Jumat, 12 Mei 2023

Kapataran, Kisah Negeri Kristen Tondano Pertama

 

 

Lukisan Danau Tondano tahun 1820-an (New York Public Library).

 

 

Kapataran sekarang adalah ibukota Kecamatan Lembean Timur di Kabupaten Minahasa.


Sebelum dikenal dengan nama Kapataran, sampai awal abad ke-19, nama negerinya dalam berbagai dokumen adalah Atep, karena penduduk masih terkonsentrasi tinggal bermukim di pantai Atep di dekatnya. 

 

Atep didirikan oleh para pemukim Tondano (Touliang) yang pindah dari negeri besar Tondano pada abad ke-18. Bersama dengan Tataaran, Koya dan Telap, Atep termasuk negeri awal yang didirikan penduduk Tondano ketika masih tinggal di atas air Danau Tondano.


Keunikan Atep karena sejak awal berdiri masa Kompeni Belanda telah menyandang predikat sebagai negeri Kristen orang Tondano. Sebab penduduk Atep yang pertama menerima Kristen Protestan. Sementara Tondano pada umumnya masih pagan.

 

Sejarahnya, menurut dokumen Kompeni Belanda, dimulai tanggal 2 September 1779 ketika para Hukum Tondano menyatakan kepada Residen Manado bernama Koene Koenes (1778-1780) keinginan mereka untuk masuk Kristen dan meminta seorang guru untuk mengajar agama.

 

Kepala-kepala Tondano yang bertanda krois dalam surat tersebut adalah Hukum Tua (Oud Hoekum) Sumondak, Pangalila, Lensun dan Walintukan, serta para Hukum Muda (Jonge Hoekum) terdiri Mandagi, Rumende, Mogot, Kosegeran, Tambahani, Mamentu, Supit, Lowing, Wulur, Andu dan Rantung.

 

Untuk mewujudkan keinginan tersebut Rumende yang menjadi Hukum Muda di Atep dipercaya menjadi utusan dari para Hukum Tondano untuk pergi langsung ke Ternate menemui Pejabat Gubernur (Gezaghebber) Maluku Alexander Cornabe. Rumende dipilih dan ditunjuk mereka untuk menjadi pemimpin orang Kristen Tondano.

 

Permintaan para kepala Tondano melalui Rumende dipenuhi Cornabe. Predikant Ternate Ds.Georgius Jacobus Huther datang langsung ke Tondano bulan Agustus tahun 1780 dan melakukan pembaptisan pertama Tondano di negeri Atep. 

 

Hukum Rumende disetujui oleh Cornabe sebagai kepala orang Kristen Tondano dengan akte pengangkatan serta memperoleh simbol kehormatan sebagai tanda jabatan berupa rotan dan kenop perak.

 

Atep segera menjadi pusat komunitas Kristen Tondano. Padahal awalnya para kepala Tondano sengaja menyiapkan negeri baru Kolongan di pantai Tondano sebagai lokasi khusus untuk orang Kristen Tondano. 

 

Johannes Boot, pengganti Residen Koenes diperintahkan Cornabe  mengumpulkan semua penduduk Tondano yang telah masuk Kristen. Mereka harus pindah dan tinggal di negeri Atep, terpisah dengan penduduk yang masih pagan.

 

Sebuah sekolah dibuka pula oleh Predikant Huther, dengan menempatkan guru Urbanus Matheosz seperti keinginan para kepala Tondano.

 

BEDA FAM

Hukum Rumende memiliki saudara muda bernama Wuysang. Keduanya masuk Kristen dan memilih nama masing-masing sebagai fam.

 

Hukum Rumende dengan nama baptis lengkap Alexander Agatha Rumende. Nama depan Alexander untuk menghormati Cornabe. Sedangkan adiknya memilih nama Gerrit Jan Wuysang.

 

Jabatan Alexander Agatha Rumende dari Hukum Muda menjadi Hukum Tua dengan gelar resmi adalah Penghulu orang Kristen Tondano.

 

Gerrit Wuysang sendiri diterima menjadi serdadu (soldaat) Kompeni Belanda pada tahun 1781 dengan gaji 9 gulden. Gerrit masuk kesatuan milisi Borgo Manado, dan bekerja di garnisun benteng Amsterdam Manado dengan ikatan dinas selama 5 tahun. Masa kerjanya berulang diperpanjang residen karena kualifikasi dan kualitasnya.

 

Tahun 1791, Hukum Tua Atep sekaligus Penghulu orang Kristen Tondano Alexander Agatha Rumende jatuh sakit dan meninggal karena cacar. Wabah cacar di Minahasa ketika itu menelan korban jiwa yang besar.

 

Dengan persetujuan Gubernur Cornabe, adiknya Gerrit Wuysang diangkat sebagai Hukum Tua negeri Kristen Atep. Gerrit yang berusia 34 tahun diberhentikan terlebih dahulu sebagai serdadu di benteng Amsterdam Manado. Dalam dinas tersebut Gerrit menggunakan nama Jan Wuysang.

 

Gerrit Wuysang berperan besar dalam perang Minahasa di Tondano tahun 1808-1809. Gerrit pun membangun negeri Kapataran dengan memindahkan penduduk dari pantai Atep.

 

KRISTEN BARU

Setelah Pendeta Huther, Atep/Kapataran masih dikunjungi pula oleh Ds.Johan Ruben Adams tahun  1791. 

 

Kemudian masa Hindia Belanda, pada Maret 1819 Predikant Semarang Ds.Dirk Lenting datang dan tinggal beberapa hari di Kapataran, di mana Lenting membaptis beberapa orang setiap hari. Sebagian besar adalah penduduk Kapataran sendiri, bahkan ada dari negeri-negeri di tepi danau dan dekat Tondano. Sebanyak 530 orang dibaptis dan semuanya masih muda.

 

Tahun 1819 ini oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) dicatat sebagai pendirian dari Jemaat (Gemeente) Kapataran dengan Lenting sebagai pendiri.

 

Setelah kunjungan Lenting, Predikant Ambon Ds.Joseph Kam ikut mengunjungi Kapataran dan membaptis beberapa penduduknya.1

 

Namun, pekerjaan para predikant sejak periode Kompeni tersebut kemudian terbengkalai hingga Zendeling NZG Johan Friedrich Riedel datang bekerja di Tondano. 

 

Pendeta Sierk Coolsma mengungkap orang-orang Kristen di Kapataran sangat bangga dengan nama Kristen mereka. Tapi masih tenggelam dalam kekafiran dan tanpa kehidupan spiritual.

 

Ketika Riedel pertamakali mengunjungi Kapataran tahun 1833 dia menemukan hanya sisa beberapa orang Kristen, dan sebuah sekolah yang telah berdiri di Kapataran sejak masa Kompeni.

 

Tapi selama bertahun-tahun, Riedel hanya membaptis beberapa anak dari orang tua Kristen, dan menolak untuk membaptis orang dewasa.

 

Riedel kecewa karena meski ada sekolah, gereja, guru (meester) yang merangkap guru jemaat (voorgangers), kehidupan jemaat menyedihkan. Anak-anak tumbuh dengan bingung karena contoh buruk. Dibesarkan dalam ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Orang yang dibaptis hanya melihat gereja dari luar dan hanya dua atau tiga orang yang masuk gereja di hari Minggu. Sebaliknya ia melihat kesombongan yang sia-sia atas nama agama Kristen karena mengikuti kebiasaan lama.

 

Masa sebelumnya pembaptisan selalu massal. Banyak orang dibaptis dalam ketidaktahuan, tidak siap dan tanpa pemeriksaan atau penguatan iman. 


Kotbah pertobatan dari Riedel yang tegas memberi pengaruh di jemaat lama Kapataran pada tahun 1847. Dan, pekerjaan Hessel Rooker sejak tahun 1855 berhasil mentobatkan semua penduduknya.

 

 

1.Dari berita tahun 1930, pada 22 November 1929 di Kapataran dilaksanakan pesta gereja memperingati 110 tahun kepala negerinya Wuysang dibaptis di Ambon oleh Pendeta Kam.

 

 

SUMBER:

Dokumen Kompeni Belanda.

Maandbericht van het Nederlandsche Zendelinggenootschap 1856.

Overzicht van Inlandsche en Maleisisch Chineesche pers no.6 1930.

S.Coolsma, Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie, 1901

Rabu, 29 Maret 2023

Raja Makaampo dan Laksamana Hengkengunaung

 




Makam Laksamana Hengkengunaung di Kiawang. (foto Iverdixon Tinungki, barta 1.com),



Di Salurang Tabukan berada makam dari Makaampo, sementara di Kiawang Siau makam dari Hengkengunaung. 

Keduanya adalah tokoh legendaris. Makaampo adalah raja pertama dari kerajaan Tabukan, dan Hengkengunaung seorang laksamana (Kapiten Laut) dari kerajaan Siau.

Makaampo dan Hengkengunaung hidup sejaman, meski dikisahkan usia Hengkengunaung jauh lebih muda dari Makaampo.

Tapi, terdapat perbedaan masa hidup kedua tokoh pada buku dan tulisan sejarah yang beredar. 

Sejarawan Sangihe menyebut Makaampo hidup atau berkuasa di sekitar tahun 1530-1575. Sementara sejarawan dari Siau mencatatkan periode hidup dari Hengkengunaung adalah tahun 1590-1668.

Tentu jadi tidak semasa. 

Kisah kedua tokoh ini memang beragam. Makaampo umpama dibahas Walter Aebersold dalam Bekem Makaampo. Het verhaal van Makaampo (BKI 113 tahun 1957) dan J.E.E.Scherrer dengan De afkomst van Makaampo (BKI 115, 1959). 

Aebersold dengan teks Sangihe mengkisah lengkap riwayat putra Tangkuliwutung dan Nabuisang tersebut sedari masa kecil, hingga kematiannya. Scherrer lebih membahas silsilah Makaampo serta raja-raja Tabukan keturunannya.

Makaampo adalah pribadi yang keras, bahkan menurut Scherrer brutal.

Karena itu Hengkengunaung dari Kiawang diminta membunuh Makaampo oleh penduduk Tamako. Sebab anak-anak mereka diambil dan dijadikan umpan hiu.

Mokoampo hanya dapat dibunuh dengan pedangnya sendiri.

Saat sedang menangkap ikan di karang Batuketi pantai Sahabe, budaknya bernama Tahapansiang berkhianat, menyerahkan pedang saktinya pada Hengkengunaung sehingga pahlawan dari Siau tersebut berhasil membunuh dan mengayau kepalanya.

Aebersold mencatat pula versi lain kematian Makaampo terjadi di Rainis Talaud oleh budaknya bernama Sakiunaung yang menyerahkan kepala Makaampo pada Hengkengunaung di Tamako, dan membawanya ke Pehe Siau.

Paman Makaampo bernama Ansiga dan Makalupa dengan menggunakan budak bernama Kumale berhasil mengambil kembali kepala Makaampo dan dikuburkan di Salurang.

MASA BABULLAH

Dokumen tua yang menyebut Raja Makaampo dan kematiannya adalah dari raport Gecommitterde Dirck de Gheijn (menjabat winkelier) dan Andries Oloffsz (sekretaris) yang berkunjung di Sangihe Oktober 1675 hingga Februari 1676.

Ketika kedua komisi ini datang, Tabukan telah dipimpin oleh Raja Garuda, karena para rajanya disebutkan mulai dari Makaampo (ditulis Macca ampou), Buaten (Bouating), Gama (Gamma) dan Garuda (Garouda). Di masa Raja Buaten, Islam tumbuh di Tabukan dibawa oleh Kasisi Lebe Metaly.

Makaampo adalah penakluk Talaud, tapi kematiannya sekedar dicatatkan dilakukan oleh orang Siau.

Gheijn dan Oloffsz menyebut Raja Makaampo bersamaan dengan Raja Siau bernama Boyssang yang menguasai Pulau Kabaruan di Talaud, bukan dengan kekerasan tapi melalui persahabatan (vrienschap). 1

Raja Boyssang dimaksud adalah Raja Wuisang yang bernama Don Joao (Juan dalam bahasa Spanyol) yang memerintah Siau tahun 1587-1590. Raja Wuisang menggantikan ayahnya Raja Posumah (Don Jeronimo). Pemerintahan Raja Wuisang singkat, dan digantikan saudaranya Winsulangi (Don Jeronimo II).

Tapi paling penting karena Gheijn dan Oloffsz menegas masa pemerintahan Raja Makaampo adalah bersamaan pula dengan Raja Ternate Babou. Menurut mereka, Ternate tidak menduduki Tabukan dengan kekuatan senjata, tapi selalu menjaga persaudaraan (broederschap), ketika datang dengan tujuh korakora di masa Babou dan Makaampo tersebut.

Babou adalah Babu atau Babullah, Sultan Ternate yang berkuasa tahun 1570 hingga meninggal 1583. Ia menggantikan ayahnya Hairun yang dibunuh Portugis dan bersumpah untuk membalas dendam. Babullah baru berhasil mengusir Portugis dari benteng St.Pedro di Gamalamma Ternate 1574, kemudian melakukan penyerangan di Kepulauan Sangihe, berkali-kali ke Pulau Siau yang merupakan kerajaan Katolik di bawah pengaruh Portugis.

Dalam Documenta Malucencia II (1980), Hubert Jacobs SJ menggambarkan salah satu serangan dari armada korakora Ternate pada bulan September 1587. Ternate menyerang Siau dengan kekuatan 3.000 prajurit dari Pulau Sangihe Besar. Menghancurkan bekas ibukota Ulu, membunuh banyak orang, dan mengambil sebagai tawanan 70 atau 80 orang baik laki-laki mau pun anak-anak, termasuk menawan 40 atau 50 orang di Pulau Makelahi dekat Pehe.

SEORANG MANTRI 

Raja Makaampo dan Hengkengunaung setidaknya hidup di era Siau dipegang oleh Raja Posumah dan Raja Wuisang. Bahkan kemungkinan masih hidup di masa awal pemerintahan Raja Winsulangi, di mana kematiannya oleh Laksamana Hengkengunaung terjadi.

Sebagai laksamana, Hengkengunaung adalah seorang mantri yang memimpin angkatan laut Siau. Jabatan yang biasanya dipegang oleh seorang Kapiten Laut. 

Masa Winsulangi, ketika Siau mulai dipengaruhi Spanyol, mantri-mantri yang membantu pemerintahannya tercatat. Menurut Hubert Jacobs, ketika berada di Manila 28 Juni 1593 dan membuat perjanjian dengan Gubernur dan Kapiten Jenderal Gomez Peres Dasmarinas, Raja Jeronimo Winsulangi didampingi para mantri yang ikut meneken kontrak politik. Nama mantri-mantrinya adalah: Don Pedro Siao, Thome Mangapa, Don Martin, yang menjabat Socapitana mayor de la mar (Kapiten Laut atau laksamana) serta Manuel Sarbeja, Francisco Papamdodoras Mananca, Don Antonio Sangajas (Sangaji) dan Don Duarte. 

Kemungkinan salah satu Kapiten Laut atau mantri Siau di atas adalah nama Kristen dari Laksamana Hengkengunaung. 2

Makaampo sendiri digantikan anaknya Raja Buaten, kemudian cucunya Raja Gama yang dari dokumen Katolik telah berkuasa sebelum tahun 1639. ***

 

1 Residen Manado A.J.F.Jansen 12 Agustus 1857 mengungkap berdasar tradisi Siau, kepemilikan Kabaruan oleh Siau dimulai setelah kepala Talaud bernama Mahadija Ponto mengawini putri dari Lokombanua (Basilawewe). Lokombanua yang dianggap menjadi Raja Siau pertama adalah ayah dari Raja Posumah yang meninggal tahun 1587.

2.Bulan Juni 1614 Siau diduduki Kompeni Belanda yang mengangkat Duarte Pareira atau Kaicil Kaluwan (Kaliwen) sebagai raja baru pada 15 Agustus 1614. Raja Winsulangi dan putranya Don Juan melarikan diri ke Ternate kemudian tinggal di Manila. Tanggal 12 Oktober 1615 Raja Pareira dan 450 penduduk Siau lainnya dibawa Belanda ke Pulau Ai di Banda Maluku. Baru awal tahun 1620 Raja Winsulangi berhasil mengusir Belanda di Siau dengan bantuan Spanyol, dan berkuasa kembali hingga meninggal tahun 1624, dan digantikan anaknya Don Juan.


Minggu, 26 Maret 2023

Raja Francisco Gama Dari Tabukan

 



Makam Makaampo, kakek Raja Gama di Salurang (foto direktoripariwisata.id).



Seorang Raja Tabukan yang namanya kontroversial adalah Gama (Gamma) atau Gadma. Ia adalah Raja Tabukan ketiga dan cucu dari raja legendaris Makaampo. Ayahnya adalah Raja Buaten.

WÅ‚adcy Tabukanu menulis namanya sebagai Gama, memerintah Tabukan sekitar tahun 1610 hingga 1640. Sementara pengamat sejarah kerajaan Indonesia Donald Tick menulisnya dengan nama Marcus Vascoda Gama Flianena atau di berbagai tulisan pengarang lain dengan nama Marcus Vasco da Gama. Tick yang menjadi Kepala Pusat Dokumentasi Kerajaan di Indonesia, menyebutnya sebagai penguasa Tabukan pertama yang menggunakan gelaran raja serta menghitung masa pemerintahannya tahun 1610 hingga 1640 atau bahkan 1677.

Tidak diketahui bagaimana dan kapan nama Marcus Vascoda Gama melekat pada Raja Gama. Tapi di masa sebelum hidup Raja Gama, telah sangat terkenal penjelajah berkebangsaan Portugis yakni Vasco da Gama yang menemukan India tahun 1498. Sedangkan Raja Gama dari Tabukan hidup di masa awal Kompeni Belanda yang bersekutu dengan Sultan Ternate serta pengaruh kuat saingan mereka Spanyol dari Ternate dan Manila.

Raja Gama sempat dibaptis menjadi Kristen. Sumber satu-satunya tentang peristiwa ini adalah dari laporan Padri Fransiskan (OFM) Juan Yranzo bertanggal Manila 4 Agustus 1645 yang mencatatkan kejadian-kejadian di Sangihe dan Minahasa selang 1639 hingga 1645. Selain itu laporan Predikant Jacobus Montanus  yang berkunjung ke Sangihe tahun 1673, serta pengakuan Raja Tabukan Kaicil Garuda, anak Raja Gama kepada Gubernur Kompeni Belanda Robertus Padtbrugge 3 Desember 1677 ketika dia dan semua keluarganya diserani.

Tulisan Juan Yranzo yang dikutip tiga sejarawan Katolik Padri Juan de la Conception (Historia Generale de las Philipinas, 1788), Padri Domingo Martinez (Compendio Historico de la Apostolica Provincia de San Gregorio de Philipinas, 1755 ), serta Padri B.J.J.Visser MSC (Onder de Compagnie, Geschiedenis der Katholieke Missie van Nederl.-Indie 1606-1800, 1934), tidak mencatatkan nama dari Raja Gama ketika dibaptis Katolik oleh Padri Fransiskan. 

Menurut para sejarawan Katolik, kerajaan Tabukan di tahun 1630-an berada dalam pengaruh kuat Ternate. Tahun 1637 seorang Fransiskan dari Ternate datang berkunjung di Tabukan dimana para kepala berbicara padanya tentang aliansi dengan Spanyol dan tentang memulai misi di antara mereka. 

Tahun 1639 duta besar dari Raja Tabukan tiba di Manila. Kapiten Laut yang menjadi utusan tersebut melaporkan bahwa seluruh kerajaannya telah memutuskan untuk tunduk pada iman sejati dan hukum orang Kristen. Mereka telah memutuskan menolak kepatuhan pada Sultan Ternate dan Belanda dan sekutu lainnya dan memberikannya pada Raja Katolik Spanyol. Raja Tabukan meminta memberi mereka imam Fransiskan karena mendengar dan melihat pekerjaannya yang paling menarik. 

Gubernur dan Kapiten Jenderal Spanyol di Manila Don Sebastian de Corcuera meminta Konfrater Fransiskan Padri Antonio Escalona mengirim religiusnya, atau ia akan mengirim padri Serikat Jesus (SJ) dimana kedua ordo masa itu bersaing keras. 

Pada bulan Februari 1639 bertolak dari Manila ke Ternate Padri Juan Yranzo sebagai komisaris, bersama Padri Bartholome de San Diego, Bruder Miguel de San Buenaventura, dan Bruder Francisco de Alcala.

Di Ternate mereka bertemu dengan Raja Kolongan (nama kerajaan Tahuna ketika itu) bernama Buntuan, sepupu Raja Tabukan Gama yang meminta untuk membaptisnya bersama semua rakyatnya. 1 

Namun Juan Yranzo ditahan selama setahun di Ternate karena gubernurnya memihak Serikat Jesus. 

Setelah pergantian gubernur yang sangat toleran, Juan Yranzo berhasil berangkat ke Kolongan dan Tabukan. Ia segera membaptis 92 orang. Termasuk Raja Buntuan, ratu, anak-anak, saudara laki-laki dan orang-orang terhormat Kolongan. Buntuan memperoleh nama baru Don Juan Buntuan. 

Raja Gama belum dibaptis, karena menurut Juan Yranzo, Raja Tabukan sangat berhutang budi kepada Sultan Ternate dan Belanda. 

Juan Yranzo kemudian berangkat ke Manado bersama Alcala, meninggalkan Padri Bartholome dan Bruder Buanaventura yang melayani setengah tahun di Kolongan dan setengah tahun sisa di Tabukan. 

Kedua misionaris ini selama lima tahun berhasil membaptis 4.500 penduduk di dua kerajaan. Antara lain Raja Tabukan Gama, saudara laki-laki dan anak-anaknya dengan banyak kepala dan bangsawan di wilayahnya. 

Namun, nama serani Raja Tabukan tidak dicatatkan, demikian juga tanggal pembaptisannya. 

Peristiwa tersebut setidaknya terjadi sebelum tahun 1643 ketika Bruder Miguel de San Buanaventura jatuh sakit dan kembali ke Manila, sementara Padri Bartholome de San Diego pulang ke Manila pula, melalui Ternate Maret 1643. 

Pemberontakan yang timbul mencegah pekerjaan dilanjutkan selama sembilan tahun, sampai Raja Gama dan Buntuan menaklukkan pemberontak dengan bantuan Spanyol. 

Padri Bartholome sendiri berhasil membangun gereja dan biara di Tabukan dan Kolongan. Di gereja Tabukan, Visser mengutip Perez, ada lukisan penghakiman terakhir bersama Kristus dan orang suci, api penyucian dan neraka, dimana Bartholome menggunakan gambar-gambar tersebut untuk mengajar. 

Ditinggalkan Spanyol, Raja Gama kembali mendekati Kompeni Belanda dan Ternate.


Pada tahun 1654 Raja Gama mendatangi Belanda di Ternate dengan tiga perahu. Kedatangannya hampir bersamaan dengan Raja Balango dari Tagulandang, seperti dicatat Gubernur Jacob Hustardt kepada Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker 10 Juli 1655.

 

Hal ini diprotes keras Gubernur Spanyol di Ternate Francisco d’Esteibar 25 Februari 1655 yang menyebut Tabukan sebagai sekutu (bondgenoot) Spanyol bersama Siau, Manganitu, Tagulandang bahkan Manado. Tapi dibantah Hustardt dua hari kemudian sebagai milik Mandarsyah Sultan Ternate.

 

SUMBER BELANDA

Dokumen Kompeni Belanda justru mengungkap nama yang dipakai oleh Raja Gama ketika diseranikan padri Fransiskan.

 

Menurut Predikant Ternate Ds.Jacobus Montanus yang berkunjung ke Sangihe 9 Juni-30 September 1673, nama Raja Tabukan tersebut adalah Francisco Gama.

 

Catatan Montanus singkat, bahwa Raja Tabukan Francisco Gama dibaptis imam Fransiskan bersama-sama dengan Jogugunya dan Kapiten Laut yang bernama Tabbuli.

 

Nama Francisco Gama yang digunakan Raja Gama diakui pula oleh anaknya Kaicil Garuda atau disebut juga dengan nama Burudao.

 

P.A.Leupe mencatat dari Jurnal Gubernur Robertus Padtbrugge, pengakuan Raja Garuda kepada Padtbrugge kenapa ia memilih nama Francisco untuk dirinya saat diseranikan oleh Pendeta Caheyng pada hari Jumat 3 Desember 1677.

 

Karena menurut Raja Garuda ayahnya Raja Gama ketika diseranikan padri Fransiskan memakai nama Francisco pula.

 

Malam hari itu, Jumat 3 Desember 1677 Raja Garuda dibaptis dengan nama Francisco Makaampo, mengambil fam nama leluhurnya Makaampo yang terkenal dan nama baptis ayahnya. Ratunya bernama Maria. Anak tertuanya Mattheus, anak kedua Marcus dan ketiga Martinus. Dua putrinya memakai nama Catharina dan Anna. Sementara anak mantunya, istri Marcus, bernama Susanna. ***

 

 

 

 1.Dari surat Raja Tahuna Zacharias Paparang 15 Juni 1727 pada Gezaghebber Jacob Boner, Raja Tabukan Makaampo memiliki dua anak. Buaten yang menjadi pengganti sebagai Raja Tabukan, serta Putri Lelomeleij (Luwelij) yang dikawini Tatehe, Raja Tahuna. Buaten beranak Gama, penggantinya sebagai Raja Tabukan. Sementara Lelomeleij dan Tatehe beranak Buntuan. Saudara lain dari Gama adalah Balango yang menjadi Raja Tagulandang. Putri dari Balango yang menjadi Ratu Maria, istri Raja Francisco Makaampo.