Kamis, 04 Februari 2021

Nama Manado

 

 

 

 

 

Teluk Manado dari Bukit Empung akhir 1820-an. *
 

 

 

Nama Manado telah dibahas sejak abad ke-19. Baik asal muasal mau pun artinya. Kalangan sejarawan, bahasawan, budayawan juga tokoh-tokoh berbagai bidang baik dari Barat mau pun Minahasa memberi variasi pada artinya.

Umumnya pendapat mereka, nama Manado atau di masa kolonial sering disebut Menado berasal dari Manado Tua, pulau di sebelah utara Teluk Manado, yang dihuni oleh orang Babontehu. Ketika negeri baru dibangun di masa Spanyol di daratan Pulau Sulawesi, negeri tersebut dinamai pula Manado, sehingga pulau yang ditinggalkan tahun 1677 disebut sebagai Manado Tua.

Pendapat ini umpama dikemukakan Robertus Padtbrugge, Francois Valentijn, Dr.J.G.F.Riedel, A.F.van Spreeuwenberg, E.J.Jellesma, H.H. van Kol, E.C.Abendanon, Dr.N.Adriani, N.Graafland, F.S.A. de Clercq, J.A.T.Schwarz, P.P.Roorda van Eysinga. Sementara dari kalangan Minahasa Dr.G.S.S.J.Ratu-Langie dan Frits Laoh.

Penulis pertama yang mengartikan nama Manado adalah Valentijn. Dari kata tegenover atau seberang atau bertentang atau bertentangan dengan. Ini merujuk pada sebutan penduduk Minahasa pada orang Babontehu yang tinggal di Pulau Manado (Tua), yang berada di seberang atau bertentangan dengan daratan pantai Manado sekarang.

Terdapat beberapa versi soal asal nama, yaitu: manaro atau manaror, wenang atau wenange, manarow dan mana’ndou. Bahkan dari bahasa asing semisal minato dari Jepang.

Pendapat umum ahli-ahli ini, nama Manado berasal dari bahasa Tombulu, namun ada pula dari Tondano (Toulour), atau juga bahasa asing. Bahkan Schwarz mengaitkan dengan Sangihe, meski tidak mengartikannya. 

MANARO(R)

Riedel diikuti Jellesma mengatakan nama Manado atau Manaro, berasal dari kata kerja Tombulu kuno manaror sesuai dengan maharor, atau maeroer, maheroer. Maknanya bertemu atau berkumpul untuk bermusyawarah.

Nama ini berkembang dari pahawinaroran ni Tasikela (atau panaroran ni Tasikela), yaitu tempat berkumpulnya Kastilia (Spanyol), atau tempat di mana mereka telah berunding dengan penduduk asli di pantai barat laut dari Minahasa, yang sekarang menjadi Kema. Tidak lama kemudian, atas saran dari Babontehu, orang Kastilia pindah ke Teluk Manado. Tempat berkumpul yang baru ini juga mendapat nama pahawinaroran ni Tasikela, tempat yang dikenal sebagai Tumpahan Wenang.

Tumpahan sendiri, menurut Riedel, berarti tempat kemunduran atau juga tempat dimana orang keluar, atau tempat turun, yakni untuk menyiapkan garam. Sedangkan wenang adalah spesies kayu, rottlera tomentosa. Dataran Manado, di sepanjang tepi sungai tertutup oleh pohon-pohon kayu ini. Menjadi kebiasaan penduduk dari pedalaman Minahasa di masa kuno tersebut demi mendapatkan garam biasanya turun ‘gunung’ ke pantai.

Sedangkan Manado Tua adalah tuhana pahawinaroran, atau tempat berkumpul pertama atau tertua.

Seperti Riedel, Jellesma, mantan Residen Manado, berpendapat dari nama Winaror atau Pawinaroran ne Tasikela yang kedua di lokasi muara sungai Manado atau sungai Tondano, telah berubah menjadi Manaro dan lalu Manado.

Nama Manado dari ejaan awal Manarow berarti berlawanan (seberang) dengan sesuatu, dan diberikan pada pulau bergunung yang terletak di seberang tempat Wenang. Penduduk pulau itu kemudian pindah karena kekurangan makanan ke Wenang yang sejak itu disebut Manado dan pulau tersebut diberi nama Manado Tua.

Schwarz juga menyebutnya Manado di Pulau Manado Tua berasal dari kata manarow, dan berpindah di Manado yang dalam bahasa sehari-hari masih disebut dengan nama kuno wenang.

WENANG

Dari kata Wenang pula nama Manado dianggap tercetus.

Roorda van Eysinga tahun 1841 dan Spreeuwenberg tahun 1845 menyebut kota Manado mengambil namanya dari pulau yang sekarang dikenal sebagai Manado Tua. Sementara panggilan penduduk Minahasa untuknya adalah Wenange.

Wenang, pendapat Graafland, adalah nama Manado bagi orang Minahasa. Kayu wenang atau rottlera tomentosa, ungkap de Clercq memang tumbuh di sungai yang mengalir di situ.

Sementara orang-orang Belanda pertama yang datang ke Minahasa di pertengahan abad ke-17 menulis Manado sebagai Monango Labo. Dalam lafal Valentijn dan Ds.Jacobus Montanus Menangelabo berasal dari nama Wenang atau lebih populer bagi penduduk wenange, menurut Spreeuwenberg, adalah sejenis pohon buah yang di masa lalu ditemukan di sini.

MANAROW

Yang menarik di tahun 1917 terjadi perbincangan ramai tentang asal-muasal nama Manado di Indie, sebuah mingguan terbitan Deventer Belanda di bawah redaksi tokoh-tokoh terkenal Belanda seperti Dr.H.H.Zeijlstra Fzn, Prof.Dr.A.W.Nieuwenhuis, Prof.Dr.D.G.Stibbe dan M.Joustra.

Dr.G.S.S.J.Ratu-Langie, tokoh asli Minahasa dari Tondano (kemudian anggota Volksraad dan Gubernur Provinsi Sulawesi) mengatakan nama Manado atau sebelumnya lebih sering disebut Menado tidak terdengar asli, sehingga penduduk Minahasa banyak disesatkan dalam upaya untuk menjelaskan artinya. Sebagai contoh, van Kol mengatakan bahwa Manado harus dikaitkan dengan kata dalam bahasa Jepang untuk pelabuhan, yaitu minato.

Meski ada banyak indikasi yang mendukung dan banyak yang menentang, Ratu-Langie berpendapat hubungan antara Minato dan Manado agak aneh.

Dari penjelasan F.Laoh (tokoh Minahasa dari Sonder, kelak anggota Volksraad dan Menteri Perhubungan RI) kepada Ratu-Langie, sebelum masa Spanyol di Minahasa orang tidak pernah berbicara tentang Manado, tapi tentang Wenang.

Mungkin Wenang terkait dengan kata woenon (wunon) berarti teluk kecil. Atau dengan wene, padi. Ia menunjuk pada sebuah gunung kecil yang masih disebut tokambene, yang sekarang berada di Kelurahan Wenang Selatan.

Kata Manado, menurutnya, berasal dari zaman Spanyol, sebagaimana dapat dibuktikan dari sumber-sumber sejarah Spanyol. Penduduk pedalaman di masa lampau, mungkin dipaksa memasok tau’n kastela (Kastila) atau tou’n tasikela, hasil hutan.

Untuk itu, perjalanan ke Wenang harus dilakukan dan pasti sangat tidak menyenangkan, dan orang Spanyol belum ‘beretika’ dalam perilaku mereka terhadap penduduk asli.

Sementara orang Minahasa, jika dia ingin menunjuk sesuatu yang sakral baginya, atau tidak menyenangkan, atau yang dia takuti, tidak akan pernah secara langsung menyebutnya dengan nama. Tapi, akan memberikan sebutan yang samar, yang bagaimana pun juga dipahami dengan sempurna.

Misalnya, jika orang Tondano mengatakan: ‘’Ku mae mana un Talikuran,’’ atau ‘’aku akan ke barat’’, maka semua orang tahu bahwa dia akan mengunjungi pemakaman yang terletak di sebelah barat kota.

Maka ketika penduduk pegunungan harus melakukan pengiriman paksa di Wenang yang berhubungan dengan perjalanan jauh, dia tidak mengucapkan: ’’Ku mae mana ‘m Benang.’’ Ia akan berusaha menghindari penyebutan yang kurang menyenangkan yang diasosiasikan dengan kata Wenang dengan menyatakan: ‘’Ku mae mana un dou,’’ yaitu ‘’ Saya pergi ke kejauhan.’’ Orang tahu kejauhan itu tidak lain dari Wenang yang jauh.

Dari kata mana un dou dalam bahasa lisan menjadi mana ‘ndou, yang lambat laun akhirnya Manado muncul.

Di Sonder, di Tompakewa (Tontemboan), pada umumnya dikatakan sebelum ke Manado: ‘’Mange mana ‘dou.’’  

Dr.Nicolaus Adriani, penginjil dan ahli bahasa (khususnya Toraja) berkomentar bentuk asli dari kata Manado adalah Manarow, sebagai nama dari Pulau Manado Tua. Nama tersebut telah dialihkan ke kota yang terletak di teluk, sehingga sejak itu pulau itu sendiri disebut Manado Tua dalam bahasa Melayu. Jadi kota Manado sebenarnya harus disebut Manado Baru.

Kota Manado secara tradisional disebut dalam bahasa Minahasa Wenang, ketika itu di tahun 1917 adalah salah satu wijk (kampung) di Manado. Nama wenang berasal dari pohon Macaranga hispida.

 

Macaranga hispida dari Masarang.*

 

Menurut Adriani pula, nama Manarow, berasal dari akar kata tarow atau sarow, namun ia tidak dapat menjelaskan artinya.

Ratu-Langie yang menanggapi Adriani mengaku tidak mengetahui arti tarow. Tapi sarow memiliki makna dalam bahasa Minahasa yakni berdiri atau berbaring di depan sesuatu, sementara arti kata row adalah jauh.

Jadi, simpulnya, sarow menjadi asal kata dari manarow yang berarti sesuatu yang berdiri di seberang sesuatu, yang dapat merujuk pada pulau berbatu Manado Tua yang terletak di seberang kota Manado.

Row atau jauh adalah asal dari Manarow berasal bahasa Tondano, yang identik dengan kata mana’ndou dari Tombulu dan Tonsea.   

Adriani sependapat dengan asal mula dan arti Manado dari Ratu-Langie, tapi, ia tidak sependapat apabila kata sarow berasal dari bahasa Tondano. Kata tersebut dari Tombulu, sementara padanannya dalam bahasa Tondano adalah saru. Dengan demikian kata Manarow berasal dari Tombulu, bahasa di daerah mana Manado berada.

Terjemahan ‘’apa yang berlawanan (pantai)’’ menunjukkan arti yang lebih eksplisit ‘’apa yang selalu berdiri atau terletak di jalan’’, atau yang benar, ‘’apa yang berdiri di seberang.’’

Abendanon yang menanggapi Ratu-Langie dan Adriani, sependapat dengan arti Manado dari Valentijn. Bahwa Manado berasal dari nama pulau Manado Tua, dimana penghuninya disebut orang-orang di seberang, atau di kejauhan. Nama Manado sendiri, menurut Abendanon yang seorang geolog, sudah sangat dikenal oleh orang Barat jauh-jauh hari (sebelum masa Spanyol), dan dicatatkan dalam peta dunia. Misalnya Manado telah dicatatkan Nicolas Desliens tahun 1541 dengan nama Manadu masih di sebuah pulau dekat Sulawesi (Pulau Manado Tua). Menurutnya, orang Tombulu menyebutnya mana’ndou dan orang Eropa kuno menyebutnya Manadu. ***

 

 

*). Lukisan Louis Auguste de Sainson dari Voyage de la corvette l’Astrolobe, Atlas historique, oleh Jules-Sebastien-Cesar Dumont d’Urville, 1833 koleksi New York Public Library, serta foto dari Wikipedia.

 

 

LITERATUR

Aa, Robide van der, Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677), Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede deel, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1867.

De Clercq, F.S.A., Verbeteringen en bijvoegsels op het Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Ned.Indie meer bijzonder voor zooveel betreft de residentie Manado, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 5 de jaargang, tweede deel, Joh.Noman en Zoon, Zalt-Bommel, 1871.

Graafland, N., De Minahassa Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand (Eene bijdrage tot de land-en Volkenkunde), eerste deel, M.Wijt&Zonen, Rotterdam, 1867.

Indie, geillustreerd weekblad voor Nederland en kolonien, 1e jaargang, no.8 tanggal 13 Mei, no.13 27 Juni, no.16 16 Juli, dan no.25 19 September, Deventer, 1917.

Jellesma, E.J., De Minahasa en eenige andere streken der Residentie Menado, J.H.Bussy, Amsterdam, 1903.

Riedel, J.G.F., Het Oppergezag der vorsten van Bolaang over Minahasa (Bijdrage tot de kennis der oude geschiedenis van Noord-Selebes), Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XVII, Batavia, 1869.

-----De Minahasa in 1825. Bijdrage tot de kennis van Noord-Selebes, Tijdschrift voor Indische Taal-,Land en Volkenkunde, deel XVIII, 1872.

Roorda van Eysinga, P.P., Handboek der land en volkenkunde geschied-,taal aardrijks en staatskundig van Nederlandsch-Indie, Amsterdam, 1841.

Schwarz, J.Alb.T.,Tontemboan-Nederlandsch Woordenboek, E.J.Brill, Leiden, 1908.

Spreeuwenberg, A.F.van, Een Blik op de Minahassa, Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 4de deel, jrg 7, Batavia, 1845. 

Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam, 1724.

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.