Ulu Siau sekarang tentu berbeda sekali dengan kondisinya di tahun 1677. Sekarang statusnya adalah ibukota dari Kecamatan Siau Timur di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Kota Ulu mencakup Akesimbeka, Bahu, Bebali, Tarorane dan Tatahadeng yang berstatus kelurahan.
Bagaimana kondisinya sekitar 344 tahun silam?
Gubernur Kompeni Belanda (VOC) di Maluku Dr.Robertus Padtbrugge menggambarkannya dengan detil dalam catatan harian (dagregister) perjalanannya per 16 Agustus -23 Desember 1677.
Di tahun 1677 itu, ketika Padtbrugge berada di Siau, Ulu adalah negeri terbesar di Siau. Ibukota dari kerajaan Katolik Siau. Raja yang memerintah Siau adalah Don Francisco Xavier Batahi, seorang lulusan perguruan tinggi Katolik terkenal di Manila Filipina, Collegio San Jose milik Jesuit.
Tapi di bulan Oktober 1677, kendati ibukota resmi kerajaan adalah Ulu, sang raja memilih tinggal di negeri Pehe yang berada di pantai barat Pulau Siau. Kejadian ini berkaitan dengan kondisi politik yang sangat tegang.
Ibukota Ulu yang berbukit-bukit dihiasi pepohonan dan barisan tanaman kelapa seakan tenang dan lengang. Padahal suasana ketika itu sangat genting, karena dalam keadaan perang.
Negeri Ulu dilukis ketika Gunung Karangetang di belakangnya tengah beraktivitas. Padtbrugge mencatat peristiwa ini terjadi pada hari Jumat tanggal 29 Oktober 1677, saat Karangetang (gambar F) yang disebutnya sebagai Gunung Api atau Gunung Awu melontarkan material debu tebal. Kapal-kapal Kompeni dan sekutunya Ternate yang berada di dekat pantai Ulu dan perairan lepas pantai hingga jarak 2 mil jadi berselimut debu.
Ulu telah diblokade ketat sejak 22 Oktober oleh puluhan kapal besar dan kecil dari jenis chaloup milik Kompeni serta kora-kora dari Sultan Ternate Kaicil Sibori (Sultan Amterdam) dan bawahannya dari Banggai, Xula, Tambuku dan Lohia. Turut mengepung bersama di sudut Ulu adalah kora-kora dari Tagulandang, Bolaang, Kaidipang dan Gorontalo. Termasuk beberapa dari Tabukan, Taruna dan Kandhar (gambar I).
Raja Don Francisco Xavier Batahi resminya diperangi Sultan Amsterdam. Tapi kekuatan raksasa yang memusuhinya ini sebenarnya digerakkan oleh Padtbrugge yang menanti di kapal komando Vliegende Swaan (gambar H). Padtbrugge adalah orang di belakang layar dalam upaya penaklukan Siau dengan berkedok klaim Sultan Ternate.
Selain kapal bendera Vliegende Swaan, Kompeni Belanda sengaja mengerahkan chaloup de Rooden Haan, de Eendracht, serta chaloup Terlucco yang tidak terlihat pada lukisan.
Pertahanan Ulu tampak terbuka dari perairan lepas. Membantu Siau dan Raja Don Francisco Xavier Batahi hanya segelintir tentara Spanyol yang dipimpin oleh Kapten Andreas Serrano yang telah bertugas di Siau sejak tahun 1671.
Tentara Spanyol bertahan di benteng Santa Rosa yang berada di dekat pantai (gambar A) dan sebuah anak sungai (gambar G) yang mengalir ke Teluk Ulu. Benteng Santa Rosa tampak tidak kokoh karena hanya dipagari kayu. Namun, meriam Spanyol dari Santa Rosa sekali-kali ditembakkan membalas muntahan meriam 6 pond Ternate dan Belanda yang menyerang pertahanan Siau.
Benteng Santa Rosa sendiri hanya dipertahankan oleh 17 serdadu Spanyol, ditambah beberapa Pampango dan kaum mardiker Siau. Di tahun 1671 benteng Santa Rosa masih diperkuat dengan 20 tentara Spanyol dan beberapa tentara Pampango dari Luzon. Padahal lawannya mengerahkan sekitar 1.500 prajurit, 1.180 diantaranya dari kekuatan Sultan Amsterdam.
Benteng Santa Rosa tidak sampai hancur, karena Padtbrugge menjaga slogan perdamaian yang telah diteken kedua negara. Selama perang singkat itu, Padtbrugge berkali mengirim utusan (gambar perahu berbendera Kompeni Belanda yang bertolak dari kapal Vliegende Swaan) untuk membujuk Kapten Serrano menyerah.
Di seberang dari benteng Santa Rosa, masih agak dekat dengan pantai pula terdapat sebuah negeri dengan gereja serta pastori milik Jesuit (gambar D). Pemukiman ini dihuni oleh orang-orang Spanyol, kaum mardiker dan para pengungsi Spanyol berasal dari Ternate. Di sini tinggal Padri Emmanuel Espanol dan Carol Torcotti. Tapi, ketika lukisan dibuat, para padri dan penduduk telah mengungsi di benteng Santa Rosa, termasuk kemudian Padri Jeronimo de Cebreros. Ditinggalkannya negeri tersebut karena pada hari Minggu tanggal 24 Oktober tembakan meriam dari kapal jatuh di dekat gereja ketika penduduk sementara beribadah. Siang harinya, karena tiupan angin kencang, terjadi kebakaran hebat yang membakar gereja dan pastori tersebut.
Pemukiman orang Siau sendiri berada di balik pebukitan, agak jauh dari pantai. Menyamping di atas bukit sebelah belakang benteng Santa Rosa terdapat negeri besar orang Siau (gambar B) yang berpagar. Sementara agak jauh terlindung oleh pepohonan lebat berada benteng orang Siau (gambar E) yang juga berpagar kayu dan dipertahankan oleh panglimanya Kapitein Laut Santiago Manumpil, ipar Raja Don Francisco Batahi.
Berdekatan dengan
pemukiman penduduk, di balik bukit lainnya berada dua negeri lain milik raja (gambar
C) yang juga berbenteng. Kota raja ini akan ditempati raja ketika
datang di Ulu. Juga rumah-rumah keluarga dan kerabat dekat raja serta kaum
bangsawan Siau lainnya.
Meski pun pasukan Siau kalah perlengkapan perang, tapi mereka berperang dengan gigih. Bahkan, sempat memukul mundur pasukan ekspansi pada 26 Oktober dan di hari Sabtu 30 Oktober yang menyebabkan seorang panglima Sultan Amsterdam, Sadaha Calamata dari Banggay terluka dan meninggal.
Namun, pada lusanya, hari Senin 1 November 1677, Kapten Andreas Serrano menyerah, diikuti pasukan Siau dan Raja Don Francisco Xavier Batahi.
Selengkapnya baca:
Kerajaan Siau Tempo Dulu. Catatan Harian Padtbrugge.
------
*). Lukisan dari Dagregister Gubernur Padtbrugge, koleksi Nationaal Archief Den Haag (NL-HaNA_1.04.02_1337_0280, Inventaris van het archief van de Verenigde Oost-Indische Compagnie 1602-1795). Juga dari Spanish Moluccas (terima kasih kepada Tuan Antonio Campo Lopez, sejarawan Spanyol).
LITERATUR
Aa, Robide van der, Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677), Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1867.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.