Oleh: Adrianus Kojongian
Pemandangan Tomohon 1847. *) |
Gempa bumi hari Sabtu 8 Februari 1845 meninggalkan banyak cerita rakyat yang ditutur serta diingat sampai sekarang. Hampir semua negeri berusia tua yang berada di kaki Gunung Lokon (sekarang kelurahan-kelurahan di Kota Tomohon dan desa-desa di Kecamatan Tombariri dan Tombariri Timur Kabupaten Minahasa) memang terkait dengan peristiwa gempa tersebut.
Kerusakan
parah dengan rumah-rumah roboh, jatuhnya korban tewas dan cedera, tanah
longsor, tanah terbelah serta pengungsian besar-besaran yang terjadi ketika itu,
masih tersisa di bekas-bekas negeri lama dan tempat pengungsian.
Meski
data resmi bahwa gempa berkekuatan 7 pada Skala Richter ini berasal dari tengah Laut Sulawesi, mungkin di lepas pantai Tanawangko yang memakan korban jiwa
terbesar, namun hadis-hadis yang berkembang, merujuk ke Gunung Lokon. Bahkan,
gempanya diikuti dengan letusan Lokon yang disertai lontaran berbagai material
mengerikan dari kawahnya.
Guru
Zendeling Nicolaas Graafland menyebut gempa 1845 jelas (disebut-sebut) berasal
dari Gunung Lokon. Graafland di tahun 1850-an bisa menyaksikan bekas letusan
dan longsoran akibat gempa tersebut. Menurut Graafland, akibat gempa bumi besar
1845 terjadi retakan di tanah sekitar Tanawangko yang memuntahkan air dan api
dan setelah itu tertutup kembali.
Di Kakaskasen
yang tepat berada di lereng Lokon, kuat
kisah, peristiwa gempa terjadi bersamaan dengan letusan Gunung Lokon.
Penduduk Kakaskasen (sekarang terbagi empat kelurahan di Kecamatan Tomohon
Utara) yang saat itu menjadi salahsatu negeri di Distrik Kakaskasen yang
berikota Lotta, telah pindah meninggalkan negeri lamanya di Nawanua (sekarang
masuk Kakaskasen Tiga). Kepindahan mereka dari Nawanua ke lokasi sekarang masuk
Kakaskasen Dua, gara-gara mereka telah melihat tanda-tanda bakal terjadi
bencana alam dahsyat bersumber Gunung Lokon.
Penduduk
Kakaskasen diliputi kekhawatiran, muntahan lahar yang disertai semburan pasir,
batu berapi dan debu akan menghancurkan pemukiman mereka di Nawanua, seperti
pada berbagai peristiwa letusan Lokon di masa silam.
Pata
tetua Kakaskasen mendapat pertanda bagus untuk negeri baru setelah menggelar
upacara adat Komba (mengantar
persembahan) dipimpin Walian di Watu
Pasuwengan yang ada di utara kompleks Bukit Inspirasi Kakaskasen kini. Ini
setelah mereka Menonsoring, yakni
mendengar burung malam dilakukan tonaas yang meniup suling kecil dari bambu,
mendengar tanda burung malam yang hinggap di sebatang pohon rindang.
Pemindahan
Kakaskasen dari Nawanua ke Kakaskasen baru yang lebih strategis karena berada
di pinggir ruas jalan Manado-Tomohon via Lota dan Kali itu, telah dipimpin oleh
Kawengian Lasut yang dianggap sebagai Hukum (tua) pertama.
Perkiraan
mereka terbukti ketika Gunung Lokon meletus disertai gempa bumi itu. Lahar
Gunung Lokon mengalir melalui sungai Pasahapen yang menyatu dengan sungai
Taingkere menuju ke utara liwat Kinilow. Sisa-sisa lahar yang membeku masih
bersisa hingga sekarang di lokasi mataair panas Pasahapen di Kakaskasen Satu,
licin seperti porselin.
Meski
data resmi mencatat akibat gempa di Kakaskasen ada empat korban tewas dan dua
puluh orang terluka, pemindahan ke tempat baru sebelum peristiwa itu telah meminimalisir
jatuhnya korban lebih besar, bila mereka masih bermukim di Nawanua. Masa itu,
penduduk harus menanak nasi menggunakan buluh tambelang.
Di
pengungsian negeri-negeri Tomohon, dihikayatkan guncangan gempa berlangsung
selama sembilan hari sembilan malam. Penduduk tidak dapat memasak di dodika (tungku), karena getaran gempa.
Mereka terpaksa memasak menggunakan belanga (periuk) yang digantung pada tiang
ditanam.
Negeri-negeri eks Distrik Tomohon
(sekarang masuk Kecamatan Tomohon Tengah dan Tomohon Timur), sama menderita
akibat peristiwa gempa. Talete yang pindah 1831 dari negeri lama Tomohon di
Nimawanua (sekarang wilayah Kelurahan Kolongan Satu), hancur lebur
pemukimannya. Penduduk yang ketakutan, lari kocar-kacir mengungsi ke perkebunan
dan bahkan balik ke Nimawanua. Berkat usaha Hukum Tua Lukas Wenas penduduk
dapat ditenangkan, dan setelah marabahaya usai, dibawanya kembali penduduk
Talete ke lokasi Talete di dekat mataair Sineleyan. Rumah-rumah model tiang
tinggi yang tersebar luas di Tomohon ditinggalkan. Penduduk dianjurkan para
penginjiil dan residen membangun rumah berukuran lebih kecil dan teratur.
Kamasi yang hampir menyatu
dengan Nimawanua, bersama Kolongan yang pindah dari Nimawanua 1843, ketika
gempa, lari mengungsi pula ke berbagai tempat aman. Bahkan pengungsian mereka sampai
ke Rurukan (sekarang Kecamatan Tomohon Timur) yang kemudian dijadikan negeri
tahun 1848. Penduduk awalnya adalah kaum pengungsi dari Paslaten, Talete,
Kolongan, Kamasi dan Matani.
Kebanyakan orang Kamasi bersatu
di pengungsian Walian berbatasan dengan Matani. Di tempat tersebut hingga kini
masih terdapat sisa-sisa pemukiman dan sebuah mataair yang hingga sekarang
dinamai Rano ne Kamasi, kini masuk
kelurahan Matani Dua.
Di pengungsian Walian, tampil
sebagai pemimpin dengan gelaran Rarangkang
um Wanua atau pelindung negeri Tinaras alias Timon Tudus yang ditunjuk
sebagai Hukum Tua Kamasi pertama. Tinaras dapat menghimpun kembali dan
menentramkan rasa takut masyarakat. Ketika situasi mulai aman, pada tahun 1846
dipimpinnya penduduk pulang kembali ke Kamasi yang telah porak-poranda.
Sebagian lagi penduduk tetap memilih tinggal di Walian dan pergi ke
Pangolombian (sekarang dua kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan). Kedua
negeri ini sejak beberapa waktu sebelumnya telah berkembang menjadi pemukiman
orang Kamasi, yang diperintah langsung dari Kamasi.
Kolongan baru dibawah Hukum Tua
Tololiu dibangun mendekati ruas jalan ‘raya’ di bagian utara negeri awalnya,
yakni di wilayah dekat Loko-Lokon.
Sementara Paslaten (sekarang dua
kelurahan di Kecamatan Tomohon Timur), adalah
negeri eks Distrik Tomohon terakhir yang meninggalkan kota lama Tomohon di
Nimawanua. Dikisah setelah usai peristiwa gempa, para tua-tua mengadakan
musyawarah untuk membangun Paslaten.
Untuk itu digelar upacara adat Sumoring
(memberikan persembahan) kepada Opo
Empung dipimpin Moningka Tuneng Kaparang. Pertanda bagus diperoleh
bahwa penduduk harus menempati lokasi witi
ni Pinaselat ne Matani wo ne Talete, atau di antara Matani dan Talete.
Oleh petunjuk itu, Moningka
Tuneng Kaparang mengangkat seorang cucunya bernama Bastiaan Kaunang menjadi Tumuturu (panglima perang atau
penunjuk). Ternyata lokasi terawang sangat pas, karena di situ ada lahan cocok
untuk pertanian dan sumber mata air yakni, Malangen, Mangangaya dan Kalimpesan.
Ditunjuk sebagai Hukum Tua dengan sebutan Nima’endo
Tua um banua atau Kelung Wanua
Wahani.
Bagitu pun Matani (sekarang tiga
kelurahan di Tomohon Tengah), dibangun ulang dengan rumah-rumah berukuran kecil
dibawah pimpinan Hukum Tua Tololiu Palar. Pemukimannya berpusat di lokasi
sekarang masuk kelurahan Matani Tiga.
Seperti
nasib kota-kota tua lain di Tomohon, Tulau dan Amian-Nimawanua, lokasi
pemukiman eks ibukota Distrik Sarongsong lama, hancur ketika gempa bumi bulan Februari
1845. Dikisah gempa bumi berlangsung selama sembilan hari terus-menerus, baik
siang dan malam. Rumah-rumah besar dan bertiang tinggi roboh. Penduduk ada yang
lari mengungsi. Untuk memasak mereka harus menggunakan bambu (lulut)
dan minum pun memakai zaun dari bambu.
Setelah
keadaan mulai reda, maka Sarongsong yang ketika itu diperintah Kepala Balak
Majoor Waworuntu (dibaptis Kristen 1847, memakai nama Herman Carl Wawo-Roentoe)
meninggalkan negeri lama, pindah dekat jalan umum yang waktu itu telah dibuka
beralas batu oleh pemerintah Belanda.
Tanggal
1 Januari 1846 dibawah pimpinan Kepala Balak Waworuntu dan wakilnya Kumarua
(Hukum Kedua) bernama Kalalo, penduduk pindah menuju ke tempat barunya. Sebelumnya, sesuai tradisi leluhur diadakan foso negeri, yakni Tumalinga
si Kooko’ (mendengar burung), dengan Menengoh dalam tarian Maengket.
Di Watu Lelepouan, di bawah sebatang pohon Tumatangtang, sekarang kurang lebih
200 meter dari gedung Gereja GMIM ‘Syalom’ Tumatangtang, dilaksanakan upacara
pendirian Sarongsong baru.
Burung
Manguni menyahut dan memberi pertanda bagus. Burung tersebut lalu terbang
diikuti rombongan penduduk. Awalnya,
konon, burung itu bertengger di pohon Lansot (langsat). Lalu terbang ke arah
selatan, hinggap di pohon Tumatangtang. Kemudian, ke pohon Koror, singgah
(Pinangkeian), dan terbang terus ke ujung (Kapoya).
Maka,
segera berdiri lima negeri baru dalam Balak Sarongsong, setelah dilengkapkan
segala foso negeri dan kelengkapannya. Lima negeri baru ini, masing-masing:
Lansot, Tumatangtang, Koror, Pinangkeian dan Kapoya. Ke
lima negeri inilah yang membentuk ibukota Balak lalu Distrik Sarongsong hingga
tahun 1881, ketika Kepala Distrik Majoor Zacharias Waworuntu diberhentikan, dan
Sarongsong digabungkan dengan Distrik Tomohon, menjadi Distrik
Tomohon-Sarongsong, lalu 1908 tertinggal Distrik Tomohon.
Tapi,
ada kontroversi berapa negeri yang membentuk Sarongsong baru di tahun 1845. Sebab
data mengungkap ketika itu Sarongsong terbangun dari tujuh negeri sebagai
ibukota, yakni: Pinangkeian, Tumatangtang, Koror, Lansot, Regesan, Wuwuk dan
Kapoya. Versinya Sarongsong baru di lokasi sekarang sudah pindah sejak beberapa
waktu sebelumnya dari negeri lama, dan setelah gempa dibangun ulang di lokasi sama.
Di eks Distrik Tombariri, negeri
Woloan (sekarang empat kelurahan di Kecamatan Tomohon Barat), getaran tanah
goyang dahsyat dikisah pula selama sembilan hari sembilan malam, menyebabkan
retakan besar di sana-sini dan tanah longsor serta rumah-rumah ambruk di negeri
lama (Katingolan). Penduduk pun sengsara karena wabah penyakit ikut berjangkit.
Setelah gempa reda, pemimpin
Woloan Tonaas Rumondor, Walian Pontoh, Putoosan Kapoh, Teterusan Makal dan
Teterusan Karamoi bersepakat memindahkan Woloan ke tempat aman di bagian
selatan yang lebih rata.
Untuk
itu diadakan acara Linigauan, yakni bertanya kepada Empung (Tuhan)
tempat tinggal baru yang layak. Upacara yang dipimpin Walian Pontoh awalnya
dilaksanakan di belakang gedung gereja RK ‘Bunda Hati Kudus Yesus’ di Woloan Dua
kini. Tapi tidak mendapat jawaban pertanda setuju, sehingga dipindah, dibikin
di sebelah barat SD GMIM II Woloan sekarang. Kali ini permohonan mereka
dikabulkan, sehingga segera dilakukan pemindahan besar-besaran, termasuk
pemindahan waruga Supit Sahiri Macex.
Pemindahan
Woloan di tahun 1845 itu dimeriahkan dengan pesta rakyat dimana penduduk menari tarian Mangaloong,
serta memainkan musik Lengdeng. Lengdeng adalah gitar dari bambu yang
diketik-ketik dan berbunyi deng-deng. Musik tradisional ini dibuat dari seruas
bambu yang diberi berlubang panjang, sepanjang ruas, serta dipasangi 2 tali
senar dari kulit ruas bambu.
Negeri
Woloan baru segera berdiri, menyebar mulai dari Woloan Dua sekarang. Pemukimannya
dibangun
teratur dan berkembang pesat dari waktu ke waktu. Yang menjadi Tonaas um Wanua
di Woloan baru ini adalah Rumondor dengan sebutan Perewis, sedangkan ‘pendeta’nya adalah Pontoh.
Bukti
pemindahan Woloan dari Katingolan tahun 1845 diperkuat kelahiran 2 warga yang
lahir saat itu. Pertama adalah Tingkulendeng. Ia diberi nama demikian oleh
orang tuanya untuk mengingati pesta dan kemeriahan musik Lengdeng yang tengah
berlangsung (Tingkulendeng dibaptis Kristen oleh Zendeling dan Direktur Kweekschool Tanawangko Nicolaas
Graafland tanggal 18 Agustus 1867, berusia 22 tahun, memakai nama serani Thomas
Senduk). Sementara anak kedua, dinamai Rumengan, karena lahir bersamaan dengan
dimulainya pemindahan Woloan tersebut (Rumengan dibaptis tanggal 6 Agustus 1871
oleh Pdt.Hendirk Bettink, dengan nama Abednedju Kilisan).
Negeri besar lain di Distrik
Tombariri, yakni Lolah (sekarang 2 desa di Kecamatan Tombariri Timur Kabupaten
Minahasa), masih di negeri lama Nimawanua, akibat gempa 8 Februari 1845, semua
rumahnya roboh. Peristiwa ini menyulut terjadinya kebakaran hebat. Penduduk
Lolah lari mengungsi ke sebelah tenggara Lolah, antara Ranotongkor dan
Tara-Tara sekarang di sebelah hilir dari sungai Makalesung dengan dipimpin Sakul. Mereka menamai wilayah
itu Wuwuk (daerah pengungsian). Tapi,
disini, karena banyak gangguan ular dan katak, mereka pindah ke lokasi Lolah
sekarang yang telah didirikan Keles.
Lolah baru ini dibangun Keles setelah pindah 1841 akibat sampar yang berjangkit di Lolah Lama. Lolah baru di lokasi sekarang, hanya terpisah sekitar 500 meter dari Lolah lama. Penduduk sisa di Lolah tua, dengan dipimpin Sakul ikut pindah pula ke Lolah baru.
Lolah baru ini dibangun Keles setelah pindah 1841 akibat sampar yang berjangkit di Lolah Lama. Lolah baru di lokasi sekarang, hanya terpisah sekitar 500 meter dari Lolah lama. Penduduk sisa di Lolah tua, dengan dipimpin Sakul ikut pindah pula ke Lolah baru.
Sedangkan sejumlah pengungsi di
Wuwuk yang tidak mau kembali ke Lolah tua dan baru, memisahkan diri. Dengan dipimpin
Wohon tahun 1845, mereka pindah mengungsi lalu mendirikan Ranotongkor
sekarang. ***
*). Lukisan dari Reis door den Indischen Archipel, L.J.van Rhijn, 1851.
BAHAN OLAHAN:
Riwayatmu Tomohon.
Tomohon Dulu dan Kini.
Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini, N.Graafland/Yoost Kullit,1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.