Sabtu, 19 Januari 2013

Akhir Tragis Lie Tjeng Lok, Konglomerat Tempo Doeloe

                                                 

                                          

                                             Oleh: Adrianus Kojongian

 

 


Lie Tjeng Lok muda. *)


Lelaki tua itu, Lie Tjeng Lok, nanar memperhatikan 2 pria bermata sipit yang berjajar dengannya dalam barisan tujuh terpidana hukuman mati sidang pengadilan ekstra kilat pemerintahan pendudukan angkatan laut Jepang di Manado. Dia masih begitu terpukul, dan tak mampu menyembunyikan duka hatinya. Tentu saja, hati siapa yang tak memendam lara berkepanjangan, karena dua pria lain itu adalah putranya sendiri, Lie Goan Oan dan Lie Tek Djien. Maka, tanpa disadarinya air matanya telah merebak. 
 
Beberapa jenak kemudian kepasrahan meliputinya. Ia sangat bangga melihat ketenangan luar biasa dari putra-putranya. Apalagi Lie Goan Oan melempar senyum menenangkan dirinya.

Memang, kepasrahan dari ketidakberdayaan telah beberapa waktu menggilas ketakutan dan rasa ngeri menunggu ajal mereka. Lie Tjeng Lok, Lie Goan Oan, Lie Tek Djien, Thung Kiem Ka, Frans Rindengan, Jusop Mait dan C.Been. Mereka telah mengetahui nasib mereka telah berakhir, sehingga tidak berekspresi berlebihan ketika diarak berkeliling kota Manado, dan juga diam seribu bahasa saat di suruh menggali liang lahat di Gunung Wenang, tempat mereka berdiri menanti.

Kini, seakan memperoleh kekuatan, Lie Tjeng Lok menegakkan badannya yang telah uzur. Usianya beranjak ke-71 tahun, sudah kenyang makan asam-garam pengalaman. Justru melintas dibenaknya rupa ayahnya, Lie Boen Yat yang telah mangkat tahun 1897. Jiwa dan semangat bisnis sang ayah telah mengantarkannya menjadi bukan sekedar tokoh masyarakat Tionghoa di Manado, tapi juga seorang pengusaha kaya-raya. 

Dia bangga mengenang perjalanan hidupnya. Berawal dari bisnis kecil-kecilan, menjual tembakau, kue, pakaian bekas, beras dan menjahit, lalu membuka toko di Kampung Cina (depan TKB). Usahanya berkembang dengan jasa perdagangan dan membeli tanah milik orang Belanda serta penduduk. Dari situ ia membangun rumah tinggal yang disewakan, sampai belasan wisma, dan salah satunya yang paling megah dan dibanggakannya adalah Wisma Eldorado (kini di Sario Tumpaan), karena menjadi rumah termegah di kota Manado.

Bisnisnya berkembang dengan pertokoan di pusat kota (di depan bioskop Plaza dan depan TKB). Puncaknya didirikannya perusahaan swasta Tionghoa pertama, yakni NV Handel Maatschappij Lie Boen Yat&Co tanggal 24 Maret 1919, bersama 2 anaknya Lie Goan Tjoan dan Lie Goan Oan; dengan percetakan (Tjeng Lak), tanah dan bangunan bersebaran di Manado, Minahasa dan banyak tempat lainnya. Firmanya berkembang sangat pesat, sehingga tanggal 20 Agustus 1929 mampu mengambilalih NV Celebes Molukken Cultuur Maatschappij yang bergerak dalam bidang perkebunan besar dengan aset erfpak-erfpak Pandu, Talawaan Besar, Talawaan Kecil dan Wusa. 

Tahun 1930-an kerajaan bisnis Lie Tjeng Lok jaya-jayanya, bergerak dalam bidang ekspor menguasai sebagian besar pasar ekspor di Amerika Serikat dan benua Eropa, dengan mengirim kopra dan hasil bumi lain. Pasar impor pun dikuasai di wilayah Keresidenan Manado dan Maluku, khusus untuk obat-obatan, parfum dan minuman. Melebarkan usaha, tanggal 1 Agustus 1938 bersama anaknya Lie Goan Oan didirikannya NV Bouw Maatschappij Noord Celebes. Dia telah menjadi salah seorang konglomerat besar di Hindia Belanda yang sangat disegani.

Semua pencapaiannya mendatangkan rasa puas dan bangga, meski kini semua usahanya dibeslah dan diambil-alih pemerintahan baru.

Menerawang ke arah kota ia seakan mencari sesuatu. Seakan di sana membayang Eldorado kecintaannya. Secuil kepedihan kembali menghinggapinya. Sebab, bisa jadi, rumah itulah penyebab utama keluarganya ditangkap dan ia dikejar serta diciduk di Kayawu Tomohon. Ia mengetahui Minoru Yanai dibalik semua petaka itu. Yanai yang belakangan menjadi Sitjo (walikota) Manado menaruh dendam kepadanya. Di akhir tahun 1930-an, ketika menyamar sebagai pengusaha di Manado, Yanai ditolaknya menyewa Wisma Eldorado untuk kantor konsulat Jepang di Manado. Mengingat Yanai ada rasa puas telah menolaknya. Mungkin juga dendam Yanai  karena kesulitan yang ditimbulkan terhadap pedagang Jepang, sebab ia memegang ‘monopoli’ perdagangan.

Tuduhan resmi bagi dirinya adalah karena ikut membiayai pemerintah Tiongkok dibawah Jenderal Tjiang Kai Shek berperang melawan Jepang di daratan Cina. 

Semestinya ia menuruti saran teman-temannya untuk mengungsi ke Australia saat Jepang baru menduduki Tiongkok dan menyerang Hawai. Terawangnya kini melayang ke istri pertamanya Sie Djok Loe yang telah meninggal sejak 1919. Wanita yang telah mendampinginya dari saat usahanya belum apa-apa, yang telah mengaruniakannya delapan anak, salah satunya Lie Goan Oan. Lalu membayang wajah istri keduanya Anthoinetta Lopis, ibu Lie Tek Djien. Satu  persatu ke-12 anaknya seakan membanjar di matanya. Lie Eng Giem, Lie Goan Tjoan, Lie Eng Tioe, Lie Eng Kiauw, Lie Goan Soei, Lie Goan Tek, Lie Tek Hok, Lie Anna dan Lie Toeti. Syukur mereka selamat. 
                                                      

Lie Tjeng Lok dengan anaknya Lie Goan Oan tak lama sebelum dieksekusi. *)

Berbeda dengan ayahnya, Lie Goan Oan sangat tenang dan berdiri tetap tegak. Dia adalah Kapitein Der Chinezen (Kapitein China) Manado. Jabatan yang mulai disandangnya sejak tanggal 18 November 1935 setelah dilantik oleh Residen Manado, sebagai pemimpin kaum Tionghoa Manado yang jumlahnya ribuan orang. Ia tidak memperdulikan dirinya, tapi justru mengkhawatirkan adik tirinya Lie Tek Djien. Namun kekhawatirannya tidak berkepanjangan. Lie Tek Djien yang diperhatikan itu, pria kelahiran 21 Juli 1909 yang sebelumnya menjabat sebagai anggota Gementeraad (Dewan Kota) Manado periode 1934-1942 itu justru terlihat sangat tabah. Nyong Lie, sapaan Lie Goan Oan jadi bersyukur adiknya akan mampu melalui cobaan berat tersebut.

Justru yang sedikit kesal adalah Jusop Mait. Ia sempat melihat Hideo Yamada, sang algojo. Lelaki brewokan persis monyet yang memegang samurai yang menanti membisu di bagian belakang. Jusop Mait menaksir-naksir lalu berkhayal, bila di arena terbuka di pasanggrahan Kuranga Tomohon, tempat biasanya ia bermain anggar dengan pejabat Belanda atau rekan seangkatannya, dia diberikan pedang, maka seyakin-yakinnya dirinya, ia masih bisa menusuk dengan kecepatan mencengangkan leher Yamada, si gendut komandan kamp tawanan perang sipil warga Belanda di tangsi Teling Putih dan kamp tawanan perang tentara KNIL di tangsi Teling Hitam itu.

Meski usianya menjelang 61 tahun, Jusop Mait yang pensiunan  sersan KNIL kelas satu itu merasa pasti ia bisa merobohkannya dalam dua-tiga gebrakan saja. Tentu saja, karena ia terkenal dimana-mana sebagai jagoan anggar. Tak tertandingi ketika masih berdinas di militer mau pun setelah pensiun dan kemudian dipilih masyarakat Talete Tomohon menjadi Hukum Tua. Hingga sebelum ditangkap pun ia selalu mengasah ketrampilannya bermain anggar. Sayang suasana kali ini tidak fair. Ia jadi tawanan pemenang perang Pasifik itu, dan tentu saja dirinya tidak akan diberi kesempatan bertanding dengan ksatria. Tuduhan kepada dirinya sederhana, antek Belanda dan keblanda-blandaan. Namun yang dirasakannya tidak adil, karena anaknya Leendert Philips Mongdong Mait yang juga pensiunan staf jurutulis bagian personalia KNIL, ikut ditangkap dan diinterogasi di kantor Kempetai (polisi militer) Tomohon di Kuranga Talete. Entah bagaimana nanti nasib sang putra, keluhnya.

Bersebelahan dengannya, Frans Rindengan, rekan sesama Hukum Tua di Tinoor Tomohon. Ia pun semena-mena diciduk tentara Jepang, karena dituduh memberikan bantuan kepada peleton Reserve Corps pimpinan Letnan Satu W.G.van de Laar yang sempat memberikan perlawanan sengit selama hampir 3 jam terhadap pasukan Jepang yang mencoba mengambilalih Tomohon 11 Januari 1941 lalu. Akibat tembakan senjata otomatis KM dan pohon besar yang ditumbangkan dari bukit di pinggiran ruas jalan raya Manado-Tomohon di Tinoor itu, sebanyak delapan anggota tentara Jepang tewas. Sampai sekarang tubuhnya masih sakit akibat siksaan ketika ditangkap serdadu Jepang dari rumahnya, dilemparkan ke truk dan dihajar habis-habisan.

Pusara di Menteng Pulo, Jakarta. *)

Pada hari itu, tanggal 13 Februari 1942, sebulan setelah pemerintah Hindia Belanda dibawah pimpinan Residen Manado F.Ch.Hirschmann dan Komandan KNIL Mayor B.F.A.Schilmoller takluk kepada Jepang, di Gunung Wenang Manado, Lie Tjeng Lok bersama dua anaknya Lie Goan Oan dan Lie Tek Djien, serta Thung Kiem Ka, Frans Rindengan, Jusop Mait dan C.Been dieksekusi dengan cara dipancung.

Kuburan ketujuh korban kekejaman Jepang tersebut digali kembali tahun 1946, lalu dipindahkan ke taman makam pahlawan Belanda di Menteng Pulo Jakarta. Pusara bersama mereka itu sederhana. Sekedar dipatri: C.Been (21 September 1888-13 Februari 1942), Lie Goan Oan (26 Juli 1894-13 Februari 1942), Lie Tek Djien (21 Juli 1909-13 Februari 1942), Lie Tjeng Lok (21 Juli 1871-13 Februari 1942), J.Mait (25 November 1881-13 Februari 1942). F.Rindangan (mestinya Rindengan), serta Thung Kiem Ka (30 September 1894-13 Februari 1942). Akan hal anak Jusop Mait, Leendert Mait yang ditahan di Tomohon, ternyata ikut dieksekusi berselang enam hari setelah ayahnya tewas dibunuh. ***

*) Foto koleksi keluarga keturunan Lie Tjeng Lok

SUMBER:
Leonardi Tonggowasito dan Frits Mayer, ‘Mini Biografi Lie Tjeng Lok dan Perusahaan-perusahaannya’, 2001.
Adrianus Kojongian dkk, ‘Ensiklopedia Tou Manado’.
Adrianus Kojongian,’Tomohon Dulu dan Kini’.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.