Sabtu, 05 Desember 2020

Kerajaan Manado Dalam Legenda

 

 

 

 

 Pemandangan Manado 1890-an dengan latar belakang Manado Tua. *

 

Manado di masa lalu pernah berbentuk kerajaan. Namun kerajaan Manado ini bukan Manado di daratan Pulau Sulawesi, melainkan Manado di Pulau Manado Tua sekarang.

 

Manado daratan yang merupakan kawasan Minahasa tidak pernah berbentuk kerajaan. Tapi republik-republik negeri dan pakasaan yang merdeka dan mengatur diri sendiri. Republik yang sering berperang antarmereka, meski sering berkoalisi, baik koalisi kecil atau besar. Seperti pada perang melawan Spanyol 1644 atau perang-perang dengan Raja Bolaang (Mongondow) Loloda.

 

Dari tradisi dan legenda Minahasa kawasan Manado merupakan tanah adat Tombulu. Telah dibagi demikian oleh para leluhur Minahasa keturunan Toar-Lumimuut ketika berlangsung pembagian foso atau pahawetengan nuwu Minahasa di Watu Pinawetengan.

 

Sumber-sumber Portugis dan Spanyol mengungkap kerajaan Manado memang pernah bercokol di Pulau Manado Tua. Kalangan penulis Belanda tentang Minahasa ikut menegas keberadaan kerajaan ini. Satu-satunya pengecualian adalah Pandita Nicolaas Graafland, penulis Hikayat Pulau Manado Tua. Ia berpendapat Manado di Pulau Manado Tua sekedar dipimpin seorang hukum tua. Sementara Dr.J.G.F.Riedel menyebut kepalanya kolano, sebutan seorang raja di masa silam. 

 

Dari kalangan Minahasa, dua sejarawan terkenal H.M.Taulu dan F.S.Watuseke ikut mencatat dalam buku dan tulisan mereka akan kerajaan ini.

 

DARI SELATAN

Pendiri dan penduduk kerajaan Manado --yang dikenal dengan sebutan orang Babontehu-- aslinya memang bukan orang Minahasa, meski kelak telah terjadi percampuran di antara mereka. Bahkan pada akhirnya mereka disamakan dengan orang Minahasa sejak tahun 1679.

 

Riedel di tahun 1862, menyebut orang Babontehu datang dari pihak selatan. Tidak diperincinya selatan itu dari bagian Bolaang Mongondow, Gorontalo atau daerah lain dari Sulawesi.

 

Seorang datu beserta anak-anaknya setelah bertengkar dengan istrinya perkara gundik, telah meninggalkan negerinya mencari tempat kediaman lain.  1]

 

Datu ini mula-mula singgah di Molibagu (wilayah bekas kerajaan Bolaang Uki, sekarang ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan) lalu di Pasolo, Baleng-baleng (Pulau Baling-baling di Desa Tumbak Kecamatan Pusomaen Kabupaten Minahasa Tenggara), dan Lembeh. Tapi mereka selalu diusir sehingga pindah ke Bangka.

 

Dalam versi tulisan lain, disebut Riedel, alasan kepindahan mereka dari Pulau Lembeh karena terjadi Prang Hudang (kapang).

 

Ketika berada di Bangka, orang-orang Bacan mengganggu kehidupan Datu dan penduduknya.  2]

 

Maka mereka kembali pindah ke Pulau Nain. Terakhir di Pulau Manado Tua, di Tanjung Buaroh, lalu membangun benteng batukarang. Di sini sang datu meninggal pada usia lanjut.

 

Menurut Riedel, pengganti datu yang meninggal adalah anak cucunya bernama Mokodompis yang pertama. Pemerintahannya mendatangkan perpecahan, sehingga sebagian penduduk di bawah orang gagah bernama Borimanin, Bahakikih, Bokarakombang dan Wiliuman berpisah, pindah ke Pulau Talise.

 

Kedua bersaudara Lumentut dan Mokodompis kemudian membangun koalisi dengan Kolano Ternate dan Tobelo, berperang dengan penduduk yang lari ke Talise.  3]

 

Tapi karena gagah berani, mereka tidak dapat dikalahkan. Mereka kemudian dibujuk untuk tinggal kembali di Manado Tua. Mereka inilah yang berhasil mengalahkan Tomini dan menuntut upeti darinya.

 

ASAL BACAN

Meski hampir persis, Graafland tahun 1868 lebih merinci bahwa asal mula orang Babontehu datang dari Bacan di Maluku Utara. Seorang raja Anuw di Bacan berperkara dengan istrinya gara-gara seorang pelayan yang elok yang dijadikannya gundik. Karena suami-istri tak ada damai lagi, raja merajuk. Ia mengumpul rakyatnya, keluarga serta sang gundik lalu datang ke sebelah barat mencari tanah lain untuk kediaman.

 

Mereka terdampar ke Tanah Minahasa, awalnya di suatu jiko (teluk), yakni Molibagu. Ketika dilihat raja tempat itu tidak baik, mereka berlayar melalui Tanjung Flesko, masuk ke jiko bernama Pasolo yang mempunyai sarang burung. Tapi tidak ada tempat untuk bermukim, maka mereka bertolak ke Pulau Baleng-baleng. Di sini mereka sekedar singgah, memasak makanan dan menyiapkan perahu.  

 

Kemudian mereka menyeberang ke Pulau Lembeh yang juga mempunyai sarang burung. Tapi mereka hanya tinggal beberapa hari, karena sang raja melihat tak ada lokasi pelabuhan yang baik. Mereka menyeberang dan tiba di Pulau Bangka.

 

Raja merasa pulau ini baik untuk tempat tinggal. Baru tinggal beberapa bulan, datang utusan dari raja besar di Bacan meminta seratus anak muda sesuai perjanjian mereka di tahun penghabisan. Tapi raja tidak mau menepati janjinya.

 

Maka, mereka keluar dari Bangka. Datang ke Pulau Nain Kecil dan Nain Besar. Di sini raja bersengketa dengan anak perempuannya. Karena sedih dan merajuk si putri meninggal dan kuburnya menjadi parigi batu. Jadi takutlah raja, sehingga pindah berdiam di Pulau Manado Tua. 

 

Beberapa tahun kemudian sang raja mati.

 

Pengganti raja ini adalah dua orang tua yakni Lumentut dan Mokodompis. Masa mereka muncul tujuh bersaudara yang perkasa dan gagah dalam perang. Ketujuhnya adalah Bukarakombang, Boremanung, Manikunusa, Sahadagi, Bahakiky, Huntamoniaga dan satu-satunya wanita bernama Dongintairang.

 

Kedua pemimpin yang melihat keperkasaan mereka, berkuatir sehingga mereka berseteru. Ketujuh bersaudara pindah ke Pulau Talise, di suatu tanjung. Tapi, karena banyak ikan terdampar di pantai yang menyiar bau busuk --sehingga tempatnya dinamai tukang sorong-- mereka pergi ke sebelah pulau, menemukan goa sarang burung.

 

Mereka menyeberang ke Pulau Bangka di suatu jiko Lalimata di utara pulau, lalu ke jiko Libas di timurnya, dimana mereka tinggal dengan menanam sagu. Tapi mereka ditemukan orang Tobelo, sehingga pindah lagi ke sebelah tanjung, arah timur di jiko Totohe dan menanam sagu.

 

Mokodompis menyuruh orang memanggil mereka supaya pulang ke Babontehu. Tapi tujuh bersaudara itu tidak mau pulang. Mereka lari ke jiko Tambah.

 

Mendengar mereka tidak mau ikut panggilannya, Mokodompis datang sendiri dan membujuk. Jadilah mereka kembali ke Babontehu. Malah Dongintairang diperistrinya.

 

Di Manado Tua, keenam bersaudara minta izin untuk pergi berperang (rumoraho). Mokodompis setuju dengan syarat diberikan padanya satu budak perempuan. Pergilah keenam bersaudara dengan satu perahu bininta ke Tomini. Mereka mengalahkan Tomini, dan Raja Tomini menyerahkan anak perempuannya bernama Haungsapa. Ia diberikan pada Mokodompis sebagai budak.

 

Karena cantik, Haungsapa telah diambil sebagai gundik. Ia melahirkan 2 anak, dinamai Bimusij Utahatuadij (karena anak dibudak) dan Mahasu.            

 

SEMPAT BERJAYA

Menurut Riedel tahun 1869, orang Babontehu berdiam di pulau-pulau utara Minahasa, seperti di Manado Tua, Talise dan Bangka. Pemerintahannya mencapai masa keemasan di jaman Lumentut dan Mokodompis Pertama (1). Pemimpin Babontehu menjalin hubungan dengan para pangeran dari Ternate dan dengan kepala Tobelo. Sementara bajak laut Babontehu berkuasa di perairan Teluk Tomini, serta ditakuti di kawasan lain, di mana mereka menuntut upeti.

 

Kerajaan Tomini di Sulawesi Tengah ditaklukkan oleh panglima bernama Manikunusa. Sebagai tanda takluk putri pangeran Tomini bernama Haungsapa diserahkan dan kemudian dikawini oleh Mokodompis Pertama.

 

Manado melebarkan kekuasaan, bahkan mengambilalih Bolaang. Salah seorang cucu Lumentut sempat menjadi Raja Bolaang, kendati pemerintahannya hanya dalam waktu singkat.

 

Minahasa sendiri tidak pernah terjamah kekuasaan Raja Babontehu. Menurut penelitian Riedel, orang Babontehu jarang berhubungan dekat dengan penduduk Minahasa. Pertemuan di sepanjang pantai, terutama dengan Tombulu, hanya untuk saling tukar makanan. Ketakutan oleh hutan liar dan penduduk yang berdiam di pedalaman menyebabkan Babontehu tidak pernah berupaya untuk berkuasa di Minahasa.

 

Seperti Riedel, Gubernur Kompeni Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC, Kompeni Hindia-Timur) di Maluku Robertus Padtbrugge di tahun 1679 mengungkap antara penduduk Manado di pulau dengan penduduk pedalaman Minahasa awalnya tidak mengenal satu sama lain. Orang Manado di pulau bahkan tidak tahu ada penduduk di pedalaman. Mereka baru mengetahui melalui sekam padi yang terbawa arus sungai dari pegunungan bahwa ada orang di pegunungan yang telah menabur padi. Dari waktu ke waktu, terutama oleh perburuan babi hutan, mereka bertemu, tapi tidak dapat berdamai atau berhubungan baik.

 

Hanya di masa pemerintahan Manirika, beberapa keluarga Babontehu sempat pergi ke daratan barat Minahasa di sekitar puncak Tanjung Pisok untuk menanam padi dan menjaganya dari gangguan. Tapi hanya untuk waktu yang singkat, sampai padi dipanen.

 

Satu peperangan yang terjadi dengan Minahasa adalah Perang Mandolang. Seorang pemuda dari Mandolang bernama Tamuntuan ketika pergi ke Pulau Babontehu telah memperistri Tinontongpatola, anak Pongeba. Pemimpin Babontehu marah karena wanitanya kawin dengan lelaki Tombulu. Ia memerintahkan untuk merampas kembali wanita itu. Tetapi serangan Babontehu sampai dua kali dapat dihalau penduduk Mandolang yang gagah berani, dengan membinasakan perahu-perahunya. 4]

 

Menurut Riedel, pada masa Lumentut berkuasa, Babontehu masih berjaya.

 

Namun, karena pemerintahan yang lemah dan masalah internal ketika suksesi, di jaman pemerintahan Pasibori, Babontehu mengalami kemunduran luar biasa, sehingga kemudian dikuasai Bolaang. Banyak penduduknya lari  ke Sangihe di Siau dan Tagulandang, mendirikan beberapa negeri, antara lain Sahabe dan Bukide. Akibat perpindahan ini hampir membuat seluruh Talise dan Bangka kehilangan penduduk. 5]

 

Penduduk Babontehu yang selamat dan tidak mau tunduk kepada Bolaang telah meminta bantuan orang-orang Spanyol untuk membebaskan mereka dari Bolaang.

 

Kapal galeon Spanyol telah mendarat di Kema di pantai timur Minahasa. Namun, karena petunjuk Babontehu, mereka membangun pemukiman di Tumpahan Wenang di Teluk Manado, lokasi kota Manado sekarang.

 

Berbeda Riedel yang menyebut adanya beberapa raja, Graafland mengungkap dalam hikayatnya, keberadaan Babontehu di Pulau Manado Tua hanya dalam periode pendek. Sebab, masih di masa pemerintahan Mokodompis dan Lumentut datang tantangan perang dari Raja Bolaang-Mongondow. Menghadapi Bolaang, kedua pemimpin Babontehu membuat benteng batu karang di Popoh (Poopoh), desa di Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa sekarang. Keenam pahlawan bersaudara sangat perkasa, sehingga orang Bolaang-Mongondow mundur.

 

Gagal dalam perang terbuka, orang Bolaang menggunakan siasat dengan melepas sepasang yaki. Tidak lama, binatang tersebut berkembang biak, sehingga tanaman dan kebun di Pulau Manado Tua habis oleh para yaki. Orang Babontehu menjadi susah karena kelaparan sehingga Mokodompis dan Lumentut bersepakat meninggalkan pulau. Tapi, masih berada di Pulau Manado Tua, Mokodompis meninggal dan dikubur di situ.

 

Dipimpin Lumentut dan Mahasu, putra Mokodompis dari Haungsapa dan keenam pahlawan itu, orang Babontehu masuk ke daratan Minahasa. Mereka mendarat di Tanjung Batu Itam, kemudian ke muara Tumumpa. Ada pula yang singgah di Bitung kecil di Kiyama (Kema), di pantai timur Minahasa.

 

Orang Kinilow (Kakaskasen) yang telah bersahabat dengan Babontehu sejak masih tinggal di pulau, mendengar kedatangan mereka di Manado (Wenang), telah meminta tolong Babontehu untuk menghubungi Kompeni Belanda.              

 

Dengan bekal makanan (dofoma), keenam pahlawan Babontehu menggunakan perahu bininta pergi ke Ternate. Di Pulau Batang Dua mereka bertemu satu breek (jenis kapal) Kompeni Belanda, lalu mengantar Kompeni ke Manado.  

 

Padtbrugge memberi versi lain akhir Babontehu. Kendati penduduk Manado di pulau tinggal sedikit, dengan hanya 300 orang bersenjata, mereka sangat militan memberikan perlawanan terhadap Raja Bolaang. Setelah berkali berperang sengit, akhirnya terjalin persahabatan dan aliansi, dan karena Babontehu tidak lagi memiliki raja, mereka kemudian tunduk pada Raja Bolaang.

 

Kesulitan air bersih, merajalelanya monyet yang menghancurkan kebun-kebun yang ada, telah menyebabkan mereka pindah ke Manado daratan.

 

RAJA-RAJA

Versi Riedel, tokoh yang pernah menjadi Raja Manado antara lain Mokodompis Pertama (1), Lumentut Pertama (1), Mokodompis Kedua (2), Manirika, Lumentut Kedua (2) dan Pasibori.

 

Taulu menyebut sejumlah rajanya. Dimulai Lumentut Pertama (1) tahun 1540. Putranya Makarompis atau Mokodompis sekitar tahun 1560-an. Lumentut Kedua (2) sekitar tahun 1625. Manirika Pertama (1), Pasibori, dan Manirika Kedua (2). Manirika Kedua adalah raja terakhir, ketika diusir Raja Bolaang Loloda tahun 1655. ***

 

 

-----------


1] Datu, menurut Dr.W.Ph.Coolhas, penulis Kroniek van het Rijk Batjan yang terbit 1923, awalnya adalah sebutan raja di Bacan. Kemudian disamakannya sebagai Sangaji, titel dari keluarga raja, kemudian sebagai pejabat di bawah raja dan jogugu, memimpin satu distrik atau beberapa negeri. Datu juga menurut Dr.F.W.Stapel dalam Corpus diplomaticum Neerlando-Indicum 1938 adalah titel raja di Bugis.

2] Bacan adalah kesultanan di pulau senama, sekarang masuk Provinsi Maluku Utara.

3] Di versi tahun 1869 Riedel menyebut Kolano Mokodompis yang telah membuat perjanjian persahabatan dengan Sultan Ternate. Tobelo sendiri adalah wilayah di Halmahera Utara yang menjadi bagian dari Kesultanan Ternate, sekarang ibukota Kabupaten Halmahera Utara.

4] Mandolang di masa silam adalah salah satu dari baru beberapa gelintir negeri besar Minahasa. Sekarang di bekas negeri ini berdiri Desa Tateli, Tateli Satu, Teteli Dua, Tateli Tiga dan Tateli Weru. Sementara mengenang kejayaannya tempo dulu, nama Mandolang sejak tahun 2012 dilestarikan pada nama kecamatannya, mekaran Kecamatan Pinaleng.

5] Sebuah versi lain dikemukakan Riedel, bahwa telah terjadi pernikahan antara para penguasa Babontehu dengan Bolaang, kemudian terjadi rebutan kuasa sehingga kerajaan Babontehu berakhir.

 

 

* Foto Dr.Willy Kukenthal dari buku Forschungreise in den Molukken und in Borneo, terbitan 1896, koleksi Digitalisierte Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin (SSB);

 

 

LITERATUR

Graafland, N., De Manadorezen, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, deel XV, Batavia,1868.

    De Minahassa Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand (Eene bijdrage tot de land-en Volkenkunde), eerste deel, M.Wijt&Zonen, Rotterdam,1867.

Padtbrugge, Robertus, Beschrijving der zeden en gewoonten van de bewoners der Minahasa, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde, deel  XIII,1866.

Riedel, J.G.F., Het Oppergezag der vorsten van Bolaang over Minahasa (Bijdrage tot de kennis der oude geschiedenis van Noord-Selebes), Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XVII, Batavia,1869.

     Inilah pintu gerbang pengatahuwan itu apatah dibukakan guna orang-orang padudokh tanah Minahasa ini, bahagijan kalima, ter lands-Drukkerij, Batavia,1862.

Taulu, H.M., Sedjarah Minahasa, Badan Penerbit dan Penjiar Buku Membangun, Manado,1951.

Valentijn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, vyf deelen, Joannes van Braam dan Gerard Onder de Linden, Dordrecht dan Amsterdam,1724.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.