Tinggalan Datu Buisan, tandamata kunjungan dan kontrak dengan Thim (koleksi Bode Talumewo) |
Datu Buisan atau dalam tradisi lokal Sangihe disebut Wuisang adalah salah seorang raja di Kepulauan Sangihe yang terkenal. Kendahe yang dipimpinnya pernah eksis menguasai wilayah kecil di barat laut dari Pulau Sangihe Besar.
Masa kerajaan nama Kendahe dicatat sebagai Kandhar atau Kandar. Atau juga Chandar dan Candahar. Sekarang ini Kendahe tinggal sebuah kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Begitu terkenal, berbagai kisah tentang Raja Datu Buisan telah mengarah ke kontroversi, termasuk siapa dirinya.
Dalam berbagai tradisi lokal, Datu Buisan adalah putra dari Raja Mehegulangi atau Mehegalangi yang dikenal dengan nama Egaliwutung dari istri bernama Fatimah. Dalam versi ini, ia cucu Sultan Ahmad dari Mindanau serta Sarib (Syarif) Mansyur. Sedang versi lain Ahmad adalah ayah dari kakek Datu Buisan yang bernama Wagania. Masih versi lain, Syarif Mansyur adalah anak Sultan Mindanau bernama Syarif Maulana dengan istri Taupanglawo putri Raja Tahuna Tatehewoba.
Menurut para penulis sejarah Sangihe, Datu Buisan menjadi raja dengan menggantikan ayahnya Mehegulangi sekitar tahun 1640. Sementara Shinzo Hayase, Domingo M.Non dan Alex J.Ulaen, penulis Silsilas/Tarsilas (Genealogies) and Historical Narratives in Sarangani Bay and Davao Gulf Regions Mindanao, Phillipines and Sangihe-Talaud Islands, North Sulawesi, Indonesia, menyebut ia memerintah sekitar tahun 1677.
DATU BUISAN TUA
Sumber-sumber Belanda sebaliknya menyebut Raja Kendahe Datu Buisan dengan
nama bervariasi seperti Buwisang, Boysa, atau Boisan adalah anak dari tokoh
yang bernama sama dengannya, yakni Datu Buisan. Datu Buisan (tua) ayahnya menjadi
Raja Sarangani dan Buwisang di Pulau Mindanau.
Francois Valentijn mengutip laporan pejabat Kompeni Belanda dalam Oud en Nieuw Oost-Indie mengungkapkan Datu Buisan (tua) terakhir tinggal di Dabo, yang sekarang dikenal sebagai Davao, salah satu kota besar di selatan Mindanau. Sementara Datu Buisan (muda) lahir serta dibesarkan di Pulau Sarangani.
Siapa Datu Buisan (tua) dan kebesarannya diutarakan langsung oleh Pangeran Karimbutu, salah seorang anak Datu Buisan (muda) sekaligus cucu Datu Buisan (tua) di tahun 1694 ketika dia bertemu Gecommitteerden (Komisi Kompeni) Onderkoopman Pieter Alsteijn dan Vandrig David Haak yang berkunjung ke Sarangani dan Mindanau.
Belum diketahui hubungan Datu Buisan ayah beranak dengan Kapiten Laut Buisan atau Datu Buisan yang berkuasa sebagai Sultan Mindanau sekitar tahun 1597 hingga 1619. Apakah masih kerabat dekat, atau sekedar memakai nama sama mengenangkan kebesaran penguasa Mindanau keturunan Syarif Muhammad Kabungsuwan.
Tapi dari tarsilas Mindanau terdapat jalinan kekerabatan yang kental di antara para penguasa Sarangani dengan kerajaan tetangganya seperti Mindanau, Buayan dan Sulu.
Salah seorang putri Datu Buisan dari Kendahe diketahui menikah dengan cicit Datu Buisan penguasa Mindanau bernama Barahaman atau Bragman atau Rahman yang juga menjadi Sultan Mindanau.
DATU MANGADA
Datu Buisan (tua), ayah Raja Kendahe Datu Buisan (muda), adalah Raja
Sarangani. Sejarawan Belanda Mr.L.C.D.van Dijk menyebut namanya sebagai Datu
Mangada. Mangada adalah Raja Sarangani yang ditemui oleh petugas Kompeni
Belanda Fiscaal Daniel Ottens tahun
1628. 1
Kerajaan Sarangani pernah berjaya di kawasan Mindanau Selatan bersama-sama Kesultanan Mindanau dan Sulu, termasuk Buayan. Meski memiliki hubungan kekerabatan kental, terjadi persaingan di antara para penguasanya, dengan supremasi Mindanau diselingi perhubungan dan klaim kepemilikan oleh Kesultanan Ternate. Di lain pihak Spanyol dari Manila berupaya menguasai dan menanamkan pengaruh di kawasan tersebut, sehingga banyak waktu pula kerajaan-kerajaan itu bersekutu untuk menghadapi Spanyol.
Kerajaan Sarangani berkuasa atas Kepulauan Sarangani yang mencakup Pulau Sarangani, Pulau Balut yang di masa itu bernama Candigar, serta Pulau Marorong atau sebelumnya Madourongi atau Malurung. Sementara di daratan Pulau Mindanau, kekuasaan Sarangani meliputi seputaran Teluk Butuan (sekarang Teluk Davao) serta pantai barat Mindanau yang meliputi sejumlah negeri, termasuk Davao yang disebut Dabo; wilayah yang disebut Buwisang (Buisan).
Di tahun 1620-an disamping Kepulauan Sarangani, negeri-negeri yang dicatat menjadi milik Raja Sarangani di bagian selatan Pulau Mindanau adalah Cammarian sebagai ibukota. Kemudian Malita, Bagobo, Carrating, Djabo (Dabo), Youw, Mateau, Sommeleg dan Leyne.
Valentijn memerinci selain Sarangani, negeri-negeri tempat perdagangan di Teluk Butuan yang berada di bawah Raja Kendahe adalah Culamang, Dabu, I-Jong, Maleyo, Catil dan Leheyne. Komoditas masyarakatnya adalah lilin, madu, beras, kacang-kacangan, dan milu (jagung), sementara di I-Jong sedikit debu emas.
Tahun 1694, kerajaan Kendahe di Sangihe masih mengklaim semua tanah bekas kerajaan Sarangani, dari Sarangani ke Lajine di Mindanau meliputi negeri-negeri: Haluma, Malita, Kassie, Ladon, Taruna, Dabo, Usu, Salugu dan Makupe.
Selain Cammarian, Kerajaan Sarangani pernah beribukota di Sarangani dan Candigar, termasuk Davao (Dabo) tempat kediaman terakhir Datu Buisan (tua) seperti dilaporkan cucunya di tahun 1694.
Dari nama Candigar, bekas ibukotanya, menurut para ahli, nama Candhar atau Candahar yang menjadi Kendahe tercetus. Kerajaan Sarangani dalam berbagai dokumen banyak dicatat sebagai Sarangani/Candahar. Anak-anak Raja Datu Buisan menyebut kerajaan ayahnya sebagai kerajaan Buwisang.
Datu Buisan (muda) Raja Kendahe dipastikan sempat menggantikan ayahnya dengan mengklaim tahta Sarangani. Namun didesak Sultan Mindanau ia lebih memilih mengembangkan kerajaannya di Kendahe.
Penguasaan Kesultanan Mindanau atas Kerajaan Sarangani dicatat Daniel Ottens yang berangkat dari Makian ke Sarangani dengan kapal Orange tanggal 30 Agustus 1628. Utusan Kompeni ini membawa surat dan hadiah untuk raja-raja Sarangani, Mindanau, Bonaya (Buayan) dan Sulu yang sangat berharap bantuan Belanda menghadapi Spanyol.
Van Dijk penulis Neerland’s vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-archipel, Cambodja, Siam en Cochin-China yang terbit tahun 1862 menukil pada 3 September 1628 Ottens melihat Sangihe, dan pada 18 September berlayar ke timur di sepanjang Pulau Sarangani dan Candigar atau Madourongy ke negeri Cammarian yang setengah hancur di Teluk Butuan di Pulau Mindanau, di teluk kecil yang tidak aman dengan tanjakan curam.
Ottens menerangkan, Raja Sarangani Mangada dan Jogugu Kitchil (Kaicil) Londo kecewa mengetahui dia tidak datang untuk menghancurkan benteng Spanyol di Sungai Tandag, seperti dijanjikan Gubernur Jacques Le Febvre empat tahun lalu. Mereka ceritakan Sarangani diserang Kitchil Gouserat Raja Mindanau tahun 1625/1626, dan ibukota dibakar dan membawa banyak tawanan, sementara yang tersisa dipaksa membayar upeti. 2
Kitchil Gouserat dimaksud adalah Sultan Korolat atau Kudarat.
Raja Mangada mengklaim Sarangani memiliki kekuatan 2000 penduduk termasuk 500 prajurit dan ia dapat memimpin berperang 2000 orang terhitung 200 Bajo penjaga pantai serta penduduk dari negeri-negeri Malita, Bagobo, Carrating, Djabo, Youw, Mateau, Sommeleg dan Leyne yang dekat dengan wilayah kekuasaan Sultan Mindanau. Ia pun menjanjikan 10 korakora untuk memerangi Spanyol.
Tindakan Mindanau menguasai Sarangani setelah sebelumnya menduduki Buayan, diduga karena penguasa Sarangani sebelumnya yang menjadi sekutu Sultan Mindanau digulingkan Datu Mangada.
VASAL MINDANAU
Hubungan penakluk dan yang ditaklukkan berlangsung pasang surut, bermusuhan
dan damai. Masa damai berlangsung selama pemerintahan Datu Buisan (tua) dan sultan pengganti Korolat yakni Sultan Borphat.
Namun anak dan pengganti Datu Buisan (tua) yakni Datu Buisan (muda) dari Kendahe sangat lemah, sehingga terdesak dan memilih membangun kerajaannya di Pulau Sangihe.
Kemungkinan lain yang terjadi selain karena segan menjadi vasal Mindanau, sepeninggal ayahnya Datu Buisan (tua) di tahun 1670-an, adalah persaingan dan rebutan kuasa diantara saudara-saudara Datu Buisan (muda). 3
Seorang adik Datu Buisan (muda) yang dicatat Gubernur Maluku Simon Cos sebagai regent berkuasa di Sarangani. Sedangkan di Davao memerintah saudara lelaki lainnya yang bernama Pangeran Simpinie. Ketika meninggal Simpinie digantikan adik wanita lain yakni Putri Balana yang masih memerintah di tahun 1694. Kedua paman dan bibi ini diklaim Karimbutu hanya sebagai wakil yang memerintah atas nama ayahnya Datu Buisan.
Datu Buisan sebelumnya telah membangun kerajaannya di Pulau Sangihe Besar. Kedatangannya di Kendahe diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1650-an atau sebelum tahun 1660-an, ketika ayahnya Datu Buisan (tua) masih hidup.
Van Dijk menyebut pada bulan Oktober 1660 karena membutuhkan minyak kelapa Gubernur Simon Cos mengirim sebuah kapal kecil (jenis sloep) ke Sangihe dengan perintah menemani Raja Kendahe untuk melakukan perjalanan ke Butuan. Misi lain Cos saat itu adalah untuk melihat apakah otoritas Datu Buisan sebagai anak seorang raja berhasil membantu Kompeni memperoleh keuntungan dalam perdagangan di Mindanau dan Sarangani.
Raja Datu Buisan diterima dengan baik oleh adik laki-lakinya yang menjabat regent. Namun Cos kecewa karena perdagangan di Sarangani sepi. Semua hasilnya telah dibawa oleh kapal Mindanau yang tiba sebelumnya.
Sultan Mindanau Korolat yang mengetahui tidak suka dengan perjalanan utusan Cos bersama Datu Buisan. Tapi akhirnya tidak berkeberatan karena didesas-desuskan Raja Kendahe yang dianggapnya sebagai pengikutnya, akan membantu Kompeni membangun benteng di Sarangani atau di Teluk Butuan.
Meski memerintah di Kendahe Sangihe, Datu Buisan beserta dua anaknya, Pangeran Siamsialam (Samsialam atau Simanciala) yang memakai gelaran Prince of Bouajang, dan adiknya Pangeran Karimbutu (Karambut, dalam surat 1694 memakai nama Bahakin Butu) dilaporkan bebas dan banyak berkunjung bahkan bermukim lama di Sarangani. Sultan Mindanau yang kuat tidak menganggap Raja Kendahe dan anak-anaknya sebagai ancaman, apalagi ia selalu membutuhkan bantuan dari para vasal untuk menghadapi Spanyol.
Sultan Barahaman atau Bragman setidaknya bersikap lunak kepada mertuanya, kendati tidak melepaskan supremasi Mindanau atas Kerajaan Sarangani.
Masa ini Datu Buisan berhasil menempatkan dua anaknya Pangeran Makabalat dan Hujamu (Kujamu) sebagai penguasa Sarangani menggantikan adiknya. Sementara anak kesayangannya Siamsialam menjadi pewaris dan putra mahkota Kendahe.
Belakangan Siamsialam yang mulai mengambilalih pemerintahan Kendahe dari ayahnya yang telah berusia tua telah berselisih dengan kedua saudaranya di Sarangani Makabalat dan Hujamu yang memperoleh dukungan Sultan Bragman. Klaim Siamsialam di Sarangani ditolak mereka.
Sejarawan Belanda lain Dr.W.Ph.Coolhaas dalam Generale missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie terbitan tahun 1975 mencatat laporan Gubernur Jenderal Mr.Willem van Outhoorn tanggal 31 Januari dan 24 Maret 1692 tentang kedatangan dan permintaan Siamsialam, di Ternate pada 25 Januari 1688. Siamsialam meminta Kompeni membantunya melawan kedua saudaranya dengan janji memberikan Bouajang setelah dia menaklukan dengan kekerasan senjata kedua saudaranya.
Kompeni menolak permintaan Siamsialam, karena menerima surat Sultan Bragman yang mengatakan Siamsialam hanya memiliki penduduk di Bouajang sekitar 40 hingga 50 orang. 4
Kendati beberapa bulan kemudian Siamsialam bersama ayahnya Datu Buisan telah berjanji tidak akan campur tangan dalam masalah Sarangani setelah menyerahkan kepada Kompeni Belanda, pengaruh Kendahe tetap diindahkan penduduknya. Penduduk Sarangani dan yang bermukim di Teluk Butuan tetap menyerahkan pajak tahunan termasuk emas untuk Raja Kendahe.
Belanda secara tidak langsung mengakui hak Datu Buisan atas wilayah di Sarangani dan Mindanau. Ini umpama terungkap ketika Gubernur Robertus Padtbrugge ditemui Datu Buisan. Dalam jurnalnya tanggal 7 Desember 1677 Padtbrugge menyalahkan ketidakmampuan Datu Buisan menangani kerajaannya di Mindanau.
Padtbrugge menyesalkan, Spanyol telah meninggalkan posnya di sebelah timur Mindanau, tapi malah telah datang membangun pos baru lebih dekat di Teluk Butuan tanpa dicegah oleh Datu Buisan. Datu Buisan berjanji setelah kembali ke Kendahe akan segera mengirim kapal ke Teluk Butuan dengan perintah kepada rakyatnya tidak mentolerir dan membiarkan Spanyol datang di wilayahnya tersebut.
Penyusun Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie tahun 1939 Prof.D.G.Stibbe dan Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen menyebut Raja Kendahe masih tetap mengendalikan wilayahnya di Sarangani dan Mindanau yang disebut Buwisang di tahun 1689.
Adik bungsu Siamsialam, Pangeran Karimbutu yang dikirim mewakili ayahnya ke Sarangani, tetap tidak menerima penguasaan Mindanau atas Sarangani. Ketika bertemu Alstein yang menjabat Sekretaris di Ternate dan Haak yang datang dengan Fluit den Bril sebagai utusan Gubernur Cornelis van der Duijn akhir tahun 1694, Karimbutu meminta Kompeni memperjuangkan hak ayahnya di wilayah Mindanau. Argumen Karimbutu, ayahnya Datu Buisan adalah Raja Buwisang di Teluk Butuan dan Kepulauan Sarangani.
Selain Kepulauan Sarangani, Karimbutu mengklaim kepemilikan
ayahnya termasuk dengan negeri-negeri: Haluma, Malita, Kassie, Ladon, Taruna,
Dabu, Usu, Salugu, dan Makupu. Dengan demikian semua tanah dari Sarangani ke Teluk Butuan hingga
Lajine.
Karimbutu yang sebelumnya telah menyurati van der Duijn bertanggal 4 Mei 1694 mengatakan Sultan Bragman yang disebutnya Rahman berpura-pura wilayah hak ayahnya termasuk dengan penduduknya sebagai miliknya. Karimbutu sebagai wakil raja tidak dapat berbuat banyak sambil menyalahkan ketidakmampuan ayahnya bekerja di Sarangani.
Menurut Karimbutu, selama kakeknya Datu Buisang berkuasa di Davao, kakeknya itu tidak memegang otoritas secara pribadi, tetapi dia memiliki hubungan baik dan persahabatan dengan ayah dari Sultan Rahman, bernama Sultan Borphat, anak dari Korolat selama hidup mereka.
Keduanya tidak pernah berselisih. Bahkan mereka menggabungkan kekuatan bersama, menaklukkan semua orang di teluk dan membagi hasil kemenangan bersama-sama. Tapi dengan memanfaatkan ketidakmampuan ayahnya, Sultan Rahman mulai melakukan pelanggaran dan mengklaim kepemilikan Kendahe tersebut.
Putus harapan tapi tetap berharap campur tangan Belanda, pada tanggal 10 September 1688 ketika berkunjung ke Ternate, di Kastil Orange, Raja Datu Buisang bersama para mantrinya Kapiten Laut Hendrik Manabung, putra mahkota Kitchil Siamsialam dan Sangaji Tobo menyerahkan hak dan kepemilikan semua wilayahnya di Teluk Butuan dan Sarangani kepada Kompeni Belanda yang diwakili Gubernur Joan Henrik Thim.
Tapi pemerintah tinggi Kompeni tidak berminat dengan Sarangani yang juga diklaim oleh Kesultanan Ternate. Saran Gubernur Thim untuk bertindak menggunakan senjata melawan Mindanau agar memperoleh kontrak monopoli dan memikat orang Sangihe tidak diindahkan Komisaris Dirk de Haas dan atasannya Gubernur Jenderal Johannes Camphuys yang mencatat kebijakan tersebut pada 30 Desember 1689.
Selain menjaga persahabatan dengan Mindanau mengantisipasi kekuatan
Spanyol, pengalihan seluruh wilayah yang diklaim Raja Datu Buisan dan anaknya
Siamsialam tidak mempengaruhi Kompeni untuk menduduki langsung Sarangani dan
bagian wilayahnya yang berada di Pulau Mindanau. Keengganan Belanda bermuara dari sejumlah kegagalan ekspedisi melawan Spanyol di Filipina di masa silam.
Bahkan, menurut van Dijk dan Valentijn, Mindanau tidak boleh dikunjungi secara langsung oleh Gubernur Maluku. Meski secara resmi sejak tahun 1677 setelah Datu Buisan bertanda perjanjian 7 Desember 1677 dengan Gubernur Padtbrugge, dalam status sebagai bawahan Ternate, secara tidak langsung Pulau Sarangani dan semua orang di wilayah Butuan Mindanau telah diserahkan kepada Kompeni, karena mengakui Kompeni sebagai tuan. Dengan klaim Sultan Mindanau Bragman bahwa Raja Kendahe sama sekali tidak berhak atas tempat-tempat tersebut, Belanda yang juga menerima penyerahan Sarangani tahun 1683 dari Sultan Ternate Amsterdam, seakan membiarkan pendudukan Mindanau dan Spanyol kemudian.
Lebih mengakui supremasi dan yurisdiksi Sultan Ternate atas Sarangani dan seluruh Sangihe termasuk Kendahe, Camphuys mencatat pada 14 Maret 1690 penyerahan oleh Raja Kendahe Datu Buisan dianggap sekedar dipahami, tanpa pendudukan dan pengaturan petugas Kompeni di Sarangani dan Mindanau. Terkecuali ada alasan khusus untuk melakukannya.
Menurut Camphuys, Belanda cukup mempertahankan hubungan yang telah terjalin, tanpa harus terikat dan masuk ke dalam aliansi dan perjanjian yang mengikat karena khawatir akan terikat untuk memenuhi janji.
Sekedar mengobati kekecewaan, Kompeni Belanda memberi hak khusus kepada Kendahe tetap berhubungan dan melakukan pelayaran ke Sarangani untuk mengambil lilin dan hasil lain. Gubernur Jenderal sebelum Camphuys yakni Cornelis Speelman mengakui hak khusus untuk Kendahe di tahun 1683. Tapi untuk kerajaan lain di Sangihe dilarang tanpa seizin komandan Belanda di Tabukan dan Gubernur di Ternate.
Raja, para bangsawan termasuk penduduk Kendahe dilaporkan bebas hilir-mudik ke Sarangani dan Mindanau. Ketika telah menjadi Raja Kendahe Siamsialam bahkan melalaikan pekerjaannya di Sangihe, karena tinggal selama empat tahun di Sarangani.
Hubungan kerajaan Kendahe dengan Sarangani dan Mindanau berakhir ketika Pangeran Karimbutu yang telah menjadi Kristen Protestan dengan nama Johannes tanggal 12 Desember 1713 naik tahta Kendahe menggantikan kakaknya Siamsialam yang tewas akibat letusan Gunung Awu tanggal 10 Desember 1711.
Penulis E de Wall dalam De Sangie-Eilanden in 1825 menyebut penduduk Sarangani dan wilayah lain di Mindanau sejak Karambut berkuasa menolak mengakui dan memberikan pajak berupa sejumlah lilin dan barang lainnya kepada Raja Kendahe. Mereka mengakui pertuanan Mindanau.***
1.Sumber Kyoto Review of Southeast Asia September
2006 menyebut Datu Mangada tinggal di Pulau Balut lalu pergi ke Cotabato Utara dan
menikah dengan seorang Iranun. Datu Buisan adalah cucunya. Sumber-sumber
mengaitkan Mangada sebagai Medelu atau Makadulu.
2.Kitchil
Gouserat, menurut van Dijk, adalah menantu Raja Sulu. Ia identik dengan Sultan Korolat
atau Kudarat, anak dan pengganti Kapitan
Laut Datu Buisan. Menurut Wikipedia, Datu (Kapiten Laut) Buisan berkuasa
sekitar 1597-1619, Kudarat 1619-1671, Dundang Tidulay 1671-1675/1678 dan
Barahaman (Bragman atau Abdur Rahman) 1675/1678-1699.
3.Dari penjelasan cucunya, Pangeran Karimbutu tahun 1694, Datu Buisan dari Davao akan masih hidup di tahun 1670-an sebab sahabatnya Sultan Dundang Tidulay yang dalam arsip Belanda disebut Borphat memerintah di dekade tahun 1670-an.
4.Belum diketahui kenapa Siamsialam menggunakan gelaran Prince of Boeajang atau Buayan, apakah karena klaim atau hubungan kekeluargaan dengan kerajaan Buayan tetangga Sarangani, atau sekedar wilayah yang mencakup bekas kerajaan Sarangani dan wilayah di Teluk Butuan yang disebut juga kerajaan Buwisang. Coolhaas menafsir seturut Gubernur Jenderal van Outhoorn dan Sultan Mindanau Bragman, Boeajang dimaksud hanyalah sebuah negeri kecil di bawah Mindanau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.