Minggu, 18 September 2022

Sejarah Gunung Awu. Letusan Tahun 1711

 



Gunung Awu saat ini. (foto koleksi Tasin Effendi)


Gunungapi Awu di Pulau Sangihe Besar yang lebih dikenal dalam bahasa Sangihe sebagai Burudu Awu telah berkali meletus dengan menelan korban jiwa sangat besar.

Erupsi mematikan gunung setinggi 1.320 meter dari permukaan laut ini terjadi 10-16 Desember 1711, 6-8 Agustus 1812, 2-7 Maret 1856, 7-12 Juni 1892 dan 12 Agustus 1966. Tidak terhitung erupsi skala rendah yang tidak memakan korban jiwa seperti pada Juni 2004.

Letusan paling awal dari Gunung Awu telah dicatatkan berlangsung 3-4 Januari 1641. Tapi, tidak mengungkap adanya korban.

Baru tahun 1711 korban jiwa pertama kali dilaporkan, sebanyak 3.030 orang. Laporan dari Sersan Andries Dulee, Komandan Logie Kompeni Belanda di Tabukan menjadi satu-satunya sumber kejadian.  1

Jumlah korban bervariasi, karena hitungan geolog Jerman Arthur Wichmann adalah 3.177 orang. Sementara angka resmi dari Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck 26 November 1712 hanya 2.797 korban meninggal.

Laporan Andries Dulee dikutip Francois Valentijn dalam buku Oud en Nieuw Oost-Indie terbitan 1724 dan dirujuk Wichmann di Die Vulkane der Sangi-Inseln yang terbit tahun 1921.

Selain korban jiwa, erupsi Gunung Awu tahun 1711 menyebabkan sejumlah negeri di kaki gunung tersebut rata dengan tanah, terutama di kerajaan kecil Kendahe.

Lima negeri yang disebut Valentijn ada sebelum tahun 1711 hancur lebur serta tertimbun material letusan sehingga ditinggalkan. Negeri-negeri tersebut adalah Kendahe dengan bagian Negeri Kristennya, Sarab, Sarudukel, Talawid dan Nirosenkayu.

Andries Dulee mendetilkan bencana mematikan hampir 311 tahun silam itu.


KAMIS, 10 DESEMBER 1711

Tengah malam, jam menunjukkan pukul setengah dua. Di Tabukan muncul angin kencang dari arah timur laut, bercampur dengan hujan deras, badai dan petir. Tidak lama kemudian terjadi gempa bumi.

Sekitar jam dua, terdengar tangis ratapan di sekitar Rumah Kompeni. Meski cuaca gelap, masih cukup jelas untuk melihat orang-orang, dengan rombongan ratusan dan lima puluhan, yang berlarian di sepanjang pantai.

Saat itu angin yang begitu buruk datang dari arah gunung, sehingga Dulee tidak mendengar raungan dahsyat yang terjadi. Kejadian mana diikuti ratusan batu berjatuhan, sehingga Dulee dan orang-orang lari mencari perlindungan.

Letusan dan lontaran batu berlangsung sampai pukul setengah tiga. Tetapi angin tidak berhenti, sehingga abu yang jatuh dengan bau belerang menimbulkan aroma tidak enak. Sementara tangisan manusia masih terdengar, karena orang-orang membayangkan bahwa dunia akan berakhir.

Melihat ke belakang, ke Gunung Awu, Dulee membayangkan seolah-olah seluruh gunung, di sebelah barat (dari Tabukan), hanya segumpal api.

Karena semua orang melarikan diri, Dulee bertanya kepada beberapa orang yang lewat dengan istri dan anak-anaknya kemana mereka akan pergi, dan mengapa mereka tidak tinggal di negerinya.

Para penduduk menjawab bahwa Raja dan Bobato sudah pergi, dan bahwa mereka semua datang bersama dari Sarab, hendak pergi ke Teluk Petta dan Matiekje. 2

Dulee segera mengirim orang bertanya apakah Raja (Tabukan) sudah pergi. Ia memperoleh jawaban Raja masih di rumahnya, meski pun barang dan anak-anaknya sudah pergi mengungsi.

Dulee dan orang-orang di Logie tidak dapat berbuat apa-apa, hanya berdoa supaya diberi perlindungan dan keselamatan, karena hanya ada kematian di depan mata. Penantian yang panjang dan berlangsung sampai jam lima.

Akhirnya Dulee disertai empat anak laki-laki pergi ke kediaman raja, berharap raja tetap tinggal di negeri. Sebab, menurut Dulee, tidak ada orang yang hidup akan tergerak untuk melakukannya.

Dulee tidak menemukan raja. Seorang anak muda mengatakan tidak tahu kemana raja pergi. Tidak lama muncul dua mantri Tabukan, Kapiten Buca dan Kapiten Laut Gingang yang menanyakan raja.

Raja Tabukan akhirnya menemui Dulee meminta diizinkan tinggal di Rumah Kompeni, yang disetujuinya. Menurut raja, terjadi pelarian penduduknya karena mereka takut akan ‘air yang membara’ dari gunung. 3

Jam setengah enam, Dulee bersama orang-orang di Rumah Kompeni pergi ke gereja, tapi hanya sedikit orang di dalamnya.

Pada jam setengah sembilan gunung kembali bergetar. Ketika hari mulai cerah, letusan mereda, dan angin mulai bertiup dari utara, sehingga mengalihkan debu tebal dari Tabukan, tapi sebaliknya mengarah ke negeri Kolongan dan Tahuna.


JUMAT, 11 DESEMBER

Gunung masih menyala, tapi tidak begitu kuat, seperti hari sebelumnya. Beberapa orang dari negeri Banawabre atau Brae dan Matane datang ke Rumah Kompeni. Mereka tidak dapat tinggal dan bertahan karena hawa panas yang timbul.

Laporan pertama yang masuk dari negeri dan di hutan, seratus tiga puluh enam orang tewas. Di antaranya Putri Lorolabo dan putrinya bernama Sarabanong. Laporan terakhir seratus tiga puluh orang ditemukan yang rusak oleh kebakaran.

Sejauh menyangkut Kendahe, belum ada laporan. Tapi diungkap lebih banyak material yang berjatuhan di Kendahe, daripada negeri-negeri lainnya.

Raja Tabukan diberi tahu adanya korban dari Negeri (ibukota Tabukan bernama sama) yang hilang di kebun. Para utusan menjelang malam datang dengan membawa tangan dan kaki manusia yang terbakar, serta dua puluh tiga orang lainnya yang ditemukan di kebun dari Kapiten Consa, dimana rumah-rumah terbakar habis menjadi abu. Kebun berjarak setengah mil dari Negeri. Dari Negeri Baru satu jam dan dari Matane tiga jam.

Hari itu dihitung lebih dari enam ratus orang melarikan diri ke Petta.


SABTU, 12 DESEMBER

Kondisi Gunung Awu tetap sama seperti tanggal 11.

Pagi hari datang dua orang Tabukan yang telah pergi ke Matane pada Jumat untuk melihat teman-teman mereka. Mereka memberitahu Dulee nasib menyedihkan yang menimpa Raja Kendahe dan rakyatnya, baik Kristen mau pun Islam. Keduanya melaporkan semuanya mati, dan negeri tanpa rumah, baik besar atau kecil, hancur, dan rata dengan tanah. Bahkan pepohonan terbakar habis atau dihempaskan ke tanah, di negeri kecil Talawid yang terletak antara Matane dan Kendahe.

Ada seratus enam puluh orang Kendahe tersisa, dan Raja Siamsialam hari sebelumnya dimakamkan di Kendahe dengan seorang putranya yang mereka temukan di pelukannya. Raja tidak terbakar tapi tercekik oleh panas api.

Jumlah yang mati di Kendahe, pria, wanita dan anak-anak dua ribu tiga puluh kepala, termasuk guru sekolah Andries Pieterz dan marinyonya. Telah ditemukan milik Raja Kendahe, yakni sebuah kapal, dan lima potongan logam, dan mereka masih mencari lima lainnya dari satu atau dua bola pont (pont bals).

Malam hari diperoleh kabar Hukum Tabukan Abraham Datholomeus dan tiga putranya ikut mengalami bencana, tewas di Kendahe.


MINGGU, 13 DESEMBER

Gunung Awu berhenti mengeluarkan api. Dulee mengirim seorang serdadu bernama Thomas Justus dengan beberapa penduduk ke negeri Matane, Kendahe dan Negeri Baru yang kembali menjelang malam. Utusan telah menemukan di jalan lebih dari empat ratus orang. Semuanya mati lemas oleh panas api, sebab mereka tidak terbakar, tetapi tubuhnya utuh. Mereka menemukan pula di pantai air yang mendidih, dengan bukti kaki mereka terbakar oleh air panas.

Di Negeri Kristen Kendahe mereka menemukan seorang gadis kecil berusia sekitar delapan belas bulan yang terbaring di antara dua mayat. Ia sedikit terbakar di lengan, dan ketika melihat manusia, ia mulai berteriak, dan pada orang Sangihe meminta air. Gadis kecil itu sudah sejak tanggal 10 terbaring di sana. Ia akhirnya dibawa salah satu temannya.

Hukum Abraham Datholomeus dimakamkan di Kendahe bersama dengan ketiga putranya.


SENIN, 14 DESEMBER

Gunung Awu semakin berkurang aktivitasnya, tapi tidak dengan uapnya. Datang orang Tabukan Gorahe, dari Manganitu dan Tahuna. Mereka melaporkan di Kolongan tujuh puluh orang telah terbakar, selain yang terluka parah dan masih hidup. Guru di tempat itu melarikan diri dengan orang-orang yang tersisa ke Tahuna dan menetap di sana. Sementara di Tahuna empat ratus delapan jiwa meninggal karena api, dan semua yang tersisa lari berlindung ke Manganitu, karena di negeri itu meski jatuh sejumlah batu, tidak sampai ada korban jiwa mau pun rumah yang rusak.

Mardiker Bastiaan de Gratia tanggal 12 tiba di Manganitu dengan kapalnya (jenis chaloup).

Dulee diberitahu bahwa di negeri Saluran, Manalu, Kulur dan Kuma tidak ada kerusakan yang terjadi pada rumah-rumah penduduk akibat letusan Gunung Awu.


SELASA, 15 DESEMBER

Datang dari negeri Talawid yang terletak dekat Kendahe Sangaji Bengunang dan Kimelaha Malasigi serta tiga puluh orang Kendahe lainnya. Mereka melaporkan telah menguburkan raja mereka, dan bahwa secara keseluruhan, baik laki-laki, mau pun perempuan dan anak-anak, masih sekitar seribu orang yang kuat. Tapi tidak ada yang bisa diandalkan, karena Jogugu Thomas Sigugu berada di Sarangani dan diharapkan segera pulang.

Saudara Raja Siamsialam bernama Culabato masih hidup di Tahuna. Ia melayani raja di Talawid. Saudara laki-lakinya yang lain bernama Salarangi ikut selamat, karena hidup berkebun di sebuah pulau. 5

Sangaji Bengunang mengaku masih mempertimbangkan apakah mereka akan melanjutkan hidup di Talawid. Sebab mereka cenderung tinggal di Tabukan atau tempat lain yang aman. Sementara Kendahe sepenuhnya musnah, rata dengan tanah.

Menjelang malam, dibawa tiga mayat dan dikuburkan raja di sebuah sumur, ditutup dengan tanah.

Dari pemeriksaan ketinggian di luar negeri Tabukan, lembah-lembahnya dipenuhi oleh ejecta Gunung Awu berupa magma dan batuan. Penduduk merasa takut material yang tertampung itu akan jebol lalu melanda negeri.


RABU, 16 DESEMBER

Dulee menerima laporan dari beberapa penduduk, bahwa orang-orang tidak dapat pergi lebih dari satu jam di hutan, karena sekitarannya masih terbakar, dan terlalu panas untuk pergi lebih jauh.


KAMIS, 17 DESEMBER

Gunung masih berasap, tapi tidak mengeluarkan abu lagi. Menjelang malam, sebuah kapal berangkat dari Tabukan ke Tagulandang, dimana Dulee mengirimkan catatan kecil kepada Raja Tagulandang meminta sebuah kapal untuk mengirimkan surat Kompeni kepada Opperhoofd (Residen) Manado Hendrik van der Burgh.


KENDAHE BARU

Setelah peristiwa tersebut, Kendahe ditinggalkan, karena semua negerinya hancur. Penduduk mengungsi di kerajaan bertetangga hingga ke Sarangani dan Mindanau.

Baru tahun 1713 sisa penduduk kembali ke Kendahe. Dr.W.Ph.Coolhaas dalam seri besar Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie mencatat berita Gubernur Jenderal Christoffel van Swoll 20 November 1713. Sekitar 500 orang yang selamat dari letusan Gunung Awu berkumpul kembali di Kendahe, termasuk Johannes Karambut yang kelak diangkat menjadi Raja Kendahe pengganti kakaknya Siamsialam.

Penduduk seluruh Kendahe sebelum erupsi disebut Valentijn sekitar 3.000 jiwa.

J.B.J.van Doren penulis Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken enz yang terbit tahun 1860 lebih merinci jumlah orang Kendahe yang kembali, sebanyak 545 orang. Terdiri 165 pria dewasa dan 380 wanita serta anak-anak. Sebagian Kristen dan sebagian Islam.

Mereka mendirikan kembali dua kampung untuk komunitas masing-masing di negeri ibukota Kendahe. Kampung Sarani (Kristen) dan Kampung Islam. Kemudian mendirikan ulang negeri Talawid di utara. ***

 

1.Logie atau benteng kecil Tabukan lebih dikenal di Kepulauan Sangihe dengan sebutan Rumah Kompeni. Logie tersebut telah ada sejak 1677, sebagai pos utama Kompeni Belanda di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Peran Logie Tabukan berakhir ketika Sangihe-Talaud berbentuk Onderafdeeling tahun 1882, dengan penunjukan Anthonius van Senden sebagai kontrolir pertama, di ibukota baru Tahuna.

2.Bobato atau Rijksgrooten, adalah dewan menteri (mantri), dipimpin raja, dengan jogugu sebagai perdana menteri. Anggota lainnya di Kepulauan Sangihe-Talaud sangat banyak, antara lain Kapiten Laut (Laksamana), Hukum Majoor, Hukum, Kapiten, Kapiten Bicara dll. Sementara pemimpin negeri adalah Sahada, Sangaji, Kimelaha, Sawuhi, Marinyo (di luar marinyo gereja dan sekolah) dll. Tahun 1825 E.de Waal dan J.B.J.van Doren mencatat ada kerajaan yang negerinya sampai memiliki 150 orang bobato.

3.Raja Tabukan bernama Mattheus Franciscus Makaampo.

4.Mardiker adalah orang merdeka, kebanyakan bekas tawanan asing (Portugis atau Spanyol) dan bekas budak yang di masa Kompeni diberi kebebasan setelah masuk Kristen Protestan.

5.Culabato, aksen lain dari Karambut, yang dicatatkan pula dengan nama Karimbutu, Carimbuto atau Bahakin Butu.


Sabtu, 10 September 2022

Lorolabo, Ratu yang Malang dari Sangihe

 

 

 

Pesisir pantai Kendahe, negeri kelahiran Lorolabo (koleksi Micojan Bawuna).

 

Kisah cinta Putri Lorolabo, seorang wanita cantik dari Kepulauan Sangihe menjadi legenda klasik yang terkenal tentang kasih seorang istri akan suaminya yang serong. Meski disia-siakan, dihina bahkan dicerai, ia membuktikan cintanya tak surut oleh waktu.

 

Lorolabo adalah putri bangsawan, anak dari Raja Kendahe Datu Buisan. Francois Valentijn penulis Oud en Nieuw Oost-Indie menyebutnya sebagai wanita bermartabat, putri dari seorang ibu yang terpandang. Ibunya adalah Bele Serieuw.

 

Masih kecil, ia telah ditunangkan dengan Lalero putra kedua dari Kaicil Garuda, Raja Tabukan. Perkawinan keduanya berlangsung ketika sudah cukup umur, di pertengahan tahun 1670-an. 1

 

Lorolabo sangat mencintai Lalero, apalagi setelah ia melahirkan seorang putra di tahun 1677. Anak yang dikasihi kakeknya, sehingga ditunjuk sebagai calon penggantinya di Kendahe dengan melangkahi banyak pamannya.

 

Lorolabo adalah penganut Islam yang taat. Tapi pada Jumat 3 Desember 1677 ia mengikuti suaminya dibaptis Protestan dan disahkan perkawinannya oleh Pendeta Zacharias Caheyng. Bertindak sebagai saksi adalah Gubernur Maluku Dr.Robertus Padtbrugge dan Raja Tahuna Don Martin Tatandam. Ia memperoleh nama baru Susanna, sementara suaminya memakai nama Marcus.

 

Namun kebahagiaan perkawinan mereka berakhir ketika suaminya Marcus Lalero menjadi Raja Tabukan tahun 1682 menggantikan ayahnya yang menjadi Kristen dengan nama Francisco Maccaampo yang meninggal. 2

 

Tiba-tiba Marcus Lalero menceraikan Lorolabo dan mengambil janda beranak dua sebagai penggantinya. Menjadi masalah besar karena janda tersebut adalah Salontingo, istri Bangkal, adiknya sendiri. Bangkal yang bernama Martinus baru meninggal, sementara Salontingo yang memperoleh nama baptis Joanna Lolonsego memiliki dua anak dari Bangkal.

 

Kejadian ini menghebohkan dan banyak dikritik, termasuk oleh Datu Buisan ayah Lorolabo yang memintakan keadilan kepada Gubernur Kompeni di Ternate. Tapi, Lalero tidak perduli.

 

Bahkan, untuk pembenaran tindakannya Lalero berangkat sendiri ke Maluku menemui Gubernur Jacob Lobs yang telah mengggantikan Padtbrugge. Lalero tiba di Ternate awal bulan Juli 1684.

 

Dalam pengakuannya kepada Lobs, ia menyalahkan ayahnya yang mengatur perkawinan mereka, bukan atas kehendaknya sendiri. Perkawinan yang terjadi dianggapnya sebagai sebuah toteriha (perkawinan paksa). 3

 

Menurut Lalero, ayahnya memberikannya ketika masih kecil kepada Putri Lorolabo, dan adiknya Bangkal kepada Putri Salontingo.

 

Padahal Salontingo adalah kekasih pertamanya, dan sejak awal sedari kecil itu ia tidak memiliki kasih sayang untuk Lorolabo, sebab sudah begitu akrab dan mencintai Salontingo.

 

Jadi ketika Bangkal meninggal, menurut Lalero, rasa cinta tersebut berakar kembali, sehingga mereka berdua telah hidup sebagai suami istri.

 

Lalero menuduh Lorolabo melakukan hal yang tidak pantas dan dia sekarang menjadi seorang Kristen sementara Lorolabo masih sangat Islam. Ia memohon toteriha yang diatur ayahnya itu diputus dan memberinya izin perkawinannya dengan Putri Salontingo yang telah memberinya beberapa anak.

 

‘’Dengan izin ini baru kemudian dia akan merasa berhak atas kekuatan kerajaannya untuk mempromosikan sekolah dan gereja dengan benar. Dan, ia mengatakan tidak bisa hidup tanpa putri itu,’’ tulis Lobs dalam surat ke pemerintah tinggi Kompeni di Batavia 30 Juli 1684.

 

Lorolabo tidak diam. Ia menyurat ke Ternate meminta keputusan terbaik pernikahan antara dia dan Lalero seraya mengatakan memahami sekali apa yang dikatakan Lalero tentang dirinya. Lorolabo meminta penetapan dan penyelesaian kasus tersebut dari pemerintah tinggi Kompeni.

 

Gubernur Lobs serta Predikant Ternate Ds.Cornelius de Leeuw tidak dapat memutuskan perkara. Mereka memintakan penetapan dan penyelesaian kasus dari pemerintah tinggi Kompeni. 4

 

Ternyata kasus Raja Tabukan ikut membingungkan Pemerintah Tinggi Kompeni di Batavia yang melimpahkan masalah tersebut kepada Dewan Gereja (kerken-raad) Batavia, karena berkaitan dengan urusan gerejawi.

 

Dewan Gereja Batavia yang bersidang pada 22 Januari 1685 harus meminta saran dari Direktur Kompeni Antoni Hurdt, yang empat hari kemudian tidak dapat memberi jawaban memuaskan.

 

Sebanyak empat belas poin dikembalikan ke Ternate. Pertanyaan seputar status dan mati atau hidup dari anak-anak Bangkal dan Lalero dari Salontingo, agama dari Lorolabo dan Salontingo. Dan, apakah ketika menghamili Salontingo Lalero masih menikah dengan Lorolabo.

 

Baru dua tahun kemudian, tanggal 27 Januari 1687 Dewan Gereja Batavia dengan memperhatikan pernyataan dari Ds.de Leeuw atas empat belas poin Raja Tabukan, menyimpulkan adanya perbedaan mencolok dengan pernyataan Lalero dalam surat Lobs 30 Juli 1684.

 

Sebab diketahui Marcus Lalero Raja Tabukan menikah dengan Putri Lorolabo dan mereka berdua masuk Kristen. Juga saudaranya Bangkal menikah dengan Putri Lolonsego yang sebelumnya disebut Salontingo, dan keduanya telah menjadi Kristen.

 

Keputusan yang diambil, ‘’Bahwa setelah Bangkal ini meninggal, maka adalah haram saudaranya Marcus menceraikan istrinya sendiri Lorolabo dan menikahi Lolonsego, janda saudaranya, sehingga kedua hal itu secara tegas dilarang dalam firman Tuhan.’’

 

Keputusan dipatuhi Lalero yang mengambil kembali Lorolabo sebagai permaisuri.

 

Tapi tidak bertahan lama. Lalero dilaporkan berselingkuh dengan istri mantrinya, Kapiten Laut Gingang, dan kemudian mengambil ulang Lolonsego sebagai permaisurinya.

 

Nasib Lorolabo menyedihkan. Dengan paksa ia dibawa kepada mantri utama Tabukan, Jogugu David Pandjalang yang adalah saudara Lorolabo sendiri. Lorolabo terakhir berlindung kepada ayahnya di Kendahe.

 

Antara Lalero dan Pandjalang sendiri sejak lama telah timbul ketidakharmonisan. Demi membela saudara wanitanya, Pandjalang

bertengkar hebat dengan raja dengan kata-kata tinggi mempertanyakan kekurangan dan ketidakpantasan dari saudara perempuannya yang adalah putri seorang raja sehingga diperlakukan demikian. Kebesaran dan martabat adiknya yang meski disia-siakan tidak melakukan apa pun untuk mengorbankan suaminya.

 

Kepada Vaandrig David Haag, Pandjalang menyebut tindakan raja sebagai satu perbuatan fasik yang tidak menyiratkan perilaku seorang Kristen. Belanda mengirim perwira pembantu itu pada  23 September 1688 untuk menyelesaikan perselisihan yang meruncing hingga Pandjalang harus lari mengungsi bersama seisi rumah tangganya ke hutan. Haag sempat ditemui Lorolabo yang berkeluh kesah ditinggalkan suaminya.

 

EPILOG

Sengketa antara Pandjalang dengan raja dapat didamaikan Belanda tahun 1691. Namun nasib Lorolabo menggantung, karena Lalero tetap menjadikan Lolonsego sebagai ratunya seperti dilihat Haag kembali di istana Tabukan tahun 1690.

 

Tanggal 4 Oktober 1695 Raja Marcus Lalero meninggal, dan karena putra mahkotanya masih kecil, kakaknya Mattheus Franciscus Maccaampo diangkat sebagai regent November berikutnya. Baru dua tahun kelak, di Tabukan pada 31 Juli 1697 Mattheus resmi dilantik jadi Raja Tabukan baru oleh Gecommitteerde Daniel Fiers mewakili Gubernur Salomon Lesage.


Putri Joanna Lolonsego meninggal di tahun 1697. Sementara

mantan ratunya yang malang Susanna Lorolabo meninggal dengan menyedihkan dalam bencana akibat erupsi Gunung Awu di Kendahe pada 10 Desember 1711. Ia ditemukan tewas bersama putrinya bernama Maria Sarabanong. ***

 

.

1. Valentijn menggambarkan Lalero sebagai orang yang terlihat lesu, lamban, tapi blak-blakan, dengan sifat yang menggairahkan. Namanya disebut Marcus Franciscus Lalero, sementara dokumen-dokumen Kompeni termasuk surat-surat yang ditulis Lalero sendiri, hanya mencatatkan namanya sebagai Marcus Lalero, tidak pernah memakai nama Jacobus. Jacobus adalah putra Lalero dari Putri Joanna Lolonsego yang kemudian menjadi Raja Tabukan dengan nama Jacobus Marcus Lalero menggantikan pamannya Mattheus Franciscus Maccaampo.

2. Tidak diketahui penyebab Belanda mengangkat Lalero sebagai raja pengganti ayahnya dengan melangkahi kakaknya Mattheus. Namun Lalero pada awal kedatangan Padtbrugge berperan besar sebagai wakil Tabukan. Bahkan mewakili ayahnya dan Tabukan dalam penandatanganan perjanjian perdamaian Siau di Ulu 8 November 1677 dengan nama Beta Lalero.  

3. Toteriha kemudian dilarang Belanda di Sangihe-Talaud. 

4. Ds.Cornelius de Leeuw adalah Predikant Ternate tahun 1680-1689. Ia belajar bahasa Melayu di Ambon dan setibanya di Ternate juga belajar bahasa Sangihe.