Jumat, 02 Agustus 2013

Naiknya Lukas Wenas di Tomohon

                                            

 

 

                                                  Oleh: Adrianus Kojongian 

 

 

 


 

Lukas Wenas. *)




Guru Zendeling Nicolaas Graafland pernah menulis, pemerintahan di Minahasa sering ber­alih dari ayah ke putra, bila putra tersebut telah me­me­gang posisi sebagai Kepala Distrik Kedua (Hukum Ke­dua, Kumarua). Bila tidak demikian, yang akan jadi ke­pala distrik (sebelumnya kepala balak) adalah para anggota keluarga terdekat dari ke­luarga yang sedang memerintah. Jika terdapat dua atau tiga keluarga yang pernah memegang jabatan, maka, po­sisi yang lowong akan menimbulkan kesulitan karena adanya pe­rebutan pangkat.

Pendapatnya itu, dikisahkan, karena peristiwa yang terjadi di Distrik Tomohon tahun 1862, rebutan posisi kepala distrik, jabatan sangat bergengsi masa kolonial Belanda tersebut.

Saat itu, Kepala Distrik Mayoor Roland Ngantung Palar diganti. Untuk calon penggantinya, Residen Manado menominasikan Lukas Wenas (1800-25 Januari 1881), yang berpengalaman dan tengah menjabat sebagai Hukum Kedua dibawah Roland Ngantung Palar. Namun, Lukas Wenas dari Talete mendapat tentangan hebat dalam kelompok keluarganya sendiri, yakni keluarga keturunan Mayoor Manopo.

Mayoor Manopo dimaksud adalah mantan Kepala Balak Tomohon periode 1809-1824. Ia anak bekas Kepala Balak Mayoor Posumah (lihat Silsilah Supit Sahiri Macex). Dari perkawinannya dengan Maria Posumah, Manopo memperoleh empat orang anak, tiga wanita dan seorang lelaki. Para putrinya adalah: Wuaimbene, Ringkitan dan Kewailan, sedang putra satu-satunya adalah Posumah.

Wuaimbene dikawini Palar, Hukum Matani dan menurunkan Mangangantung yang kelak dibaptis Kristen bernama Ngantung Palar (meninggal 1853), memerintah Tomohon sebagai Kepala Balak lalu Distrik Tomohon 1835-1853. Anak lain Wuaimbene dan Palar adalah Tololiu Palar, dan Sambuaga Palar.

Ringkitan dikawini Lombogia Wenas berasal Tonsea, menurunkan Lukas Wenas (lihat Silsilah Wenas). Lombogia Wenas adalah kerabat dekat para penguasa Tonsea dan disebut ia menjabat sebagai Rangkang Wanua Kaasar/Karegesan¹.

Kewailan dikawini oleh Wahani, Hukum Pasalaten, menurunkan anak Nicolaas Wahani. Sedang putra satu-satunya dari Manopo yang bernama Posumah mengawini Kamangki, menjabat sebagai Hukum Talete. 

Dengan demikian, keluarga keturunan Mayoor Manopo terbagi dalam empat klan yang kemudian berkembang membawa fam besar masing-masing, yakni klan Palar dipimpin Tololiu Palar Hukum Tua Matani. Klan Wenas diwakili Lukas Wenas dari Talete. Klan Wahani diwakili Nicolaas Wahani dari Paslaten, serta klan Posumah diwakili Posumah dari Talete.

Namun, disamping keluarga Manopo dari keturunan eks Hoofd Hoecums Majoor Pacat Supit Sahiri ini, ada lagi dua kelompok keluarga yang pernah memegang kekuasaan di bekas Balak lalu Distrik Tomohon. Pertama, keluarga Lontoh Tuunan (bekas Kepala Balak Tomohon 1803-1809) yang di­pimpin anaknya Hukum Kamasi Pangemanan Lontoh. Kedua, keluarga keturunan Paat Kolano (bekas Hoofd Hoecums Majoor) yang men­uakan pula Pangemanan. Memang, dalam diri Pangemanan Lontoh mengalir kedua darah mantan Hoofd Hoecums Majoor Lontoh Tuunan Mandagi dari Sarongsong serta Paat Kolano dari Tomohon (lihat Silsilah Paat Kolano dan Lontoh Tuunan).

Tidak heran, bila Pangemanan Lontoh adalah jago dari kedua keluarga mantan penguasa Tomohon dan Sarongsong itu. Namun, Pangemanan Lontoh tidak pernah memangku posisi Hukum Kedua. Juga, yang menjadi ganjalan utama, ia sudah tua dan yang paling penting, Pangemanan Lontoh memang tidak berambisi dengan posisi Kepala Distrik. 

Di mata Belanda sendiri, perlawanan yang pernah dikobarkan ayahnya Lontoh Tuunan II di perang Minahasa di Tondano 1808-1809 menjadi catatan miring bagi dirinya untuk memangku posisi lebih tinggi dari Hukum di Kamasi.

Siapa pun yang akan menjadi Kepala Distrik Tomohon baru memerlukan dukungan Pangemanan Lontoh yang berpengaruh besar. Selama ini ia menjadi ganjalan karena oposisinya terhadap pemerintahan keturunan Pacat Supit Sahiri Macex di Tomohon lewat Mayoor Manopo, serta Mayoor Ngantung Palar dan Mayoor Roland Ngantung Palar. Sikap bermusuhan Pangemanan Lontoh merupakan ‘dendam’ lama warisan moyang mereka, Hoofd Hoecum Mayoor Paat Kolano dari Tomohon dan Lontoh Tuunan Mandagi dari Sarongsong terhadap Hoofd Hoecum Majoor Pacat Supit Sahiri dari Tombariri (lihat Kisah Supit,Lontoh dan Paat).

Maka, calon kuat memangku jabatan Kepala Distrik Tomohon hanya Lukas Wenas yang di­anggap berpengalaman dalam pemerintahan. Tambahan plusnya, Lukas Wenas sementara menjabat Hu­kum Kedua (Tweede Dis­­trictshoofd) Tomohon, dan naik dari posisi Hoofd Negeri Talete. Lukas Wenas pun memperoleh dukungan dari Pangemanan Lon­toh, karena merupakan menantunya, dengan mengawini putri Pangemanan, Elisabeth Pangemanan Lontoh. 

Ada cerita lain dibalik pernikahan itu. Istri pertama Lukas Wenas adalah Jacoba Jacomina Pangemanan berasal Kolongan. Ketika meninggal, Ringkitan, ibu Lukas Wenas yang melihat bintang anaknya bersinar, sengaja mengatur perjodohan Lukas Wenas dengan anak Pangemanan Lontoh bernama Ringkitan juga, yang kemudian bernama Elisabeth Pangemanan Lontoh (meninggal tanggal 27 Juli 1890)². Menurut ibunya, siapa pun yang memperistri putri dari Pangemanan Lontoh akan memperoleh dukungan Pangemanan Lontoh, dan tentu saja dukungan dari keluarga keturunan Paat Kolano dan Lontoh Tuunan lainnya. Selain itu, alasan ‘politis’ lainnya, adalah mengakhiri permusuhan panjang diantara ketiga mantan penguasa yang telah berlangsung lebih 2 abad. 

Ketika kejadian itu, Lukas Wenas sementara menjabat Hukum Tua (Hoofd) negeri Talete. Ramalan ibunya Ringkitan berbukti. Tak lama kemudian, di tahun 1853 Lukas Wenas naik sebagai Hukum Kedua Tomohon, di bawah pemerintahan kemenakannya Roland Ngantung Palar.

DISEMBUNYIKAN
Seperti ditebak, demikianlah yang terjadi di tahun 1862 itu. Pangemanan Lontoh otomatis memberi dukungan bagi anak mantunya itu untuk menduduki posisi Kepala Distrik Tomohon.

Namun, justru Lu­kas Wenas sangat ditentang oleh klan Manopo lainnya yang dimotori Nicolaas Wahani Hukum Tua Paslaten.yang mendapat dukungan Posumah. Alasan mereka, Lukas Wenas bu­kan asli Tomohon, karena ayahnya orang Tonsea. 

Tapi, pergerakan menentang Lukas Wenas dari klan lain keluarganya tidak diperdulikan Kontrolir dan Residen Manado. Melihat oposisi mereka gagal, Posumah menempuh jalan akhir. Ia me­nyimpan uang kas Distrik yang jadi tanggungjawab Lu­kas Wenas. Untunglah sepupunya, Hukum Tua Matani Tololiu Palar (meninggal tahun 1870), tampil menolong Lu­kas Wenas. Tololiu Palar berhasil menemukan kembali uang hilang itu beserta pe­laku-pelakunya. Maka, Lukas Wenas keluar sebagai pe­menang. Ia resmi diangkat menjadi Hukum Besar Kepala Distrik Tomohon.
Kubur Lukas Wenas, di sebelah kubur Elisabet Pangemanan Lontoh.
Buntut intrik itu, tak berkepanjangan.  Lukas Wenas membalas lawan-lawannya dengan kebaikan, bukannya hukuman. Hukum Posumah di’asing’kan ke­luar Tomohon, namun menjadi Hukum Kedua Walantakan, yakni wi­layah Tomohon di dekat Tonsea, kini masuk Tonsea La­ma Kecamatan Airmadidi (lalu Kecamatan Tondano Timur se­jak tahun 2003). Walantakan ini kelak menjadi Onderdistrik (Distrik Kedua) Rurukan, berkedudukan di Rurukan (kini Kecamatan Tomohon Timur). Sementara Nicolaas Wahani diangkat ke dalam jabatan Hukum Kedua Tomohon (meski ada versi lain katakan ia di­pecat).

Lukas Wenas menjadi cikal bakal dari keturunan Wenas yang terkenal. Dari istri pertama Jacoba Pangemanan, memberinya anak Elisabet dikawini Cornelis Wohon, Penolong Injil Tomohon pertama. Lalu Johanis yang kelak jadi Hukum Tua Talete, baru Bernadus dan Maria Wenas. 

Dari istri kedua Elisabet Pangemanan Lontoh, lahir Petrus Wenas (1839-1891) yang mengawini Sarah Waworuntu, putri Kepala Distrik Sarongsong Mayoor Zacharias Waworuntu. Lalu Herman A.Wenas (28 Februari 1843-8 Mei 1921), pertama kawin dengan Neeltje Waworuntu, adik istri kakaknya, lalu kawin kedua dengan Josephina Carolina Engelina Weijdemuller, seorang cucu Mayoor Zacharias Waworuntu pula. Anak lainnya Bernadus, Alexander dan Albert Wenas.

Lukas Wenas mulai membangun kekuasaan keluarganya. Rata-rata anaknya disekolahkan di Sekolah Raja (Hoofdenschool) Tondano. Herman Wenas yang pintar diangkatnya menjadi Hukum Kedua Tomohon tahun 1867 (versi lain tahun 1870), dengan mengganti Nicolaas Wahani. Lalu Petrus Wenas dari jabatan Hukum Tua Kamasi diangkat jadi Hukum Kedua Rurukan memerintah wilayah-wilayah Tomohon di bagian timur. Johanis kakak tiri mereka sebagai Hukum Tua Talete dan menyusul kelak Alexander Wenas sebagai Hukum Tua Talete lalu Hukum Kedua Sarongsong.

Anak Lukas lainnya, Bernadus Wenas didudukkan sebagai jurutulis (klerk) di kantor Distrik Tomohon, Willem Wenas jadi Hukum Tua Kembes. Albert Wenas kelak sebagai Hukum Kedua di Kakas dan Remboken. Putri-putrinya dikawinkan dengan tokoh-tokoh berpengaruh Minahasa lainnya. Seperti Sophia Wenas dengan Kepala Distrik Langowan Mayoor Nicolaas Mogot, dan Suzana Wenas dengan putra Kepala Tondano-Toulimambot Pangalila.

Lukas Wenas tidak memperoleh gelar kehormatan Mayoor, seperti lazimnya kepala distrik lain di Minahasa. Di tahun 1878 ia diberhentikan sebagai Kepala Distrik Tomohon, karena protesnya terhadap Domein Verklaring. Petrus Wenas, putra tertuanya yang ikut mendukung protes domein ikut terkena getah. Maka, pilihan sebagai pengganti kepala distrik Tomohon, adalah Herman Wenas, anak kedua Lukas Wenas. Jadilah Herman Wenas memerintah Tomohon, cukup lama, hingga tahun 1913. ***

           -------
1.       Versi berkembang kemudian, Lombogia adalah kakek Lukas Wenas, dan menjabat sebagai Pagar im Wanua Kembes, negeri yang masa lalu masuk Distrik Tomohon. Versi ini ayah Lukas Wenas bernama Pangkerego Wenas.
2.       Lukas Wenas sebelum masuk Kristen bernama Werwer. Ada versi JacobaPangemanan ketika Lukas Wenas menikahi Ringkitan, masih hidup, dan menerima pernikahan kedua Lukas itu. Pernikahan kedua Lukas Wenas diduga berlangsung akhir tahun 1830-an, sedangkan pembaptisan keluarga Werwer baru berlangsung di akhir tahun 1840-an, atau awal 1850-an. Werwer memakai nama Lukas Wenas, Ringkitan bernama baptis Elisabeth Pangemanan (Pn) Lontoh, sesuai tulisan di kuburnya. Lalu anak-anak Lukas Wenas dari Ringkitan, memakai nama Petrus Wenas (lahir 1839), dan Herman Wenas (1843).

Narasumber kisah: Lodewijk Elisa Wenas, Paulus Supit, Arie Mandagi dan Joutje Kambey.
                    
     PUSTAKA:
      Buku ‘Tomohon Kotaku’, 2005.
Buku ‘Minahasa Masa lalu dan Masa Kini’ N.Graafland, terjemahan Yoost Kulit, 1987.

Kamis, 25 Juli 2013

SILSILAH TOMBULU (4)







Kubur Lukas Wenas.



Kubur Mayoor Herman Carl Waworuntu.



Kubur Mayoor Zacharias Waworuntu dan istrinya Dolsina Pelenkahu.

Jumat, 12 Juli 2013

SILSILAH TOMBULU (1) Muasal Supit, Lontoh dan Paat





Oleh: Adrianus Kojongian





Waruga Pacat Supit di Woloan tahun 1929. *)




Silsilah keluarga di Tomohon, terutama keluarga para penguasa dan keturunannya sangat berkait erat dengan keberadaan Pacat Supit Sahiri Macex dari Tombariri, Lontoh Tuunan Mandagi dari Sarongsong dan Paat Kolano dari Tomohon.

Ketiga mantan Hoofd Hoecums Majoor ini berkait erat pula dengan para leluhurnya ke atas yang bermuara pada para kepala Kakaskasen di Meyesu (Maiesu), dan dari tutur hikayat yang sejak lama disusun para peneliti Barat, bersumber cerita rakyat Tombulu, semuanya berhulu pada leluhur Toar dan Lumimuut.

Intinya silsilah keluarga tua Tomohon sekarang ini identik pula dengan silsilah Tombulu, karena perkawinan-perkawinan yang dilakukan para penguasa dan keturunannya di masa silam. Malah, garis keturunan Supit, Lontoh dan Paat, dapat dirunut jauh dalam silsilah para penguasa Minahasa lain, baik dari Tondano, Tonsea bahkan Tontemboan. Dari keturunan Supit, Lontoh dan Paat, 'lahir' pula keluarga berfam Wenas, Palar, Waworuntu dan lain sebagainya yang kini beranak-cucu demikian besar.

Silsilah-silsilah ini, telah disusun sejak awal  tahun 1980-an, dan dibukukan pertama kali dalam ‘Riwayatmu Tomohon’ tahun 1986, lalu buku ‘Tomohon Kotaku’ tahun 2005.

Sumber utama manuskrip dan wawancara adalah: Lodewijk Elisa Wenas,  Arie Michael Mandagi, Joutje Soleman Kambey, Soleman Moningka, Manopo Palar, Paulus Quirenus Rodolf Supit,  Yan Pijoh, Manuel Lontoh dan Daniel Andries Lontoh serta banyak lagi lainnya. 

Manuskrip dari keluarga Lontoh justru sangat kaya dengan silsilah keluarga lain, namun dalam seri tulisan ini saya sekedar menurunkan yang berkaitan dengan sejarah Tomohon dan umumnya Tombulu.

Saya tidak merinci silsilah ke atas lagi, karena Pandita Nicolaas Philip Wilken dan Nicolas Graafland  telah menyusunnya lengkap. Demikian pun untuk silsilah Wenas ke bawah dari Lukas Wenas, serta Waworuntu dari Herman Carl Waworuntu ke bawah, tidak lagi diturunkan, karena sudah banyak ditulis.

Semua tulisan saya (baik silsilah dan lain-lainnya),  boleh dikopi dan dikutip siapa pun, dengan meminta izin dulu (di kotak komentar), serta menyebutkan sumber (link aktif sumber dicantumkan)

Untuk silsilah di bawah ini, dapat melihat ketokohannya dalam tulisan sebelumnya ‘Tentang Kepala Minahasa’ (A-Z), ‘ Kepala-kepala Minahasa’ serta ‘Kisah Supit,Lontoh dan Paat’.

Semoga beberapa silsilah ini bisa membantu keluarga-keluarga yang tengah menyusun silsilah keluarganya.









Kamis, 04 Juli 2013

Tubagus Buang dan Kampung Jawa Tomohon

                                          

 

 

 

                                              Oleh: Adrianus Kojongian

 

 

 


Pemberontakan Cilegon 1888. *)


Di Tondano ada Kampung Jawa yang didirikan Kyai Modjo, dan di Tomohon pun ada Kampung Jawa yang didirikan para pejuang kemerdekaan berasal Banten. Wilayah Kampung Jawa Tomohon dulunya masuk pinggiran bekas kota Distrik Sarongsong, sekarang merupakan kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan. Penduduknya seratus persen Islam, dan lain dari itu tak ada yang mencolok membedakan dengan pemukiman sekitarnya yang berpenduduk Kristen. Lihat saja rumah-rumahnya, layaknya rumah orang Minahasa lainnya, bahkan bahasa pun, banyak penduduknya fasih berbicara Tombulu.

Kalau ditanya siapa pendiri Kampung Jawa ini, penduduknya spontan akan menjawab Tubagus Buang. Namun, siapa Tubagus Buang ini sangat misterius. Para tokoh Kampung Jawa Tomohon di tahun 1980-an dan 1990-an meyakini Tubagus Buang dimaksud adalah Ratu Bagus Buang, seorang pemimpin pemberontakan di Banten tahun 1750-1752 yang berjuang bersama Kiai Tapa untuk mengenyahkan Kompeni Belanda di Kesultanan Banten.

Pemberontakan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, menurut penulis-penulis Banten, dipicu ulah Ratu Syarifah istri Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (1733-1750). Ia membuang putra mahkota, menyebar fitnah suaminya gila sehingga ditangkap, lalu dengan persetujuan VOC, mengangkat menantunya sebagai sultan baru.

Kampung Jawa Tomohon. *)

Maka, timbul pemberontakan dipimpin Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin, dan Kiai Tapa masih saudara seayah Sultan Muhammad Zainul Arifin. Tubagus Buang dikabarkan masih melakukan perlawanan di Banten hingga tahun 1757, dan dari versi Banten ia meninggal dan disebut dimakamkan di Pagutan Jasinga. 

VERSI
Ada pendapat lain yang menyebut Tubagus Buang dimaksud adalah Tubagus lebih muda yang dibuang Belanda di periode 1850-an. Bangsawan Banten ini bernama asli Tubagus Mansur, tapi karena dibuang lebih dikenal dengan julukan Tubagus Buang. Menurut sejarawan Kampung Jawa Tondano Abdul Razak Tumenggung, Tubagus Mansur ini adalah cucu dari Tubagus Buang. Ia dibuang ke Kampung Jawa Tomohon bersama-sama Patih Tubagus Diningrat, Jaksa Tubagus Jayakarta, Demang Tubagus Suramarja, Kadi Abu Salam dan Mas Djibeng. Mereka terlibat dalam pemberontakan yang dikenal dengan nama Gudang Batu. 

Pemandangan lain Kampung Jawa. *)

Dari sejarah Banten, disebut tanggal 24 Februari 1850 terjadi kerusuhan dan pembunuhan Demang Cilegon yang tengah menginspeksi Rohjambu. Kerusuhan dipimpin Raden Bagus (Tubagus) Jayakarta, Tubagus Suramarja, Tubagus Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Satus, Nasid, Asidin, Haji Wakhia dan Penghulu Dempol. Nama Tubagus Mansur tidak disebut, begitu pun Kadi Abu Salam dan Mas Djebeng.
 
Peran Mas Djebeng atau Mas Jabeng ada disebut dalam pemberontakan di Banten tahun 1839 yang dipimpin oleh Ratu Bagus Ali, Pangeran Kadli dan dirinya. Mas Jabeng disebut sebagai putra Mas Jakaria, pemimpin pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 dan 1827.

Seperti siapa adanya mereka, tahun kedatangan para tokoh Banten yang dibuang Belanda dan kelak bermukim di Tomohon ini pun berbeda-beda versi. Ada menyebut tahun 1790, lalu 1816 dan juga 1875. Yang pasti adalah di tahun 1850-an penduduk Islam di Kampung Jawa Tomohon, dicatatkan sebanyak 85 jiwa.

Masjid 'Nurul Iman'. *)

Kampung Jawa sendiri baru memperoleh status negeri, dipimpin seorang Hukum Tua di tahun 1928.

KISAH DARI TOMOHON
Empat tokoh Kampung Jawa Tomohon yang diwawancarai tahun 1980-an dan 1990-an, Haji Hassan Tubagus (kelahiran 1914), saat itu Imam Masjid ‘Nurul Iman’ Kampung Jawa, dan tiga mantan Hukum Tua: Abdulrahman Tubagus (kelahiran 1916), Rebo Tubagus (kelahiran 1934), dan Djaber Tubagus, seyakin-yakinnya Tubagus Buang, leluhur mereka, adalah seorang pemimpin besar pemberontakan Banten. ‘Ini adalah cerita dari ayah saya Bustari Tubagus, bekas imam, yang diturunkan dari ayahnya Tubagus Abdullah dan diturunkan langsung oleh ayahnya lagi Tubagus Buang sendiri,’’ kisah Haji Hassan Tubagus (lihat silsilah).


Keminahasaan yang kental. *)

Tubagus Buang adalah bangsawan tinggi Kesultanan Banten, menjabat Hulubalang. Malah, menurut Haji Hassan, Tubagus Buang masih sebagai cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit Fatahillah (Sunan  Gunung Jati), pendiri Banten. Meski dari sejarah Banten, Fatahillah mendirikan Kesultanan Banten tahun 1527, sedangkan anaknya Sultan Hasanuddin memerintah Banten 1552-1570, sehingga terdapat jeda panjang.

Tubagus Buang sangat menentang Kompeni Belanda karena intervensinya terhadap Kesultanan Banten, terjadinya kemelaratan, pemerasan, pelecehan agama, pajak yang banyak dan sistem rodi yang membuat rakyat Banten menderita sekali.

Tubagus Buang dengan pengikut-pengikutnya yang tidak membawa istri mereka mengawini gadis-gadis Minahasa, terutama wanita-wanita dari Sarongsong, Sonder, Pineleng dan Tondano. Tubagus Buang sendiri mengawini wanita ber­fam Supit dari Lahendong, sehingga dikisahkan memperoleh hadiah perkawinan wilayah yang meliputi Kampung Jawa kini. Dari istrinya itu, Tubagus Buang memperoleh 3 orang anak le­la­ki, masing-ma­si­ng: Tubagus Agus, Tu­bagus Baii dan Tu­­bagus Abdullah.

Ku­­buran Tubagus Bu­­ang hingga kini ber­­ada di tempat ber­­nama Kayu Pa­yu­­ng. Meski demikian, ada keturunannya yang mempercayai Tubagus Buang telah gaib ketika sedang bersembahyang. Sementara yang lain lagi menutur ia telah balik dan meninggal di Serang Banten.

Selain Tubagus Buang, para tokoh lain yang dibuang bersamanya dan bermukim di Kampung Jawa Tomohon adalah Penghulu Abusalam, Mas Djebeng, Mukali, Abdur Rasjid, Ab­dul Wahid Abdul Haji, Abdur Rais dan lain-lain. Dari antara in­ter­niran Banten ya­ng mempunyai ba­nyak keturunan hingga sekarang di Kampung Jawa, terutama ada­lah Tubagus Buang sendiri, Penghulu Abusalam, imam per­­tama, bekas penghulu perang di Banten (makamnya ki­ni berada di Kampung Kodo Manado), serta Mas Djebeng.

Pengikut lainnya ketika Belanda melonggarkan pengawasan­nya, menyebar di beberapa tempat di dalam dan luar Mi­nahasa. Abdur Rasjid alias Islam adalah anak Penghulu Abu­salam. Sedangkan Abdul Wahid dan Abdur Rais tidak mem­punyai keturunan di Kampung Jawa.

Para pemimpin Geger Cilegon yang ditahan. *)

Berikutnya, datang pula Kasim Maskun pada tahun 1888. Maskun semula adalah Lurah di Cilegon Banten. Ia terlibat dalam pemberontakan yang dikenal dengan nama Geger Cilegon yang tercetus tanggal 9 Juli 1888. Maskun digambarkan oleh keturunannya sebaga tokoh tinggi be­­­sar dan perkasa yang meninggal tahun 1926 dalam usia 117 tahun. Konon, Maskun berambut panjang menggerai hi­ngga kaki, dan sampai berumur 110 tahun sangat kuat, ma­sih memanjat kelapa dan dapat memikul ratusan biji kelapa.

Selain para pejuang yang dibuang Belanda, gelombang pendatang kedua yang menghuni Kampung Jawa Tomohon adalah pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan. Tokoh bernama Lasambang dan Lakoro awalnya hanya menyinggahi pelabuhan Kema dan melihat-lihat sambil berdagang. Tapi, kemudian merasa kerasan. Perahu layarnya ditinggalkan. Dua pucuk meriam yang mereka bawa kemudian hilang tidak berbekas.

Para interniran berasal Banten dan pedagang Bugis ini mendapat jodoh gadis-gadis Minahasa dalam ajang baku blantek (barter). Biasanya para tibo-tibo (inang) Minahasa terdiri kaum wanita. Sedangkan warga Kampung Jawa berkebiasaan membuat gula aren yang dalam proses selanjutnya dibeli tibo-tibo dan dijual di pasar Tomohon dan Manado. Dari pertemuan dan barteran itu terjadi perkawinan-perkawinan campuran. 

Rombongan pengikut Tubagus Buang dan anak-istri mereka kelak ditambahi oleh pemukim-pemukim dari Kampung Jawa Tondano. Ketiga keturunan pengikut tersebut berbaur dan berketurunan. Perkawinan masyarakat Kampung Jawa Tomohon pun terjadi dengan warga Islam di Manado, Pineleng, Belang, Bolaang-Mongondow dan Gorontalo. Adat-istiadat Jawa dan agama Islam tetap mereka pelihara. 

Hubungan kekerabatan dominan penduduk Kampung Jawa dengan tanah asalnya Serang lama-kelamaan terjalin kembali dan masih terpelihara dengan baik hingga kini. Dari penuturan Rebo Tubagus, mantan Hukum Tua 1961-1964, di kota Serang ada sebuah tempat khusus. Lokasi di Kampung Kelapa Dua itu, adalah tempat untuk menguji benarkah pejiarah dan pendatang dari Kampung Jawa Tomohon asli keturunan Tubagus Buang.

PINDAH BERKALI
Awalnya para interniran dibawah Tubagus Buang ditempatkan di lokasi Lembuyan Kakaskasen Tomohon, bahkan ada menambahkan sebelumnya lagi pernah di Lota Pineleng, ketika itu ibukota Balak Kakaskasen. Lalu dari Kakaskasen, mereka pindah di Papakanan yang disebut pula Sumboyong (sekitar 1 kilometer dari Kampung Jawa). Tempatnya dinamakan Papakanan karena konon dihuni jin-jin, sehingga penduduk harus melakukan acara Semedi Adat dengan memberi sesajian untuk jin-jin itu. 

Dari Papakanan dipimpin Tubagus Buang mereka kemudian pindah bermukim di Lepo, kini wilayah kebun sawah antara Walian-Lansot, de­kat tempat bernama Mandei. Lalu dari Lepo, tidak la­ma pula mereka pin­dah dan memba­ngun kampung di se­belah selatan (bagian barat Tu­ma­tangtang), pada su­atu daerah hutan lebat yang di masa itu terkenal sangat angker. Lo­ka­si itu kini di­na­mai Lewet atau le­bih dikenal de­ngan nama Kayu Payung atau Kaiwangko (kayu besar), sekitar 2 kilometer selatan Kampung Jawa. 

Disebut Ka­yu Payung, sebab sekitar pemukiman­nya dinau­ngi se­akan dipayungi oleh pohon besar itu, yang diper­ca­­yai mereka dihuni jin-jin dan ke­ra­mat. Di sini Tubagus Buang dan Mas Djebeng meninggal dan dikuburkan.

Berhubung pemu­ki­man Kayu Payung di­rasa terlalu ja­uh da­ri ibukota Dis­trik Tomohon, ju­ga jauh dari ruas ja­lan raya, serta jin-jin yang di­per­caya ada di si­tu, penduduk Kam­pung Jawa me­min­dahkan nege­ri­­nya pada ta­hun 1875 ke tempat se­ka­rang. Ver­si lain, pe­­min­dahan terakhir ini ter­jadi ka­rena berjang­kit­nya penyakit Lu­ti Air (waterpo­ken, cacar air) ya­ng menelan ba­nyak korban jiwa.

‘’Belanda memang sengaja mem­perlakukan pa­ra interniran dan ke­­turunannya se­ba­gai pekerja-pekerja paksa. Mereka me­nyiasati warga Kam­pung Jawa menyuruh membabat hutan ang­ker dan membuka pe­mu­kiman, lalu me­nyuruh pindah kem­bali,’’ kisah Haji Hassan Tubagus, yang menjabat imam Kampung Jawa lebih 50 tahun.

Pembuatan kerupuk Kampung Jawa. *)

Selain versi ini, eksodus war­ga Kampung Jawa, dari tuturan tua-tua yang lain ber­­­­awal dari Kayu Pa­­yung, lalu ke Lem­­buyan di Ka­kas­­kasen, dan ke per­­kebunan Man­dei. Dari sini pen­duduk berpen­car, ber­­gabung de­ngan warga Islam lain di beberapa Kam­pung Ja­wa. 

Dice­ri­takan ketiga anak Tu­bagus Buang, yakni Tubagus Agus, Tubagus Baii dan Tu­bagus Ab­dullah yang me­mimpin pemindahan itu beserta ke­­lu­ar­ganya. Mereka pergi ke Tanawangko (Tubagus Agus), Tum­paan (Tubagus Baii) dan malah sampai ke Marisa di Go­rontalo.

Baru di tahun 1890, penduduk kembali ber­kum­pul, dan mulai meng­­huni Kampung Ja­wa sekarang. Dari keturunan Tubagus Buang, yang kembali ke Kampung Jawa adalah Tubagus Abdullah dari Tanawangko. Keturunan Tubagus Bu­­ang yang ada di Kampung Jawa berasal darinya.

SEMPAT KOSONG
Semula Kampung Jawa administratip pemerintahan ma­­sih dipegang oleh Hukum Tua Tumatangtang dan Lansot Sarongsong. Kam­­pung Jawa dibagi atas 2 Jaga Kepolisian. Lalu di ta­­hun 1928 dengan persetujuan Kepala Onderdistrik Tomo­hon dan Kepala Distrik Manado yang membawahinya, Kampung Jawa diresmikan menjadi sebuah negeri oto­nom. Djasmani Tabi­man yang fam asli­nya Rifai dari ga­ris keturunan pe­ngi­kut Kyai Modjo di­angkat menjadi Hu­kum Tua Kampung Ja­wa pertama. Ma­sanya, tahun 1921 to­koh Serikat Is­lam (SI), Haji Omar Said Tjokroa­mi­noto mengunju­ngi Kampung Jawa.


Kantor Lurah Kampung Jawa. *)
 
Tahun 1942 Kampung Jawa mengalami kevakuman pemerintahan, tidak mempunyai hukum tua. Ini setelah Jepang mengeksekusi Hukum Tua Djakaria Kyai Demak dan Kepala Jaga Aminullah Masloman. Se­perti sebelumnya, Kampung Jawa masuk Sarongsong, ber­bentuk 2 jaga, dengan kepala jaga wilayah Lansot Pet Prambahan dan kepala jaga wilayah Tumatangtang Mon­to­ng Kyai Demak. Baru di tahun 1946 Kampung Jawa kembali berstatus negeri ulang, dipimpin Hukum Tua Montong Kyai Demak.

Masa pergolakan daerah Permesta, Kampung Jawa sempat dibumihanguskan dan masjid dijadikan dapur umum serta tahun 1959 terbakar. Penduduk lari mengungsi di kebun-kebun, ke Tomohon dan Manado. Baru ketika Tomohon dibebaskan APRI (TNI), sekitar 700-800 warganya diungsikan ke Manado dibawah Letnan Minu dari Brawijaya. Setelah keadaan aman, penduduk kembali ke Kampung Jawa, dengan pejabat Hukum Tua, ditunjuk Rebo Tubagus sejak bulan April 1961. ***

*). Foto koleks KITLV Digital Media Library dan foto-foto Kampung Jawa: Didi Sigar dan Jootje Umboh tahun 2005 dan 2006.


SUMBER:
Tomohon Kotaku
Tomohon Dulu dan Kini
Berbagai tulisan tentang Banten