Peta Sulawesi Utara dari Padtbrugge tahun 1677 dengan Sarangani dan Buwisang di Mindanau (koleksi P.A.Leupe, Nationaal Archief, Den Haag). |
Kehidupan Datu Buisan, Raja Kendahe di Kepulauan Sangihe, yang menjadi penguasa Kepulauan Sarangani dan Buwisang di seputaran Teluk Butuan banyak diliputi misteri, termasuk dengan keluarganya. Tidak heran muncul berbagai kisah seputaran diri dan anak-anaknya.
Sejarawan Belanda Francois Valentijn dan Gubernur Kompeni Belanda Dr.Robertus Padtbrugge adalah dua tokoh yang banyak membahas Datu Buisan. Disamping laporan dari para Gubernur Jenderal Kompeni yang hidup sejaman dengan Datu Buisan dan anak-anaknya, seri besar karya Dr.W.Ph.Coolhaas.
Valentijn penulis Oud en Nieuw Oost-Indie mengatakan sebagai pendatang dari kawasan Mindanau, pendirian kerajaan Kendahe di Kepulauan Sangihe berdasarkan kebiasaan lama melalui perkawinan.
Peristiwanya terjadi jauh setelah pengklaiman Kepulauan Talaud oleh Tabukan, Siau, Tagulandang, Manganitu dan Tahuna. Sehingga Kendahe tidak mendapatkan wilayah bagian di Kepulauan Talaud.
Tapi tidak ada catatan resmi apabila Datu Buisan atau leluhurnya mengawini putri Raja Sangihe yang mana. Kemungkinan dari Tabukan, yang paling akrab dengan Datu Buisan, sehingga Pantchialang (Pandjalang) seorang putranya dipercaya menjadi perdana menteri, sebagai Jogugu Tabukan pertama. Sedangkan putri kesayangannya Lorolabo diperistri Lalero (Dalero), putra Raja Tabukan. Berbeda tetangga dekatnya Tahuna yang mengklaim Kendahe sebagai miliknya. Raja Tahuna Don Martin Tatandam dan penggantinya Don Louis Melangin sampai tahun 1702 berkali-kali menolak pelantikan Siamsialam sebagai raja baru Kendahe, sebab menginginkan Kendahe digabung dengan Tahuna.
Kerajaan Kendahe adalah yang terkecil dibanding kerajaan lain yang pernah ada di Kepulauan Sangihe. Sebelum digabung dengan Tahuna tahun 1898, Kendahe yang berada di barat laut Pulau Sangihe Besar memiliki batas-batas sepanjang laut. Mulai sebelah barat dari Tanjung Sahmute (Salimahe, Salimar) ke Tanjung Batu Bukelo (Bukala), dan dari dua tanjung tersebut ke Gunung api Awu. Selanjutnya negeri Ngalipung (Ngalipaeng) di sebelah tenggara Pulau Sangihe Besar ke Kendahe, batasnya adalah sepanjang laut dari Batu Mehangu ke Tanjung Lanang dan dari dua titik itu ke atas Gunung Tumalede. 1
Sementara di awal abad ke-18, dari gambaran Valentijn, Kendahe dimulai dari sudut utara yang disebut Tanjung Salimar, dengan dua negeri di barat, Talawid dan Nirosenkayu, masing-masing terletak sekitar satu dan dua mil dari Tanjung Salimar. Ibukotanya Kendahe (disebut Candahar) sekitar satu mil dari Nirosenkayu. Lalu sekitar dua mil ke selatan dari Kendahe berada negeri Sarudukel. Antara Sarudukel dan Kendahe ada negeri kecil lain bernama Sarab. Dan di sebelah Sarudukel, hampir di satu posisi yang sama, berada negeri Kolongan di bawah kekuasaan Raja Tahuna.
Tahun 1711, Raja Kendahe mampu membawa sekitar sembilan ratus orang untuk berperang dari negeri Kendahe, dan dari Sarudukel sekitar tujuh puluh orang. Seluruhnya kerajaan Kendahe berpenduduk sekitar tiga ribu orang.
Selain Kendahe dan Kolongan beberapa negeri yang disebut Valentijn tidak dikenali lagi. Negeri-negeri ini hancur binasa dan ditinggalkan setelah peristiwa meletusnya Gunung Awu pada 10 hingga 16 Desember 1711. Talawid masih ada, namun Nirosenkayu, Sarab dan Sarudukel hancur. Sarab dan Sarudukel kemungkinan berdiri di kepolisian Kendahe Dua dan Kolongan sekarang.
DUA PULUH ANAK
Dari tradisi lokal Datu Buisan memperistri Liungsangian yang menjadi ibu dari Siamsialam dan Karambut. Kemudian Uwelawewe yang disamakan dengan Bele Serieuw.
Nama Bele Serieuw (Beleseriwu) sendiri tertera dalam dokumen Kompeni Belanda sebagai salah satu istri utama Datu Buisan.
Raja Datu Buisan memiliki banyak anak. Semuanya dua puluh orang. Selain istri resmi, ia memiliki selir.
Dari kedua puluh anak Datu Buisan, Valentijn hanya memuji Lorolabo (disebutnya Locolabo) sebagai putri dari seorang wanita terpandang. Tapi mengkritik sembilan belas anak lain yang terdiri dari laki-laki atau perempuan sebagai buruk, dan berdasar pendapat pribadinya tidak seorang pun dari mereka berhak atas kerajaan Kendahe, karena milik Kolongan (Tahuna).
Beberapa anak Datu Buisan yang dikenal namanya adalah: Anthony van Voorst, Pantchialang, Putri Lorolabo, Siamsialam, Makabalat, Hujamu, Salarangi dan Karambut. Dari mereka Makabalat dan Hujamu tinggal di Sarangani sebagai penguasa. Di masa berikut Hujamu pergi ke Ternate. Seorang putri lain diperistri Sultan Mindanau Bragman (Barahaman atau Rahman).
Datu Buisan dan keluarganya beragama Islam. Datu Buisan pernah dibujuk Gubernur Padtbrugge untuk masuk Kristen, tapi ditolak dengan halus.
Ketika menemui Padtbrugge di kapal (jenis chaloup) de Eendraght Selasa 7 Desember 1677 sebelum meneken kontrak, Datu Buisan menyebut toleransinya dengan dua anaknya yang telah menjadi Kristen Protestan, yakni Anthony van Vorst dan Susanna Lorolabo. Ia pun tidak menghalangi siapapun yang ingin menjadi Kristen. Bahkan meminta cucunya yang baru dilahirkan Susanna untuk dibaptis. Selain itu dari 2 negeri di kerajaannya, satu dikhususkan orang-orang Kristen, dan negeri lain Islam.
Datu Buisan menjadi satu-satunya Raja Islam di seluruh Sangihe, dan atas permintaannya yang sungguh-sungguh diizinkan untuk mempertahankan imannya dengan keyakinannya sendiri selama dia hidup. Meski Datu Buisan, menurut Valentijn, telah menjadi salah satu dari yang pertama, selain Raja Tahuna Don Martin Tatandam, yang kepada Gubernur Cornelis Francx di tahun 1673 atau 1674 secara serius menyatakan ingin menjadi Kristen.
Seperti Padtbrugge dan pejabat Kompeni yang dikirim ke Kendahe untuk berbicara dengannya tentang masalah ini, Datu Buisan menjawab, bahwa dia tidak tahu lagi tentang masalah itu. Sekarang, katanya, dia tidak melihat alasan sama sekali mengapa harus mengubah agamanya.
Kompeni Belanda yang ingin menerapkan Protestan yang direformasi menurut doktrin Sinode Dordrecht sebagai agama satu-satunya di Pulau Sangihe Besar, sempat memaksakan kesepakatan bahwa setelah kematian Datu Buisan penduduk akan masuk Kristen. Sedang yang bertahan pada keyakinan Islam akan pindah ke Mindanau, Sarangani atau ke negeri Islam di Ternate.
Namun Valentijn mengungkap raport Ds.Arnoldus Brands tahun 1705, bahwa kesepakatan tersebut dibatalkan sendiri oleh pemerintah Belanda.
Selain Siamsialam dan Karambut yang berturut-turut menggantikan Datu Buisan sebagai raja, beberapa anak Datu Buisan tidak kalah terkenal.
ANTHONY VAN VOORST
Pengkristenan di Kendahe dimulai sebelum tahun 1677, dipelopori oleh putra tertua Datu Buisan yang memakai nama serani Anthony van Voorst. Ia mengambil nama dari Anthony van Voorst, Gubernur Maluku tahun 1662-1667.
Tidak diketahui predikant yang membaptisnya. Namun sebelum kedatangan Padtbrugge yang disertai Ds.Zacharias Caheyng tahun 1677, ada empat pendeta yang datang menginjil ke Pulau Sangihe Besar. Ds.Franciscus Dionysius tahun 1673, Ds.Jacobus Montanus bersama Ds.Isaacus Huisman tahun 1675 serta Ds.Gualterus Peregrinus tahun 1676.
Tapi Montanus dalam raportnya menyatakan tidak dapat melakukan apa-apa di Kendahe, sebab harus menunggu Raja Datu Buisan yang melakukan perjalanan ke Sarangani.
Dionysius dan Huisman sendiri meninggal di tahun kedatangan mereka, dan dikuburkan di luar Tahuna, berdekatan Kendahe.
Negeri Kristen Kendahe yang dipimpin langsung Anthony van Voorst dimulai dengan rumah tangganya sendiri, yang tahun 1690 berjumlah 50 orang terutama berasal Tagulandang.
Selain tidak melarang anaknya menjadi Kristen, toleransi Raja Datu Buisan ditunjukkan dengan pendirian sebuah gereja dan sekolah. Sekolah di Negeri Kristen menggunakan bangunan gereja dipimpin guru (meester) tunjukan Kompeni bernama Andries Furtados yang dipindahkan dari Tagulandang. Tahun 1690 sekolah di bawah Furtados memiliki 40 murid dengan kemunculan 14 atau 15 anak.
Anthony van Voorst adalah tokoh Kendahe yang sejak awal dipercaya ayahnya mewakilinya berurusan dengan Kompeni. Ia disukai Gubernur Padtbrugge. Bahkan Padtbrugge menginginkan dirinya menjadi raja pengganti Datu Buisan nanti. Tapi, Datu Buisan menolak, beralasan putranya bukan sebagai pewaris mahkota karena berasal dari selir keturunan rendah.
Tanggal 7 Desember Padtbrugge mendesak Datu Buisan mengangkat Anthony van Voorst sebagai Kapiten Laut yang segera dipenuhi. Hari itu, dalam jabatan baru Anthony ikut meneken kontrak Kendahe dengan Padtbrugge bersama Datu Buisan serta Jogugu Wanka, Hukum Tanapia dan Kapiten Papia.
Tapi, hanya berselang empat hari, pada Sabtu 11 Desember 1677, Padtbrugge menerima kabar dari Raja Tahuna Martin Tatandam bahwa Anthony van Voorst jatuh sakit dengan mendadak, dan malam hari meninggal dengan tanda-tanda keracunan. Padtbrugge yang marah menduga salah seorang saudara ayahnya yang menyebabkan kematian tersebut.
Tanpa Anthony van Voorst, Protestan tumbuh dengan banyak penduduk, termasuk kalangan bangsawan serta bobato (mantri, rijksgrooten) menjadi pemeluk Kristen. Bahkan putra dan putri Datu Buisan ikut masuk Kristen mengikuti jejak Anthony van Voorst. Antara lain: Lorolabo, Pantchialang, dan terakhir Karambut. Termasuk Hendrik Manabung, Kapiten Laut lalu Jogugu yang dipercaya sebagai anak kandung Datu Buisan sendiri. Manabung ikut mendirikan Negeri Kristen Kendahe.
Tahun 1705 Ds.Brands mencatat orang Kristen di Kendahe telah mencapai 403
jiwa, tapi tanpa sidi, dengan 39 murid laki-laki dan 4 anak murid
perempuan.
ISTRI SULTAN BRAGMAN
Seorang putri Datu Buisan diperistri oleh Sultan Mindanau bernama Bragman (Barahaman, Rahman atau juga Abdaraman) yang memerintah Mindanau di Simuay tahun 1675 hingga meninggal 1699.
Tidak diketahui siapa nama putri Datu Buisan ini.
Namun dalam silsilah yang dibuat Kapten Thomas Forrest tahun 1770 dalam A Voyage to New Guinea and the Moluccas from Balambangan, diungkap istri Sultan Bragman berasal Sangihe bernama Sembassin, yang menurunkan para penguasa Mindanau berikutnya.
Tapi Sembassin disebut sebagai anak dari tokoh bernama Maholanding dengan Putri Timbang sa riboo (Timbangseriwu).
Silsilah Mindanau dan Sulu berkait Sangihe (Capt.Thomas Forrest) |
Tidak pasti kalau Maholanding adalah nama lain dari Datu Buisan dan Timbangseriwu adalah istri lainnya.
Disebut Kapten Forrest, kalau Maholanding adalah anak dari Pangeran Illano (Iranun) dari Mindanau, sedangkan Timbangseriwu adalah anak Malary, raja dari Sangihe. Saudara lain dari Sembassin bernama Pangy dan Manalantan. Manalantan juga menjadi raja di Sangihe.
Yang pasti, putri Datu Buisan istri Sultan Bragman masih hidup di tahun 1707. Coolhaas mengungkap berita dari Gubernur Jenderal Joan van Hoorn tanggal 25 November 1708, sebanyak 14 orang pangeran Sangihe yang merupakan kemenakan sang putri bertolak dari Tabukan pergi ke Mindanau untuk menemuinya.
SUSANNA LOROLABO
Putri Datu Buisan bernama Lorolabo diperistri oleh Lalero (Dalero), putra kedua Raja Tabukan Kaicil Garuda atau Burudao, sebelum tahun 1677.
Lorolabo bersama Lalero disahkan perkawinannya serta dibaptis Protestan di Tabukan pada malam Jumat 3 Desember 1677 oleh Ds.Zacharias Caheyng. Menjadi saksi Gubernur Padtbrugge dan Raja Tahuna Don Martin Tatandam. Lorolabo dibaptis bersama mertua dan ipar-iparnya, dengan memakai nama Susanna dan suaminya Marcus. 2
Kehidupan rumah tangganya tidak berbahagia, karena selama beberapa tahun berperkara dengan suaminya yang telah menjadi Raja Tabukan. Ia dicerai Marcus Lalero yang mengambil Salontingo (kemudian bernama Kristen Joanna Lalonsego atau Lolonsego), janda Bangkal, saudara Lalero sendiri.
Nasib Lorolabo tragis. Terusir dari suami dan Tabukan, ia tewas terbakar bersama putrinya bernama Sarabanong dalam bencana akibat meletusnya Gunung Awu, Kamis tengah malam tanggal 10 Desember 1711.
DAVID PANTCHIALANG
Namanya disebut juga Pandjalang atau Pandjalla atau juga Pantjalang. Termasuk anak tertua dari Datu Buisan, karena dicatat sebagai kakak dari istri Sultan Bragman dan Putri Lorolabo. Ia menjadi Jogugu pertama dari Kerajaan Tabukan di periode akhir pemerintahan Raja Franciscus (Francisco) Maccaampo (Makaampo) tahun 1680-an, lalu di bawah Raja Marcus Lalero serta Raja Mattheus Franciscus Maccaampo.
Masa iparnya Marcus Lalero memerintah, bersama Jogugu kedua Thomas Mala (Waela, Wala), ia berselisih hebat dengan raja karena persoalan adiknya Lorolabo, hingga harus diselesaikan perkaranya oleh pemerintah tinggi Kompeni di Batavia tahun 1691.
Pantchialang yang menjadi Kristen dengan nama David, kendati dikritik Gubernur Maluku dan Gubernur Jenderal karena perannya dalam peribadatan tradisional, sangat berkuasa dan kaya. Bersama raja dan jogugu kedua, mereka membagi negeri-negeri milik Tabukan di Kepulauan Talaud, dengan menarik pajak dan tenaga kerja penduduk sewaktu-waktu untuk kepentingan diri sendiri.
Pantchialang masih dicatat Gubernur Jenderal Christoffel van Swool 26 November 1714 sebagai orang yang sangat berpengaruh, sehingga dapat mengobarkan pemberontakan.
Dominasi keluarga Pantchialang di Tabukan masih berlanjut ke anaknya Bulega yang memakai nama Philip Pantjalang. Philip Pantjalang menjabat Jogugu Tabukan di Sarab serta mengawini Ensonangin cucu dari Raja Marcus Lalero dengan Lorolabo yang memakai nama Kristen Sara Sarabanong.
Bahkan, putra Jogugu Philip bernama David Johannes Philip yang menggunakan fam kehormatan Maccaampo dari pihak istri, sebagai David Johannes Philip Maccaampo, diangkat menjadi Raja Tabukan di Kastil Orange Ternate 18 Mei 1758 menggantikan Raja Philip Maccaampo. Ia mengawini putri dari Zacharias Maccaampo, kakak Raja Philip Maccaampo yang dibuang di Batavia tahun 1721.***
1.Batas-batas kerajaan Kendahe berdasar kontrak yang diteken Raja Daniel Petrus Janis dengan Residen Manado Jhr.Johannis Cornelis Wilhelmus Diedericus Adrianus van der Wijk tanggal 24 November 1885.
2.Ayah mertuanya Raja
Tabukan diberi nama seperti ayahnya Franciscus (Francisco), dan putra tertua nama Mattheus, putra
kedua yang menjadi suaminya Marcus, sementara putra bungsu Martinus. Istri raja diberi nama Maria,
dan dua putri masing-masing: Catharine dan Anna. Dalam perkara Lorolabo dan
Lalero, disebut Bangkal sebagai adik bungsu Lalero, sehingga merujuk ke nama
Martinus, bukan Mattheus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.