Rabu, 20 Juli 2022

Empat Ratu dari Sulawesi Utara

 

 


Ratu dan Raja Kaidipang Besar Ram Soeit Ponto (Wauter Kaudern, The New York Public Library)

 

 

 

Sulawesi Utara pernah memiliki sejumlah kerajaan. Tergolong mini kerajaan-kerajaan ini tersebar di Kepulauan Sangihe, Kepulauan Sitaro serta Bolaang-Mongondow.

Dari sebelas kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara, ada empat orang ratu terkenal yang memerintah, tidak kalah dengan raja-raja lelaki.

Para ratu ini semuanya berasal dari Kaidipang, Bolaangitang dan Bintauna, bekas kerajaan yang wilayahnya sekarang berada di kawasan Bolaang Mongondow. Dua ratu diantaranya berasal dari kerajaan Bintauna dengan teritori mencakup bagian kecil Suwawa di Provinsi Gorontalo.

Berikut para ratu tersebut.

DOUNGE

Ratu Dounge terkenal di awal era Spanyol di Sulawesi Utara pada permulaan abad ke-17. Ia sangat anti-Ternate, dan berkali-kali mengutarakan keinginannya untuk menjalin persahabatan dengan Spanyol, bahkan dengan menjadi vasal sekali pun.

Harapannya terwujud ketika kesultanan Ternate ditaklukkan Gubernur Jenderal Pedro Bravo de Acuna tahun 1606. Acuna mengangkat komandan Juan Martinez de Esquivel sebagai Gubernur sementara Ternate dengan tujuan mengibarkan bendera Spanyol di Maluku dan Sulawesi Utara atas nama Raja Felipe III.

Bulan Agustus 1606, Juan de Esquivel mengirim Vandrig (perwira pembantu) Christoval Suarez dengan 1 galeota, 1 brigantin dan beberapa kapal kecil ke Sulawesi Utara, dimana dua atau tiga penguasanya masih pagan, tapi berkeinginan menjadi Kristen. Mereka pun sejak beberapa waktu sebelumnya meminta perlindungan Spanyol karena selalu diganggu armada Sultan Ternate yang datang mengambil harta mereka sesuka hati. 

Esquivel menulis kepada para penguasa di Sulawesi bahwa Ternate telah jatuh ke tangan orang Spanyol dan mendesak mereka agar bergabung dengan persahabatan Raja Spanyol. Selain surat, para raja termasuk Putri Dongue diberi hadiah, sejumlah kain beludru dan mata uang Spanyol yang telah umum digunakan. Esquivel ikut menjanjikan bantuan senjata, mesiu dan kapal.

Dalam surat jawabannya kepada Esquivel, Putri Dongue mengatakan bahwa dia selalu berperang dengan Sultan Ternate karena persahabatannya dengan Raja Spanyol, dan kesewenangan tindakan Ternate di Kaidipang.

Berdasar dokumentasi Esquivel, sejarawan Katolik A.J.van Aernsbergen SJ dalam Uit en over de Minahasa, De Katholieke Kerk en Hare Missie in de Minahasa mengungkap Ratu Dongue bersaudara dengan Raja Bwool, Raja Manado Tololio, raja Kristen Toli-Toli bernama Don Miguel Pololibuta dan juga dengan Raja Bolaang. 

Mungkin raja-raja tersebut mengangkat sumpah persaudaraan. Sebab dari tradisi lokal masing-masing kerajaan tidak ada jalinan kekerabatan demikian, terkecuali Kaidipang, Toli-Toli dan Bwool yang memang memiliki kekerabatan keluarga di antara penguasanya.

Ratu Dongue ikut meminta dikirimkan padri untuk mengkristenkan dia bersama penduduknya. 

Manila lalu mengirim 2 padri Fransiskan (OFM, Ordo Fratrum Minorum), Francisco Antonio de Santa Ana dan Sebastian de Benevente y Sanchez (San Jose). Mereka diterima Ratu Dongue dengan baik dan dirayakan meriah di istananya tanggal 15 Juni 1610. 

Namun tak lama kedua padri martir oleh penentang mereka. Santa Ana ditangkap, dibawa ke Tagulandang dan meninggal setelah disiksa. Sementara San Jose mati ditikam di Bwool. Keduanya, menurut Padri Domingo Martinez, penulis Compendio Historico de la Apostolica Provincia, telah dibeatifikasi. 

Upaya pengkristenan di masa Ratu Dongue, ditambahkan sejarawan Spanyol Antonio C.Campo Lopez dalam La presencia espanola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII, masih dilakukan Fransiskan tahun 1612 dengan mengirim Padri Juan del Cano, Crisatoval (Cristobal) Gomez dan Padri Pedro.

Ratu Dongue diganti tidak lama kemudian oleh Raja Banidaca yang pada  21 Juni 1614 menyurati Gubernur Spanyol di Ternate Don Geronimo de Silva.

LINKAKOA

Ratu Bolaangitang yang diperkirakan memerintah mulai pertengahan tahun 1650-an. Linkakoa yang disebut juga Sinkakoa atau dalam arsip-arsip Spanyol Lincacoa atau Lincaxa, menurut Francois Valentijn terkenal dengan julukan Raja Parampuan.

Linkakoa naik tahta Bolaangitang setelah terjadi invasi gabungan pasukan kerajaan Siau dengan kerajaan Bolaang (Mongondow), yang berhasil menaklukkan kerajaan Kaidipang.

Ketika pencaplokan Kaidipang terjadi, menurut Ds.Jacobus Montanus, Bolaang masih dipimpin oleh Tadohe, ayah dari Raja Loloda Mokoagow. Namun, Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost-Indie mengatakan kerajaan Bolaang telah dipimpin Loloda. Sedangkan Siau dipimpin raja muda Don Francisco Xavier Batahi. Walau muncul versi lain kejadiannya masih di masa pemerintahan ayah Batahi, yakni Don Ventura Pinto de Morales yang meninggal di tahun 1658.

Akibat dari pendudukan tersebut, Kaidipang dibagi dua oleh para pemenang. Siau menjadi pemilik Bolaangitang, dan Bolaang (Mongondow) mengklaim wilayah Kaidipang yang disebut Dauw.

Sebagai penguasa, Siau menempatkan wakilnya Linkakoa menjadi Ratu Bolaangitang. Sementara Bolaang yang dipastikan telah dipimpin oleh Raja Loloda mengangkat Mauw Beiling atau Mobiling, sebagai Raja Kaidipang di Dauw. Mauw Beiling sendiri ditawan Loloda di Bouton. 

 

Topi putri kerajaan Kaidipang dan Bolaangitang (The New York Public Library).
 

Siapa Putri Linkakoa?

Berdasar silsilahnya, Linkakoa adalah putri dan keturunan asli raja-raja dan ratu Bolaangitang sebelumnya.

Perkawinan politik dirancang oleh para penakluk Kaidipang untuknya. Linkakoa sengaja dikawinkan dengan Mauw Beiling.

Hanya sayang perkawinan kedua penguasa ini tidak bertahan lama. Mauw Beiling meninggal setelah memperoleh seorang putra yang menurut Gubernur Maluku dari Kompeni Belanda (VOC, Vereenigde Oostindische Compagnie) di Ternate Dr.Robertus Padtbrugge diberi nama Willem.

Linkakoa kawin kembali dengan Intji Mannes dari Taywila (Cajeli, Kaili) yang tahun 1674 diangkat menjadi Raja  Taywila.

Valentijn menyebut setelah Mauw Beiling meninggal, saudaranya bernama Binangkal yang setelah dibaptis Protestan bernama Maurits Binangkal, datang dari Bwool, dan diakui penduduk Dauw sebagai Raja Kaidipang.

Sepanjang hidup mereka, Binangkal menjadi lawan utama Linkakoa. Raja Binangkal selalu mengklaim Bolaangitang sebagai wilayah dan milik Kaidipang. Namun menjelang kematian Linkakoa keduanya menjadi akrab

Ratu Linkakoa dibaptis Katolik oleh Padri Carlo Turcotti dari Jesuit (SJ=Societas Jesu), dengan nama Magdalena atau Elena. Nama yang selanjutnya selalu digunakannya dalam surat-surat resmi kepada pejabat Spanyol dan kemudian Kompeni Belanda.

Linkakoa banyak berharap pada bantuan Spanyol untuk menghadapi Raja Binangkal dan Kompeni. Tapi harapannya kandas tahun 1677, ketika Bolaangitang berhasil ditaklukan Gubernur Padtbrugge. Beruntung Padtbrugge tidak mengganggu gugat posisinya sebagai penguasa Bolaangitang. 

Linkakoa diberi gelaran putri (princesse), dengan kedudukan setingkat Regent. Belanda dengan diplomatis mengakui kepemilikan Kaidipang.

Linkakoa masih berkuasa sangat lama. Surat resmi terakhirnya ke Kompeni Belanda dicatat bertanggal 15 Maret 1694 yang ditujukan kepada Gubernur Maluku Cornelis van der Duijn.

Kemerdekaan Bolaangitang yang diraih sebelum era Kompeni berakhir, dimana keluarga Ponto yang menggantikannya, diberi gelaran sebagai jogugu dan regent di bawah Pangeran Claas Ponto dan Pangeran Israel Ponto. 

Bolaangitang kembali menjadi wilayah bagian dari kerajaan yang bernama resmi Kaidipang dan Bolaangitang. Baru di masa pendudukan Kompeni Inggris (EIC, East India Company), Bolaangitang diresmikan menjadi kerajaan mandiri, terpisah dari Kaidipang. Belakangan, pada 27 April 1913 kedua kerajaan disatukan lagi dengan nama Kaidipang Besar, namun rajanya dari Bolaangitang.

TENDENO

Tendeno adalah raja perempuan pertama dari kerajaan Bintauna. Ia diperkirakan memerintah Bintauna di akhir abad ke-17 dan permulaan abad ke-18.

Awalnya Tendeno bersama keluarganya bermukim di Bintauna yang berada di pantai utara Bolaang Mongondow. Ketika terjadi pergolakan, ayahnya bernama Tumungku terbunuh dan kakak lelakinya bernama Gulabu melarikan diri meninggalkan Bintauna pergi ke kerajaan Suwawa di bagian Gorontalo sekarang.

Tendeno kemudian dianggap sebagai pemimpin Bintauna pengganti ayahnya Tumungku.

Ia mengikuti jejak kakaknya, memimpin kaum pengikutnya pergi ke Suwawa.

Tendeno beralasan mengunjungi kakaknya yang telah meninggalkan Bintauna untuk waktu yang lama.

Ia dan pengikutnya diterima dengan tangan terbuka oleh Bumbulo, Olongia (Raja) Suwawa. 

Kepada Bumbulo, menurut Dr.J.G.F.Riedel dalam De Landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Kattinggola, of Andagile, Tendeno meminta izin untuk menetap di Suwawa. Karena ia tidak ingin kembali ke Bintauna dimana ayahnya Tumungku terbunuh.

Raja Bumbulo mengizinkannya.

Tendeno lalu membeli bidang tanah luas di Suwawa, dan dijadikan sebagai ratu oleh pengikutnya. 

Sejak itu Bintauna diakui sebagai bagian dari Lipu lo Holontalo atau Limo lo Pahalaa, bersama Bone dan Suwawa. Berangsur-angsur pula penduduk Bintauna di pantai utara Bolaang Mongondow mengakui supremasi Ratu Bintauna yang berkedudukan di Suwawa Gorontalo ini.                

MANILHA

Manilha atau disebut Putri Manilha adalah Ratu kedua dari kerajaan Bintauna di era Kompeni Belanda. Ia sekaligus menjadi penguasa Bintauna ketika Bintauna terbagi dua, karena perbedaan agama.

Manilha adalah putri dan pewaris dari Pangeran Kitjili (Kaicil) Tolucci atau Tolucco. Ayahnya semula menjabat sebagai Jogugu Bintauna, kemudian diangkat tanggal 2 April 1735 sebagai  Raja Bintauna di Loge (benteng) Kompeni (Fort Nassau) di Gorontalo oleh Komisaris Maluku Johannes Bernard.

Setelah memerintah lama ayahnya meninggal akhir tahun 1754, dan sebagai putri mahkota, Manilha dilantik menjadi ratu baru oleh Residen Gorontalo Thomas Thornton yang mewakili Gubernur Kompeni di Maluku Jan Elias van Mijlendonk di loge Illodoa (Doloduo) dengan dihadiri para mantri Bintauna pada tanggal 21 Oktober 1755.

Ratu Manilha diikat dengan kontrak sebanyak 27 pasal dengan banyak tuntutan dan kewajiban.

Antara lain, Manilha harus menyerahkan semua hasil emas yang ditambang dari kuala Sangkup dan memberi rumah berpagar yang baik kepada petugas pengumpul, seorang kopral dan dua prajurit yang sengaja ditempatkan residen. Untuk kebutuhan ini ia diwajibkan menyediakan 2 penduduk wajib kerja (hereendienst) setiap harinya.

Yang paling membuat Manilha kecewa karena ia harus mengakui pembagian Bintauna menjadi dua bagian. Satu bagian yang dipimpinnya di kuala Gorontalo yang disebut Bintauna Selatan dan menganut agama Islam. Bagian lainnya di sisi lain gunung yang disebut Bintauna Utara yang memeluk agama Kristen Protestan. Manilha harus berjanji untuk tidak menghalangi penyebaran agama Kristen dan mentolerir Kristen Reformasi tanpa hambatan.

Sebagai penganut Islam, Ratu Manilha sulit memenuhi janjinya. Ia pun tidak menerima pembagian dua Bintauna itu. Maka, seperti dilaporkan Gubernur Jenderal Kompeni Belanda Jacob Mossel, permusuhan dengan penduduk di Bintauna Utara dari waktu ke waktu justru makin tumbuh.

Perseteruan bahkan berkembang ke soal suksesi berikut. Menurut Dr.W.Ph.Coolhaas dalam Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII, Mossel dalam surat resmi 31 Desember 1759 menyebut adanya permintaan Putri Manilha yang memohon kerajaan kecil tersebut untuk anak kakaknya Pangeran Abouli. ''Namun sebaliknya sebagian besar penduduk Bintauna yang menjadi Kristen, menghendaki seorang Kristen untuk menggantikannya,'' lapor Mossel ke atasannya di Negeri Belanda.

Tanggal 31 Desember 1760 Mossel kembali mengungkap pengaduan dari para mantri Bintauna atas pemerintahan Ratu Manilha. Mereka meminta Kompeni untuk mengangkat Jogugu Salmon Datunsolang, seorang Kristen sebagai regent pengganti.

Buntut pertikaian panjang, tahun 1766 Salmon Datunsolang, saingannya yang telah berkuasa di Bintauna Utara meminta perlindungan resmi dari Kompeni. Gubernur Maluku Hermanus Munnik menanggapi permintaan Datunsolang dengan memberi wewenang Residen Manado untuk segera menyimpulkan kontrak perjanjian dengannya.

Perselisihan yang berlarut-larut tersebut akhirnya diselesaikan Residen Johan Libregt Seidelman ketika mengakui resmi Bintauna Utara dengan membuat kontrak langsung dengan Regent Salmon Datunsolang di loge Manado (Fort Amsterdam) tanggal 5 Agustus 1769. 

Kendati penguasanya masih diberi status sebagai regent, namun sejak itu Bintauna Utara resmi berdiri sendiri, dan akhirnya menjadi kerajaan mandiri dengan raja sendiri di bawah keluarga Datunsolang. Tragisnya, di masa berikut Bintauna Selatan di Gorontalo berakhir dilebur kedalam kerajaan Bone. Justru menyisakan Bintauna Utara di wilayah Bolaang Mongondow.

Ratu Manilha digantikan oleh putra mahkota Pangeran Muhammad Zain Buinga yang dilantik di kastil Orange Ternate oleh Gubernur Dr.Paulus Jacob Valckenaar 10 April 1777. ***

 

Rabu, 13 Juli 2022

Waruga Taratara di Belanda

 



Waruga Taratara yang terlantar (Bryan Nimitz Sondak).


Waruga yang berada di Taratara Kecamatan Tomohon Barat Kota Tomohon pernah menjadi sorot perhatian di masa kolonial. 

Artefak peninggalan Minahasa masa lampau dari bekas negeri yang sebelumnya masuk Distrik Tombariri, bahkan sempat menyibukkan penduduk yang harus memindahkan salah satu waruganya untuk dikapalkan ke Jakarta (masih Batavia), sebelum dikirim ke Negeri Belanda, demi dipamerkan di Museum Etnologi Nasional Belanda.

Pengiriman waruga Taratara tersebut terjadi pada pertengahan tahun 1909, di bawah komando Hukum Tua Daud Israel Kereh, Hukum Kedua Taratara Carolus Adriaan Waworoentoe dan Hukum Besar Tombariri Majoor Willem Walangitang. 

Peti mati beserta penutup bermaterial batu kapur, menurut media Nederlandsche staatscourant  1910, tiba di museum kerajaan Belanda di Leiden awal tahun 1910.

Waruga Taratara ini adalah satu dari tiga waruga dan walonsong Tombatu yang menjadi koleksi museum yang dikenal dengan nama ‘s Rijks Etnographisch Museum atau Museum Volkenkunde di kota Leiden sampai sekarang.

Penutup waruga Taratara koleksi Museum Etnologi di Leiden
(katalog H.H.Juynboll 1927).


Penutupnya berukir sosok pria berkepala plontos, kaki mengangkang, dengan senjata peda di tangan kanan dan sebuah kepala kayauan dikempit di bawah lengan kiri.

Seni pahat dan ukir waruga Taratara ditutur mulai berlangsung di era kepemimpinan tonaas keempat Taratara bernama Sembel, sekitar tahun 1750-an ke 1789.

MEMPRIHATINKAN

Kalau waruganya di Belanda terawat sangat baik, berbeda dengan kondisi di Taratara sekarang. Sangat tidak terawat. Selain tertimbun dan banyak rusak serta telah terbongkar penutupnya, jumlahnya dikhawatirkan akan makin berkurang.

Dari pendataan di tahun 1980-an, waruganya dilaporkan masih sekitar 30-an, antaranya 20 waruga berada di Taratara Dua dan sisanya di Taratara Satu.

Waruga lain (Bryan Nimitz Sondak). 

Kompleks waruga Taratara berada di lokasi awal negeri yang dilegendakan telah berdiri di tahun 1701, berdekatan batu tanda pendirian (tumani) negeri atau Watu Tinalingaan um Wanua.

Menurut penghitungan tokoh budaya Tombulu, Sonny Moningka dan Bryan Nimitz Sondak, jumlah waruga Taratara sekarang tinggal 13 buah. ***