak juga berkuasa di
Tombariri via keluarga Andries), di Ares lewat anaknya Tololiu Supit dari istri
Suanen serta di Tondano lewat istri Riri dan di Ratahan kemudian lewat putrinya
dari Woki Konda bernama Kaampungan. Bahkan di Tonsea lewat cucu Aresnya Wongkol
Tololiu yang dikawini Hukum Mayoor Xaverius Dotulong.
Kebalikan
dengan Supit Sahiri, Lontoh Tuunan termasuk tokoh alim dengan memilih seorang
istri saja yakni wanita bernama Sumengkar alias Sengkar, adik Lewlew dan bibi
Paat Kolano. Sumengkar banyak dikisahkan sebagai salah seorang wanita cantik nan
jelita di Minahasa masa itu. Karena cantiknya, usia dini ia sudah dilamar. Awalnya
Sumengkar dikawini Rapar dari Tombariri, kakak tiri Supit Sahiri yang mati
muda. Meski telah menjanda dengan tiga anak, kecantikannya konon justru semakin
bersinar ketika dilamar Lontoh Tuunan. Dari perkawinannya dengan Lontoh lahir anak-anak
bernama Rondonuwu, Pandeirot, Sumindo, Meno, Pangemanan dan Topowene yang kelak
menurunkan ‘dinasti’ Waworuntu. Anak tirinya bernama Tiwow, Ringkitan dan
Sukar.
Paat
Kolano yang termuda dan paling tampan memiliki sejumlah istri. Namun istri
resminya disebut bernama Ringkitan anak Lawit dan Eror. Dua anaknya yang
terkenal dari Ringkitan adalah Manengkeimuri serta Liwun. Liwun ini yang kelak
menurunkan Lontoh Tuunan (2) Kepala Balak Tomohon terkenal sebagai salah
seorang pemimpin besar Minahasa dalam perang di Tondano 1808-1809.
Jadi,
tiga serangkai Minahasa ini sebenarnya masih memiliki pertalian kekeluargaan
yang sangat dekat. Paat Kolano memanggil Pacat Supit dan Lontoh Tuunan sebagai
paman. ***
* Foto: repro Bode Talumewo/Matulandi Supit dan Harian Obor Pancasila.
**Tulisan adalah sari tulisan yang pernah dipublikasi
koran dan radio di tahun 1980-an, 1990-an dan 2000-an. Narasumber utama di
tahun 1983-1986 Paulus Quirenus Rudolf Supit (Kamasi), pengarang novel ‘Kasih
Ibu’, Arie Michail Mandagi (Lansot), mantan Hukum Besar dan Kepala Pakasaan
Sarongsong, Emiel Lontoh (Kolongan), budayawan; Markus Kojongian (Woloan) serta Lodewijk Elisa Wenas
(Matani), sejarawan keluarga Wenas.
PUSTAKA:
Buku
saya: ‘Riwayatmu Tomohon’, stensilan Depdikbud Tomohon, 1986.
‘Tomohon Kotaku’, Dinas Pendidikan Nasional
Tomohon, 2005.
‘Tomohon Dulu dan Kini’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.