Rabu, 17 April 2013

Pandita Nicolaas Philip Wilken, 'Jenderal' Kristen Tomohon

                

            

 

 

 

                                                  Oleh: Adrianus Kojongian

 

 

 



Nicolaas Philip Wilken. *)





Kematian guru-zendeling (zendeling-leraar) Johan Adam Mattern menyebabkan agama Kristen (Protestan) di Tomohon kembali mengalami kemunduran. Tinggal beberapa orang saja, dan yang lainnya sudah kembali ke agama suku. Pekabar injil Nicolaas Philip Wilken mendapati keadaan menyedihkan sesudah dua tahun Mattern wafat. Hanya tersisa 8 orang Kristen. Ia mencatat pada hari-hari pertama empat anak masuk sekolah secara tetap, sementara pengunjung kebaktian di gereja sebagai pendengar hanya empat hingga delapan orang.

Nicolaas Philip Wilken adalah pengganti Johan Adam Mattern. Ia baru 3 bulan bekerja di Tanawangko ketika dipindah ke Tomohon bulan April 1843. Wilken dilahirkan tanggal 10 Mei 1813 di Aurich Friesland Timur, sekarang masuk Jerman. Dari tahun 1836-1840 ia dilatih sebagai zendeling, pertama di Barmen (Wupperpal) Jerman, kemudian di Rotterdam Belanda. Di tahun 1840 Direksi NZG mengirimnya ke Minahasa. Tapi Wilken terlebih dulu pergi ke Ambon Maluku, tiba di sana bulan Maret 1840. Di Ambon ia mengawini Maria Elizabeth Hoedt, putri Johannes Hoedt, anggota pengurus Hulpzendelinggenootschap Ambon dari keturunan tua keluarga Belanda-Indonesia yang pernah menjadi pejabat Residen di Haruku. 

Tanggal 30 Desember 1841 Wilken dan istrinya bertolak dari Ambon dan tiba di Manado Januari 1842. Hanya beberapa bulan melayani di Manado, bulan November tahun itu juga menetap di Tanawangko ibukota Balak Tombariri. Kemudian pindah ke Tomohon sejak 1 Februari 1843 menggantikan Adam Mattern yang telah merintis dan mendirikan jemaat Tomohon pertama di tahun 1839.

Beban besar dipikul pundaknya. Karena selain harus melayani Tomohon, juga Kakaskasen dan Sarongsong, ia masih dipercayakan menangani Tombariri. Pelayanan di Tombariri baru dilepas ketika penggantinya Rudolf Bossert mulai bekerja di Tanawangko tahun 1849.  Tapi, gantinya ia harus melayani juga sebagian wilayah pelayanan Sonder, selang tahun 1849 hingga 1851, dan diulang lagi tahun 1854-1861.

Pada awalnya pekerjaan penginjilan Nicolaas Philip Wilken di Tomohon berjalan sangat sulit. Seperti dialami Adam Mattern, ia ditentang hebat oleh Kepala Balak Tomohon Mayoor Mangangantung dan Kepala Balak Sarongsong Mayoor Waworuntu yang tetap memelihara agama leluhur. Bahkan permusuhan terhadap Kekristenan di Sarongsong sangat berlebihan. Sang Mayoor terus menggagalkan upaya dari Wilken. Tak jarang ia menghukum penduduk dengan tongkatnya. Bahkan sering orang mendengar ia mencaci dan mengancam orang-orang Kristen. Namun, keuletan Wilken berbuah. Meski pun mendapat tentangan kuat, semakin banyak orang Sarongsong yang tertarik. Kristen di bawah mata Mayoor Sarongsong justu berkembang, bahkan diperluas dalam keluarga sendiri dan anak-anaknya.

Semakin banyak orang tertarik pada Kristen juga karena pengaruh sekolah yang kembali digalakkan Wilken. Para guru serta murid mulai menarik simpati masyarakat sekitar, demikian pun dengan para orang tua murid tergerak oleh anaknya yang bersekolah. Guru Zending Alexander Wajong (1818-1891) sangat berpengaruh pada penduduk Sarongsong bahkan kemudian terhadap keluarga dan akhirnya sang Mayoor Waworuntu sendiri. Ia dipujikan sangat fasih berbicara dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti. Putri sang mayoor bernama Kekewulan jatuh cinta kepadanya. Perkawinan keduanya akhirnya direstui dan Kekewulan diserani bernama Maria Magdalena Wawo-Roentoe (1820-1858).

Titik-balik bagi perkembangan Kristen di Tomohon terjadi setelah seorang Walian bersama-sa­ma 20 warga lainnya masuk Kristen. Kemudian pembaptisan ­ya­ng sukses di Kakaskasen atas 70 penduduk tanggal 21 Ja­nuari 1845. Puncaknya, ketika Kepala Balak Sarongsong Ma­yoor Waworuntu (1781-1854) bersedia menjadi Kristen. Waworuntu yang telah berusia 66 tahun memakai nama baptis Herman Carl Wa­wo-Roentoe.

Pembaptisan Waworuntu di­la­kukan oleh Inspektur Zendeling NZG Ds.Leonard Johannes van Rhijn (1812-1854) pa­da hari Minggu tanggal 11 April 1847 di Gereja Tomohon. Sebelumnya beberapa putra dewasanya telah dibaptis. Van Rhijn melukiskan peristiwa tersebut, bahwa gereja penuh sesak, dan untuk pertamakalinya dalam hidupnya dihadiri Mayoor tua Tomohon (Mangangantung). Wilken membuka ibadah dengan kotbah singkat pertanyaan Juruselamat pada Petrus, kau mencintaiku?. Kemudian van Rhijn memimpin upacara kudus. 

Mayoor Waworuntu dengan terbuka dan suara keras mengaku imannya kepada Allah Bapa, Jesus Kristus dan Roh Kudus, lalu berlutut. Ia menerima Perjanjian Baru. Van Rhijn mencatat, orang-orang yang dibaptis, menerima namanya serta nama istrinya, termasuk nama Residen Eeltje Jelles Jellesma, sebagai nama baru mereka.
  
Predikan van Rhijn ketika itu tengah melakukan kunjungan inspeksi di Manado dan Minahasa, dan di Tomohon ia tinggal selama enam hari di rumah Wilken. Saat itu, Mayoor Waworuntu tinggal bersama 2 istrinya, yang sebelumnya menjadi kendala utama dalam pembaptisannya. Istri pertamanya bernama Tolang, putri bekas Mayoor Tombariri Rengkung setelah masuk Kristen bernama Sarah Rengkung. Istri keduanya bernama Maria Tenden, dan (kemudian) istri ketiga Tewi.  Dua anaknya yang awalnya menjadi Kristen dan dibaptis Wilken adalah anak tertua bernama Wawolly memakai nama Zacharias Wawo-Roentoe (1816-8 Juli 1881), dan Manopo me­makai nama Albertus Bernardus Wawo-Roentoe (1817-1887).

Anak-anak lainnya yang juga dibaptis berikutnya (oleh Wilken) adalah: Tinendungan memakai nama Fre­derika Hendrika Wawo-Roentoe, Kekewulan memakai nama Maria Magdalena Wa­wo-Roentoe, Pandeirot memakai nama Johanis Wawo-Roentoe, serta Mandagi memakai na­ma Daniel Wawo-Roentoe. Putra-putri lainnya dibaptis berikutnya.

Mayoor Waworuntu. *)

Mayoor Herman Carl Wawo-Roentoe kemudian menjadi penganjur seluruh penduduknya untuk segera masuk Kristen. Ia sempat menemani van Rhijn dan berjanji dengan serius bahwa ia akan setia dengan janji baptisannya. Bahkan, ketika van Rhijn akan berangkat dengan kapal di Kema, Mayoor Wawo-Roentoe mengirim salam hangat dan keranjang buah serta sayuran untuknya. Kemudian juga surat bertanggal 14 Agustus 1847 yang mendoakan keselamatan, serta salam bagi istri dan anak-anak van Rhijn.

Konon, dengan bujukannya Kepala Balak (disebut kepala distrik sejak tahun 1856) tetangganya di Tomohon Mayoor Mangangantung yang sempat ditemui van Rhijn, ikut masuk Kristen. Mayoor Mangangantung memakai nama baptis Ngantung Palar (meninggal 1854). Anaknya yang menggantikannya bernama Rondonuwu, kemungkinan telah dibaptis awal pula, memakai nama serani Roland Ngantung Palar.

Namun tanggal pembaptisan Mayoor Ngantung Palar begitu pun anaknya tidak ada datanya. Gereja Sion yang sampai tahun 1950-an menjadi gereja induk Tomohon tidak memiliki lagi buku induk baptisan, sidi dan perkawinan awal dari warga Kristen berasal Talete, Kamasi, Kolongan, Paslaten, Matani dan bahkan Walian. Padahal lagi, pada awal pertumbuhan Kristen di Tomohon, orang-orang dari Tataaran, Rurukan, Pangolombian, Kakaskasen dan Sarongsong dibaptis, angkat sidi dan diteguhkan serta diberkati nikahnya di Tomohon.

Tokoh Tomohon lain yang dibaptis adalah Werwer yang menjadi Hoofd (Hukum Tua) Negeri Talete yang memakai nama Lukas Wenas (1800-1881). Lukas Wenas ini kelak jadi Hukum Kedua lalu Kepala Distrik Tomohon. Anak tertuanya Elisabeth bahkan diperistri Corneles Wohon, guru zending di Tomohon bekas murid Adam Mattern yang sejak tahun 1861 dikukuhkan sebagai Penolong Injil (Hulp Zendeling) membantu Nicolaas Philip Wilken.

Baru di bulan Desember 1848 Wilken menggelar perjamuan ku­dus pertama di Tomohon, diikuti sekitar 380 orang, bukan hanya dari negeri-negeri di stad Tomohon saja, tapi datang juga dari jemaat Rurukan, Pangolombian dan Kembes. Perjamuan kudus kemudian berlangsung 3 kali dalam setahun, rata-rata dikuti 270 anggota sidi, sementara di Sarongsong yang ikut perjamuan kudus rata-rata 260 orang.

GEREJA
Untuk rumah ibadah, gedung gereja Protestan pertama telah didirikan Pendeta Johann Adam Mattern di tahun 1839 ketika ia melakukan baptisan pertamanya sekaligus membentuk jemaat Tomohon pertama. Wilken kemudian dibantu murid-muridnya memperbesar gereja di dekat rumah tinggal pendeta, ada versi merupakan pemberian Mayoor Ngantung Palar, namun versi lain dari pembelian. 

Berdekatan pula di atas tanah Kalakeran Balak Tomohon (kini kompleks gereja Sion dan bangunan rumah sakit GMIM ‘Bethesda', masuk Kelurahan Paslaten I Kecamatan Tomohon Tengah), Mayoor Ngantung Palar mendirikan gedung pasanggrahan (loji) yang megah untuk tempat peristirahatan pejabat Belanda seperti Residen atau Kontrolir yang datang berkunjung atau kemalaman di Tomohon.

Loji lalu Gereja Protestan Tomohon hingga 1929. *)

Ketika Residen Manado Albert Jacques Frederick Jansen (1853-1859) berkunjung ke Tomohon di awal masa jabatannya 1853, ia segera memerintahkan loji tersebut dijadikan rumah ibadah, karena gereja lama tidak dapat lagi menampung luapan anggota jemaat. Alasan residen lagi, pemeliharaan loji akan menyusahkan penduduk, sedang para pembesar dapat menginap di rumah Mayoor Tomohon yang besar dan luas di dekatnya.

Loji yang berdiri di pekarangan seluas 2.228 m2 itu resmi menjadi gedung gereja Protestan untuk anggota jemaat berasal Talete, Kamasi, Paslaten, Kolongan, Matani dan Walian.

Nicolaas Graafland melukiskan di tahun 1859, gereja yang berada di suatu lapangan terbuka berhadapan dengan jalan dari arah Tanawangko, sangat kokoh dan dibangun rapi. Dari luar dan dari dalam bangunannya tampak sederhana, tapi sangat cocok untuk tempat beribadah dan pertemuan-pertemuan. Ruang da­lamnya diatur sangat rapi.Suasananya memberi rasa hikmat dan kesungguhan. Tem­pat duduk, kursi pendeta dan ruang masuk rapi dan baik.

Kandil tinggalan Wilken. *)

Demikian pun di Sarongsong, gereja awalnya telah dibangun setelah Mayoor Herman Carl dibaptis, namun jemaat pertamanya baru terbentuk di bulan April 1851, ketika Wilken melakukan pembaptisan pertama di Sarongsong, kendati NZG mencatat kalau Jemaat Sarongsong sudah terbentuk di tahun 1846. Residen Jansen meminta loji yang berada di depan rumah Mayoor Herman Wawo-Roentoe di Tumatangtang dijadikan gedung gereja. Alasannya pembesar yang ke Sarongsong dapat menginap di Tomohon. 

Gedung gereja sekarang (kini gereja GMIM ‘Syalom’ Tumatangtang) merupakan bangunan baru dari tembok yang dibangun tahun 1930-an menggantikan bangunan bekas loji yang terbuat dari papan dan beratapkan rumbia (katu), dari tahun 1858, seperti halnya gereja pertama Tomohon. Gereja ini menjadi tempat ibadah bagi penduduk negeri-negeri ibukota Balak Sarongsong ketika itu, yakni Lansot, Tumatangtang, Koror dan Pinangkeian. Bahkan juga dari Lahendong, Tondangow dan Pinaras sebelum pendirian tempat ibadah di negeri masing-masing.

Kandil lilin. *)

Dengan masuknya kedua tokoh pemerintahan dan kepala adat di Sarongsong dan Tomohon ini, terjadi Kristenisasi besar-besaran di Tomohon, Kakaskasen serta Sarongsong. Dari penduduk Tomohon yang berjumlah 15 ribu orang, jemaat Kristen sebanyak 959 orang. Begitu juga penduduk daerah-daerah sekitar meminta masuk Kristen. Secara bertahap Wilken membangun gereja dan sekolah di negeri-negeri. 

Daerah tugas Wilken sangat luas, meliputi tiga distrik, Tomohon, Kakaskasen dan Sarongsong. Dari Distrik Kakaskasen dua negeri yakni Tateli dan Koha dipegang Zendeling Tanawangko. Di Distrik Sarongsong, negeri Rambunan dilayani Zendeling Sonder, namun jemaat negeri Tataaran Tondano dibawah Zendeling Tomohon. Ada 16 negeri dipegang Wilken, baik sekolah mau pun jemaatnya dengan 5.862 orang Kristen. Sementara tercatat ada sebanyak 5.022 bukan Kristen, 4 orang Cina dan 85 orang Islam interniran (Kampung Jawa) di Sarongsong. Kemudian Jemaat Sarongsong, Pinaras, Lahendong diserahkan penanganannya di bawah Zendeling Sonder.
   
Dr.P.Bleeker memerinci jumlah penduduk Tomohon di akhir tahun 1852. Pemeluk Kristen masih sedikit dibandingkan yang masih memegang agama leluhurnya. Sayang, penduduk Distrik Tombariri dimana Woloan dan Tara-Tara tergabung saat itu, tidak dicatatnya.

                           Penduduk Distrik Tomohon
Negeri
Kristen
Kafir
Total
Talete
174
467
641
Kamasi
0
501
501
Paslaten
30
538
568
Kolongan
53
387
440
Matani
91
585
676
Tataaran
241
233
474
Pangolombian
4
247
251
Rurukan
9
390
399
Kembes
2
646
648


                           Penduduk Distrik Sarongsong
Negeri
Kristen
Kafir
Total
Pinankejan
100
144
244
Tumalantang
36
104
140
Koror
33
113
146
Lansot
27
109
136
Regesan
59
80
139
Wiwuk
51
91
142
Kapoya
16
116
132
Lahendong
144
277
421
Tondangow
73
146
219
Pinaras
43
166
209
Rambunan
33
159
192



                           Penduduk Distrik Kakaskasen
Negeri
Kristen
Kafir
Total
Timu Lotta
23
408
431
Amian
46
341
387
Kakaskasen
123
984
1.107
Tateli
105
948
1.53
Koka
7
359
366
Warembungan
0
154
154
Tinoor
5
200
205
Kinilow
10
289
299
 

Pandita Nicolaas Philip Wilken mendirikan 20 Jemaat negeri, tersebar di Distrik Tomohon, Kakaskasen, Sarongsong, ditambah di Distrik Tombariri dan Sonder. Jemaat Tomohon sendiri didirikan Johan Adam Mattern tahun 1839.

Selengkapnya jemaat bentukan Wilken adalah: Tataaran (didirikan tahun 1845), Sarongsong (1846), Lolah (1848), Tateli (1848), Kakaskasen (1849), Lotta (ibukota Distrik Kakaskasen) tahun 1849, Lahendong (1849). Tondangow (1852), Rambunan (1853), Pinaras (1854), Rurukan (1854), Leilem (1856), Pangolombian (1858), Kembes (1858), Koka (1859),  Tincep (1860), Tinoor (1860), Kayawu (1861). Warembungan (1862), serta Kinilow (1863). Jemaat Tara-Tara didirikan Zendeling Rudolf Bossert 1851 sedangkan Jemaat Woloan tahun 1860 oleh Zendeling Nicolaas Graafland.

 
PENDIDIKAN
Nicolaas Wilken yang oleh penduduk biasa dipanggil tuan pandita, juga menaruh minat sangat besar pada pendidikan di sekolah-sekolah meneruskan upaya Mattern. Ia membangkitkan kembali sekolah-sekolah zending yang telah pernah dibuka Mattern.

Banyak gereja yang dibangun dimanfaatkan sebagai tempat belajar-mengajar. Tugasnya sangat berat, apalagi sejak tahun 1844 pemerintah (kolonial) telah meminta bantuan NZG untuk menangani sekolah-sekolah gubernemen, karena kekurangan tenaga guru. Di tahun 1847 sekolah yang diasuhnya sebanyak 11 buah dengan 500 murid. Sistem pendidikan dilaporkan di tahun 1858 ber­langsung tiga kali seminggu. Hari Senin murid-mu­rid belajar sejarah Alkitab. Hari Rabu membaca Al­ki­tab dan hari Jumat belajar agama.

Para guru sekolah-sekolah ini selain bekas murid Mattern, adalah hasil didikan Wilken di rumahnya sendiri dengan sistem muridstelsel. Banyak orang tua tertarik memasukkan anak-anaknya, baik laki-laki (yang disebut murid piara) maupun perempuan (disebut anak piara). Mereka bukan sekedar dilatih sebagai guru, tapi juga sebagai tukang yang trampil.

Bangunan gereja juga sekolah di Tomohon kebanyakan diarsiteki langsung Wilken dibantu para muridnya. Sekolah Zending Tomohon di Kamasi dibangun baru tahun 1855 menjadi salah satu bangunan megah di Minahasa mampu menampung sampai 200 murid. Juga rumah Wilken di Talete merupakan bangunan bagus dan besar hasil karyanya bersama murid-muridnya, termasuk pembuatan roda (pedati) model baru yang digunakan di Minahasa sejak tahun 1851 merupakan karyanya bersama murid-muridnya.

Rumah Wilken di Talete kelak asrama Meisjesschool. *)

Murid piara Wilken yang terkenal adalah Jusuf Tumbelaka, Herling Turambi serta anak piara bernama Wilhelmina Lensun. Jusuf Tumbelaka, kelahiran Tondano adalah murid ter­baik Wilken. Awalnya ia ditugaskan sebagai guru di Ta­ra-Tara tahun 1846, lalu guru di Kakaskasen tahun 1849. Tukang yang ahli membangun gereja dan sekolah ini mengawini Wilhelmina Lensun yang kelak banyak membantu pekerjaannya. Sementara Herling Turambi ber­tugas di Tomohon lalu Tanawangko Tombariri.

Murid piara berikutnya yang dihasilkan Wilken di ta­hun 1848 adalah J.Roring dan J.Tiwow. Seorang murid pia­ra Zendeling Nicolaas Graafland bernama Seth Lantang mem­bantunya dengan menjadi guru injil di Kayawu. Mereka terkenal sebagai guru-guru injil, karena selain sebagai guru biasa, juga turut membantu memberitakan injil serta bertindak langsung sebagai pemimpin-pemimpin jemaat.
 
Berikutnya, guru-guru injil dididik dan keluaran se­kolah guru Kweekschool Kuranga yang dirintis oleh Zen­deling Nicolaas Graafland di Sonder 1851, dan pindah ke Tanawangko tahun 1854, sebelum ke Tomohon 1886 dibawah Hendrik Cornelis Kruijt. Tanah sekolah di Ku­ranga itu dikisahkan ‘dihadiahkan’ oleh Hukum Besar Lukas Wenas di tahun 1877.

Murid Sekolah Penolong Injil 1890. *)

Di tahun 1868, sejumlah guru injil yang memimpin se­kolah Zending serta merangkap sebagai pemimpin-pe­mim­­pin jemaat awal sebanyak 137 orang. Yang bertugas di Distrik Tomohon adalah: E.Lasut (Tomohon), L.Le­ng­­ko­ng (Rurukan), Daniel Wajong (Pangolombian), S.Rengu (Kem­bes) dan Samuel Elias (Tataaran). Di Distrik Saro­ng­song adalah Alexander Wajong (Sarongsong), A.Siwu (La­hendong), A.Pijoh (Tondangow), M.Gosal (Pinaras), dan H.Gerung (Rambunan). Di Distrik Kakaskasen ter­ca­tat Jusuf Tumbelaka (Kakaskasen), E.Malonda (Ki­ni­low), O.Turangan (Kayawu), dan S.Liuw (Tinoor). Ke­mu­dian di Distrik Tombariri: N.Rambi (Woloan), dan J.Tiwow (Tara-Tara). 

Kemudian untuk melayani jemaat yang semakin besar, ju­ga sekolah-sekolah, NZG memutuskan pada 10 Oktober 1850 untuk mendirikan sekolah khusus pembantu zendeling (In­landsche Helpers atau dalam bahasa Tombulu Penolong) di Tomohon. Wilken ditugaskan untuk membukanya. Untuk itu Wilken mendirikan Kweekschool voor Inlandsche Hel­pers tanggal 1 November 1868 di Paslaten (ada catatan berdiri 28 September 1868, juga 10 November 1868). Da­lam pengelolaannya ia dibantu Pendeta Jan Louwerier. 

Pe­nerimaan murid diadakan oleh zendeling setelah calon di­uji terlebih dulu. Sebagai syarat harus berumur mi­nimum 20 tahun dan maksimum 30 tahun (dalam tahun 1875 umur diturunkan, maksimum 25 tahun dan seboleh-bolehnya belum nikah). Murid awalnya sebanyak 9 orang pe­lajar. Setelah 3 tahun, sekolahnya meluluskan pada De­sember 1871 sebanyak 10 murid yang dipekerjakan se­bagai penolong injil. Tahun 1872 sebanyak 4 penolong in­jil, dan tahun 1875 14 orang yang kelak menjadi In­lands Leeraar. Setelah berjalan selama 7 tahun, ba­ru gedungnya selesai 15 Oktober 1875.

Pelajarnya dalam ujian akhir diuji para zendeling, se­perti ketika ujian akhir yang dilaksanakan tanggal 20 Desember 1871, oleh Wilken, Schwarz, Louwerier dan Hen­­riens Johannes Tendeloo. Mereka diuji dalam mata­pe­lajaran ba­hasa Melayu, ilmu iman dan kebajikan, il­mu menafsir dan pengetahuan tentang isi Alkitab, il­mu menghitung, se­jarah gereja, bahasa Belanda, sejarah Al­kitab dan il­mu bumi Alkitab. Tanggal 4 September 1878 diputuskan menutup sekolah ini, dan me­min­dah­kan­nya ke Tanawangko. Tahun 1880 telah terdapat 31 orang penolong injil yang be­kerja dibawah pengawasan pendeta. Kemudian sekolahnya dikembalikan di To­mohon.

Kubur sekarang di Talete I. *)

Pendeta Jan Louwerier ti­ba di Tomohon 22 November 1868 un­tuk membantu tugas-tu­gas Wilken yang makin berat. Se­lain mengajar, juga me­mimpin pelayanan di Kakaskasen. Bah­kan, ketika ke­se­hatan Wilken terganggu dalam tahun-ta­hun akhir hi­dup­nya, Louwerier resmi yang jadi peng­gan­ti sebagai pe­mim­pin jemaat dan sekolah itu.

Atas usaha Wilken, di tiap jemaat pada tahun 1874 su­­dah terbentuk Kerkeraad (majelis jemaat). Tahun 1875 je­­maat-jemaat dalam asuhan NZG termasuk para zendeling dan penolong secara bertahap dialihkan ke Indische Kerk. Jemaat Tomohon saat itu terdiri dari wijkgemeenten (je­­maat negeri): Talete, Kamasi, Kolongan, Paslaten, Ma­­tani dan Walian. Wilken sampai akhir hayatnya dapat membentuk 20 jemaat de­­ngan 8.584 anggota baptisan.

Empat bintang hiasan nisan Wilken. *)

Ketika meninggal ta­nggal 22 Februari 1878, Pandita Nico­la­as Philip Wilken di­kuburkan di Talete (kini Kelurahan Talete I). Kubur sang Jenderal Kristen Tomohon, karena pusaranya bersimbol bintang empat, sempat terlupakan lebih seabad. Baru tahun 1991 ditemukan kembali dan setelah dipugar Wilayah Tomohon diresmikan bulan Juli 1993. 

Bersama makamnya itu ikut dipugar 5 makam orang Eropa lainnya, antaranya makam istrinya Marie Hoedt, dan makam Gysbertha Catharina Krook, nona asal Amsterdam yang menjadi Kepala Sekolah Nona (Meisjesschool) pertama dan meninggal karena wabah kolera tahun 1886. Putra ketiga Pandita Wilken, Dr.George Alexander Wilken (13 Maret 1847-28 Agustus 1891), adalah bekas ambtenar dan kelak etnolog terkenal. ***

     *). Foto repro Keluarga Waworuntu Jakarta, koleksi KITLV dan Didi Sigar.


SUMBER:
-Dr.P.Bleeker: 'Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel, Batavia 1856. Digitized by Google.
-Ds.L.J.van Rhijn: 'Reis door den Indischen Archipel in het belang der evangelische zending'. Internet Archive. Digitized by Google.
-'Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap', Rotterdam, M.Wyt&zonen, 1868. Internet Archieve. Digitized by Google. 
-Adrianus Kojongian: ‘Tomohon Kotaku’ 2006.
-Adrianus Kojongian: ‘Tomohon Dulu dan Kini’, naskah 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.