Senin, 07 Maret 2016

Mengenal (Beberapa) Raja Kaidipang








                                                      Oleh Adrianus Kojongian







Peta Bolaang-Mongondow. *)





Kaidipang, di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sekarang, pernah menjadi kerajaan mandiri bertetangga kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Itang, Bintauna dan Bolaang Uki. Dinasti Korompot menjadi penguasa turun-temurun sejak awal hingga penggabungannya dengan Bolaang Itang di tahun 1913.

Sayang, ada yang mengganjal ketika meneliti sejarah Kaidipang yang beredar luas selama ini. Selain nama raja-rajanya yang sangat tidak bersesuaian dengan bukti-bukti yang ada, dalam umpamanya penandatanganan perjanjian dan kontrak yang pernah terjadi, tahun-tahun pemerintahannyapun banyak lari dan jauh dari fakta yang semestinya.

Selama ini berkembang kisah kalau Maurits Binangkal, yang dicatat juga dengan nama Martinus Binangkal, yakni raja pertama Kaidipang yang ketika itu belum resmi memakai fam Korompot, telah dibawa langsung dan ditabalkan raja di kerajaan Gowa Makassar oleh Gubernur Robertus Padtbrugge.

Padtbrugge adalah Gubernur Maluku dengan kedudukan Ternate, dimana Manado, Gorontalo dan sebagian kawasan Sulawesi Tengah, termasuk didalamnya kerajaan Kaidipang, adalah wilayah penguasaannya. Jadi, cukup aneh kalau Patdbrugge mesti membawa Maurits Binangkal ke Makassar --yang berada di luar cakupan pemerintahannya--hanya untuk sekedar dilantik raja.

Tradisi pelantikan raja-raja yang berada di Keresidenan Manado (termasuk Gorontalo ketika masih berbentuk keresidenan) masa VOC, biasanya dilaksanakan di Ternate, bertempat di Benteng Orange. Baru kemudian di masa berikut banyak dilaksanakan di Manado.

Padtbrugge justru dalam perjalanannya ke Keresidenan Manado 16 Agustus sampai 23 Desember 1677 membuat keistimewaan dengan langsung melantik (ulang) para raja di Sulut di ibukota masing-masing kerajaan. Meski mereka baru atau bahkan telah lama memangku posisinya. Ia selalu menandainya dengan pemasangan 'mahkota' topi Belanda, serta pemberian tanda-tanda kehormatan lain dan hadiah.

Jurnal Padtbrugge mengungkap pada hari Rabu tanggal 8 September, kapalnya 'de Vliegende Swaan' telah membuang sauh di perairan lepas pantai Kaidipang yang berkedalaman 14 sampai 30 depa. Raja Kaidipang Binangkal yang disertai Hukum dan Sangaji diterima (dan kemudian dilepas) dengan kehormatan tembakan meriam. Setiap dentuman meriam, Raja Binangkal berseru dengan sangat gembira dan terpesona sekali.

Raja Binangkal meminta pertolongan GubernurPadtbrugge menghadapi lawannya Regen Bolaang Itang Linkakoa, bekas istri saudaranya Mau-Bilang yang telah lama berselisih dengannya. Mau-Bilang adalah raja sebelum Binangkal. Perkawinan Mau-Bilang dengan Linkakoa tidak berlangsung lama dan mereka bercerai. Bolaang Itang yang masih merupakan bagian kerajaan Kaidipang dibawah Linkakoa atau juga disebut Liunkakoa dan juga Sinkakoa tumbuh menjadi bagian kerajaan yang merdeka. Linkakoa terkenal dengan gelaran Radja Parampoewan, diduga dibaptis Kristen Katolik oleh Pater Carlo Torcotti. Ia dikenal dengan nama Magdalena Linkakoa, nama yang dipakainya ketika bersama Bobatonya menyurati Gubernur Maluku Cornelis van der Duijn 15 Maret 1694.

Ketika Mau-Bilang meninggal dengan meninggalkan seorang putra, Binangkal datang dengan pengikutnya di Dauw dan diakui sebagai raja. Linkakoa sendiri kawin kembali dengan Intji Mannes, raja Taiwila, sekarang Tawaeli di Sulawesi Tengah. 

Campur tangan kerajaan-kerajaan tetangga dalam perselisihan Dauw dan Bolaang Itang sangat besar, bahkan Sultan Hasanudin dari Gowa Makassar sempat mencampuri dengan mengalahkan Binangkal. Perselisihan masih terus berlarut meski Belanda telah menanamkan kuasanya. Baru resmi berakhir di abad berikut ketika Kompeni Belanda menjadikan Bolaang-Itang sebagai kerajaan 'merdeka', lepas dari Kaidipang.

Raja Binangkal sendiri terungkap sudah sejak tahun 1675 menyatakan keinginannya menjadi Kristen Protestan seperti dicatat Ds.Gualtherus Peregrine yang mengunjungi Manado dan kemudian Kepulauan Sangihe-Talaud. Kepada Gubernur Padtbrugge dan Ds.Zacharias Caheing yang menyertai ekspedisi, Binangkal kembali menegaskan sikapnya untuk masuk Kristen bersama rakyatnya.

Hari Kamis 9 September, di sore hari, Gubernur Padtbrugge dan rombongan datang ke ibukota Kaidipang. Rumah raja dicatat Padtbrugge tidak berbeda dengan rumah penduduk lainnya, hanya lebih luas, memiliki sedikit furnitur, tapi banyak jaring ikan.

Padtbrugge di depan semua penduduk bertanya untuk mengetahui apakah itu pendapat dan keinginan mereka semua untuk menerima agama Kristen. Seluruh orang banyak berkata: ''Ya!''

Padtbrugge kemudian mengambil topi berpita emas perak dan memahkotai Raja Binangkal. Sang Raja sangat terpesona dengan topi mahkotanya. Digambarkan Padtbrugge raja 'masih mabuk' dengan topinya. Ini mungkin yang jadi cerita rakyat bagaimana kekaguman Raja Binangkal terhadap topinya sampai kelak memunculkan fam Korompot bagi keturunannya.

Seperti adat Kompeni, bagi raja dan para bobato Kaidipang dihadiahkan tanda kehormatan. Untuk Raja Binangkal Padtbrugge menyerahkan hadiah kebesaran berupa 4 ellen roode serfie, 1 zwaarten hoed (topi hitam), 1 Suratsen deken (selimut Surats) dan 1 ps roode Moeri. Untuk Jogugu 2 parkallen dan untuk Kapitein Laut 1 ps.parkal.

Terakhir Raja Binangkal bersama Gubernur Padtbrugge mengunjungi gereja yang baru dibuat.

RAJA WILLEM HINGGA DAVID
Raja Binangkal dicatat Padtbrugge tahun 1677 sudah berusia tidak muda lagi. Tahun 1702 telah bertahta Willem Korompot. Namanya ditulis sebagai Willem Cornput, sehingga dipastikan dialah raja pertama yang resmi memakai fam Korompot. Selain versi bahwa fam tersebut tercetus dari kekaguman Raja Binangkal atas topi (pet) mahkota berlambang kerajaan Belanda (crown), sangat membudaya masa itu para raja dan bangsawan di Keresidenan Manado menggunakan nama raja Belanda dan pembesar Kompeni untuk nama serani keluarganya. Nama Willem Cornput sendiri dikenal sebagai Gubernur Maluku di Ternate sebelum Padtbrugge di tahun 1675. Gubernur Willem Cornput pun pernah datang ke Manado. Hanya tidak diketahui pasti apakah Raja Binangkal pernah bertemu dengannya.

Raja Willem Korompot meneken kontrak tanggal 17 Maret 1702. Pertentangannya dengan para pembesar Bolaang Itang memuncak di masanya, sehingga Belanda dibawah Gezaghebber Jacob Boner melakukan rekonsiliasi kedua pihak di Benteng Orange Ternate 2 Juli 1727. Masa pemerintahannya, di tahun 1728 penambangan emas mulai diupayakan pengusaha Tionghoa bernama Simteenko alias Lim Teen Ko.

Willem Korompot memerintah duapuluh tujuh tahun lamanya. Karena usia lanjut, tanggal 20 Februari 1728 ia menyurat meminta izin untuk mengangkat putra sulungnya, Pangeran Albert Cornput sebagai raja baru Dauw atau Kaidipang.

Raja baru Albertus Korompot kelahiran tahun 1702 menggantikan ayahnya Willem Korompot, dilantik dengan meneken perjanjian tanggal 4 Agustus 1729  di Benteng Orange Ternate dengan Gubernur dan Direktur Maluku Jacob Christiaan Pielat untuk dan atas nama Gubernur Jenderal Mattheus de Haan. Dalam kontrak, jabatannya ditulis sebagai Raja Bolaang Itang juga Raja Dauw. Permusuhan lama dengan Bolaang Itang yang dipimpin Jogugu Claas Ponto berlanjut, keduanya bahkan saling mengadu kepada Gubernur Maluku di Ternate.

Tahun 1739 Raja Albertus Korompot meninggal, dan sebagai penggantinya diangkat saudaranya Jacob Korompot, yang naik tahta dengan meneken perjanjian di Benteng Orange Ternate 28 Agustus 1739. Di pihak Belanda diwakili Gubernur dan Direktur Maluku Marten Lelivelt untuk dan atas nama Gubernur Jenderal Johannes Thedens. Raja Albertus pun meneken kontrak yang diperbarui kembali 3 September 1742 dimana pihak Kompeni Belanda diwakili Koopman David van Petersom dan Onderkoopman Jan Walraven de la Fontaine, mengatasnamakan Gubernur Pieter Roselaer dan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn.

Jacob Korompot memerintah tidak lama. Ia meninggal bulan Desember 1747, dan digantikan Pangeran David Korompot sebagai pejabat. David Korompot  baru disahkan jadi Raja Kaidipang dan Bolaang Itang dengan kontrak yang dibuat di Benteng Orange Ternate tanggal 25 Mei 1750. Kontrak-kontrak sebelumnya yang dibuat masa Raja Willem, Albert dan Jacob diperbarui, apalagi dengan ekspoitasi emas di kerajaannya.

DARI TOEROEROE HINGGA MANOPPO
Raja terkenal di dekade ketiga dan keempat paruh pertama abad ke-19 adalah Mohamad D.Toeroeroe Korompot. Ia memerintah hingga tahun 1853. Kemudian naik tahta Kaidipang Tiaha Toeroeroe Korompot sejak 17 Agustus 1853.

Raja Tiaha Toeroeroe Korompot meneken kontrak tanggal 21 April 1855, dimana raja dan mantrinya menyepakati kerajaannya jadi milik Belanda dan mengakui Raja Belanda sebagai tuan tertinggi. yang (tentu saja) 'disetujui' Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dengan beslit 8 November 1855. Almanak van Nederlandsch-Indie 1855 dan 1858 mencatat nama lain Raja Kaidipang adalah Poetra Tiara.

Pengganti Tiaha Toeroeroe adalah Mohamad Noerdin Korompot, diangkat dengan beslit Residen Manado 8 Oktober 1859 nomor 172, dan dibeslit resmi sebagai Radjah oleh Gubernur Jenderal 5 Januari 1860 nomor 8, serta dilantik resmi 25 Februari 1860.

Mohamad Noerdin Korompot dengan gelaran Prins van Diets Korompoet meneken korte verklaring 18 Juni 1860 di Manado dengan Residen Casparus Bosscher dan disetujui Gubernur Jenderal Ch.F.Pahud 25 Oktober 1860. Selain Mohamad Noerdin Korompot, ikut bertanda kruis para mantrinya seperti Marsaole Kaito, Marsaole Abdul Karim dan Sangaji Dunuba. Raja Mohamad Noerdin berkuasa tidak lama. 

Tahun 1864 ia diberhentikan, diasingkan Belanda di Ambon, digantikan oleh Pangeran Gongalah Korompot. Gongalah Korompot awalnya bertindak sebagai pejabat Raja sejak 13 Maret 1865, lalu definitif ‘Radjah’ setelah di Manado meneken korte verklaring 23 Oktober 1865 dengan Residen Frederik Justus van Deinse, serta persetujuan Gubernur Jenderal 26 Mei 1866. Nama resminya ditulis juga Gongalat Korompoet. Ia memerintah sangat lama, dan meneken kontrak terakhir tanggal 21 September 1895 bersama Residen Manado Eeltje Jelles Jellesma.

Karena usia lanjut, ia meminta mundur, dan disetujui Gubernemen dengan beslit 3 Juli 1897 nomor 20, digantikan Pangeran Loei Gongalah Korompot. Untuk masa pengabdiannya yang panjang bulan Maret 1898 Gubernur Jenderal menghadiahi Gongalah Korompot penghargaan bintang perak untuk kesetiaan dan prestasi (Zilveren ster voor Trouw en verdienste).

Sebagai pengganti Raja Gongalah Korompot, dipilih para kepala dan rakyat adalah Loei Gongalah Korompot, semula sebagai President Raja, lalu diangkat raja dengan akte van verband di Manado tanggal 31 Agustus 1898 dengan Residen Manado Eeltje Jelles Jellesma dan saksi Kontrolir Nordtkust van Celebes J.G.Seriere. Pengangkatannya dikukuhkan dengan beslit Gubernur Jenderal van der Wijk 1 Desember 1898 nomor 4. Titel resminya adalah ‘Padoeka Radja Kaidipang’. Raja Loei yang juga dicatat dengan nama Louit Gongalah Korompoet meneken kontrak berikut 26 Mei 1901.

Raja Kaidipang terakhir adalah Manoppo Machmud Korompot, pernah menjabat Jogugu lalu President Raja setelah Raja Gongalah Korompot meninggal 23 Juni 1903. Ia yang menulis namanya juga sebagai Manoppo David Antogia baru diangkat resmi sebagai raja bertitel Paduka Raja di Boroko setelah meneken akte van verband dengan Kontrolir Bolmong Anton Christiaan Veenhuyzen 1 Maret 1904, dan dibeslit resmi 7 Juli 1904. Raja Manoppo meneken kontrak baru 14 Januari 1904, dan tambahan kontrak 19 Februari 1907 dengan Kontrolir Abraham Coomans. Ia memerintah hingga meninggal awal tahun 1910.

Pemerintahan dinasti Korompot berakhir ketika kerajaan Kaidipang digabungkan Belanda dengan Bolaang Itang. Meski kerajaan baru masih diembeli nama Kaidipang, dan kedudukan raja tetap di Boroko, tapi dinasti Ponto dari Bolaang Itang yang tampil sebagai penguasa. Raja Bolaang Itang Ram Soeit Ponto resmi bertahta di kerajaan Kaidipang Besar 26 April 1913, dan dikukuhkan dengan beslit Gubernur Jenderal 31 Juli 1913. ***

*). Dari koleksi Sammlungen den Staatsbibliothek zu Berlin (SSB)

BAHAN OLAHAN
Coolhaas, Dr.W.Ph., Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII. ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1960; dan dalam Historici nl..
Ensiklopedia Tou Manado.
Heeres, Jan Ernst, Frederik Willem Stapel, Corpus diplomaticum Neerlando-Indocum, vol.5, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage,1907. Buku Google. 
Padtbrugge, R., Het Journal van Padtbrugge's reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden (16 Aug.-23 Dec,1677), Bijdragen tot de Taal-Land en-Volkenkunde, XIII, 1867. Buku Google.
Regeeringsalmanak dan Almanak van Ned.Indie 1858, 1865,1870,1875,1885,1892,1900,1909.