Minggu, 06 Oktober 2019

Peninggalan Era Kolonial di Sulut





Pusaka Raja Ponto 1928. Di tengah piring perak 1688.





Peninggalan antik masa kolonial di Sulawesi Utara, semakin hilang. Sedikit gereja setidaknya masih menyimpan sebagian barang antik gerejawi. Selebihnya bersebaran menjadi koleksi pribadi, atau seperti sisa-sisa meriam tersebar di berbagai tempat dan instansi.

Namun koleksi penting Gereja GMIM Sentrum yang di masa kolonial dari periode Kompeni (VOC) hingga Hindia-Belanda menjadi gereja utama Manado tidak diketahui persis. Bekas gereja besar Manado ini hancur dibom ketika Perang Dunia II, sementara bangunan yang ada sekarang baru didirikan kembali di tahun 1952.

Dari banyak benteng yang pernah ada di Minahasa, hanya tersisa bekas benteng Portugis di Amurang. Benteng yang mengalami renovasi dan dimanfaatkan masa Kompeni Belanda dan Hindia-Belanda hanya bersisa bastion.

Benteng Nieuw Amsterdam di Manado sendiri telah dibongkar tahun 1950 masa Walikota Tieneke Agustine Magdalena Waworoentoe, ketika semangat nasionalisme dan anti-Belanda sangat menggelora. 

Bangunan-bangunan dari batu masih banyak ditemukan, meski terhitung berumur muda, baik di Manado mau pun kota-kota lain di Minahasa, termasuk di Bolaang-Mongondow dan Sangihe-Talaud. Tapi, kebanyakan bangunan-bangunan sisa masa kolonial ini dibangun pada periode pertengahan abad ke-19 dan awal hingga dekade ketiga abad ke-20. Seperti bekas-bekas kantor pemerintahan, pasanggrahan, gedung-gedung gereja, istana beberapa raja tempo dulu, rumah pribadi, bungalow dan bangunan sekolah yang lebih banyak pula berupa bangunan semi permanen.

PENELITIAN VAN DE WALL
Penulis Belanda Victor Ido van de Wall yang melakukan penelitian arkeologi pertama kali di Sulawesi Utara (bahkan di seluruh Sulawesi) tahun 1928 mengaku kalau daerah ini saat itu sangat kaya dengan barang antik bernilai arkeologis, namun terabaikan. Ia terutama meneliti dan menginventarisir sisa-sisa dan barang antik peninggalan masa Kompeni Belanda (VOC) dari periode tahun 1602-1800.

Benteng Nieuw Amsterdam sebenarnya yang jadi tujuan utama penelitian, tapi kemudian melebar hingga di seluruh Sulawesi. Menurutnya, bangunan benteng tersebut tidak bernilai arkeologis atau memiliki seni sejarah. Tapi, yang mendapat pujian utama sebagai paling luar biasa adalah peninggalan-peninggalan yang ada di Kepulauan Sangihe dan Talaud yang mengandung banyak kenangan sejarah.

Tentang Manado, ia mengakui tidak kaya akan kenangan dari masa Kompeni. Benteng batu Nieuw Amsterdam berbentuk persegi panjang dengan tembok pembatas dan empat bastion. Temboknya di bagian daratan sebagiannya dihancurkan tahun 1910. Hanya landpoortnya masih bersisa rumah jaga berasal tahun 1703.

Bangunan di benteng sendiri, menurutnya, berasal dari era modern. Aslinya berasal dari pagar kayu tahun 1655, lalu diperkuat tahun 1673 dengan dikelilingi dinding batu tahun 1703. Tapi, sejak tahun 1740 tidak dapat digunakan lagi dan sepenuhnya kadaluwarsa tahun 1855, serta dirusak oleh api tahun sama.

Benteng yang ada kemudian adalah bangunan baru yang selesai dikerjakan tahun 1864, dengan menggunakan reruntuhan benteng sebelumnya.

Menurutnya, dari sudut pandang estetika, hanya ada sedikit yang pantas diperhatikan, dan memiliki nilai arkeologis yang kecil.

Barang antik yang ada di gereja Manado (gereja GMIM Sentrum sekarang), justru penting. Potongan-potongan seperti bejana pembaptisan dihiasi dengan adegan Kitab Suci berasal dari paruh kedua abad ke-17; tiga piring perak berinskripsi tahun 1672, dan dua gelas berdekorasi mewah dengan ukiran nama gereja. Bangunan gereja ini pun memiliki mahkota lilin besar dan kecil yang indah serta dua hiasan dinding dari paruh kedua abad ke-18, satu kursi gaya Empire dan jam dari akhir abad ke-18. Van de Wall memuji arsip gereja yang dipelihara dan disimpan dengan baik, juga makam yang terpelihara dengan baik, kendati tidak berisi kuburan tua.

Ia memuji koleksi pribadi dari tiga tokoh di Manado ketika itu. Koleksi Que sangat berharga. Cincin hadiah dari perak langka dengan prasasti untuk mengenang Herweina Gilia Tolling, putri dari Raad-ordinair Mr.Laurens Tolling yang meninggal tahun 1712, dan dari Maria Simonse van der Heyden, istri dari Raad van Justitie Mr.Francois van der Lee yang meninggal 1717. Juga seperangkat hidangan perak dari paruh kedua abad ke-18, sebuah kotak sirih dengan hiasan perak, satu set lengkap sirihgerei dari paruh kedua abad ke-18; dua kotak perhiasan dari pernis Jepang, dirangkai indah dengan perak, serta sebuah kotak perhiasan terbuat dari kura-kura dengan emas, semuanya dari paruh kedua abad ke-18. Koleksi peralatan langka dari masa Kompeni ini, menurut de Wall, disatukan di Ambon dan memiliki keunikan dalam jenis. 1]

Kemudian disorotnya koleksi Kok, berupa furnitur masa Kompeni dan porselin lama. Juga porselin lama dari koleksi Jacobus. 2]

Ia menyesalkan meriam perunggu yang indah dari tahun 1621 keluaran Willem Wegewaert Den Haag serta 26 lila perunggu yang pernah disebutkan Mr.Dr.Jacob Cornelis Overvoorde, seorang sejarawan dan arsiparis pada tahun 1910, karena tidak diketahui.

WARUGA
Minahasa, dari penelitian van de Wall, tidak diberkahi dengan baik, dan sejauh menyangkut bangunan sangat langka sebagai hasil dari banyak gempa bumi, termasuk yang terjadi pada tahun 1852. Akibatnya hampir tidak ada bangunan batu yang tersisa.

Di Kema, Likupang, Tanawangko, Atep dan Belang masih menyisakan sedikit bekas-bekas benteng yang dibangun sekitar awal abad ke-19 melawan serangan perompak. Benteng Nassau di Kema dihancurkan ketika jalan menuju Manado dibangun. Di Pulau Talise dilihatnya ada jam dari tahun 1674 dengan inskripsi Latin.

Ia kagum dengan kuburan khas Minahasa waruga. ‘’Luar biasa adalah koleksi waruga di Sawangan Tonsea.’’

Van de Wall berpendapat kalau pembuatan waruga yang berada di Sawangan ini telah dipahat di bawah pengaruh Barat. Hiasan waruga dengan sosok manusia, banyak digambarkan dalam pakaian Barat abad ke-18. Ia mengenalinya dari ornamennya yang dikerjakan dengan terampil. ‘’Kecurigaan ini jelas kalau pegawai Kompeni berfungsi sebagai model untuk tokoh-tokoh dekorasi dan monumen kuburan,’’ simpulnya.

Mahkota lilin dari tembaga dan perunggu serta aksesori dinding terkait, sebagai pameran seni Belanda kuno ditemukannya di bangunan gereja di Tondano (gereja kecil), Tomohon, Remboken, Koya dan Amurang.

Di Amurang, diamatinya, meriam besi dari Kamer Amsterdam dan Zeeland, sementara beberapa meriam hias perunggu ditemukannya di antara individu pribadi. Seperti satu dari Kamer (cabang) Zeeland dengan tulisan ‘Steen Borchardt Enchuyse 1769.’

SATAL
Paling luar biasa, menurut de Wall, adalah barang antik peninggalan masa Kompeni yang ada di Sangihe dan Talaud.

Di Tahuna, ia menemui banyak benda bersejarah properti keluarga Raja Ponto (Christiaan Ponto) dari Kandhar (Kendahe). Antaranya benda-benda yang dihormati sebagai pusaka adalah piring hadiah dari perak (sampai sekarang dimiliki keturunannya di Kendahe). Piring tersebut menurut prasastinya diberikan kepada nenek moyangnya Datu Buisan sebagai hadiah oleh Gubernur Kompeni Maluku Thim dari Ternate 1688. 3]

Kemudian meriam hias perunggu dengan senjata Portugis tahun 1759; tongkat dengan tombol perak. Di luar Tahuna, ada dua kubur pendeta masa Kompeni, Ds.Franciscus Dionysius (meninggal 1674) dan Ds.Isaac Huisman (meninggal 1675), sementara di Ondong Siau terdapat kubur Ds.Paulus van der Dussen yang meninggal Maret 1822.

Di depan istana Landschap Tabukan di Enemawira terdapat dua meriam hias dari perunggu yang dibuat dengan indah dari Manila tahun 1643, tongkat dengan kancing perak dari tahun 1816 di tangan individu, juga sebuah pos di negeri Tabukan lama. 4]

Meriam hias di Enemawira.

Keluarga dari Raja Sarapil (Willem Alexander Kahendake Sarapil) memiliki meriam, topi kuno dan lain-lain di Saluran.

Milik keluarga Raja Manganitu Mocodompis (Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis) di Tamako berupa piring porselin Cina dengan monogram VOC.

Di Siau, di ibukota Ulu ada paal dengan penanda VOC di pantai, juga monogram yang telah dihapus sebagian karena sering diplester. Tidak jauh dari situ reruntuhan benteng Doornburg dari tahun 1682. Bentengnya tahun 1928 tinggal menyisakan pecahan benteng, dinding dan tangga. Tapi, masa itu garis besarnya masih dapat ditelusuri sebagian. Semuanya terbuat dari batu dan sudah terabaikan. 5]

Di sisi jalan ada sebuah batu Koromandel bertulis di atasnya: T (ahoena?) 168… V.O.C.D:1: Janev… 

Dari keterangan orang tua yang didengarnya, batu tersebut dulunya berada di depan paal bertanda VOC. Di depan istana Raja Kansil (Lodewijk Nicolaas Kansil) terdapat meriam dekoratif perunggu dengan prasasti 1758 dan di rumah seorang pribadi sebuah meriam lain dari tahun 1765.

Batu Koromandel yang pernah ada di Ulu.

Di Landschap Tagulandang, di ibukota dengan nama sama, ia menemukan meriam hias perunggu yang didekorasi dengan bagus untuk rumah Raja (Hendrik Philips Jacobs) dan pasanggrahan. Juga masih ada sisa-sisa dinding tanggul 1 meter, mungkin dari sebuah pos, terletak di Tulusan.

Di Landschap Kepulauan Talaud, di negeri Beo, berada di depan rumah Raja Talaud (Julius Sario Tamawiwij) masing-masing dua meriam dekoratif perunggu dari Kamer Zeeland, satu dari L.B.Haverkamp, Hoorn 1784 dan dari P.Seest 1788.

Di Lirung di Pulau Salibabu sebuah meriam dekoratif perunggu di depan rumah Jogugu yang juga sebagai pasanggrahan. Meriamnya berasal Kamer Amsterdam, dari Pieter Seest 1756. Di negeri Salibabu, sebuah meriam tua, tidak bertulis. Sementara di Pulau Miangas, ada beberapa meriam perunggu tua. ***


--------
1] Mungkin pemilik pabrik air mineral di Tikala K.St.Que atau pemilik toko Ambon Que Gebroeders di Kemaweg.
2] C.Kok, agen kepala dari Moluksche Handels Vennootschap Manado. Bulan Mei 1927 diangkat jadi anggota Gementeraad Manado hingga 1930. Sementara Jacobus mungkin Joseph Jacobus, mantan Hoofddjaksa Landraad Manado. 
3] Dihadiahkan Gubernur Maluku dari Kompeni Belanda di Ternate Johan (Joan) Henrich Thim setelah Raja Kandhar Datu Buisan meneken kontrak dengannya tanggal 15 September 1688 di Ternate.
4] Pos Tabukan menjadi tempat kedudukan militer Belanda untuk Sangihe-Talaud sejak jaman Kompeni di abad ke-17, dengan komandan berpangkat kapten, sersan, bahkan kopral.
5] Benteng Doornburg (Doornenburg) di Ulu dibangun 1682 dari reruntuhan benteng Spanyol Santa Rosa yang tahun 1677 sempat diberi nama Maetsuyker.


·         Foto dan sumber tulisan dari Oudheidkundig jaarboek, negende jaargang 1929.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.