Kamis, 09 Mei 2013

Budel Kepala Minahasa Dulu





                                               Oleh: Adrianus Kojongian

 

 

Teluk Kema 1913. Tanah yang dihadis dibuka leluhur Dotulong. *)



Para kepala Minahasa tempo dulu kebanyakan adalah orang-orang kaya-raya. Mereka memiliki banyak harta benda,  terutama adalah tanah yang luas, baik kintal mau pun kebun ladang atau sawah, rata-rata belasan hektar, bahkan di atas seratus hektar. Siapa pun tokoh yang memegang kekuasaan akan meninggalkan warisan tanah cukup luas kepada keturunannya.

Terkenal umpama, Hukum Tonsea Wenas Lumanauw dan anaknya Runtukahu yang memiliki tanah-tanah luas di Kema bahkan pulau Lembeh. Pulau Lembeh menjadi primadona, setelah temuan dan eksploitasi sarang burung walet. Banyak pihak bahkan balak-balak tetangganya memperebutkan dan mengklaim ikut memilikinya. Anak Runtukahu, Hukum  Mayoor Xaverius Dotulong, Kepala Balak Tonsea gencar mengklaim berdasar kepemilikan dari ayah dan kakeknya.  Xaverius Dotulong  yang meninggal tahun 1771 sampai menyurat meminta putusan Gubernur Maluku di Ternate  tahun 1750 dan 1770. Klaim keluarga Dotulong atas pulau Lembeh ini tetap disuarakan keturunannya Catrina Dotulong (1821-1902) tahun 1896, dan masih bergema sampai tahun 1980-an.

Kakas dari dulu  kaya hasil dan orangnya. Foto tahun 1910. *)

Kepala Balak Kakas Kalalo memiliki tanah dan kebun sawah sangat luas di Kakas. Ia merupakan orang yang kaya-raya di masanya. Tidak heran, hartanya mengundang para pemeras, termasuk Residen Manado George Fredrik Durr yang masa pemerintahannya (1793-1803) terkenal sangat buruk. Durr 'mendenda' Kalalo, membayar ganti rugi sebesar 1.000 gulden ditambah beberapa orang budak, gara-gara ia terperosok dari kursi tandunya yang sengaja dirusakkan.

Kepala Balak Bantik Urbanus Matheos juga sangat kaya-raya, karena suka memeras rakyat. Tahun 1808 ia menyetor pajak yang besar, yakni 300 rijxdaalders. Kepala Distrik Bantik Salmon Mandagi memiliki tanah-tanah luas pula. Tanggal 14 Agustus 1871 ia menjual tanahnya di Mahakeret Manado seluas 38.952 m2 dengan harga  1.200 gulden kepada rakyat Sonder atas nama Mayoor Albertus Bernadus Waworuntu (1820-1887). Tanah mana kemudian menjadi tanah Kalakeran Distrik Sonder di Manado.

Tanah Uluindano (kini kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan) sempat memicu sengketa panjang antar-Balak Tomohon dan Sarongsong. Kepala Balak Sarongsong Hukum Mayoor Rondonuwu Lontoh dikenal sebagai pemilik Uluindano. Bukti kepemilikannya berada dalam daftar kekayaan turun-temurunnya. Di masa berikutnya, Uluindano jatuh jadi budel cucunya Lontoh Tuunan (2), malahan mencakup sebagian besar wilayah Walian.

Lontoh (1758-1817) lebih banyak berdiam di Kamasi bagian Balak Tomohon, malahan dipilih menjadi Hukum Kamasi lalu kelak Kepala Balak Tomohon tahun 1803. Ia memberi keleluasan kepada penduduk Kamasi untuk membuka lalu menggarap tanah-tanah di Walian dan Uluindano yang bersipatan langsung dengan negeri Lansot di Balak Sarongsong. Ini mengakibatkan timbulnya bentrokan-bentrokan antar-balak Tomohon-Sarongsong yang diperintah keturunan Waworuntu, famili dekat Lontoh Tuunan yang juga mengklaim kepemilikannya. Sengitnya persengketaan masa itu berlarut-larut hingga pertengahan tahun 1850-an, ketika pemerintah masa itu mengirim komisi memeriksa dan akhirnya memutus resmi pemilik sah wilayah Uluindano adalah Tomohon.

Kepala Balak Tomohon Lontoh Tuunan, seorang pemimpin besar perang Minahasa di Tondano 1808-1809 meninggalkan kepada keturunannya pula tanah-tanah luas di Kamasi dan di Kolongan bekas kota tua Tomohon Nimawanua. Bahkan, tanah yang sekarang berdiri gereja Katolik ‘Hati Kudus’ Tomohon serta biara Walterus di Kelurahan Kolongan, merupakan warisan miliknya yang jatuh kepada anaknya Pangemanan Lontoh, dan kemudian dimilki cucu mantunya Hukum Besar Lukas Wenas, lalu Mayoor Herman Wenas (1843-1921).

Mayoor Herman Wenas. *)

Mayoor Herman Wenas tahun 1883 menjualnya untuk tanah gereja, dan sebagian dimana rumah tinggalnya berdiri, ditukarnya bulan Oktober 1901 ditempati para Suster Tarekat JMJ (biara Walterus). Gantinya ia menerima pastori, sekolah dan kintal di Paslaten (II kini). Untuk tempat tinggal, ia membangun rumah di Walian yang strategis, dekat dengan Sarongsong, sebab ia memerintah Distrik Gabungan Tomohon-Sarongsong.

Dulu tanah Herman Wenas, kini biara Walterus. *)

Kepala Distrik Ares Johakim Bernard ‘Ruruares’ Lasut (meninggal 1878) adalah tokoh yang kaya serta memiliki tanah-tanah luas. Konon, ketika Distrik Ares membeli tanah Kalakeran Ares dari Josephaes Jacobus cs seluas 122.500 m2 tanggal 1 Oktober 1847, ia pribadi menyumbang sebagian dari harga tanahnya, yakni 5.400 gulden. 

Demikian pun dengan Kepala Distrik Likupang Mayoor Andreas Bernardoes Kalengkongan. Selain memiliki harta tanah luas di Likupang, ia pun memiliki banyak bidang tanah di Manado. Sementara budel atas nama mantan Kepala Distrik Sonder  Exaverius Walewangko Jacob Waworuntu yang diwariskan untuk keturunannya, tanah seluas 144 hektar.

Kepala Distrik Langowan Mayoor Nicolaas E.Mogot dan istrinya Sofia Wenas meninggalkan budel tanah luas kepada putra-putrinya di Langowan. Namun, tanah seluas 126,6 hektar di Rumbia miliknya itu menjadi masalah tak terselesaikan hingga sekarang.

Kepala Distrik Tondano-Touliang Jacob Gerungan (1824-1882) memiliki tanah sangat luas pula, bahkan ketika pemerintah kolonial Belanda merencanakan membuka Hoofdenschool (Sekolah Raja) di Tondano tahun 1866, ia menyumbangkan sebidang tanahnya untuk lokasi pendirian sekolah tersebut  (kini kompleks SMP Negeri 1 Tondano). Tahun 1875 ia mendaftarkan kepemilikan tanahnya seluas 459 bouw (1 bouw lebih 7.000 meter persegi) di Masarang.

Bersama dengan Jacob Gerungan, Kepala Distrik Langowan sebelum Mogot, yakni Mayoor Lourens Roeland Sigar mendaftarkan tanahnya di Noongan seluas 230,5 bouw.

Kepala Balak Sarongsong Mayoor Herman Carl Waworuntu (1781-1854) menurunkan kepada keturunannya tanah dan kebun luas yang terbagi kemudian pada banyak anaknya. Ia meninggal tahun 1854 di Sonder. Jenasahnya ditandu beramai-ramai ke pemakaman di Sarongsong sepanjang lebih tujuh kilometer. Jenasahnya itu melewati ruas jalan yang sengaja ditaburi bulir-bulir padi hasil sawahnya, perlambang kekayaannya tak terbilang. Penaburan padi demikian, adalah sesuai pesannya sebelum meninggal. Katanya: ‘’Tujuh keturunanku tidak akan kelaparan atau kesusahan dalam kehidupan yang bagaimana pun sulitnya.’’

TANAH LONTOH DAN RONDONUWU
Leluhur Lontoh Tuunan (2) dan Mayoor Herman Carl Waworuntu, yakni Hukum Mayoor Kepala Lontoh Tuunan (1) Mandagi dari Sarongsong meninggalkan tanah luas yang pembagian dan pengaturannya kemudian diatur anak dan penggantinya Hukum Mayoor Rondonuwu (1675-1743). Tanah-tanah itu beserta tanah-tanah harta Rondonuwu kelak diatur penanganannya oleh penggantinya Mayoor Tongkotou, lalu oleh Mayoor Tamboto hingga ke Mayoor Herman Carl Waworuntu kelak.

Salinan surat lengkap tentang tanah harta kekayaan Lontoh Tuunan (1) dan anaknya Hukum Mayoor Rondonuwu diteken terakhir oleh pemegang kuasa Andries Kambey di bulan Maret 1906.

Danau Linow 1915. Tanah luas di dekatnya pernah dimiliki Rondonuwu Lontoh. *)

Catatan budel ini kemungkinan merupakan data paling tua tentang harta kepala Minahasa tempo dulu. Luasannya masih dihitung memakai tektek dan waleleng. Satu tektek sama dengan 36.000 kaki, dan satu kaki sama dengan 30 sentimeter. Sementara satu waleleng sama dengan 3.600 kaki.

Tanah milik atas nama Hukum Mayoor Kepala Lontoh Tuunan (1) Mandagi, meninggal  tahun 1719, adalah:

Tanah di Wuwunongan 25 tektek.
Tanah di Mareo 10 tektek 9 waleleng.
Tanah di Kasamba 2 tektek 9 waleleng.
Tanah di negeri lama Kapoya 3 tektek.
Tanah di negeri lama Sarongsong 11 tektek 2 waleleng.
Tanah di Reko 5 tektek.
Tanah di Sasarongsongen 12 tektek 9 waleleng.
Tanah di Kahoror 2 tektek 9 waleleng.
Tanah di Mangaya 1 tektek 3 waleleng.
Tanah di Tampangerker 12 tektek 9 waleleng.
Tanah di Lolayan 11 tektek 8 waleleng.
Tanah di Mandei 2 tektek 8 waleleng.
Tanah di Rupet 2 tektek.
Tanah di Kasamba 2 tektek 2 waleleng.
Tanah di Sarunaru 5 tektek, dan
Tanah di Koha 4 tektek 5 waleleng.

Sementara budel peninggalan anaknya Hukum Mayoor Rondonuwu Lontoh yang disebut pula Hulubangsa Sarongsong, berada di Pahkontaan, Rumesik, Rugew, Wunek, Uluindano, Pakewa (dekat dengan Linow), Lumales, Palawas, Boyong, Aki Tower, Uwalaan, Kaima, Linow Wangko, Wuwunongan, Rumorong, Limo dan Kasamba. ***

                    *). Foto: koleksi KITLV Digital Media Library.

SUMBER:
Tomohon Kotaku, 2006.
Ensiklopedia Tou Manado.

1 komentar:

  1. Siapa Lontoh yang menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan sipa Lontoh yang terlibat dalam perang
    Tondano?

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.