Oleh: Adrianus Kojongian
Lie Tjeng Lok muda. *) |
Lelaki tua itu, Lie Tjeng Lok, nanar memperhatikan 2 pria bermata sipit yang berjajar dengannya dalam barisan tujuh terpidana hukuman mati sidang pengadilan ekstra kilat pemerintahan pendudukan angkatan laut Jepang di Manado. Dia masih begitu terpukul, dan tak mampu menyembunyikan duka hatinya. Tentu saja, hati siapa yang tak memendam lara berkepanjangan, karena dua pria lain itu adalah putranya sendiri, Lie Goan Oan dan Lie Tek Djien. Maka, tanpa disadarinya air matanya telah merebak.
Beberapa jenak kemudian
kepasrahan meliputinya. Ia sangat bangga melihat ketenangan luar biasa dari
putra-putranya. Apalagi Lie Goan Oan melempar senyum menenangkan dirinya.
Memang, kepasrahan dari
ketidakberdayaan telah beberapa waktu menggilas ketakutan dan rasa ngeri menunggu
ajal mereka. Lie Tjeng Lok, Lie Goan Oan, Lie Tek Djien, Thung Kiem Ka, Frans
Rindengan, Jusop Mait dan C.Been. Mereka telah mengetahui nasib mereka telah berakhir,
sehingga tidak berekspresi berlebihan ketika diarak berkeliling kota Manado,
dan juga diam seribu bahasa saat di suruh menggali liang lahat di Gunung
Wenang, tempat mereka berdiri menanti.
Kini, seakan memperoleh
kekuatan, Lie Tjeng Lok menegakkan badannya yang telah uzur. Usianya beranjak ke-71
tahun, sudah kenyang makan asam-garam pengalaman. Justru melintas dibenaknya rupa
ayahnya, Lie Boen Yat yang telah mangkat tahun 1897. Jiwa dan semangat bisnis
sang ayah telah mengantarkannya menjadi bukan sekedar tokoh masyarakat Tionghoa
di Manado, tapi juga seorang pengusaha kaya-raya.
Dia bangga mengenang perjalanan
hidupnya. Berawal dari bisnis kecil-kecilan, menjual tembakau, kue, pakaian
bekas, beras dan menjahit, lalu membuka toko di Kampung Cina (depan TKB).
Usahanya berkembang dengan jasa perdagangan dan membeli tanah milik orang
Belanda serta penduduk. Dari situ ia membangun rumah tinggal yang disewakan,
sampai belasan wisma, dan salah satunya yang paling megah dan dibanggakannya
adalah Wisma Eldorado (kini di Sario Tumpaan), karena menjadi rumah termegah di
kota Manado.
Bisnisnya berkembang dengan pertokoan di pusat kota (di depan bioskop Plaza dan depan TKB). Puncaknya didirikannya perusahaan swasta Tionghoa pertama, yakni NV Handel Maatschappij Lie Boen Yat&Co tanggal 24 Maret 1919, bersama 2 anaknya Lie Goan Tjoan dan Lie Goan Oan; dengan percetakan (Tjeng Lak), tanah dan bangunan bersebaran di Manado, Minahasa dan banyak tempat lainnya. Firmanya berkembang sangat pesat, sehingga tanggal 20 Agustus 1929 mampu mengambilalih NV Celebes Molukken Cultuur Maatschappij yang bergerak dalam bidang perkebunan besar dengan aset erfpak-erfpak Pandu, Talawaan Besar, Talawaan Kecil dan Wusa.
Tahun 1930-an kerajaan bisnis Lie Tjeng Lok jaya-jayanya,
bergerak dalam bidang ekspor menguasai sebagian besar pasar ekspor di Amerika
Serikat dan benua Eropa, dengan mengirim kopra dan hasil bumi lain. Pasar impor
pun dikuasai di wilayah Keresidenan Manado dan Maluku, khusus untuk
obat-obatan, parfum dan minuman. Melebarkan usaha, tanggal 1 Agustus 1938
bersama anaknya Lie Goan Oan didirikannya NV Bouw Maatschappij Noord Celebes. Dia
telah menjadi salah seorang konglomerat besar di Hindia Belanda yang sangat
disegani.
Semua pencapaiannya
mendatangkan rasa puas dan bangga, meski kini semua usahanya dibeslah dan
diambil-alih pemerintahan baru.
Menerawang ke arah kota ia
seakan mencari sesuatu. Seakan di sana membayang Eldorado kecintaannya. Secuil
kepedihan kembali menghinggapinya. Sebab, bisa jadi, rumah itulah penyebab
utama keluarganya ditangkap dan ia dikejar serta diciduk di Kayawu Tomohon. Ia
mengetahui Minoru Yanai dibalik semua petaka itu. Yanai yang belakangan menjadi
Sitjo (walikota) Manado menaruh
dendam kepadanya. Di akhir tahun 1930-an, ketika menyamar sebagai pengusaha di
Manado, Yanai ditolaknya menyewa Wisma Eldorado untuk kantor konsulat Jepang di
Manado. Mengingat Yanai ada rasa puas telah menolaknya. Mungkin juga dendam
Yanai karena kesulitan yang ditimbulkan
terhadap pedagang Jepang, sebab ia memegang ‘monopoli’ perdagangan.
Tuduhan resmi bagi dirinya adalah karena ikut membiayai
pemerintah Tiongkok dibawah Jenderal Tjiang Kai Shek berperang melawan Jepang
di daratan Cina.
Semestinya ia menuruti saran teman-temannya untuk
mengungsi ke Australia saat Jepang baru menduduki Tiongkok dan menyerang Hawai.
Terawangnya kini melayang ke istri pertamanya Sie Djok Loe yang telah meninggal
sejak 1919. Wanita yang telah mendampinginya dari saat usahanya belum apa-apa,
yang telah mengaruniakannya delapan anak, salah satunya Lie Goan Oan. Lalu
membayang wajah istri keduanya Anthoinetta Lopis, ibu Lie Tek Djien. Satu persatu ke-12 anaknya seakan membanjar di
matanya. Lie Eng Giem, Lie Goan Tjoan, Lie Eng Tioe, Lie Eng Kiauw, Lie Goan
Soei, Lie Goan Tek, Lie Tek Hok, Lie Anna dan Lie Toeti. Syukur mereka selamat.
Lie Tjeng Lok dengan anaknya Lie Goan Oan tak lama sebelum dieksekusi. *) |
Berbeda dengan ayahnya, Lie Goan Oan
sangat tenang dan berdiri tetap tegak. Dia adalah Kapitein Der Chinezen (Kapitein China) Manado. Jabatan yang mulai
disandangnya sejak tanggal 18 November 1935 setelah dilantik oleh Residen
Manado, sebagai pemimpin kaum Tionghoa Manado yang jumlahnya ribuan orang. Ia tidak
memperdulikan dirinya, tapi justru mengkhawatirkan adik tirinya Lie Tek Djien.
Namun kekhawatirannya tidak berkepanjangan. Lie Tek Djien yang diperhatikan
itu, pria kelahiran 21 Juli 1909 yang sebelumnya menjabat sebagai anggota Gementeraad (Dewan Kota) Manado periode
1934-1942 itu justru terlihat sangat tabah. Nyong Lie, sapaan Lie Goan Oan jadi
bersyukur adiknya akan mampu melalui cobaan berat tersebut.
Justru yang sedikit kesal adalah Jusop Mait. Ia
sempat melihat Hideo Yamada, sang algojo. Lelaki brewokan persis monyet yang
memegang samurai yang menanti membisu di bagian belakang. Jusop Mait
menaksir-naksir lalu berkhayal, bila di arena terbuka di pasanggrahan Kuranga
Tomohon, tempat biasanya ia bermain anggar dengan pejabat Belanda atau rekan
seangkatannya, dia diberikan pedang, maka seyakin-yakinnya dirinya, ia masih
bisa menusuk dengan kecepatan mencengangkan leher Yamada, si gendut komandan
kamp tawanan perang sipil warga Belanda di tangsi Teling Putih dan kamp tawanan
perang tentara KNIL di tangsi Teling Hitam itu.
Meski usianya menjelang 61 tahun, Jusop Mait yang
pensiunan sersan KNIL kelas satu itu
merasa pasti ia bisa merobohkannya dalam dua-tiga gebrakan saja. Tentu saja,
karena ia terkenal dimana-mana sebagai jagoan anggar. Tak tertandingi ketika
masih berdinas di militer mau pun setelah pensiun dan kemudian dipilih
masyarakat Talete Tomohon menjadi Hukum Tua. Hingga sebelum ditangkap pun ia selalu
mengasah ketrampilannya bermain anggar. Sayang suasana kali ini tidak fair. Ia
jadi tawanan pemenang perang Pasifik itu, dan tentu saja dirinya tidak akan
diberi kesempatan bertanding dengan ksatria. Tuduhan kepada dirinya sederhana,
antek Belanda dan keblanda-blandaan. Namun yang dirasakannya tidak adil, karena
anaknya Leendert Philips Mongdong Mait yang juga pensiunan staf jurutulis
bagian personalia KNIL, ikut ditangkap dan diinterogasi di kantor Kempetai (polisi militer) Tomohon di
Kuranga Talete. Entah bagaimana nanti nasib sang putra, keluhnya.
Bersebelahan dengannya, Frans Rindengan, rekan sesama
Hukum Tua di Tinoor Tomohon. Ia pun semena-mena diciduk tentara Jepang, karena dituduh
memberikan bantuan kepada peleton Reserve Corps pimpinan Letnan Satu W.G.van de
Laar yang sempat memberikan perlawanan sengit selama hampir 3 jam terhadap
pasukan Jepang yang mencoba mengambilalih Tomohon 11 Januari 1941 lalu. Akibat
tembakan senjata otomatis KM dan pohon besar yang ditumbangkan dari bukit di
pinggiran ruas jalan raya Manado-Tomohon di Tinoor itu, sebanyak delapan
anggota tentara Jepang tewas. Sampai sekarang tubuhnya masih sakit akibat
siksaan ketika ditangkap serdadu Jepang dari rumahnya, dilemparkan ke truk dan
dihajar habis-habisan.
Pusara di Menteng Pulo, Jakarta. *) |
Pada hari itu, tanggal 13 Februari 1942, sebulan setelah pemerintah Hindia Belanda dibawah pimpinan Residen Manado F.Ch.Hirschmann dan Komandan KNIL Mayor B.F.A.Schilmoller takluk kepada Jepang, di Gunung Wenang Manado, Lie Tjeng Lok bersama dua anaknya Lie Goan Oan dan Lie Tek Djien, serta Thung Kiem Ka, Frans Rindengan, Jusop Mait dan C.Been dieksekusi dengan cara dipancung.
Kuburan ketujuh korban
kekejaman Jepang tersebut digali kembali tahun 1946, lalu dipindahkan ke taman
makam pahlawan Belanda di Menteng Pulo Jakarta. Pusara bersama mereka itu
sederhana. Sekedar dipatri: C.Been (21 September 1888-13 Februari 1942), Lie
Goan Oan (26 Juli 1894-13 Februari 1942), Lie Tek Djien (21 Juli 1909-13
Februari 1942), Lie Tjeng Lok (21 Juli 1871-13 Februari 1942), J.Mait (25
November 1881-13 Februari 1942). F.Rindangan (mestinya Rindengan), serta Thung
Kiem Ka (30 September 1894-13 Februari 1942). Akan hal anak Jusop Mait,
Leendert Mait yang ditahan di Tomohon, ternyata ikut dieksekusi berselang enam
hari setelah ayahnya tewas dibunuh. ***
*) Foto koleksi keluarga keturunan
Lie Tjeng Lok
SUMBER:
Leonardi Tonggowasito dan Frits
Mayer, ‘Mini Biografi Lie Tjeng Lok dan Perusahaan-perusahaannya’, 2001.
Adrianus Kojongian dkk,
‘Ensiklopedia Tou Manado’.
Adrianus Kojongian,’Tomohon
Dulu dan Kini’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.