Kamis, 16 Juni 2016

Tiga Raja Sangihe dan Residen Schmidt







                                                          Oleh: Adrianus Kojongian







Penghormatan Raja Sangihe 1928. *)






Peristiwa pelengseran tiga raja di Kepulauan Sangihe-Talaud tahun 1928, kemudian penyidangannya oleh Majelis Adat atau Adatrechtbank April 1929, sempat menghebohkan Indonesia bahkan bergaung luas di Belanda. Kontroversi sah-tidaknya seorang raja diadili banyak didebatkan, karena sejumlah kalangan masa itu menganggap 'tiada adat memajeliskan raja'. Aturannya kurang benar dan tidak adil. Apalagi, raja-raja yang 'dimajeliskan' tersebut adalah tokoh-tokoh disegani, dan telah banyak berjasa bagi pemerintah kolonial ketika itu.

Zelfbestuurder Landschap Siau, Raja Lodewijk Nicolaas Kansil, paling muda, kelahiran tahun 1898. Ia anak bekas Raja Manalang Dulag Kansil, lulus dari Hoofdenschool Tondano, dan menjadi paduka raja dengan menggantikan President Raja Antoni Dulage Laihad. Ia dilantik resmi tanggal 7 Februari 1921 dengan meneken korte verklaring, dan dibeslit gubernemen 28 April 1922 nomor 58.

Zelfbestuurder Landschap Kendahe-Tahuna (Kandhar-Taruna) Christiaan Nomor Ponto berijazah Hoofdenschool Tondano dan Middelbare Landbouwschool Bogor, ditamatkan September 1909. Ia semula menjabat Jogugu menggantikan ayahnya Salmon Ponto yang mengundurkan diri, sejak Februari 1914. Kemudian diangkat paduka raja 21 Desember 1916, dan peroleh pengesahan 24 Maret 1917 nomor 91. Selang 1920-1924 menjadi anggota Volksraad, dipercaya pula sebagai anggota College van Gedelegeerden. Di dewan kolonial tersebut, ia terkenal berapi-api membela hak dan kepentingan kaum tertindas. Ironisnya, karena ia menerima dari Belanda penghargaan Ridder orde Oranje-Nassau Agustus 1923 (baca: Mengenal Raja-raja Kandhar-Taruna).

Bukan hanya dia, Zelfbestuurder Landschap Tabukan Willem Alexander Kahendake Sarapil di bulan Agustus 1921 peroleh anugerah bintang perak (zilveren ster) untuk pengabdian dan kesetiaannya. Ia sangat terdidik. Masih belia, umur 12, di bulan Agustus 1904 ia telah ke Negeri Belanda, masuk School met den Bijbel di Varsseveld lalu Gymnasium (HBS) selama 4 tahun di Arnhem. Tahun 1910 ketika kembali, telah diangkat sebagai Kapitein Laut di Menalu 1913, lalu Jogugu Karakelang. Ia kemudian naik tahta sebagai raja dengan menggantikan ayahnya David Jonathan Sarapil yang mengundurkan diri. Secara resmi dilantik dengan meneken korte verklaring 4 September 1922, dan peroleh pengesahan Gubernur Jenderal 15 Januari 1923 nomor 28.



Raja Willem Sarapil dan Boki 1927. *)


Para raja di Kepulauan Sangihe rata-rata memiliki pertalian kekeluargaan yang sangat dekat, termasuk ketiga raja ini. Mereka saling bakuipar. Dua putri Manalang Kansil, kakak-kakak raja Lodewijk Kansil dari Siau; yakni Boki Johana Kansil dikawini oleh Christiaan Ponto dari Tahuna. Kemudian Boki Adriana Maria Kansil, dikawini Willem Sarapil dari Tabukan.

Di lain pihak, yang berkuasa di Keresidenan Manado adalah Harko Johannes Schmidt, sejak bulan Mei 1926 dengan menggantikan Jan Tideman. Pembantu dekatnya adalah U.Fagginger Auer, dengan posisi Asisten-Residen diperbantukan Residen Manado, sebelumnya Asisten-Residen di Langkat Sumatera Utara. Sementara Kontrolir Sangir-eilanden berkedudukan di Tahuna adalah C.F.de Boer.

Residen Schmidt, mantan militer yang lama berdinas di Aceh, terkenal karena bertindak tangan besi. Masa kekuasaannya memang ditandai tingginya suhu politik, bangkitnya nasionalisme Indonesia. Pemerintahannya mewaspadai segala aktivitas politik. Pemberontakan PKI 1926-1927, serta berkembangnya Partai Nasional Indonesia (PNI) di Sulawesi Utara, terutama di Kepulauan Sangihe dibawah kepemimpinan nasionalis serta wartawan kawakan Gustaf Ernest Dauhan, yang terkenal dengan nama Geda, menjadi pemicu tindak berlebihan Schmidt memata-matai bukan hanya para aktivis politik, tapi juga para raja yang dianggap menolerir serta mendukung kegiatan partai bentukan Ir.Soekarno dan dr.Tjipto Mangunkusumo itu.

PNI di Siau dengan pusat di Ulu, telah berkembang sangat pesat. Awal bulan Maret 1928 keanggotaan PNI Afdeeling Siau dicatat memiliki 100 anggota.



Prosesi wanita Sangihe menghormati raja. *)


Semua aktivitas PNI dikekang, terutama setiap gerak-gerik Geda Dauhan diawasi dan dimata-matai. Geda Dauhan sempat hadir di Kongres PNI pertama di Surabaya 17 Mei 1928. Tapi, ketika tiba kembali di Manado, ia segera ditangkap polisi dan digeledah. Semua foto dari kongres yang dibawanya disita. Geda Dauhan sempat mengerem aktivitasnya dengan bekerja sebagai redaktur 'Mimbar Doenia' di Manado. 

Awal 1929, Geda Dauhan memimpin sebuah rapat PNI di Siau, ketika tiba-tiba asisten-residen muncul serta mengancam Geda Dauhan dan peserta rapat, sehingga terjadi pertengkaran. Tanpa sungkan Geda Dauhan mengusir pejabat kolonial itu. Ketika ia diminta datang melapor ke kantor, ia menjawab dengan ketus: ''Ik ken mijnheer niet, want kami di sini bala landschap dan kami ada raja sendiri.'' 

Aktivitas Geda Dauhan makin dikekang. Ia tidak diperkenankan menghadiri Kongres PNI kedua di Jakarta Mei 1929. Terpaksa ia mengirim telegram ke panitia memberitahukan dirinya dilarang Residen Manado untuk bepergian keluar daerah asal. Masa itu, Geda Dauhan terkenal dengan jargonnya ‘terlaloe’ yang sering dikutip media. Karena, menurutnya, nasionalis Indonesia tidak bisa hidup di negaranya sendiri.

Maka, rajanya, Raja Siau Lodewijk Kansil, sangat dicurigai Belanda, karena aktivitas politik PNI di Ulu. Kesalahan-kesalahan dirinya mulai dicari-cari dan dihubung-hubungkan. 

Adalah pula laporan Dr.Hendrik Kraemer yang ikut disebut sebagai alasan dilakukan penyelidikan. Zendings-consul tersebut mengingatkan penguasa terjadinya hubungan buruk antara Zending dengan para raja. Ia telah berkunjung ke Sangihe-Talaud bulan April 1928, menyelidiki sejumlah laporan tindak berlebihan para raja.



Penari adat dari Sangihe Besar 1928.*)



Salah satu penyebab, diungkap Dr.Kraemer, peristiwa yang terjadi di tahun 1927, ketika Residen Manado berkunjung untuk pertamakalinya ke Sangihe-Talaud sejak pengangkatannya. Pada kunjungan tersebut residen telah diterima pemerintah setempat dengan kemegahan adat, penghormatan kebesaran, dan tari-tarian yang dibawakan pria dan wanita, yakni Upase dan Alabadiri yang justru masa itu dianggap bertentangan dengan norma agama yang dianut kebanyakan penduduk.

Gejolak yang terjadi, adalah penolakan oleh beberapa nona Kristen di Siau ketika diperintah untuk ikut menari pada acara tersebut. Mereka kemudian bersama-sama meminta ‘perlindungan’ seorang penatua. Hal mana tidak menyenangkan raja yang mendapat kesan kalau penatua menentang kekuasaannya. Masalah mana telah meluas, hingga menimbulkan pro dan kontra serta konflik antara raja dan Zending.

PENGASINGAN
Tiba-tiba, bulan Desember 1928, diumumkan terjadi kas tekor di landschap tiga kerajaan. Raja Siau Lodewijk Kansil, Raja Tahuna Christiaan Ponto dan Raja Tabukan Willem Sarapil diberhentikan untuk sementara.

Tapi anehnya, Residen Schmidt seakan melempar tanggungjawab kepada Kontrolir Tahuna de Boer dan Asisten-Residen Fagginger Auer. Dalam sebuah konperensi pers ‘istana’ di Batavia akhir Februari 1929, Schmidt mengungkap kalau Kontrolir de Boer melakukan inisiatif sendiri untuk menyelidiki ketiga raja tersebut. Dan Fagginger Auer adalah pejabat di atasnya yang bertanggungjawab.

Penemuan kas tekor, diungkap media, telah terjadi sejak 1927, tapi 'terlupakan' oleh kesibukan penyambutan Gubernur Jenderal Jhr.Andries Cornelies Dirk de Graeff yang datang ke Manado dan Sangihe-Talaud. Baru diselidiki lagi ketika Dr.Kraemer mengingatkan ketika berkunjung ke Satal April 1928. Di bulan JulI 1928 mulai dilakukan penyelidikan oleh Kontrolir Tahuna. Tapi, karena kekurangan personil, baru bulan November dilakukan investigasi serius.

Dipapar, kalau antara tahun 1924 dan 1928, dari kas ketiga raja telah menghilang belasan ribu gulden tanggungjawab mereka.

Para raja di Sangihe dari pemerintah Belanda ketika itu menerima gaji sebesar 400 gulden per bulan, ditambah ongkos perjalanan dan akomodasi yang diambil dari kas onderafdeeling. Selain itu, mereka memperoleh pendapatan pribadi dari perdagangan kopra yang dimonopoli Menado Produce Company, anak perusahaan Makasser Produce Company dan Deensche Maatschappij.

Skorsing para raja ini menimbulkan reaksi meluas bukan hanya di Indonesia kala itu, tapi juga di Negeri Belanda. Para istri raja (Boki) membentuk Comite van Actie bij de Boki. Mereka berjuang demi kebebasan suami mereka, antara lain dengan menelegram F.W.Hugenholz, tokoh sangat berpengaruh di lingkaran tinggi Belanda. Dari Belanda kemudian datang Mr.J.E.W.Duys, anggota Tweede Kamer dari Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP). Eks Raja Willem Sarapil dikenal memang memiliki banyak kenalan di Negeri Belanda serta menjalin hubungan baik dengan kalangan partai sosialis tersebut.

Dengan instruksi Residen Schmidt, April 1929 dilakukan penyidangan para raja yang diketuai mantan Asisten Residen P.C.A.van Lith yang menjabat Onderhoofd van de Afdeeling Bestuurszaken der Buitenbezittingen van het Department van Binnenlands Bestuur (BB=pemerintahan dalam negeri). Anggota Majelis adalah Raja Tagulandang Hendrik Philips Jacobs, dan dua orang kepala distrik.

Putusan akhir, ketiga raja dinyatakan bersalah dan diasingkan ke Sulawesi Tengah. Dari tuntutan 4 tahun, Raja Siau Lodewijk Kansil diasingkan selama 2 tahun di Parigi. Raja Tabukan Willem Sarapil diinternir 2 tahun di Kolonedale. Paling berat, adalah Raja Kendahe-Tahuna Christiaan Ponto, diasingkan selama 3 tahun di Luwuk.

Pemberhentian mereka pun secara resmi diputus dengan turunnya beslit gubernemen tanggal 14 Mei 1930. Ketiganya sama, bernomor 1.

PEMILIHAN RAJA
Setelah keputusan pengadilan adat, mengisi kekosongan pemerintahan, Residen Manado Schmidt pertengahan April 1929 mengangkat Raja Hendrik Philips Jacobs dari Tagulandang, untuk sementara bertanggungjawab menjalankan fungsi Raja Siau. Raja Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis dari Manganitu menjalankan fungsi Raja Kendahe-Tahuna dan Jogugu Levinus Israel Petrus Macpal dari Tabukan menjalankan fungsi Raja Tabukan.

Menyusul kemudian, dilakukan pemilihan raja secara ‘adat’ di bulan November 1929. Terpilih adalah Harmanses, Makahekum dan Katiandagho masing-masing sebagai Raja Siau, Kendahe-Tahuna dan Tabukan. Tapi diprotes legitimasinya, karena campur tangan Residen Schmidt, serta ancaman terhadap peserta pemilihan.



Enemawira di Tabukan 1927. *)



Penolakan terhadap pemilihan para raja ini dibicarakan oleh anggota Volksraad Dr.G.S.S.J.Ratu Langie dalam sidang parlemen itu. Selain dari Kapitein Laut Tabukan, protes disampaikan oleh pemenang pemilihan di Tabukan Willem Israel Kakomba Sinsoe yang menjabat Hoofdcommies bij de Afdeeling Comptabiliteit di Palembang.

Pada pemilihan raja yang digelar di Tabukan 29 November 1929 dan dibuka Residen Schmidt, Willem Sinsoe yang asal Tabukan berhasil terpilih menjadi raja, dengan meraih 15 suara. Di tempat kedua Jogugu Macpal, pelaksana raja, memperoleh 9 suara. Calon lain adalah: Paparang memperoleh 8 suara, Johanes Katiandagho 1 suara, Manosoh 1 suara, dan jago dari Residen yakni Justus Katiandagho nihil.

Termyata, Residen Schmidt menganulir hasil pemilihan tersebut. Maka, esok harinya dilakukan pemilihan kembali. Pemilih disuruh masuk bilik tertutup, diancam dengan pemecatan, bila tidak memilih jago residen saja. Dari 32 orang pemilih, 15 orang ‘terpaksa’ meneken surat pengakuan yang disediakan Residen.

Akibat gejolak politik yang terjadi, hasil pemilihan raja-raja tersebut kemudian dibatalkan pemerintah Hindia-Belanda. Lalu untuk mengatasinya, pada 13 September 1930, di Tahuna, ditabalkan sebagai Raja Kendahe-Tahuna Albert Abast Bastiaan dengan meneken akte van verband, yang kemudian memperoleh pengesahan dengan beslit gubernemen 2 Februari 1931 nomor 7. Gajinya f.400 per bulan.

Dua hari kemudian, 15 September 1930, L.J.P.Macpal, resmi diangkat sebagai Raja Tabukan dengan meneken akte van verband, dan memperoleh pengesahan dengan beslit gubernemen 2 Februari 1931 nomor 7, dengan memperoleh gaji bulanan f.400.

Keesokannya, Aling Janis, Jogugu Ulu,  dilantik 16 September 1930 sebagai Raja Siau dengan meneken akte van verband, dan dikukuhkan beslit gubernemen 2 Februari 1931 nomor 7. Gajinya juga f.400 per bulan.

Orang-orang yang terlibat dengan peristiwa ini, dari pihak Belanda, rata-rata memperoleh promosi. Residen Schmidt menjabat di Manado hingga 1 April 1930. Kolonel tituler ini pulang ke Belanda, diangkat jadi Ajudan Ratu Wilhelmina dan peroleh dua penghargaan. Asisten-Residen Fagginger Auer Agustus 1929 dipromosi jadi Residen Tapanuli. Eks Kontrolir de Boer jadi Asisten-Residen. Bekas President Adatrechtbank van Lith jadi Direktur BB Hindia-Belanda 1933.

Geda Dauhan tetap terkenal sebagai nasionalis, tokoh PNI dan pemimpin redaksi, antara lain mengemudikan surat kabar 'Suara Kaum', 'Menara', 'Pertimbangan', dan di masa Jepang 'Celebes Shimbun'. Ia sempat diangkat jadi Ketua Komite Tenaga Rakyat (KTR) di Manado, tapi mundur. Lalu sebagai anggota Parlemen NIT 1948 dan Parlemen RIS 1950 lalu RI. 

Namun adiknya, Japhet Bawole Dauhan, anggota Partai Indonesia (PI atau Partindo, kelanjutan dari PNI) di Bandung yang dekat dengan Ir.Soekarno dan mengikuti pendidikan Leiders-Cursus dari Soekarno telah ditangkap ketika berbicara di Siau 24 Maret 1933. Ia dituduh berpropaganda. Lima hari kemudian di tanggal 29 Maret 1933 ia meninggal dengan tragis di penjara Tahuna, diduga disiksa polisi, tapi, didalihkan Belanda, karena gantung diri menggunakan kain sarungnya.

Eks Raja Kendahe-Tahuna Christiaan Ponto tahun 1933 kembali ke Tahuna. Ia tidak terlibat lagi dalam politik di bekas kerajaannya, meski masih sangat berpengaruh.

Sedangkan dua mantan raja lain telah pulang dari pengasingan awal Desember 1932 setelah menyelesaikan masa pembuangan. Mereka bekerja kembali. Mantan Raja Siau Lodewijk Kansil tahun 1940 telah diangkat sebagai Jaksa, dan mantan Raja Tabukan Willem Sarapil aktif dalam dinas pemerintahan, ditempatkan sebagai bestuurs-asistent di Sulawesi Tengah. Sarapil menjadi ambtenar yang bertanggungjawab atas penyelesaian masalah penduduk illegal di wilayah Manado, dan pekerjaannya sangat dipujikan Residen Manado. 


Arie dan Helena Sarapil serta 12 anak bangsawan Tabukan 1927.*)


Kelak Willem Sarapil pulang ke Tabukan, dan diangkat ulang sebagai raja 1945. Tahun 1946 ia dipilih mewakili Sangihe-Talaud (Satal) mengikuti Konperensi Malino 16 Juli 1946, dan bersama J.E.Tatengkeng, wakili Satal pada Konperensi Denpasar 7 Desember 1946. Otomatis sebagai peserta, diangkat anggota Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) sejak 24 Desember 1946. Kemudian terpilih sebagai Ketua Senat NIT dilantik 28 Mei 1949 sampai pemerintahan NIT bubar 16 Agustus 1950. Willem Sarapil telah pergi ke Jakarta dan Yogyakarta menemui Presiden Soekarno dan Pejabat Presiden R.I.Mr.Asaat, serta menjadi nasionalis yang vokal. Tiga anaknya bahkan berdinas sebagai anggota TNI. Ia pun sejak 1 Mei 1948 diangkat menjadi Ketua Dewan Raja-Raja Sangihe-Talaud di Tahuna, sehingga praktis menjadi Kepala Daerah Satal pertama. Ia meninggal dunia 24 Mei 1953.***
*). Foto: repro Delpher Kranten dan koleksi KITLV Digital Media Library.
BAHAN OLAHAN
Delpher Boeken (Boeken Google):     
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie 1917-1939.
Delpher Kranten:
Algemeen Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, De Locomotief, Haagsche Courant, Het Dagblad, Het Nieuws van den Dag, Java-Bode, Leeuwarder Nieuwsblad, Nieuwe Courant, Nieuwe Rotterdamsche Courant, Nieuwe Venlosche Courant, Provincial Overijsselsche en Zwolsche Courant, Sumatra Post.
Ensiklopedia Tou Manado.
Staten Generaal Digitaal.

Kamis, 02 Juni 2016

Tiga Raja Bolaang dan Bajak Laut






                                                          Oleh: Adrianus Kojongian







Kapal perang di teluk. *)




Sulawesi Utara di tahun 1860-an rawan pembajakan. Perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku, Teluk Tomini hingga Selat Makassar, menjadi area lintas aksi perompak yang sangat sulit diatasi pemerintah kolonial Belanda ketika itu.

Di kawasan yang bernama Bolaang-Mongondow sekarang, selain kerajaan Bolaang-Mongondow dan Bolaang-Itang, berada pula kerajaan Kaidipang, Bintauna dan Bolaang-Uki, persis di pantai utara Laut Sulawesi.

Di tahun 1860-an, saat kisah ini terjadi, raja yang memerintah kerajaan Kaidipang adalah Mohamad Noerdin Korompot bergelar Prins van Diets Korompot. Ia naik tahta sejak tanggal 8 Oktober 1859 dengan menggantikan Raja Tiaha Toeroeroe Korompot, meski baru dibeslit 5 Januari 1860. Para Mantrinya (rijksgrooten) yang membentuk rijksraad--, adalah Marsaole Kaito, Marsaole Abdul Karim dan Sangaji Dunuba.

Di Bolaang-Uki, yang sebelumnya dikenal dengan nama Bolaang-Bangka, rajanya bernama Mohamad Iskander Budiman van Gobel yang nama lengkapnya dimasa itu dicatat sebagai Mohamad Alijoedini Iskander Goebal Boediman. Raja ini termasuk sepuh, baik usia dan lama memerintah, karena dilantik sebagai raja sejak 17 Desember 1837. Mantrinya yang terkenal adalah Jogugu Idmsi, yang lain adalah Kapitein Laut Gibu, Waalapulu Mansula, Majoor Sanggibula dan Kimalaha Wahabu.

Sementara di Bintauna, yang berkuasa adalah Raja Elias Datunsolang yang sudah berusia tua. Raja Elias bertahta sejak 5 September 1855 dengan menggantikan A.S.Datunsolang. Para Mantrinya (rijksgrooten) adalah K.Sjeman Kolonkomol, Kapitein Laut Adriaan Datunsolang, Kapitein Laut Kornelis Datunsolang, Marsaole Albertus Tinombaija, Marsaole Sadrak Nakora, Waalapulu Simon Binolombanjan, Majoor Paulus dan Majoor Lodewijk Sampongan.


Eks Kerajaan di Manado 1894, *)
 

Kekuasaan ketiga raja ini sebenarnya tidak seberapa, karena dengan kontrak yang diteken mantan Raja Tiaha Toeroeroe Korompot tanggal 21 April 1855, begitupun Raja Mohamad Iskander Budiman van Gobel 1 November 1856, dan perjanjian sama yang diteken Raja Elias Datunsolang 24 September 1857 --masing-masing dengan Residen Manado Albert Jacques Frederik Jansen--, maka kerajaan-kerajaan Kaidipang, Bolaang-Uki dan Bintauna sekedar 'pinjaman' Belanda pada mereka. Mereka telah 'menyepati' kerajaannya sebagai milik Belanda dan mengakui Raja Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda menjadi kepala dan tuan (opper-en leenheer). Raja-raja, termasuk kemudian para penggantinya mengakui, yang ditegaskan pada pasal-pasal pelantikan, hak-hak pemerintah Hindia-Belanda, terutama adalah hak untuk memberhentikan dan menunjuk pengganti raja. Sementara Residen Manado memiliki hak untuk mengangkat Jogugu dan Kapitein Laut, juga memberhentikannya setelah konsultasi dengan raja dan rijksgrooten.

GARUDA, MACAN DAN SULU
Bajak laut di masa itu sangat lihai, menggunakan kapal-kapal besar maupun kecil sampai belasan, berkekuatan puluhan bahkan ratusan orang. Selain dari Sulu dan Mindanau di Filipina sekarang, bajak lokal pun merajalela.

Pemerintah kolonial di Manado sengaja membentuk Schutterij untuk mempertahankan Manado serta kawasan yang sering disatroni penyamun. Armada kora-kora dan perahu ikut ditempatkan di Kema, Manado, Amurang dan Likupang. Sementara dari Batavia, rutin dikirim kapal perang yang berpangkalan di Kema, Manado, Gorontalo dan juga Kwandang. Kapal-kapal perang ini melakukan ekspedisi dan perondaan di perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku, Teluk Tomini dan mencapai Selat Makassar.

Tapi demikian, lebih banyak dilaporkan kalau para bajak laut selalu berhasil menghilang, setelah merampok, dan membunuh serta menculik penduduk untuk dijadikan budak. Pulau-pulau kecil yang bersebaran di kawasan tersebut sering dicurigai sebagai sarang dan lokasi persembunyian para bajak laut.


Kapal layar di tahun 1854. *)


Bajak lokal yang terkenal adalah perompak bernama Garuda dan adiknya bernama Macan. Garuda yang dipanggil juga sebagai Tuan Garuda atau La Garuda merajalela di pantai utara Sulawesi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, bahkan hingga ke Nusa Tenggara.

Bulan Januari 1861 diketahui Garuda terluka di Bima, kemudian awal 1862 ditahan di Makassar. Tapi, pada awal April 1862 dengan armadanya, ia telah menimbulkan ketakutan besar di kalangan penduduk yang ada di pesisiran pantai utara Laut Sulawesi, kawasan Keresidenan Manado pada umumnya.

Tanggal 20 Maret 1861 terdengar kabar beberapa kapal pembajak menyerang di wilayah antara Kotabunan dan Tanjung Flesko dekat dengan Nuangan, masuk kerajaan Bolaang-Mongondow ketika itu. Para perompak membunuh tiga orang Bolaang-Mongondow dan satu terluka, sementara enam penduduk ditawan. Sebuah perahu bolotu tujuan Gorontalo ikut diserang, dan para penumpangnya dirampok kemudian dibunuh. Beberapa nelayan teripang orang Bajo yang dipimpin oleh Iman Sarilama dan Raja Moesa telah bentrok dengan perompak.

Kabar ini diterima di Manado tanggal 22 Maret dibawa oleh kapal perang W.Cores de Vries yang berpangkalan di Ternate. Menanggapinya, Residen Manado segera mengirim dua kruisrorches ke Kotabunan untuk mengumpulkan informasi dan memberikan bantuan.

Malam hari tanggal 24 Maret, diterima kabar lagi, kalau para perompak telah menyerang di dekat Molibagu yang berada di pantai selatan Bolaang-Uki. Beberapa penduduk telah dirampok.

Menerima kabar terakhir, segera dikeluarkan perintah ke Likupang, Kema dan Belang untuk mempersiapkan beberapa perahu dan pasukan Schutterij untuk melakukan pengejaran. Malam hari tanggal 25 Maret Residen Manado memimpin 30 perahu dengan pasukan Schutterij bersenjata dari Kema, berangkat menuju ke Belang. Setelah memperoleh tambahan 13 perahu, ekspedisi diteruskan ke Kotabunan, dimana mereka tiba malam tanggal 26. Di Kotabunan diketahui kalau perompak telah membunuh 8 laki-laki, sementara 13 orang lainnya terluka dan kena rampok.

Ekspedisi residen telah diteruskan ke Nuangan, tapi, tidak ada bajak laut terdeteksi, sehingga armada kembali ke Kema dan Likupang dengan sia-sia.

Tanggal 5 April kapal perang Zr.Ms.stoomschip het Loo yang dikomandani Kapten-Letnan Laut (Kapitein-Luitenant ter zee) P. van der Verden Erdbrink, menerima kabar perompak bersembunyi di teluk Pulau Tifore, sehingga dilakukan ekspedisi ke pulau-pulau Tifore dan Mayau. Namun pembajak tidak ditemukan.

Sementara itu,  diterima kabar lagi dari Gorontalo, kalau para perompak telah kembali muncul di dekat Molibagu, di Tanjung Kerbau, tidak jauh dari Gorontalo.

Meski kapal perang het Loo yang berpangkalan di Laut Sulawesi pada 10 April 1861 baru melakukan perondaan sepanjang pantai Sulawesi dari Kema ke Gorontalo, di tanggal 15 April itu, dua Majoor dari Bolaang-Uki bertemu di dekat Molibagu dengan satu kapal layar bajak laut yang mengibarkan bendera Belanda, sehingga memiliki penampilan seakan satu kapal kruis gubernemen.

Saat itu, di dekat pantai Bolaang-Uki berada empat bolotu. Para awaknya tidak menaruh curiga ketika melihat kapal bajak. Tapi, ketika kapal itu sudah dekat, sejumlah pria melompat dari kapal itu dan memburu bolotu tersebut. Para awak berhasil lolos lari ke pantai meski dengan luka-luka. Perompak kemudian menghancurkan bolotu tersebut lalu menghilang di balik teluk.

Kapal perang Zr.Ms.stoomschip Reteh dibawah Letnan Laut klas 1 Jhr.M.W.Bowier yang berpangkalan di perairan Manado 9 November 1861, sia-sia pula mengejar pembajak hingga ke Teluk Tomini.

Awal tahun 1862, Raja Bolaang-Uki Mohamad Iskander Budiman van Gobel melaporkan seorang bangsawan kerajaannya bernama Pangeran Paliliboeta dengan delapan orang pengikutnya telah dibajak di Pulau Panda, dan ditahan di kapal kepala armada perompak. Kepala perompak disebut adalah Garuda dan saudaranya Macan.

Bulan April 1862, kapal perang Reteh yang kemudian berpangkalan di Kwandang dibawah Letnan Laut Bowier melakukan pengejaran bajak laut berasal Kepulauan Sulu sampai ke Kepulauan Talaud. Di sebuah pulau kecil di Teluk Lobo, di pantai barat Pulau Karakelang, tepat tanggal 18 berlangsung pertempuran hebat dengan para bajak laut yang bersembunyi di situ. Sepuluh kapal ukuran besar dan kecil milik perompak dibakar, 92 orang budak berhasil dibebaskan serta 33 orang perompak dibunuh dan 2 lainnya ditangkap, sementara sisanya melarikan diri. Ikut disita 10 kanon dan meriam lela, serta banyak senjata tajam.

Korban di pihak Belanda, perwira kapal Reteh yakni Letnan Laut klas 1 Hendrik Lodewijk Jolly yang berusia 31 tahun, terbunuh ketika memimpin pembakaran ke sepuluh kapal tersebut. Ikut tewas pula petugas stokker kapal bernama R.F.B.Aulrage, sementara seorang perwira dan tujuh awak lain terluka, termasuk dua yang luka serius.

Untuk mengenang korban tewas, komandan kapal perang Reteh Jhr.Bowier dengan persetujuan 4 raja yang menyertai ekspedisi, menamai pulau dimana pertempuran berlangsung dengan nama Pulau Jolly. Letnan Jolly dan Aulrage dikuburkan di pantai pulau tersebut.

PANGERAN MATOKO
Belanda kemudian bertindak sangat tegas ketika terjadi peristiwa Pangeran Matoko. Pangeran Matoko adalah bangsawan dari kerajaan Bone di Gorontalo. Sang pangeran telah lama tinggal bermukim di Bintauna. Ia juga memiliki rumah di (Labuhan) Uki, di pantai utara Bolaang-Uki.

Kejadiannya, pada awal bulan Februari 1864 sebuah kapal telah dibajak, kemudian dibakar di Pulau Tiga masuk Bolaang-Uki. Jenis kapal tersebut tidak diketahui lagi, karena terbakar habis. Tapi, diperkirakan adalah kapal layar jenis junk atau kotter. 





Keenam orang awak kapal diperkirakan adalah orang Cina yang baru pulang dari perjalanan ke Jepang. Semua awak ini tewas dibunuh.

Pemerintah Belanda marah besar dan segera mengirimkan kapal perang Zr.Ms.stoomschip Haarlemmermeer yang berpangkalan di Manado untuk mengejar pelaku. Ikut di kapal perang yang dikomandani Letnan Laut klas 1 A.Jarman tersebut adalah Hoofddjaksa bij den land-of Minahassa-raad en bij van de Noordkust van Celebes en Sangir eilanden yang ditugaskan melakukan penyelidikan di Bolaang-Uki.

Hanya berhasil ditemukan sisa barang yang usang, juga perak dan koin tembaga Jepang. Hasil penyelidikan mengungkap kalau pembakaran dan pembunuhan tersebut adalah dibawah pimpinan dari Pangeran Matoko asal Bone yang tinggal di Bintauna dan juga di Uki.

Maka, dilakukan penangkapan besar-besaran. Pangeran Matoko telah sempat lari menyelamatkan diri dengan perahu dari Uki ke Bintauna, namun dikejar kapal perang Haarlemmermeer. Ia berhasil ditangkap bulan Mei 1864. Bersama dua orang pengikutnya dibawa ke Manado dengan kapal perang tersebut. Kelak, Pangeran Matoko dengan kedua pengikutnya dijatuhi hukuman mati. Sementara 17 orang lainnya dijatuhi hukuman kerja paksa.

Keputusan besar yang terjadi pula, adalah dua raja dari Bintauna dan Kaidipang dinyatakan ikut bersalah dan bertanggungjawab. Mereka dituduh Belanda telah mengetahui insiden tersebut, dan dianggap lalai melakukan kewajiban dibawah kontrak. Antara lain, pasal yang berbunyi akan mencegah pembajakan.

Raja Bintauna Elias Datunsolang tidak sampai dihukum buang, karena pertimbangan usia yang sudah tua. Tapi, sanksinya diberhentikan dari jabatannya. Raja Kaidipang Mohamad Noerdin bergelar Prins van Diets Korompot tidak demikian. Ia ditahan di Bintauna, dan kemudian tahun 1865 diasingkan ke Ambon, serta meninggal dunia disana.

Yang bernasib baik adalah Raja Bolaang-Uki Mohamad Iskander Budiman van Gobel. Kebetulan saat peristiwa terjadi, ia sedang berkunjung dinas di Manado, dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Jogugu. Maka, yang kena hukum adalah sang Jogugu. Ia dijatuhi hukuman kerja paksa bersama 16 orang lainnya. 

Raja Mohamad Iskander Budiman van Gobel baru berhenti atas permintaan sendiri karena usia tua akhir tahun 1867, dan meninggal awal 1868. Pemberhentiannya telah menimbulkan perselisihan mengenai pengganti, sehingga setelah campur tangan Residen Manado, digelar musyawarah. Kemenakannya bernama Ali, berhasil terpilih menjadi Raja Bolaang-Uki yang baru dengan gelaran lengkap Mohamad Alijoedini Iskander Ali van Gobel, yang kemudian akan lebih dikenal dengan nama Ali Akbar. Ia dilantik sebagai raja 30 April 1868.

Penggantian Raja Elias Datunsolang di tahta Bintauna pun sempat menimbulkan pertikaian. Baru setelah Rijksgrooten yang terdiri Jogugu, Kapitein Laut, Marsaole dan Hukum yang membentuk Rijksraad berkonsultasi, berhasil dipilih Salmon Datunsolang, anak raja almarhum. Ia diangkat sejak 29 Juni 1865, tapi baru resmi dilantik di Manado setelah meneken perjanjian dengan Residen Manado Frederik Justus Herbert van Deinse tanggal 15 September 1866, dan peroleh pengukuhan dengan beslit Gubernur Jenderal P.Mijer 20 April 1868.

Di Kaidipang, Raja Mohamad Noerdin Korompot telah digantikan oleh Gongalah Korompot, sejak 13 Maret 1865. Awalnya Gongalah sebagai pejabat, dan definitif raja setelah di Manado meneken korte verklaring dengan Residen van Deinse 23 Oktober 1865.

Salahsatu pasal pokok yang ketiga raja ini janjikan ketika mereka dilantik adalah akan mencegah pembajakan dan juga mencegah perdagangan budak. ***

*). Foto koleksi Rijksmuseum, peta SGD, koleksi Staatsbibliothek Berlin, lukisan buku Reize Rondom het Eiland Celebes.
BAHAN OLAHAN
Delpher Kranten:
 Algemeen Handelsblad, Bataviaasch Handelsblad, De Tijd, Delftsche Courant, Java Bode, Leeuwarder Courant, Middelburgsche Courant, Nederlandsch Staats-Courant, Nieuwe Rotterdamsche Courant, Rotterdamsche Courant, Samarangsch advertentie-blad, Utrechtsch Provincial en Stedelijk Dagblad. 
Ensiklopedia Tou Manado.
Staten Generaal Digitaal.
Tijdschrift voor Neerland's Indie jrg 1,1867 (1e deel) no.11.