Oleh: Adrianus Kojongian
Sketsa Tomohon 1839. Penduduk menari Kabasaran menyambut tamu. *) |
Sulit membayangkan Tomohon di permulaan abad ke-19 masih animisme bila melihat kekhasannya sekarang sebagai kota gereja, bahkan pusat dari Gereja Masehi Injili di Minahasa, dan sedari 1934-1968 sebagai pusat Vikariat lalu Keuskupan Manado, dan juga pusat Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) Sulawesi Utara dan Gorontalo selang 1951-2007.
Masa itu, Kepala
Balak Tomohon Mayoor Mangangantung dan
Kepala Balak Sarongsong Mayoor Waworuntu bertindak langsung sebagai
pemimpin-pemimpin agama asli Minahasa (walian
wangko) yang animisme dan dinamisme. Para pemimpin dan warganya percaya
pada arwah orang meninggal, dan magi-magi, beranggapan seluruh alam mempunyai
roh dan jiwa. Begitu pun terhadap kekuatan-kekuatan tidak berwujud seperti pada
batu, pohon atau benda yang dianggap mempunyai kekuatan rahasia.
Mengatasi
marabahaya dan memuja kekuatan-kekuatan gaib, maka harus diadakan upacara Foso (korban), yakni mempersembahkan
sesuatu kepada roh-roh dan memintakan perlindungan sang Esa yang dikenal
sebagai Empung atau Opo Wailan Wangko, Opo Manembo-nembo, Opo renga-rengan yang
bermukim di Kasendukan. Itu sebabnya upacara foso menjadi dominan dalam
kehidupan masyarakat di wilayah yang sekarang membentuk Kota Tomohon ini,
bahkan di seluruh Minahasa.
Upacaranya
biasa dilaksanakan berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Hampir setiap
peristiwa atau kejadian harus diatasi dengan Foso, apakah panen, perburuan
besar, pendirian negeri, naik rumah baru, bahaya atau penyakit dan lain sebagainya. Foso-foso wajib
dan lekat dalam keseharian warga, sehingga ada foso umum maupun foso keluarga. Tentu
saja upacara-upacara ini menelan biaya besar dan tidak membuat masyarakat
menjadi kaya dan sejahtera.
Kuatnya
tradisi foso di Tombulu ini dibuktikan masih marak justru ketika Kristen telah mulai
tumbuh mekar. Saat itu Tomohon digambarkan sebagai tempat paling banyak menggelar
foso di Minahasa. Hanya selang bulan Desember dan Januari 1848 saja berlangsung
44 foso umum dan 124
foso keluarga. Tentu memiskinkan, karena biayanya hampir 20 ribu gulden.
Bukit Inspirasi 2005. Dulu kompleks peribadatan purba, disumbang Kel. Hans Pandelaki. |
Bibit-bibit kekristenan awal di Tomohon telah tumbuh beberapa dekade sebelum datangnya penginjil menetap pertama di Tomohon. Komunikasi yang mulai lancar dengan Manado serta balak-balak lain, perjumpaan dengan keluarga Kristen atau pertemuan dengan satu-dua pekabar injil yang sudah rutin mengunjungi dan bekerja di Tanah Minahasa, bahkan lewat jalinan perkawinan di antara tokoh-tokoh dan penduduk Tomohon dengan balak-balak sekitarnya menyebabkan segelintir orang telah menjadi Kristen.
Memang
pengaruhnya tidak seberapa, meski diperkirakan lingkaran keluarga ‘atas’ justru yang pertama menganutnya secara
diam-diam. Orang yang diduga telah menjadi Kristen pertama di Tomohon sebelum
kedatangan Johan Adam Mattern adalah istri Kepala Balak Tomohon Mayoor Manopo
Supit yang berkuasa tahun 1809-1824. Wanita ini telah memakai nama Maria
Posumah. Tapi, siapa yang membaptis dan dimana kejadiannya tidak ada data-data.
Selain dia, ada wanita lain bernama
Tumete Liwun. Putri bekas Kepala Balak Sarongsong Mayoor Tamboto yang kemudian
diperistri Hukum Kamasi Pangemanan Lontoh ini memakai nama Maria Lontoh.
Hambatan
dari para pemimpin yang berfungsi ganda sebagai pendeta agama tradisional ini
membuat pekabar injil (zendeling) Johan Adam Mattern yang diutus de Nederlaandsche Zendeling Genootschap (NZG
atau Badan Pekabaran Injil atau Noskap dalam bahasa Tombulu) banyak menghadapi
kesukaran dalam upaya mengkristenkan penduduk Tomohon.
Johan
Adam Mattern lahir tahun 1807 di Spiers. Ia menerima pelatihan sebagai seorang zendeling
tahun 1829-1832 dari J.W.Rückert di Institut Jaenicke di Berlin dan kemudian
dilanjutkan di Rotterdam. Ia ditakdirkan untuk Minahasa dan tiba di Manado
tahun 1835. Oleh Predikant Manado Ds.Gerrit Jan Hellendoorn, ia diserahi tugas
pokok mengurus percetakan NZG untuk mencetak buku-buku sekolah termasuk buku
pelajaran agama. Percetakan ini adalah yang pertama di Indonesia telah
digunakan di Manado sejak tahun 1827.
Bulan
Juli 1838 Johan Adam Mattern ditugaskan dan tiba di Tomohon bersama percetakan
yang ikut dipindahkannya. Kedatangan Mattern dan istrinya istrinya Jacoba
Oudshoff menjadikan Tomohon pos pekabaran injil keempat di Minahasa sesudah
Tondano dibawah Johann Friedrich Riedel, Langowan dibawah Johann Gotlieb
Schwarz dan Amurang Carl Traugot Herrmann.
Tugas
utamanya tetap mencetak buku. Dibantu istrinya, ia menerjemahkan buku-buku ke
bahasa Melayu. Namun semangatnya sangat menyala-nyala untuk menseranikan
penduduk Tomohon dan sekitarnya. Ia sangat rajin mengunjungi negeri-negeri di
Tomohon, juga negeri-negeri di Balak Sarongsong dan Kakaskasen. Sayang,
warganya di siang hari selalu ke kebun, sehingga ia hanya dapat bertemu dengan
para penjaga negeri atau perempuan, lelaki tua dan anak-anak yang ditinggalkan
di negeri. Kepercayaan dan banyak takhyul sangat melekat dan berakar kuat dalam
pandangan hidup mereka.
Adam
Mattern mengetahui belum akan dapat menggantikan kepercayaan dan takhyul
demikian dalam waktu singkat. Medan pendidikan dipikirnya merupakan sarana yang
ampuh untuk menggantikan dunia yang gelap menjadi terang. Saat kedatangannya,
di Tomohon hanya ada dua sekolah pemerintah (versi lain tinggal 1 sekolah). Ia kemudian mendapatkan
izin pimpinannya, dan dengan segera ia mendirikan sekolah-sekolah zending. Masa
itu penduduk Tomohon memang sangat berminat pada pendidikan, tapi tidak
tertarik mendengarkan injil. Sampai tugasnya berakhir, Mattern mengasuh 65 sekolah. Ia mencatat dari 14
sekolah dengan 770 orang murid, 550 diantaranya terhitung baik.
Untuk
calon guru ia memilih 6 orang yang kelak menjadi 10 pemuda dididik di rumahnya
sebagai murid piara. Pelatihan yang singkat ternyata menghasilkan beberapa
murid yang unggul. Dua orang diantara muridnya yang menjadi terkenal
adalah Alexander Wajong, ditunjuk sebagai guru di Sarongsong tahun 1840. Kemudian Corneles Wohon guru di Tomohon juga
tahun 1840.
Setelah
hampir dua tahun bergiat mengabarkan injil, barulah di akhir tahun 1839 ia
membaptis enam orang. Selama pelayanannya, Johan Adam Mattern hanya dapat
membaptis 36 orang dewasa dan 11 anak-anak. Sebagian besar orang dewasa yang
dibaptisnya pun berasal dari Tondano dan tempat lain, sehingga ketika
penggantinya Nicolaas Philip Wilken datang hanya mendapati 5 atau 6 orang
Kristen dewasa.
DITOLAK
Upaya
Adam Mattern mendekati para kepala balak selalu menemui jalan buntu. Kepala
Balak Tomohon Mayoor Mangangantung sangat bersiteguh dengan kepercayaan lama.
Apalagi dikabarkan ia masih suka dan mempertahankan tradisi mengayau. Bahkan bekas
rumah tinggalnya di Paslaten tetap berhiaskan tengkorak-tengkorak manusia
seperti masih dilihat naturalis Inggris Alfred Russel Wallace di tahun 1859.
Barulah
di masa berikut, Mangangantung melunak dengan mengizinkan Mattern untuk mengadakan
kebaktian di rumahnya. Tapi, disyaratkan dan diatur bergiliran dengan
perayaan-perayaan foso yang dipimpin para Walian.
Lukisan Tomohon tahun 1847, dari arah Talete. *) |
Di Sarongsong, Mattern mendapat penolakan keras dari Kepala Balak Mayoor Waworuntu yang memiliki tiga istri. Di tahun 1839 ketika ia berkunjung ke rumah Waworuntu ia sempat diterima. Namun ketika dalam percakapan mereka, Mattern menyinggung tentang kesia-siaan dari upacara foso yang boros dan memiskinkan, Waworuntu marah sekali. Sekonyong-konyong Mayoor Waworuntu dengan amarah yang besar melompat yang dilihat Mattern persis singa yang mengaum.
Istri
Adam Mattern, Jacoba Oudshoff meninggal bulan Oktober 1840. Pada tanggal 9 Juni
1841 di Ternate duda 2 anak ini menikah kembali dengan Johanna Eleonora
Petronella Jungmichel (kelahiran Ternate 30 April 1826), anak Predikant Ternate
Johann Christoph Jungmichel (1787-1844).
Dalam
bahasa Tombulu Mattern menciptakan sebuah katekismus yang dicetak tahun 1841,
namun upayanya untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Tombulu tidak berhasil.
Matternlah penginjil pertama yang menulis dalam dialek Tombulu. Karena sakit, ia berobat di Manado pada bulan November, namun tanggal 7 Desember 1842 Johann Adam Mattern
meninggal dunia. Istrinya Johanna Jungmichel
menyusul meninggal 25 Juli 1843. Percetakan yang dipercayakan kepadanya kelak
dipakai Zendeling Nicolaas Graafland menerbitkan koran ‘Tjahaja Sijang’ di
Tanawangko. ***
Inilah buku terbitan Johan Adam Mattern di Tomohon
Tahun
|
Judul
|
Keterangan
|
1839
|
Sawatu
tjeritera deri pada hhal dan pangkat perminta‘an do’a
|
32 bladz. 12°.
|
1840
|
Kitab Malajuw
'akan meng’ajar hêdja, pada 'anakh, jang baharuw memula’ij dengan pel’adjaran
|
Toumohon, 12°.
11 bladz. (tanpa nama penerbit)
|
1840
|
Kitab Malajuw
jang kaduwa 'akan meng’adjar hêdja guna segala 'anakh, jang sudah bel’adjar
sedïkit sadja.
|
Toumohon, 12°.
31 bladz. (tanpa nama penerbit)
|
1841
|
Kitab midras, 'akan meng’adjar batja güna
segala 'anakh, jang sudah bel’adjar sedikit sadja
|
Toumohon, 12°.
32 bladz. (tanpa nama penerbit)
|
SUMBER:
Adrianus Kojongian:
‘Tomohon Kotaku’ 2006.
Adrianus Kojongian: ‘Tomohon Dulu dan Kini’, naskah 2007.
Tijdschrift voor Zendingwetenschap, digitized by Google.
Tijdschrift voor Zendingwetenschap, digitized by Google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.