 |
Pantai Manado akhir 1820-an. Lukisan Sainson, koleksi NYPL. *
|
Kerajaan
Manado banyak diliputi misteri. Dari sekian raja yang pernah memerintah, lebih
banyak tidak diketahui namanya. Dua raja Kristen Manado juga tidak diketahui
identitasnya. Raja Kristen pertama yang mungkin dibaptis Padri Joao da Beira
sekitar tahun 1552 hanya disebut El-rei do Manado. Begitu pula Raja Kristen
yang dibaptis Padri Diogo de Magalhaes Mei 1563 tidak pernah disebut namanya oleh Magalhaes atau pun Padri Pero Mascarenhas yang ikut menemuinya. Raja
Siau yang dibaptis bersamaan dengannya justru diketahui namanya, baik nama
alifuru Posumah dan nama baptis Don Jeronimo (Geronimo).
Masa
itu Manado tidak jadi sorotan berita-berita Portugis dibanding Raja Siau yang harus
ditolong Mascarenhas dan Portugis karena dikudeta rakyat dan para bangsawan yang
awalnya menolak agama Kristen. Apalagi seperti disebut Padri Bernardino Ferrari
tahun 1582 dari kegiatan penginjilan di Manado tidak ada buku baptisan. Entah
karena massalnya pembaptisan-- diikuti 2 raja dan 1.500 orang lain--, serta pendeknya
tempo Magalhaes di Manado (15 hari). Selain itu tidak disebut kalau ada katekis
yang ditunjuk dari antara baptisan penduduk Manado.
Sampai
kerajaan Manado musnah tahun 1650-an, hanya dua raja yang diketahui namanya dari sumber-sumber Spanyol,
dicatat kalangan misionaris dan pemerintahnya. Raja Manado di awal abad ke-17 Tololiu
atau Kaicil Tolo berkali disebut, bahkan ada surat darinya, tapi nama Kristennya
tidak diketahui. Kemudian Don Fernando, raja yang hanya satu kali dicatatkan
namanya, tapi tidak diketahui nama alifurunya.
Antara
El-rei Manado yang diberitakan oleh Nicolao Nunez tahun 1554 dengan Raja
Kristen yang dibaptis Magalhaes 1563 jelas adalah tokoh berbeda dan antara keduanya
terjalin kekerabatan kental. Dugaan kuat sebagai ayah dan anak, berkait legenda
yang dikemukakan penulis Belanda J.G.F.Riedel dan Nicolaas Graafland.
Sejarawan
Minahasa seperti H.M.Taulu dan F.S.Watuseke sepakat Raja Manado yang dibaptis
Magalhaes tahun 1563 adalah Mokodompis atau Mokodompit. Ada pula menyebutnya
Kinalang Damopolii dari Bolaang (Mongondow). Kinalang dari tradisi
Bolaang Mongondow, seperti dicatat W.Dunnebier, memerintah Bolaang sekitar antara
tahun 1480 hingga 1510. Sedangkan N.Ph.Wilken dan J.A.Schwarz berpendapat Kinalang hidup
pada pertengahan abad ke-16. 1]
Raja
Bolaang yang ditradisikan memerintah bersamaan di tahun pembaptisan itu adalah identik
bernama Mokodompit memerintah sekitar 1560-1580. Mokodompit dari
Bolaang, menurut Wilken dan Schwarz serta Dunnebier dan Riedel adalah
anak Makalalo dengan wanita Mandolang Gantingganting (Ganting-ganting). Mokodompit
mengawini Dongankilat dari Lembeh dan berputra Mokoagow (ayah dari Tadohe dan
kakek Loloda) yang juga kawini wanita Lembeh bernama Mongiadi (Monggejadi atau
Mongijadi).
Tapi
Riedel yang melakukan penelitian sejarah Babontehu, memberi kepastian bahwa
raja-raja Babontehu di Pulau Manado Tua, asli orang-orang Babontehu, dan bukan
dari Bolaang. Hanya menurutnya ada jalinan liwat perkawinan di antara penguasanya.
Meski
tidak menyinggung pembaptisan tahun 1563, dari pendapat Riedel, cucu Lumentut
sempat memerintah Bolaang, seperti keterangan Magalhaes bahwa Raja Bolaang
yang baru diislamkan adalah anak dari Raja Manado. Raja Manado yang asli
Babontehu adalah Mokodompis, menurut Taulu, putra dari Raja Lumentut. Sehingga
dari pendapatnya Raja Kristen Manado yang disebut El-rei do Manado tidak lain adalah Lumentut sendiri, dan
penggantinya adalah Mokodompis, yang menurut Taulu adalah anak, tapi menurut Graafland dan Riedel saudara Lumentut. Di masa pemerintahan Lumentut dan
Mokodompis yang pertama ini, sebut Riedel, Babontehu berada dalam keadaan
sangat makmur.
Sayang
juga cucu Lumentut yang menjadi raja sementara di Bolaang tidak diketahui
namanya, kendati Taulu memberi versi ia bernama sama Mokodompis alias
Mokodompit. Tapi diidentikkannya sebagai Raja Mokodompit keturunan Mokoduludud,
pendiri dinasti Bolaang-Mongondow.
TOLOLIU
Raja
Manado terkenal berikutnya adalah Tololiu atau Tululio atau Tolo atau juga Tulo. Tololiu telah
memerintah Manado di Pulau Manado Tua sejak awal tahun 1600-an atau bahkan
beberapa waktu sebelumnya. Kendati namanya tidak dicatatkan Bartolome Argensola,
sejarawan Minahasa meyakini dia adalah salah seorang raja yang ditemui ekspedisi
Suarez di Sulawesi. Pada bulan Agustus 1606 (sumber Spanyol berangkat dari
Ternate 10 Oktober 1606), Komandan Spanyol (Gubernur) pertama di Maluku Juan Martinez
de Esquivel (1606-1609) mengirim 1 galeota, 1 brigantin, dan
beberapa kapal dayung kecil ke Sulawesi Utara di bawah alferez (perwira pembantu atau vandrig) Christoval Suarez. Suarez membawa surat
Esquivel mengabarkan peristiwa dan kemenangan Raja Spanyol. Gubernur dan Kapten
Jenderal (Gubernur Jenderal) Spanyol di Filipina Don Pedro Bravo de Acuna (1602-1606)
telah menguasai Maluku serta mengasingkan Sultan Ternate Said Barakat (Berkat) di
Manila April 1606.
Esquivel membujuk para raja untuk menjadi teman dari Raja Spanyol dan bergabung dengan
persekutuan gereja. Raja Manado seperti raja lain menerima kiriman tanda persahabatan dari Esquivel
berupa mata uang Spanyol, dan beberapa potong beludru. Esquivel menawarkan senjata Spanyol dan berkata bahwa dia akan
mengirim senjata dan kapal kepada raja, dan bahwa sejak saat itu rakyat kerajaan mereka
dapat bepergian dengan selamat dan bebas ke Maluku.
Dari
gelar yang dipakai Tololiu kaicil
(titel raja atau sultan atau bangsawan tinggi Ternate dan jajahannya), sangat kentara
pengaruh Ternate. Tapi diketahui dari sumber Spanyol dia kafir, seperti dua atau
tiga raja lain di Sulawesi Utara. Namun, menurut Esquivel, mereka masih sangat
tahu dengan Kristen.
Dari
surat Esquivel pula, menurut sejarawan Katolik A.J.van Aernsbergen, Raja Tololio bersaudara
dengan Don Miguel Pololibuta raja Kristen Toli-Toli, juga dengan Raja Bwool,
Raja Bolaang dan Dongue Ratu Kaidipang. Sangat mungkin para raja telah
mengangkat sumpah persaudaraan. Sebab dari tradisi lokal masing-masing bekas
kerajaan tersebut tidak ada jalinan kekerabatan demikian, terkecuali Kaidipang,
Toli-Toli dan Bwool yang memang memiliki kekerabatan keluarga di antara
penguasanya.
Setelah
Spanyol menaklukkan Maluku, yang hanya berjaya dalam tempo singkat dan meski Ternate
bangkit kembali dibantu Kompeni Belanda (VOC), kerajaan-kerajaan yang diklaim
Ternate otomatis menjadi merdeka. Raja Tololiu mengadakan aliansi dengan
kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Utara hingga Sulawesi Tengah. Tololiu membangun armada laut, sehingga ditakuti di Laut Sulawesi dan perairan Teluk
Tomini. Aliansi antarkerajaan masih terjalin ketika Ratu Dongue di Kaidipang
diganti Raja Banidaca, termasuk dengan Don Enrique, penguasa Bwool yang telah
menjadi Kristen. Aliansi dijalin pula dengan sekutu lama Siau, dengan Raja Don Jeronimo II yang pada 20 Juni 1614 lari mengungsi
di Manila, mau pun penggantinya raja angkatan Belanda Kaicil Kaluwan (Duarte
Pareira). Bahkan hubungan baik berlangsung dengan kerajaan Kolongan di
Sangihe, hingga Bacan, Tobelo dan Tidore di Maluku, menunjukkan kelihaian
diplomasi dari Tololiu.
Awal
kedatangan Spanyol di Manado Sulawesi hanya sekedar berdagang mencari
perbekalan untuk logistik penduduk dan tentara yang ada di kantong Spanyol Ternate Ciudad
del Rosario dan Benteng San Pedro, karena bantuan yang dikirim dari Manila
membutuhkan waktu lama. Tahun 1610 Gubernur Maluku Cristobal de Azcueta
Menchacha (1610-1612) melapor kepada Gubernur Jenderal Juan de Silva (1609-1616)
telah mengirim sampan ke Manado yang kembali ke Ternate tempo tiga setengah bulan dengan membawa sagu (untuk membuat tortilla),
daging dan ayam. Pasokan tersebut hanya cukup untuk memberi makan penduduk Rosario
sebanyak 1.300 orang selama satu bulan.
Kompeni Belanda turut berdagang di Manado untuk memperoleh beras. Manado (Minahasa) masa
itu dikenal karena beras berlimpah. Pasokan beras dari Manado menjadi
alternatif utama bagi Belanda di fort Oranje (Malayu) Ternate yang ikut kekurangan sumber pangan.
Selain karena jarak yang dekat dari Ternate, persinggungan dengan Spanyol jarang, kendati
diketahui Manado dekat dengan Spanyol.
Tahun
1607 Laksamana Cornelis Matelief de Jonge mengirim sebuah kapal jung Cina dan Januari 1610 datang dua kapal dari armada Laksamana Pieter Willemszoon Verhoeff untuk membeli beras. Salah
satu kapal dari armada Verhoeff adalah Middelburg dicatat missive Gubernur Jenderal Kompeni
Belanda Pieter Both 18 Juli 1611 ke Heren XVII (Tujuh Belas Tuan, dewan
penguasa Kompeni di Belanda) dikomandani koopman (saudagar utama) dan Kapten Cornelis Leenaertsz (Leendertsz, Leendertsen) Crackeel. Namun, kapal-kapal itu hanya memperoleh sedikit beras.
Di
tahun 1608 (bulan Agustus) pula atas perintah Laksamana Paulus van Caerden, koopman dan Kapten Johan Lodewijksz. Rossingeyn datang membeli beras. Kedatangan Rossingeyn ke Manado, justru
karena saran dari seorang kapten Spanyol bernama Quintero yang menyebut Manado
berkelimpahan beras. Quintero sebelumnya telah tinggal selama tiga tahun di
Manado. 2]
Namun ekspedisi dagang Belanda segera terhenti. Pulau Manado segera menjadi pusat kekuatan anti-Ternate
dan Belanda yang diketahui mendukungnya. Para raja yang merasa teraniaya oleh
Ternate, selalu berkumpul di Manado, seperti terungkap dari surat-suratan para
raja tersebut kepada Gubernur Spanyol di Ternate yang banyak bertandakan Manado
di Isla (pulau) Manado. Dari persekutuan para
raja dan perdagangan dengan Spanyol aliansi berhasil memperoleh bantuan senjata
api serta mesiu bahkan artileri untuk pertahanan mereka. Peralatan militer ini
ditukarkan dengan beras, sagu, daging dan bahan makanan lainnya.
Atas
permintaan Raja Tololiu, misi Katolik datang ke Manado. Kalau di masa Portugis
Jesuit yang berkarya di Manado dan Minahasa, sejak Spanyol menggantikannya Fransiskan yang memelopori.
Tahun 1611 Padri Juan del Cano dan Cristobal Ruiz y Gomez datang dari Manila. Ini
hanya setahun setelah kedatangan Fransiskan pertama di Sulawesi Utara Antonio de
Santa Ana dan Sebastian de San Jose yang martir di Tagulandang 18 Juni 1610.
Tahun 1611 Gubernur Cristobal de Azcueta memberi hak pada Fransiskan kalau
Sulawesi menjadi ladang penginjilannya. Tahun 1612 kembali datang Padri Pascual
Torrella dan Benito Diaz.
Hasil
pekerjaan para religius tersebut sulit diketahui, karena Manado berfungsi pula sebagai
pelabuhan transit sebelum para padri yang datang dari Manila atau pun Ternate pergi
mengabarkan injil di kerajaan-kerajaan pantai utara Sulawesi, Kepulauan Sangihe
dan atau ke Ternate dan Ambon. Namun, menurut sejarawan Fransiskan Felix de Huerta, Torrella dan
Diaz telah menanam palang salib yang megah dan agung di lapangan umum (alun-alun)
Banta, ibukota Manado. Salib yang sangat dihormati oleh penduduk, meski para misionaris telah kembali
ke Ternate. Torrella juga mendirikan salib dan gereja pertama di Kali,
negeri Minahasa paling dekat dengan pantai dan Pulau Manado.
Tahun 1612 itu Manado terancam oleh Ternate yang telah membangun
kekuatan di Sangihe Besar. Surat Gubernur Spanyol di Ternate Don Jeronimo de Silva (1612-1616) mengungkap bahwa panglima Ternate Kaicil Ali, keponakan
Sultan Modafar telah ‘merongrong’ Raja Manado. Tololiu diminta untuk
meninggalkan persahabatan dengan Spanyol dan bersahabat dengan Belanda. Tekanan
sama dilakukan pula kepada Raja Jeronimo II dari Siau, yang berakhir dengan
pelariannya ke Manila bersama putranya.
Tololiu tidak memperdulikan desakan Ternate. Dia tetap menjalin hubungan dengan
Spanyol. Kapal galera Spanyol terungkap masih selalu mondar-mandir di pelabuhan Manado di Manado Tua untuk berdagang dengan raja. Dalam surat 3 Juli 1614 kepada pamannya Juan de Silva yang
menjabat Gubernur Jenderal di Manila, Jeronimo de Silva melaporkan Kapten Juan
Martinez de Liedena telah singgah di Manado dengan galeon (galai) dari Makassar untuk
memperoleh beras dari gudang kerajaannya. Beras tersebut ditukar dengan pakaian. Raja
Manado telah menyampaikan kepada Liedena keinginan bersahabat, dan bila ada
orang Spanyol di Manado, dan memberi beberapa artileri, maka mereka akan
benar-benar membantu Spanyol untuk membangun bentengnya. Mereka akan wajib
memberi Spanyol segala yang dibutuhkan, menurut de Silva, ‘’karena terbebas dari
perbudakan Ternate yang secara paksa mengambil harta dan wanita.’’
De
Silva mendesak gubernur jenderal untuk datang menduduki Manado, sebab
mereka memiliki sangat melimpah beras, sagu, ayam, ternak lain dan banyak hal
lain lagi yang sangat dibutuhkan Manila. Pelabuhan Manado dipuji sangat bagus,
jarang didatangi kapal musuh (Ternate dan Belanda). Selain itu, Manado memiliki sembilan atau sepuluh ribu penduduk, dan mereka sangat memusuhi
Belanda dan merupakan teman baik dari Raja Tidore, lawan politik Ternate di Maluku.
Ternyata tanpa sekutunya Ternate, tahun 1614 itu Belanda menduduki Manado dan menempatkan tujuh tentara. Tapi, pos Belanda segera ditarik, karena mengkhawatirkan Sultan Ternate menjadi 'tersinggung'. Penarikan pos Manado bersamaan dengan penarikan militer di Siau. 3]
Tanggal 12 Oktober 1615 atas perintah Laurens Reael Gubernur Maluku dari Kompeni Belanda dilakukan penangkapan sebanyak 446 penduduk Siau
(terdiri 244 wanita, 78 anak-anak, 30 pemuda dan 94 dewasa, termasuk pengganti
Jeronimo II, Raja Duarte Pereira). Mereka hendak dijadikan sebagai pekerja
paksa di Pulau Ai Maluku.
Raja Tololiu menunjukkan solidaritas persekutuan. Ia mengirim armada
kora-kora terdiri 15 kapal untuk memberi pertolongan bersama kora-kora kiriman Raja Kolongan
(kemudian dikenal sebagai kerajaan Taruna atau Tahuna). Upaya untuk mencegat
gagal, karena kapal Old Zealand dan jacht De Arent di bawah pimpinan Kapten
Adriaan van der Dussen dan Kapten Frederick Hamel yang mengangkut penduduk Siau
sangat cepat berlayar ke Benteng Malayu milik Belanda di Ternate sebelum
akhirnya pergi ke Banda dan Pulau Ai.
Ketika
pos militer Belanda di Manado ditarik, seperti diperintahkan Reael di Siau,
Manado bersama sekutu aliansinya semakin berupaya menjalin persahabatan dengan
Spanyol. Pertemuan-pertemuan para raja di Pulau Manado semakin sering untuk
bertemu misi-misi militer Spanyol dari Ternate bahkan dari Manila yang selalu
disertai para padri. Tololiu terang-terangan menentang Belanda dan Ternate, meminta imam dan
bantuan militer.
Tanggal
21 Juni 1616 dengan memakai nama Kaicil (Cachil) Tulo, Tololiu menulis surat pendek
kepada Gubernur Jeronimo de Silva meminta 2 Fransiskan yang datang ke Manado
bekerja padanya di Manado untuk memberitahukan bagaimana caranya menjadi
Kristen dan sahabat Raja Spanyol. Kepada Padri Komisaris Fray Pascual de
Torrella, Tololiu mengungkapkan kesediaannya menerima baptisan suci dan hidup
dalam hukum Katolik, sebagai seorang Kristen. Tololiu juga mengundang tentara Spanyol
untuk membela kerajaannya.
Menanggapi surat dan permintaannya, de Silva pada 25
Juni mengaku belum dapat melakukan, karena kekurangan tentara di Ternate. Tapi de
Silva menjanjikan bantuan segera yang diharapkannya secepatnya datang dari Manila. Dia
bahkan berjanji kepada Tololiu akan datang secara pribadi untuk bertemu
langsung dengannya di Manado. 4]
 |
Surat Raja Tololiu. *
|
Ketika
itu di Manado telah tiba 2 Fransiskan, Padri Gregorio de San Esteban dan
Pedro de los Cobos bersama 6 tentara dan 6 Manila. Juga raja bertemu Padri Torrella
yang dititipinya surat untuk Gubernur de Silva. 5]
Namun,
bantuan yang ditunggu-tunggu de Silva dari Juan de Silva di Manila tidak kunjung datang, karena armada besar Filipina yang
direncanakan akan menghancurkan kekuatan Belanda di Malaka, Jawa dan Maluku
mengalami kehancuran di Selat Malaka, malahan Juan de Silva meninggal pada
19 April 1616 di Malaka. Keinginan dua
bersaudara itu menduduki Manado untuk mahkota Spanyol kandas. Jeronimo de Silva
harus tergesa berangkat ke Manila, karena dia dipercayakan sebagai pejabat
gubernur jenderal.
Pengganti
de Silva sebagai gubernur di Ternate, Lucas de Vergara y Garcia (Gaviria) yang tiba tahun
1617 melanjutkan kebijakan pendahulunya, menjalin kerjasama dengan para raja. Garcia
mengirim ekspedisi ke Manado, bahkan lebih banyak dari sebelumnya, 10 tentara
dipimpin oleh Kapten Francisco Melendez Marques disertai 2 Jesuit, Ioannes
(Joannes, Johannes) Baptista Scialamonti dan Cosmas Pinto asal Portugis. Juga 2
Fransiskan, Diego de Rojas dan Juan Lego. Saat Garcia melewati
Manado, Tololiu telah bertanya dan kembali mengemukakan keinginannya untuk
dibaptis dengan semua penduduknya. Para padri tersebut, menemukan salib di ibukota kerajaan Manado Banta yang dipasang tahun 1612 dan
masih sangat dihormati penduduk.
MANADO BARU
Masa
inilah tercipta dua Manado. Menurut Riedel, dengan petunjuk Babontehu, Spanyol mulai
menetap di lokasi Wenang di Pulau Sulawesi, dengan membangun pemukiman kecil
dan sebuah benteng kayu. 6]
Raja Manado bersemayam di ibukotanya yang berada di Pulau Manado di negeri Banta. Pedalaman
Minahasa mulai dijelajahi tentara dan pedagang Spanyol. Benteng Amurang
pun dibangun ketika Spanyol menjelajah dan berhubungan dengan orang Minahasa di pedalaman. 7]
Pemukiman orang Minahasa menurut Riedel tumbuh di Manado. Penduduk Tombulu
dari Kali dan Kakaskasen, membangun Ares yang berkembang dari Pinipoan. Juga Wenang
yang menjadi negeri besar dimana benteng Spanyol berada serta Klabat yang kemudian membangun pemukiman dekat Ares menjadi Balak Klabat di-Bawah
(Klabat-beneden). Sementara penduduk
Toulour yang datang dari Tondano membangun koloni dekat dengan Wenang dan Ares
di tepi Sungai Tikala dan di tepi Sungai Talawaan yang kemudian hari menjadi Balak
Tondano di-Bawah (Tondano-beneden) atau Nieuw
Tondano (Tondano baru) serta Mawuring. Beras dari Tondano menjadi sumber pasokan utama Spanyol, dan pedagang Cina yang datang berdagang melalui Filipina. Orang Babontehu, menurut Riedel, membantu benteng Spanyol dengan perbekalan yang
mereka miliki.
Spanyol
menjalin hubungan persahabatan pula dengan Bolaang di masa akhir pemerintahan
Raja Mokoagow, sekitar 1620-an (tradisi lokal menyebutnya berkuasa sekitar
1580-1600). Kepada Raja Mokoagow (anak Mokodompit dan ayah Tadohe), dari
Hikayat Bolaang, menurut Dunnebier, Spanyol memberi padi dan jagung untuk
disemai dan ditanam yang baru dikembangkan di masa Raja Tadohe.
Dari
surat-surat para misionaris, orang Kristen yang dibaptis Magalhaes
tahun 1563 telah menjadi pagan atau menjadi muslim. Kesaksian mereka di tahun 1617 menceritakan
situasi sangat tegang antara Manado dan penduduk pedalaman. Meskipun
demikian, menurut Cosmas Pinto, garnisun Spanyol tetap berdiri di Manado.
Scialamonti
melaporkan ketika tiba di Manado, raja bersama para pemimpin menyambut mereka dengan
sangat baik. Mereka menemukan sebuah salib di pantai. Kepada raja, keduanya
meminta sebidang tanah untuk membangun gereja yang ditunjuk sendiri oleh raja.
Scialamonti kemudian membangun gereja dan rumah pastori. Ia bertemu seorang
berusia lanjut yang dijuluki Mascarenhas, masih ingat membuat tanda salib
dengan baik dan masih mengetahui katekismus. Namun, pengaruh Islam, kata
Scialamonti, telah mengikisnya.
Menurut
Scialamonti pula, di luar Manado hidup penyembah berhala yang disebut alifuru,
berjumlah sangat banyak dan tersebar di beberapa negeri, sebagian besar berada
di tepi danau (Tondano). Scialamonti telah pergi ke sana berharap pertobatan
penduduknya. Scialamonti disambut dengan kemegahan dan kemeriahan serta mengusung salib
pertama. Lalu dipanggil penduduk negeri lain untuk menanam salib disana. Para
penduduk secara terbuka berjanji mereka semua akan segera menjadi Katolik. Bersama
rombongannya, mereka dihibur dengan jamuan makan besar.
Komandan benteng Manado Melendez bertugas pokok sebagai pedagang, mengumpul beras dan
daging untuk kebutuhan Ternate. Pentingnya pasokan dari Manado, dicatat Gubernur Garcia Juli
1617, bahwa dari kiriman tersebut, Ternate akan memiliki cukup bekal untuk
November 1617. Garcia memuji, tanahnya sangat subur dan kaya, dihuni oleh
orang-orang terbaik di pulau-pulau itu. ‘’Raja mereka ramah, sangat damai, dan
senang berdagang dengan orang-orang Spanyol. Dia biasa menerima Belanda, dan
membiarkan mereka memenuhi kebutuhan negaranya sendiri untuk semua benteng
mereka. Tapi dia sekarang tidak menerima mereka, dan telah mengirim untuk
bertanya religius untuk memberitakan injil, dan 2 dari Jesuit dan 2 Dominikan (?) telah
dikirim kepadanya. Persahabatan raja ini sangat erat dan penting untuk
kelestarian Maluku,’’tulis Garcia. 8]
Namun dalam surat Gubernur Garcia yang
dikirim Gubernur Jenderal Don Alonzo Fajardo de Tenza (1618-1624) kepada Raja
Felipe III 30 Juni 1618, dia mengisyaratkan yang ada di Manado ketika itu hanya
Padri Cosmas Pinto, dan para pemimpin Jesuit yang disebutnya pemilik Kepulauan
Maluku berencana mengirim lebih banyak misionaris di Manado. Garcia menggambarkan
pintu lebar menuju injil suci terbuka di Pulau Manado dan dia berharap akan
datang panen yang berlimpah. ‘’Raja telah bertobat, serta hampir semua pangeran
kerajaan, dan hanya ratu yang bertahan dalam kekafirannya.’’
Raja
Manado dengan banyak pemimpinnya, menurut sejarawan Amerika Serikat Emma Blair dan James Robertson, bertobat dalam
iman Kristen terjadi tahun 1618, sehingga diduga Tololiulah yang dibaptis. Huerta
menyebut Padri Diego de Rojas yang membaptis raja, namun, menurutnya kejadian
ini baru terjadi tahun 1619. De Rojas juga mendirikan gereja yang dikelolanya sampai
meninggal tahun 1624. 9]
Kehidupan yang sulit, menyebabkan para imam jatuh sakit. Akhir 1619 Scialamonti
kembali ke Ternate dan meninggal. Cosmas Pinto yang kena penyakit serius kembali
ke Ternate karena sakit. Keduanya diganti Pero Gomez yang masih aktif tapi sakit
sepanjang waktu. Bulan Mei 1620 datang penggantinya Andreas Simi yang turut
membawa anak-anak muda Minahasa yang belajar di Seminari Jesuit di Ternate.
Pada bulan Maret 1619,
sebuah perutusan Spanyol
dari Ternate ke Makassar berhenti di Manado. Tiga dari 6 Fransiskan yang akan
pergi ke sana tinggal di Manado, antaranya Blas Palomino dan
Diego de Rojas yang datang kembali. Palomino menggambarkan tentang benteng kuat yang dibangun dua tahun sebelumnya dipimpin Kapten Meléndez, bersama dengan sekelompok religius, tentara dan
pampango
(tentara pembantu dari Pampanga yang Katolik).
Minahasa adalah tanah harapan bagi
penginjilan. Bagi para padri masalah besar adalah
kekurangan tentara. Menurut Palomino, kekuatan Spanyol di Manado hanya garnisun kecil yang didirikan di pelabuhan, sementara ada banyak suku-suku lokal, masing-masing dengan pemimpin sendiri, dalam
bentrokan internal yang terus menerus, dan kekurangan pemimpin besar. Kalau ada pun akan
mudah disingkirkan oleh anggota sukunya sendiri, karena jika apa yang mereka
lakukan tampak tidak benar bagi mereka, mereka tidak akan mematuhinya. Apalagi
dalam melakukan atau menentukan sesuatu mereka tidak akan mau tanpa semua orang
lain. Meski diusulkan untuk menguasai Minahasa, Spanyol tidak memiliki
kekuasaan besar, dan tidak terlalu berambisi menundukkan Minahasa dengan
kekerasan, karena situasi itu. Benteng Manado lebih berfungsi sebagai pos
perdagangan.
Palomino menceritakan kedatangannya di Kali (Cale) dan perjalanannya melalui negeri-negeri Kakaskasen (Cacascasen), Tomohon
(Tomun), Sarongsong (Sarranson), Tombariri (Tonbani), Tondano
(La Laguna) dan Kema (Las Quemas). Sebelum
kembali ke Manado, bersama 2 tentara Palomino tinggal di
Tondano.
Tapi, khotbahnya tidak diterima di banyak negeri pedalaman karena penduduk
beralasan takut murka dewa-dewa.
Pada 23 Juni 1619,
meskipun hidup
sulit Palomino tetap di Manado, sementara dua rekannya
bersama Kapten Meléndez kembali ke Ternate. Blas Palomino masih tinggal untuk
sementara waktu dan kelak martir tahun 1622. 10]
Pasukan
sisa di benteng Manado tahun 1620 telah ditarik oleh pengganti Garcia,
Gubernur Don Luis de Bracamonte (1620-1623). Di Ternate masa itu konflik dengan
Belanda sangat sering, apalagi benteng mereka terletak tidak berjauhan dengan
pemukiman Belanda Malayu dan benteng Orange, ditambah permusuhan dengan Sultan
Ternate, posisi Spanyol sangat rawan.
SANTA MARGARITA
Gubernur Jenderal Fajardo de Tenza justru merasa pentingnya garnisun di benteng
Manado. Dalam surat kepada Raja Felipe IV (1621-1665) bertanda Manila 10
Desember 1621 ia menyebut telah mengirim pasukan kecil Spanyol ke Manado untuk
memperkuat pos disana, dengan beberapa misionaris Fransiskan untuk melayani
penduduk.
Para
Fransiskan ini adalah Padri Fray Cristoval del Castillo, Fray Martin de San
Juan, Gregorio de San Esteban dan Pedro de la Conception serta Benito Diaz yang
pernah datang tahun 1612. Hasil pekerjaan padri ini juga tidak diketahui,
karena mereka ada yang sekedar singgah saja. Hanya menurut Blair dan Robertson,
bahwa dalam berbagai kesempatan mereka mencoba mengubah kerajaan Manado menjadi
kerajaan Injil suci. 11]
Dalam
surat sama Fajardo de Tenza mencatat pada titik tertentu dari Sulawesi
(Minahasa) terdapat selat yang memisah pulau kecil (Pulau Lembeh). Jalur air ini baru-baru
ditemukan, dan merupakan rute yang lebih baik ke Ternate daripada
rute sebelumnya. Dari informasi yang
diberikan padanya, sebuah pos dapat dibangun di sana, di mana bagian ini (yang
sangat sempit) dapat dijaga untuk mencegah musuh untuk menggunakannya. ‘’Juga
Yang Mulia akan memiliki perlindungan untuk kapalnya, dan tempat berpijak di
negara yang penuh dengan daging dan nasi.’’
Pos
ini dinilai Fajardo akan sangat berguna dan aman untuk mengirimkan perbekalan ke
Ternate sepanjang tahun. Rute yang baik pula untuk perjalanan dari Makassar ke
pulau Panay dan Pintados di Filipina. Menurutnya, dengan adanya beberapa orang
tentara dan biarawan di Manado, menyenangkan penduduk dan raja mereka. Para
penduduk dalam jumlah yang cukup besar telah menerima air baptisan suci, namun
mereka bermasalah dengan kurangnya agama.
Pilihan Fajardo sebagai komandan garnisun Manado yang baru adalah orang lama Kapten
Francisco Melendez Marques. Sebab Melendez, katanya, diterima dengan baik dan
sangat disukai penduduk. Gubernur Kompeni Belanda di Maluku Jacques le Febre
baru melaporkan keberadaan benteng dan garnisun Spanyol ini pada Gubernur
Jenderal Pieter de Carpentier 27 Oktober 1623. 12]
Fajardo memerintahkan Melendez untuk melalui persahabatan atau dengan cara apapun
yang dapat dilakukannya dengan baik, dia harus berusaha memenangkan niat baik penduduk,
sehingga mereka tidak hanya setuju untuk memberi Spanyol tempat dimana benteng
dapat dibangun sebagai dasar yang cukup untuk pekerjaan lebih besar, tapi
mereka juga harus membantu dalam pekerjaan itu. Melendez harus menggunakan dan
mengambil kepemilikan tempat itu segera. Atau Melendez disuruhnya memilih titik
tepat, lalu meninggalkannya, sampai Fajardo dapat mengirim pasukan dan apa
saja yang diperlukan untuk itu. Untuk lancarnya tugas tersebut, Melendez dibekali hampir
seribu peso dalam bentuk uang dan
pakaian yang akan digunakan pula untuk membeli barang-barang lain yang paling
dihargai di Sulawesi.
Konstruksi
benteng Santa Margarita ternyata lamban pengerjaannya. Sejak diinstruksikan
gubernur jenderal, baru dapat dibuat gudang dan dapur. Dapurnya juga rusak
ketika diserang Belanda tahun 1622. Fajardo de Tenza tidak putus asa. Bulan
Agustus 1623 dia memerintahkan pembangunan kembali benteng, dengan mengirimkan
material dari Luzon dan Visayas.
Namun,
pembangunannya tetap terkatung-katung. Gubernur Maluku yang baru Pedro de
Heredia (1623-1636) lebih mementingkan pertahanan Ternate dan daerah lain di
Maluku. Kebijakan atasannya diacuhkannya. Heredia tidak membentengi Pulau Manado dan Selat
Santa Margarita (Selat Lembeh), karena menurutnya tidak banyak gunanya. Heredia pun beralasan
untuk menduduki benteng yang akan dibangun perlu 50 orang, sedang tentara di
Ternate tidak memadai, baik jumlah mau pun ketrampilannya. Apalagi dia sedang
menghadapi pemberontakan yang dipromosikan Sultan Ternate.
Pengganti
Fajardo de Tenza sebagai gubernur jenderal, Don Juan Nino de Tavora (1626-1632)
melaporkan ketidak seriusan Heredia kepada Raja Felipe IV. Raja dalam balasannya
kepada Tavora 3 September 1627 sependapat
bahwa banyak keuntungan mungkin diperoleh, dan penduduk yang kafir membutuhkan
misionaris, serta pengeluaran benteng-benteng Spanyol dapat diringankan dengan
beras yang mereka sediakan. Maka diperintahkannya Tavora menyediakan segala
sesuatu yang diperlukan Heredia.
Tapi ternyata pembangunan benteng tetap tidak pernah berjalan lagi. Apalagi pada
tahun 1624 komandan yang dipercayai membangunnya Melendez bersama 6 tentara
disuruh mengantar Padri Diego de Rojas yang membawa Don Juan putra mahkota Siau
dari Ternate kembali ke kerajaannya untuk menggantikan ayahnya Don Jeronimo II yang meninggal.
Melendez pun mesti membantu Siau yang bersengketa dengan musuhnya di Sangihe
Besar.
Perkembangan kerajaan Manado dicatat tahun
1628 bahwa Raja Manado telah menjadi seorang Katolik, sementara ratu pada tahun
itu bersama anak-anaknya pindah dari Islam dan menikah dengan raja secara
gereja.
Tahun
1634, kerajaan Manado diklaim Makassar sebagai wilayah taklukannya. Namun,
jauhnya Makassar tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap Manado. Klaim hanya
sekedar di atas kertas.
Tahun
1637 Raja Manado mengirim utusan untuk meminta bantuan dari Gubernur Spanyol
di Ternate Don Pedro de Mendiola (1636-1640) untuk melawan beberapa orang yang
telah melawannya. Pemberontakan internal ini agaknya berhasil dipadamkan. Raja mengirim pula anak laki-laki dan ahli warisnya, berusia sekitar enambelas atau tujuh
belas tahun, untuk dididik di antara orang Spanyol dan meminta imam untuk
membaptis pengikut-pengikutnya.
Calon
raja Manado itu untuk beberapa waktu belajar di rumah Jesuit di Ternate bersama
dengan pangeran Siau yang sebaya dengannya. Sumber Spanyol mencatat
keduanya kemudian berangkat ke Manila bersekolah di seminari tinggi milik
Jesuit (Colegio San Joseph).
Bantuan
yang diminta raja dikirim, dan Padri Freyro Pantaleon (Freyre Pantaleo) dari
Serikat Jesus membaptis Ratu yang sebelumnya tidak masuk Kristen. Pantaleon
meninggal 1639, diganti Ioannes Rodriguez yang hanya bekerja singkat di Manado.
Fransiskan yang bekerja di Manado sampai tahun 1639 adalah Padri Alonso Maestre ketika
kembali ke Manila. Tahun ini tiba penggantinya 2 Fransiskan. Juan Yranzo dan Francisco
de Alcala yang datang dari Sangihe. Yranzo bekerja di Tomohon, sementara Alcala
di Kali. Di Manado dilaporkan ada gereja dan sebuah biara milik Fransiskan.
Oktober
1639 Francisco Hernandez, seorang sersan mayor pasukan Maluku lewat sampan yang
tiba di Ternate menyurat dari Manado kepada Gubernur Mendiola bahwa penduduk Manado
kembali meminta misionaris dan berjanji menjadi vasal dari Raja Spanyol.
Hernandez melaporkan pula telah melakukan penyerbuan terhadap musuh dengan
hasil yang baik. Ia menangkap di Manado tentara Spanyol yang telah membelot
meninggalkan kapal tahun sebelumnya bersama dengan Kapten Ramos yang terbunuh
dalam pertengkaran antarpembelot. Mereka telah ditangkap dan dikirim dengan
galeon.
Tahun
1640 Gubernur Ternate Don Francisco Suarez de Figueroa (1640-1642) mencatat
surat Juan Yranzo dari Manado kepadanya, bahwa di Minahasa terdapat lebih
dari 50 negeri, besar dan kecil. Bahwa orang-orangnya banyak, karena terhitung
pria, wanita dan anak-anak jumlahnya lebih dari lima belas ribu.
Namun
perkiraan Yranzo dianggap Figueroa tidak tepat, karena orang-orang Spanyol yang
ada di Manado melaporkan kepadanya ada lebih dari seratus ribu jiwa yang ingin
menjadi Kristen. Juan Yranzo yang mengharapkan tenaga misionaris, mengatakan kepada
gubernur tanahnya subur, orang-orangnya sangat rajin, bertubuh kekar dan putih, sementara beras dan biji-bijian lainnya berlimpah.
Menjawab
permintaan itu, gubernur mengirimkan sebuah sampan dengan dua belas tentara
Spanyol dan seorang misionaris untuk membantu Yranzo. Yranzo kemudian mengirim
tiga belas atau empat belas pemimpin Manado alifuru, agar mereka kembali
kepadanya sebagai orang Kristen. Menurut Figueroa mereka telah dibaptis di
biara San Antonio Ternate dan telah kembali dengan sampan itu. ‘’Mereka membuat
pesta besar pada hari mereka dibaptis, berpakaian dengan kemeja yang diatur
menurut gaya Spanyol.’’ Mereka semua dibaptis kepala biara Padri Francisco
Chavarria (Echevarria) yang mencatat lengkap peristiwa pertobatan orang-orang
Manado ini.
Misionaris
yang dikirim Gubernur Figueroa ke Minahasa adalah Lorenzo Garralda untuk menggantikan
Alcala yang sakit-sakitan.
Menurut sumber
Spanyol, di tahun 1644 Raja Kristen Manado adalah Don Fernando. Ada
sekitar 500 orang Kristen dan mereka termasuk pemimpin dan orang-orang
terkemuka di kerajaan. Saat itu ada 3 padri. Disamping orang-orang terkemuka,
beberapa ribu penduduk telah dibaptis.
PERANG 1644
Sejak
tahun 1639 yang terjadi di Manado dan Minahasa adalah keluhan-keluhan terhadap kelakuan
orang-orang Spanyol. Ulah para pedagang yang masuk ke negeri-negeri Minahasa
untuk membeli beras dan perbekalan benteng lainnya yang akan dikirim ke Maluku
sangat meresahkan. Terutama lagi banyak tentara bersama kaum mulato (campuran Spanyol dan penduduk
asli Minahasa), sering melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk serta
mengganggu wanita.
Kebencian
tersebut memuncak di awal tahun 1644. Para kepala Minahasa bersepakat
meminta pertolongan Kompeni Belanda yang diketahui menjadi musuh Spanyol. Pada
bulan Februari 1644, sebanyak 8 duta Minahasa dengan perahu kecil tiba di
Ternate. Kedatangan para duta ini dilaporkan ke Batavia 21 April 1644 oleh
Gubernur Wouter Seroijen (1642-1648).
Namun,
menurut laporan Seroijen para duta tersebut dikirim oleh Raja Manado yang dari sumber Spanyol bernama Don Fernando. Para duta juga menemui Sultan
Ternate Hamzah (1627-1648) yang ikut mendesak Seroijen untuk mengirim ekspedisi
militer mengusir Spanyol.
Ekspedisi
bersama Belanda-Ternate dikirim tahun 1644 itu dipimpin Kapten Benteng Melayu
di Ternate Paulus Andriessen berkekuatan 70 tentara Belanda dan 50 pasukan mardiker (budak yang dimerdekakan karena
memeluk agama Kristen), dengan kapal Egmont dan beberapa kora-kora Ternate. Tapi
ekspedisi gagal, karena kuatnya Spanyol dan tidak seriusnya pasukan Ternate
ketika mereka menyerang Spanyol yang memusatkan kekuatannya di Tomohon.
Kegagalan ekspedisi dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Antonio van Diemen 23 Desember 1644 dalam surat ke Heren XVII.
Namun,
Spanyol di Manado di bawah pimpinan Kapten de Barras dan Menderez yang khawatir
serangan ulang oleh Belanda telah menarik pasukannya.
Pada
tanggal 10 Agustus 1644 meletuslah pemberontakan besar Minahasa melawan Spanyol yang
tersisa di Minahasa. Padri Yranzo menceritakan bagaimana seorang tentara
Spanyol telah melukai Kepala Tomohon (dihadiskan bernama Lumi) di tempat dia
melayani. 13]
Pada malam harinya, para putera kepala Tomohon memanggil suku-suku
lain untuk memerangi semua orang Spanyol. Malam itu juga berkumpul para
pemimpin dari tiga suku lain. Mereka bertekad membantai semua yang mengganggu
mereka dan meski pun mereka memutuskan untuk membiarkan nyawa Juan Yranzo,
namun atas saran para imam kafir, diputus untuk membunuhnya seperti yang lain.
Lebih dari sepuluh ribu orang bangkit memberontak. Maka, terjadi pembantaian.
Sebanyak 19 orang Spanyol tewas dan 22 lainnya ditahan.
Padri Garralda yang diperingatkan akan pemberontakan penduduk dan memiliki
waktu untuk lari, memutuskan tetap tinggal, sehingga meninggal setelah ditombak
dan kepalanya dipenggal ditaruh di alun-alun Kali dengan penduduk menari di
sekitar mayatnya. 14]
Dalam
pemberontakan tersebut, dikisahkan dua orang telah merusak gereja, merusak dan
menghina simbol-simbol suci Katolik, dan keesokan harinya mereka mati mendadak,
sehingga menimbulkan ketakutan, dan mereka tidak berani melakukan lagi
perbuatan tidak terpuji demikian.
Beberapa
orang Spanyol yang selamat, termasuk Yranzo berlindung di pantai dimana mereka
membangun barikade dengan kayu bekas biara. Mereka bertahan selama delapan
bulan lalu melarikan diri dengan perahu kecil. Ketika terkatung-katung di Laut
Sulawesi dan hampir tenggelam, mereka diselamatkan Raja Kolongan Don
Juan de Buntuan. Mereka disambut Raja Buntuan dan Raja Tabukan Marcus Vasco de
Ghama (Gadma). Dengan perahu yang disewa Buntuan, mereka akhirnya tiba di Ternate. 15]
Baru
tahun 1651 Spanyol mengirim ekspedisi yang disebut untuk menghukum Minahasa dan
mendudukinya. Pasukan yang dikirim dari Ternate dipimpin oleh Kapten Bartolome
(Bartolomeus) de Cosar (Godee Molsbergen menyebut Bartholomeo de Sousa, tapi Gubernur Hustard dan Simon Cos menulis Bartolomeu de Cosa).
Pertempuran hebat dilaporkan berlangsung di sekitar Kali yang mengalami
kehancuran, sehingga harus ditinggalkan. Di Manado terjadi perampokan dan
pembantaian. Siau dicatat Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker Desember 1655 ikut
membantu Spanyol dalam serangan tersebut. Menurut sumber Spanyol, masa tinggal
pasukan Cosar diperpanjang setidaknya selama satu tahun.
Negeri-negeri
Minahasa seperti Manado, Kali, Kema, Tomohon (Wanua Wangko), Mandolang hancur karena diserang berkali, sehingga ketika Belanda tiba, Manado dan
banyak tempat lainnya digambarkan porak-poranda dan kehancuran ada dimana-mana.
16]
AKHIR KERAJAAN
Kerajaan
Manado yang dipimpin klan Lumentut-Mokodompis diperkirakan berakhir ketika
dikuasai Raja Loloda Mokoagow dari Bolaang, di sekitar tahun 1653. Dunnebier
tidak memastikan tahun ketika Loloda mengangkat dirinya sebagai
Raja Manado, namun dikirakannya sebelum tahun 1660. 17]
Sebuah
surat dari Gubernur Jenderal Sabiniano Manrique de Lara (1653-1663) mencatat perjanjian perdamaian dengan Manado yang ditandatangani pada 16 Juli
1654. De Lara menyebut pula perdamaian sama dilakukan Spanyol dengan Raja
Makassar, Kamboja, Tidore, Kolongan, Mindanao dan Jolo.
 |
Surat Manrique de Lara, AGI Filipinas.
|
Dari
surat de Lara tahun 1654, Raja Manado baru memeluk agama Kristen
Katolik, sehingga ia merasa perlu memberi bantuan. 18]
Dunnebier
mengutip Hikajat dari Raja Datu Cornelis Manoppo menyebut orang-orang Spanyol
berhubungan baik dengan Loloda, sehingga mereka memperkenalkan piring, kain
berbunga-bunga indah, kapas, peralatan besi dan untuk kehormatan kerajaan, topi
helm dan perisai tembaga.
Bartolome de Cosar ternyata tetap merajalela sejak penyerangannya tahun 1651. Sampai tahun 1655 dia secara
berkala melakukan serangan-serangan membabi buta terhadap Manado dan
negeri-negeri Minahasa. Tiap kemunculannya ia menuntut upeti tahunan.
Tahun 1653 Belanda mendapat kesempatan berdagang dan mendapatkan beras dari
Mindanau. Namun, beras dari Minahasa yang menjadi incaran Gubernur
Kompeni di Ternate Jacob Hustard (1653-1655). Selain karena berlimpah yang
dapat menjadi sumber pangan benteng-benteng Belanda di Maluku, akan mengirit biaya
daripada membeli di Mindanau.
Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker dalam surat ke
Heren XVII 19 Januari 1654 mencatat pengiriman sebuah fluit (jenis kapal kargo menggunakan layar) ke Manado yang memuat
beras.
Kapal
de Beer dipimpin nahkoda Jan Overstraten bersama Letnan Jan Dirksz dan juru
bahasa Craen dikirim dari Ternate 10 Juli 1653. Mereka diperintah Hustard untuk
pergi ke Mindanau jika Manado tidak memenuhi harapan. Minahasa dilaporkan masih
rawan oleh selalu munculnya armada Spanyol. Kapal de Beer kembali ke Ternate pada tanggal
17 Agustus hanya dengan sedikit beras, karena mereka hanya dapat membeli 1 ton
beras. Berita yang diterima Hustard yang dilaporkannya ke Maetsuyker, bahwa
negeri Kali yang mereka datangi dipenuhi dengan biji-bijian (beras). ‘’Tetapi
waktu tinggal kami terlalu singkat bagi penduduk untuk membawanya ke darat (?).
Dan mereka juga takut akan kedatangan Bartolomeu de Cosa(r) yang baru saja
menuntut upeti beras tahunan di pantai timur Celebes.’’
Potensi
pangan yang dimiliki Minahasa bagi Maluku memunculkan keinginan Belanda untuk
menguasainya. Hustard sangat ingin mendirikan barikade kayu di Manado sedini
mungkin, ketika para duta Minahasa meminta bantuan Belanda. Maetsuyker mencatat
di akhir tahun 1654 selain beras dari Mindanau, Manado lebih menguntungkan,
namun Manado hancur lebur oleh Spanyol, sehingga tidak banyak untung. Tanggal
24 Desember 1655, Maetsuyker mencatat kekhawatiran 60 muatan besar di Manado yang akan
hilang karena kemunculan jung Makassar. Menurutnya para duta dari Manado telah
berjanji kepada Gubernur Hustard akan memberikan tanaman padinya, namun belum
jatuh tempo.
Dari
tradisi Minahasa, para pemimpin Tombulu, Supit (dari Tombariri), Lontoh
(Sarongsong), Paat (Tomohon) dan Lontaan (Kakaskasen), berangkat ke Ternate,
meminta bantuan Belanda yang diketahui sebagai musuh Spanyol. 19]
Pengganti Hustard, Simon Cos (1655-1662) mewujudkan
keinginannya. Menurut Cos, Belanda tidak boleh mentolerir lagi pendudukan
Spanyol yang akan terus berkuasa di bawah pemerintahan mantan Sersan Mayor
Aytomara.
Kendati antara Belanda dan Spanyol telah tercapai perdamaian dengan
ditandatanganinya perjanjian Munster tahun 1648, permintaan para duta Minahasa
menjadi alasan bagi Cos. Selain itu Cos beralasan ketika perdamaian kedua negara telah diproklamasikan di kedua
sisi Ternate, baik di Malayu (kantong Belanda di Ternate) dan Gamalama (pusat Spanyol masa itu),
di tahun 1651 orang Spanyol de Cosa justru pergi lagi ke Manado dan menduduki
beberapa tempat dengan cara yang paling tidak beriman, karena dalam damai
tersebut ditentukan bahwa masing-masing pihak memiliki miliknya sendiri, tanpa
melakukan penaklukan baru.
Maka pada akhir tahun 1655 Cos secara pribadi datang ke
Manado dan mendarat di muara sungai Tondano yang disebutnya sebagai Monango Labo, tanpa perlawanan Spanyol. 20]
Cos segera mendirikan awal tahun 1656 benteng berupa barikade kayu
yang kuat di pantai pada tepi sebelah selatan sungai Tondano yang disebut vasticheijt atau palisade dengan pasukan pendudukan berkekuatan 8 tentara dipimpin
Kapten Paulus Andriessen yang tahun 1644 gagal menghalau Spanyol. ‘’Pergaulan
dan hubungan kita yang bersahabat, berbeda dengan kebanggaan dan nafsu Spanyol,
akan memenangkan penduduk asli, dan menggagalkan rencana orang Spanyol untuk
merebut tanah itu,’’ lapor Cos. 21]
Tentang Raja Manado, Cos mencatat dari laporan Andriessen,
dapat mengerahkan 700 prajurit. ‘’Dia tinggal 12 sampai 13 mil di selatan Manado
Tua, di teluk yang sangat cantik. Beberapa tempat telah diserang oleh Spanyol.
Tetapi setelah kegagalan kami pada tahun 1644 oleh penyimpangan kekuatan
Ternate di Timon, ibukota mereka,
orang Spanyol begitu takut akan serangan kedua sehingga mereka meninggalkan
Manado, dan tidak mengunjungi ‘provinsi ‘
ini selama tujuh tahun, dan raja bisa memiliki seluruh kekayaan lagi dengan
damai.’’
Timon atau disebut
juga Tomon atau sekarang dikenal sebagai Tomohon, sekitar 25 kilometer dari
Manado. Dari sumber-sumber Spanyol, Tomohon sempat dikuasai Spanyol yang telah
membangun sebuah benteng kayu.
Pendirian
benteng Belanda di Manado segera diprotes oleh Spanyol dan Makassar yang
mengklaim kerajaan Manado sebagai taklukannya. Spanyol berdalih sebagai pelanggaran perdamaian Munster. Ini menyebabkan guncangan besar
pada pemerintah tinggi Kompeni. Cos dinasihatkan segera mengosongkan pos
Manado. Dalam surat Maetsuyker ke Heren XVII 17 Desember 1657 disebut benteng
kecil dan pasukan kecil di Manado tidak menjanjikan banyak dalam perdagangan
beras. Namun surat Maetsuyker mengisyaratkan Cos untuk melanjutkan langkahnya,
‘’apabila Cos mempunyai pendapat yang sama.’’ Maetsuyker beralasan bahwa yang berhak
atas Manado adalah Sultan Mandarsyah (1648-1675) dari Ternate.
Cos
bersikukuh dengan niatnya menguasai Manado dan mengusir Spanyol. Kira-kira dua
tahun kemudian, Cos bahkan diizinkan menambah garnisun Manado dengan 35 tentara
untuk mencegah ancaman serangan Makassar. 22]
Sumber Fransiskan menyebut tahun 1656 itu sebuah
ekspedisi kembali dilancarkan Spanyol dari Ternate di bawah pimpinan Sersan
Mayor Juan de Ytamarren (versi Belanda Aytomara), dimana ikut Padri Pedro de
San Buenaventura. Namun ekspedisi gagal, kemudian pergi ke Kolongan di Sangihe
Besar.
Tahun
1658, Cos dalam surat kepada Hustard yang pindah sebagai Gubernur Amboina bertanggal
11 Mei mengungkap sebuah jung milik Spanyol ditahan, setelah terdampar di dekat
Manado. Kapal bersama 56 orang awaknya dibawa ke Ternate. Menurut Cos untuk ditukar
22 orang Belanda yang ditahan di Samboanga Filipina.
Akhirnya pada
Februari 1661 Simon Cos dengan kapal Molucco dan Diamant mengusir Spanyol yang dibantu Makassar dari
perairan Sulawesi dan mengusir mereka dari Amurang. Sebuah kapal ditempatkan di Selat Lembeh yang strategis untuk
mengawasi pantai timur. Cos juga serang Tondano, karena orang Tondano menolak
menyerahkan beras kepada Belanda.
Kehadiran
Spanyol terakhir adalah dalam perang Tondano. Belanda menunjuk sebagai
penghasut adalah Jesuit Francisco de Miedes yang berhasil merekrut 50 (versi
Dagh-register 1664 30 orang) pengikut di Ternate kemudian datang ke Tondano
melalui Siau. Miedes menawarkan bantuan berperang melawan Belanda dan memberikan
bubuk mesiu.
Miedes
juga mendorong pendiran benteng di Kema yang diantisipasi Belanda
dengan bersekutu dengan penduduk Kema untuk mencegahnya. Baru pada Juli
1664 orang Tondano menerima syarat dari Cos dengan membakar perkampungan di
atas air dan membangun rumah di daratan yang ditunjuk komandan benteng Manado.
Komandan tersebut mengusir Miedes, menuduhnya lagi sebagai otak dari
serangan Siau di Manado tahun 1651. Miedes tidak diijinkan datang ke
Manado, kecuali memperoleh ijin dari Kompeni.
Maka,
orang Spanyol terakhir dicatat meninggalkan Minahasa untuk selamanya pada
pertengahan 1663.
Gubernur Jenderal Spanyol Manrique
de Lara dalam surat 20 Juni 1663 mengakui kejatuhan Spanyol dan berhentinya
dukungan dari sekutunya Manado terhadap Spanyol karena bantuan Belanda.
Raja
Loloda sendiri telah terlibat permusuhan dan perang-perang dengan Minahasa,
dimana Belanda berkali mencoba menengahi, namun sangat berpihak kepada para
kepala Minahasa.
Maetsuyker
20 Januari 1662 menyebut garnisun benteng Manado diperkuat 15 tentara. Juga sebuah jung
Cina milik Coksin (Koxinga, pejuang Ming anti pemerintahan
Qing yang tahun 1661 menduduki Taiwan dengan mengusir Belanda) ditemukan memiliki
banyak potongan logam dan memuat 18 muatan beras sebanyak 107 pikul (1 pikul sekitar 60 kg).
Pasukan
Belanda di Manado sering dikurangi, sering ditambah. Tanggal 30 Januari 1665,
Maetsuyker sebut ada 16 tentara (tahun 1674 36 tentara dan tahun 1683 32 orang yang kemudian dikurangi tinggal
20). Bulan Januari 1666, menurut Maetsuyker, Manado akan dikunjungi oleh seorang predikant
dari Ambon. 23]
Sementara
itu Loloda menampilkan diri sebagai seorang diplomat lihai. Loloda berdamai dengan Belanda,
sehingga dipuji sekali ketika Gubernur Antonij van Voorst (1662-1667) berkunjung
di Manado 1665. Ketika itu pun Loloda menjalin persahabatan kembali dengan para
kepala Minahasa, sehingga dapat berdiam dengan aman di Manado daratan. Para kepala Minahasa ikut bersahabat dengan kesultanan Ternate. 24]
Loloda
kepada Voorst berjanji akan membantu pembangunan benteng Belanda dari batu.
Namun janjinya tidak terpenuhi, karena di tahun 1666, diam-diam Loloda berpihak
pada Makassar yang tengah berperang dengan Kompeni. Belanda tidak mengambil
tindakan apa-apa ketika Sultan Hassanudin dari Makassar dikalahkan Cornelis Speelman
tahun 1667. Dalam kontrak Bongaya 18 September 1667, semua hak yang diklaim
atas Manado (dimaksud Pulau Manado Tua) dicabut, dan dikembalikan kepada otoritas
Ternate dalam perlindungan Kompeni. Loloda berangkat ke Ternate menjalin
perdamaian dengan Sultan Mandarsjah (1648-1675) dan Kompeni Belanda. 25]
Di
tahun 1668 ketika Mandarsyah datang ke Manado bersama President (sebutan lain
gubernur) Maximilian de Jongh (1667-1669) dan tinggal selama delapan hari, dia
memanggil Raja Manado yang waktu itu telah berdiam di Amurang. Loloda memang
datang, tapi dia tidak masuk ke Manado, karena tidak mau dihina para kepala
Minahasa. Namun, Maetsuyker mencatat 17 November 1669, dari kunjungan terakhir de
Jongh tersebut, terungkap selang satu tahun terakhir ada sikap bergandengan
tangan antara Loloda dengan para kepala Minahasa. Dengan meredanya ketegangan,
menurut Maetsuyker, akan menstabilkan penanaman padi.
Meski
Godee Molsbergen menulis sejak tahun 1671 kerajaan Manado telah berakhir, tapi pada 17 November 1675 di Tahuna dalam surat kepada Gubernur Amboina Anthonio Hurdt, dilaporkan Ds.Jacobus Montanus,
Loloda berada di Manado. Menurut Montanus ketika berada di Manado 1674 atas
permintaan Putri yang masih kafir dan pamannya Raja Manado, dia mengadakan
kebaktian berbahasa Melayu dimana keduanya duduk di tempat terhormat bersama 90
orang lainnya.
Kerajaan Manado di masanya digambarkan Montanus meliputi Bolaang yang
menjadi basis kekuasaan Loloda mencapai perbatasan Gorontalo di Kuranga. Ke utara
meliputi tapal batas Manado hingga ujung utara Tanjung Pulisan terdiri pulau-pulau
di sekitar Selat Bangka, serta yang lainnya di timur laut dan pantai barat.
Pulau-pulau tersebut adalah bekas kerajaan Manado dari Babontehu.
Montanus
juga menyebut Hieronimo d’Arras bekas Jogugu yang telah lari dari Siau 1668 setelah
dituduh Rajanya Franscisco Xavier Batahi hendak memberontak. D'Arras mencari
perlindungan dari komandan benteng Manado Sersan Jockum Sipman, dan
diangkat Loloda sebagai Kapitein Laut (Laksamana) Manado. Hal ini, seperti
disebut Maetsuyker 1668 mendatangkan protes keras dari Raja Batahi, termasuk
Miedes. 26]
Tahun
1669 dicatat penanaman padi menurun, sehingga untuk merangsang penduduk untuk
menanam lebih banyak, harga gabah dinaikkan. Karena rumor serangan Coxinga di
Filipina, tidak ada pedagang Cina datang ke Manado. Tahun 1674 dilaporkan hasil
padi yang buruk dari Manado berakibat pula pengiriman yang terlambat ke
Ternate.
Pada
13 Juli 1673, di Manado, President Cornelis Francx (1672-1675) menandatangani
perjanjian damai dengan Kapten Andreas Serano dan Padri Francisco Miedes yang mewakili Spanyol.
Ds.Daniel
Brouwerius melakukan pembaptisan di Manado dan Kaidipang, dicatat Maetsuyker 31
Januari 1674. Saat ini pembangunan benteng beton di Manado yang dimulai tahun
1666 selesai. Dalam laporan 17 November 1674 menurut Maetsuyker Benteng Manado yang
besar dan kokoh sudah siap, sebagian besar melalui pasokan sukarela
dan tenaga kerja penduduk. Benteng yang dinamai Amsterdam diresmikan
Cornelis Francx pada 14 Juli 1673. Baru
tahun 1676 Maetsuyker mencatat budidaya padi di Minahasa berhasil, ketika
Ternate menerima 103 muatan beras dari Manado.
Loloda
masih mengklaim diri sebagai Raja Manado ketika menjadi saksi pada perjanjian
perdamaian antara Siau dengan Kompeni Belanda dan Ternate pada 8 November 1677.
Dia meneken namanya sebagai Raja Manado. Saban (Tonsawang),
Datahan (Ratahan), Passan (Pasan) dan Saccan (Ponosakan) serta Bantik sejak
perjanjian antara para kepala Minahasa dengan Gubernur Robertus Padtbrugge 10
Januari 1679 tidak terikat dengan Bolaang lagi dan tunduk pada diri mereka
sendiri, sehingga secara resmi semua hak Loloda diakhiri.
Setelah Sultan Amsterdam (Kaicil Sibori) ditahan tahun 1680, Padtbrugge pada 24 Januari 1681 dengan kapal Wapen van Middelburgh
mendarat di Bolaang. Gubernur
Jenderal Cornelis Speelman 19 Maret 1683 mencatat Loloda tidak mau menemui Padtbrugge, yang hanya bertemu adiknya Pangeran Makarompis di Ajon. Padtbrugge membakar habis negeri besar
Solimandungan. Padtbrugge ikut membakar enam negeri di Ponosakan, termasuk Ratahan dan Pasan. Pengaruh Loloda masih bersisa di
Ponosakan, Ratahan, dan Pasan serta Tombatu, sehingga Padtbrugge dalam sebuah
pertemuan di Manado 11 Februari 1683 menegur beberapa kepala yang diam-diam
telah menyampaikan sejumlah upeti kepadanya.
Para
padri Jesuit dan kalangan tertentu dalam pemerintahan menyesalkan terusirnya Spanyol dari Manado dan Minahasa. Mereka menginginkan pengambilan kembali Manado. Francisco (sumber
lain Juan) de Miedes umpama pada 15 September 1669 masih mengharap
pemerintahnya mengklaim kembali kerajaan Manado, termasuk Tidore.
Fiskal
Diego Cortes pada Januari 1669 mengusul Spanyol mengambil kembali Manado
bersama Kolongan dan Siau yang dipimpin raja-raja Kristen Katolik. Kalau
tidak, menurutnya, mereka akan berada di sisi Belanda, dan Spanyol akan
kehilangan pemasukan.
Ketika
Jesuit Miguel de Pareja tahun 1670 melakukan tur ke Sulawesi Utara
atas permintaan Gubernur Jenderal Don Manuel de Leon (1669-1677), dia menyesalkan
karena Belanda dibentengi oleh kelimpahan luar biasa beras yang disuplai untuk
Ternate dan Ambon. Pareja mencatat benteng Belanda berada sekitar enam atau
delapan liga (1 liga=3 mil, sekitar
4,8 km) dari benteng kecil Spanyol yang berada di Tomun, atau Tomohon. Pareja
menemukan hampir tidak ada umat Katolik di wilayah pengaruh Belanda.
Seruan
untuk kembali ke Manado dan Minahasa yang digemakan para Jesuit dan kalangan
kecil tersebut tidak mendapat dukungan luas. Apalagi tekanan militer Belanda makin kuat
mencaplok Kolongan Oktober 1666 dan kemudian Siau 1 November 1677. ***
------------------
1] Selain
versi Bolmong, dalam versi tradisi Minahasa yang diangkat Riedel serta Wilken dan
Schwarz, Damopolii atau Ramopolii adalah orang Minahasa dari Tonsea yang
berhasil menjadi Raja Bolaang, sementara saudaranya Wantania diangkatnya
menjadi penguasa Mongondo, dengan dibantu orang Tombulu. Dari tradisi Manado
yang diangkat Graafland dan Riedel, Raja Manado Mokodompis adalah asli orang
Babontehu. Bolaang baru menguasai Babontehu di masa Raja Loloda.
2] Rossingeyn
menurut van der Dijk, pada 4 Juni 1608 diangkat sebagai kapten armada van
Caerden memimpin sebuah fregat Portugis yang ditahan Belanda di Makassar. Pada
3 Agustus ditunjuk sebagai kapten untuk misi ke Manado. Pada 14 September 1614
dengan status sebagai koopman, ia memimpin pendudukan Siau, dan mengangkat Don
Duarte atau Kaicil Kaluwan sebagai Raja Siau menggantikan Jeronimo II yang lari
ke Manila.
3] Menurut Prof.Heeres dan Dr.Stapel, pada awal 1616,
Kompeni melakukan pendudukan singkat di Manado, yang ditarik kembali pada tahun
yang sama.
4] Tololiu hidup
semasa dengan tokoh Ternate bernama sama (Kaicil Tulo), disebut Argensola,
saudara dari Sultan Said Barakat yang ikut ke
pembuangan Manila 1606. Selain itu Ternate masa itu memiliki benteng pertahanan kuat yang
diberi nama Kaicil Tulo. Taulu memberi versi Raja Tololiu ini adalah Kepala Pakasaan Ares. Nama Tololiu sendiri lazim digunakan orang Minahasa. Seorang tokoh Tombulu terkenal adalah Tololiu (tua) yang dilegendakan hidup dimasa Spanyol dengan membangun istambak, benteng pertahanan di negeri tua Tomohon, sekarang masuk Kolongan dan dipatungkan di Matani. Seorang Kepala Balak Ares terkenal di tahun 1682 menyandang nama Tololiu. Kemudian anak Hukum Majoor Kepala Pacat Supit Sahiri dari Tombariri bernama Tololiu Supit yang menjadi Hukum Majoor Kepala Balak Ares di tahun 1730-an. Lalu Kepala Distrik Sonder di tahun 1824 Majoor Tololiu Hermanus Willem Dotulong.
5] Padri San
Esteban dan de los Cobos sekedar singgah di Manado. Mereka diminta bekerja di
Bwool oleh rajanya. Tapi di Cauripa (Kaidipang) 5 Spanyol dalam rombongannya
tewas. Dalam perjalanan dari Kaidipang ke Bwool dengan kora-kora kecil
dengan 5 tentara dan 6 Manila, mereka diserang karena dikhianati seorang mestizo (mulato) Sangley. Mereka berdua berhasil
selamat bersama tentara sisa dengan perahu lain, dan kembali ke Ternate setelah
satu tahun.
6] Sumber-sumber Spanyol sejak masa ini sering merujuk yang banyak tumpang tindih Manado di pulau dan Manado di daratan wilayah Minahasa. Bahkan umumnya kawasan Minahasa sering disalahsebutkan sebagai bagian dari kerajaan Manado. Terjadinya karena nama Minahasa belum lazim digunakan. Sebutan Manado dalam sumber-sumber Spanyol bukan sekedar mencakup Manado di pulau atau Manado di daratan, tapi melebar mencakup Minahasa yang sebenarnya tidak pernah dikuasai Manado era pemerintahan Babontehu.
7] Sisa-sisa
Spanyol di Minahasa Selatan adalah bekas benteng yang berada di Kelurahan Kawangkoan
Bawah Kecamatan Amurang Barat. Benteng ditinggalkan
Spanyol tahun 1660 ketika Simon Cos mengusir mereka. Penduduk setempat
menyebut New Spain. Ds.L.J.van Rhijn yang berkunjung di Amurang
tahun 1847 menemukan bahwa benteng Spanyol hanya berupa reruntuhan. Sampai tahun 1980-an masih ada sisa-sisanya berupa bekas
fondasi. Dari sisa reruntuhan tergambar bekas benteng Spanyol cukup besar, meliputi
lokasi berdiri gereja GMIM Immanuel Kawangkoan Bawah yang ditutur dibangun di atas
bekas kapel Spanyol, kemudian areal seputaran Jembatan Timbang Amurang dari Dinas
Perhubungan Sulut berbatas sungai Ranoiapo. Di depan pintu pastori gereja Immanuel ada bekas kubur Spanyol. Mobongo di
dekatnya besar kemungkinan menjadi pelabuhan tempat sandar galeon Spanyol. Sisa Spanyol lain
adalah legenda. Antara lain diungkap de Clercq pantai Batu Kapal (sekarang di Desa Sapa
Kecamatan Tenga) berupa batu karang ditumbuhi spesies pandan yang dikenal sebagai pondang pantei. Bentuk Batu Kapal persis
kapal dengan haluan dan buritannya. Diceritakan de Clercq sebuah kapal Spanyol
pernah terdampar di sana, dan berubah menjadi batu dengan seluruh awaknya
sebagai hukuman atas kejahatan yang tidak diketahui.
8] Dalam
laporan Lucas de Vergara y Garcia dari Tidore 5 Juli 1617 diungkap (kendati hanya
disebut di Pulau Makassar, tapi pasti di Sulawesi Utara), sangat kaya. Dari
pasokannya kekuatan di Maluku bisa diperoleh dengan mudah dan dengan biaya
murah. Jadi Gubernur perlu diperintahkan untuk bernegosiasi dengan raja disana
untuk persahabatan dan perdagangan. Untuk itu sudah dikirim dan diberitakan
bahwa rajanya mengatakan bahwa dia menginginkannya dan raja akan menyerahkan
semua perlengkapan yang diinginkan dan jika tidak ada uang, akan memberikan
kredit sampai mereka mampu membayar, dan raja telah mengirim meminta imam untuk
memberitakan injil. ‘’Mereka adalah orang yang mampu, memiliki watak yang baik,
dan cenderung menerima injil.’’ Karena dekat dengan iman Jesuit, menurutnya,
akan penting mengirim beberapa religius di pulau itu, dan Belanda dijanjikan
tidak bisa mendapatkan perbekalan dari sana. Dua imam Jesuit telah ada di sana,
dan telah menulis bahwa mereka diterima dengan sangat baik.
9] Sumber-sumber Spanyol berbeda versi soal pembaptisan ini. Menilik laporan Garcia Juni 1618, Raja Manado dibaptis setidaknya 1617 atau awal 1618. Ini berarti pemerintahan Manado masih dipegang Tololiu. Ada pendapat raja dibaptis oleh Padri Pascual de
Torrella yang dekat dengannya atau oleh Cosmas Pinto. Namun versi lain oleh Padri Diego de Rojas. Kedatangan pertama de Rojas juga berbeda tahun, ada menyebut 1617, 1618 dan juga tahun 1619. Menurut laporan Scialamonti, raja ketika ditemuinya pertama
kali 1619 sangat bersemangat religius dan sudah
dibaptis. Huerta menyebut pembaptisan Raja Manado terjadi 1619. Seandainya demikian dalam tempo satu-dua tahun ada 2 pembaptisan raja. Mungkin Raja Tololiu telah diganti raja baru. Padri Diego de Rojas tahun 1622 pergi ke Ternate, dan
awal tahun 1624 dari Ternate menemani putra Raja Siau, kemudian berlayar ke
Makassar. Di Makassar, de Rojas dilempari batu dan ditinggalkan begitu saja disangka
mati. Ternyata masih hidup, dia kembali ke Manado awal 1624. Padri de
Rojas meninggal di Manado 12 Juli 1624, dimana penduduk mengawetkan dan menguburkannya
dengan sangat hormat di negeri Banta, ibukota kerajaan Manado yang menurut Martinez berada di Pulau Manado (Tua). Meskipun misionaris dari Ternate
pergi ke sana untuk mengambil tulangnya, penduduk Manado selalu menolak
menyerahkannya. Penduduk memujanya sebagai orang suci, bahkan orang kafir pun
menghormatinya. Mereka membuat penguburan sangat khusyuk, dan meski pun orang
Spanyol menjanjikan banyak perak dan emas, mereka tidak mau menyerahkan
tubuhnya, mengatakan mereka juga menghormatinya dan menganggapnya sebagai orang
suci dan bahwa mereka ingin mempertahankannya seperti itu
10] Padri Blas Palomino
diperintahkan untuk kembali ke Ternate. Menurut Blair dan Robertson, Palomino naik
kapal Portugis, tapi dengan licik dibujuk oleh beberapa penduduk untuk kembali.
Ketika tiba di pantai (di wilayah Manado), Palomino dibunuh pada 30 Agustus 1622. Namun
keduanya merinci versi lain bahwa ketika akan pergi ke Ternate dengan kapal
Portugis, di Pulau Tagulandang, Palomino yang telah mempelajari bahasa-bahasa
lokal meminta kapten kapal menurunkannya ke darat dan kapten kapal
melakukannya. Saat turun di pantai, Palomino mulai mengabarkan injil kepada penduduk
pulau itu. Tapi mereka menombak dia di depan kapal. Para padri di Ternate
mendapat laporan tentang pembunuhan dan kemartirannya dari Portugis yang berada
di atas kapal. Menurut versi Platero dan Huerta, karena buah kecil dari kerjanya di Manado, Palomino pergi
ke kerajaan Makasar, dan di sana dia berhenti selama enam bulan. Atas perintah atasannya
Palomino berlayar ke Ternate. Beberapa penduduk menghentikannya dan membujuk sehingga
dia kembali ke pulau. Begitu tiba mereka melukai Palomino dengan tombak dan
membunuhnya. Mayatnya ditemukan pada hari yang sama oleh
beberapa orang Portugis dan tahun berikutnya dipindahkan ke Ternate dalam
keadaan tidak rusak, dan harum. Di Manado, Palomino menulis Arte de la lengua Manados y una Descripcion
de los ritos, usos y costumbres de Manados (seni bahasa Manado dan deskripsi
tentang ritus, penggunaan, dan kebiasaan orang Manado).
11] Menurut
Huerta, Padri Martin de San Juan, Pedro de la Conception dan Benito Diaz adalah
yang dikirim ke Makassar tahun 1619, dan pergi untuk misi lain tahun 1622.
12] Tahun
1623 dipakai sebagai tahun lahir Kota Manado. Meski tidak tepat, DPRD-Gotong Royong Kotamadya Manado
berpendapat tahun ini nama Manado mulai digunakan secara resmi dalam surat-menyurat. Di bawah
Ketua Drs.Willem Senduk dengan SK nomor 17 tahun 1968 diputuskan HUT Manado
jatuh (untuk pertamakali dimulai peringatannya) pada 14 Juli 1969.
13] Dua
versi berkembang, bahwa para putra Lumi meminta bantuan dari pakasaan-pakasaan wilayah Tombulu yakni Kakaskasen, Sarongsong dan
Tombariri. Namun pendapat lain suku-suku Minahasa: Tonsea, Tontemboan
dan Toulour, sehingga Minahasa bersatu.
14] Banyak
sumber Spanyol mencatat pemberontakan orang Minahasa telah berawal bahkan terjadi tahun 1642.
Padri Garralda disebut (oleh Martinez, Huerta, Blair dan Robertson, Rodrigues serta
Gomez Platero) martir pada tanggal 13 Februari 1642. Martinez
mengatakan, ketika Garralda berada di Manado, raja mendengarnya dengan kasih sayang dan
menyembah dengan hormat, namun para imam kafir berniat membunuhnya. Karena
dilindungi raja, mereka menghasut orang kafir di Kali. Berpura-pura
mendengarkan injil mereka menangkapnya. Mereka memberinya satu tusukan, yang
diterima Garralda dengan berlutut. Melihatnya masih bertahan di atas lutut,
mereka menyerangnya bersama-sama, menusuknya dengan tombak lalu memenggal
kepala yang bersama dengan pakaian dan tali ikat pakaian digantung di tiang
yang dipasang di tengah alun-alun. Mayatnya tetap berlutut selama tujuh hari,
tidak diganggu burung atau hewan dan tidak menyiar bau busuk. Hari kedelapan,
seorang Spanyol (versi Platero beberapa orang) mengambil jenasahnya dan dibawa
ke Manila, dimana Garralda dikuburkan di dekat altar utama gereja biara Fransiskan. Ketika
Padri Vicente Argente 16 tahun kemudian menyelidiki masalah tersebut dan
bagaimana hal itu sampai terjadi, para saksi menyatakan bahwa orang Minahasa
telah menolak membunuh Garralda, tapi para imam berhala bersikeras, dengan
mengatakan bahwa mereka sangat marah karena para padri telah masuk Minahasa dan
mencegah penyembahan mereka. Mayatnya ditemukan di atas lututnya, dan penduduk
bersembunyi dan terus menolak untuk menyerahkannya. Garralda selalu dianggap sebagai
orang yang sangat bersemangat. Seperti Diego de Rojas dan Blas Palomino, dia
ditobatkan, menurut Huerta dan Platero, sebagai venerable (yang mulia), gelar kekudusan
dalam tradisi Katolik, sebelum ke jenjang beato
(orang terberkati) dan santo (orang
kudus).
15]
Menurut Domingo Martinez, Juan Yranzo (Iranzo) dan 3 orang Spanyol lainnya dibebaskan
oleh beberapa orang Kristen terkemuka dan ditempatkan di benteng yang
terabaikan. Mereka tinggal dengan banyak kesulitan, ketakutan akan kematian
selama delapan bulan. Akhirnya dengan perahu menuju Ternate, tapi terdampar di
Kolongan (Tahuna) Sangihe. Juan Yranzo sebelum bertugas di Manado, pada Februari 1639 bersama
Padri Bartholome Tejada de San Diego, Bruder Miguel de San Buenaventura dan Bruder Francisco de Alcala telah
bertugas di Sangihe Besar atas permintaan Raja Tabukan. Ia membaptis Raja
Kolongan Buntuan dengan nama Don Juan Buntuan dan sepupunya Raja
Tabukan Gadma. Yranzo kembali ke Manila 1645. Juan Yranzo menulis Relacion de los progresos de la fe en el reino de Manados desde el ano
1639 a 1644 (Laporan tentang kemajuan iman di kerajaan Manado dari tahun
1639 hingga 1644) tertanggal Manila 4 Agustus 1645. Selain itu Historia de los sucesos de Ternate (Sejarah peristiwa Ternate).
16]
Tradisi Minahasa menyebut Spanyol kali ini pun dipukul hancur. Pada serangan ketiga
kalinya di Wanua Wangko, Tombulu mengalahkan Spanyol dengan kerugian besar.
Malahan kapten komandannya, menurut Riedel, dapat dibunuh oleh pahlawan Tombulu
bernama Randang.
17] Dunnebier
berpendapat Loloda menjadi Raja Bolaang sebelum tahun 1660, sementara dengan
mengutip Hikajet keradjaan
Bolaang-Mongondow susunan Raja Datu Cornelis Manoppo 1909, Dunnebier
berhitung Loloda baru akan berkuasa pada 1663 atau 1664. Dunnebier pun
berpendapat tidak mungkin Loloda menyatakan diri sebagai Raja Manado tahun 1653
atau 1655. Dari versi tradisi lokal, Loloda mulai berkuasa di Bolmong sejak
1652, dan mengundurkan diri tahun 1689. Tapi Dunnebier menyebut Loloda masih
berkuasa hingga meninggal. Tahun 1693 Loloda masih melakukan serangan ke Minahasa,
dimana Loloda dipukul mundur oleh Minahasa, malahan hampir membawa malapetaka bagi
dia dan pengikutnya, kalau tidak dicegah Residen Herman Janz Steynkuyler. Menurut
Dunnebier, Loloda telah meninggal ketika pada 21 September 1694 para kepala
Minahasa membuat perjanjian damai dimana Loloda disebut telah almarhum dan Loloda
sekedar diwakili, di depan Onderkooplieden Pieter Alsteijn dan Stephanus
Thierrij serta Vandrig David Haag.
18] Tidak
ada catatan dari sumber Spanyol, kalau Loloda telah memeluk Katolik. Tidak juga
dari sumber Belanda menyatakan dia memeluk Protestan, kendati di tahun 1675
Ds.Montanus menyebut Loloda menghadiri kebaktian di gereja Protestan Manado bersama
kemenakan wanitanya. Ketika Kompeni Belanda berkuasa, Katolik dilarang,
dan hanya Protestan diizinkan, yang rata-rata segera dianut oleh para raja di
Sulut.
19]
Berita ini banyak dicatatkan penulis Belanda dan Minahasa. Graafland memberi
versi orang Tombulu meminta bantuan Babontehu yang ahli pelayaran untuk
memanggil Belanda, bantu mengusir Spanyol. Riedel menyebut para kepala Minahasa
mengirim duta ke perwakilan Kompeni di Ternate untuk menjalin hubungan sekutu
dengan menggunakan kapal kecil Sangihe. Sumber lain menyebut para duta pergi ke
Ternate menumpang kapal de Beer yang datang ke Manado Juli 1653. Hustard
menurut Riedel memberi empat bendera dan beberapa hadiah dan berjanji pada
Supit, Lontoh, Paat dan Lontaan akan segera datang, sementara kepala Minahasa
menawarkan padi dan kayu untuk Belanda.
20]
Monango Labo atau menurut Montanus Menangelabo
dari sumber-sumber Minahasa adalah pelafalan Belanda dari Wenang dan pelabuhannya. Wenang adalah negeri yang menjadi pusat
kota Manado di masa Belanda, dimana pernah berada benteng Amsterdam kemudian
Nieuw Amsterdam, lokasi pelabuhan, dan pusat pemerintahan. Sekarang dua kelurahan serta beberapa mekarannya di kecamatan
senama.
21] Valentijn
menyebut benteng Belanda didirikan di bawah Gubernur Hustard pada tahun 1655.
22] Dari sumber
Spanyol, benteng Spanyol yang lama diserahkan ke tangan Belanda oleh
seratus orang Eropa dan dua puluh Pampango yang sebelumnya melarikan diri dari
benteng Spanyol.
23] Menurut
Molsbergen dan Watuseke Ds.Burun (Joannes Burum menurut Valentijn) adalah pendeta Protestan pertama yang datang ke Manado tahun 1663 dengan
membaptis anak-anak dan orang tua. Kemudian Ds.Sebelius (Petrus Sebelius) tahun
1664. Sementara predikant Ambon di tahun 1666 adalah Ds.Simon de Bucq (Buck). Tahun
1674 selain Montanus yang membaptis 16 anak,
berkunjung pula Ds.Franciscus Dionysius yang meninggal dan dikubur di Tahuna tahun itu, serta Ds.Daniel Brouwerius. Predikant berikut yang berkunjung ke Manado adalah Ds.Isaacus Huisman yang meninggal di Tahuna
1675. Ds.Gualtherus Peregrinus 1677 bersama Ds.Zacharias Caheing (Caheyng,
Caheyn) yang ditunjuk menjadi Predikant Manado namun meninggal 1680. Kemudian
Ds.Gillius Camminga 1692; Ds.Camminga bersama Joannes Stampioen dan Gerret van Aken 1694; Ds.Stampioen 1696 (juga 1698). Ds.Gillius Camminga 1697. Ds.Abraham Feijlingius 1701. Ds.Petrus Noot 1703. Ds.Arnoldus Brants 1705. Ds.Wilhelmus van
Welij 1708. Ds.Joachim Petrus Cluisenaar 1720. Ds.Dominicus Sell 1721, 1722 dan 1725. Ds.Jan Hendrik Molt 1726 dan 1727 serta Ds.Jan Thomas Werndlij di tahun 1729.
24] Hubungan
persahabatan dengan Minahasa terjalin saat para duta Minahasa ke Ternate 1644
menjumpai Sultan Ternate selain Seroijen, karena Seroijen melaporkan dia turut
didesak sultan yang bahkan akan membantu. Ini masih berlanjut ketika Sultan Mandarsyah singgah di Manado
Agustus 1670, sultan melaporkan telah ditemui para kepala (hukum, ukung) yang ada
di Manado dan kepala dari 15 negeri lain yang memberinya hormat dan tanda mata
sesuai adat istiadat. Demikian pula ketika Sultan Amsterdam berkunjung 1677, ia
ditemui kepala-kepala Minahasa yang memberinya tanda mata.
25]
Menurut Riedel dalam Kontrak Ternate dengan Laksamana Francois Wittert Juli
1609, Manado, termasuk kerajaan lain di Sulawesi Utara berstatus sebagai
sekutu. Klaim Ternate atas Manado disebut Sultan Amterdam (Kaicil Sibori) tahun
1680, selain Old Manado (Manado Tua),
mencakup Pulau Banca (Bangka), Salisse (Talise), Lembeh, Ganga (Gangga),
Maij (Nain) dan Piso. Piso dimaksud adalah Tanjung Pisok di bagian utara Teluk
Manado, yang pernah ditempati beberapa keluarga Babontehu. Klaim Ternate atas
Pulau Manado Tua berakhir setelah Sultan Amsterdam pada 7 Juli 1683 mengakui
Belanda sebagai dipertuan, dan dengan pasal 6 melepaskan klaimnya atas Manado
(termasuk Gorontalo, Limboto, Tagulandang, Siau dan Sangihe) menjadi milik
Kompeni dan berada di bawah otoritas langsungnya.
26] D’Arras
tahun 1677 diambil menantu oleh Loloda dengan membayar mas kawin besar. Tahun
1679 Belanda kembali mendudukkannya sebagai Jogugu pertama di Siau.
* Lukisan Louis Auguste de Sainson dari Voyage
de la corvette l’Astrolobe execute par ordre du roi: pendant les annees 1826-1827-1828-1829 oleh Jules-Sebastien-Cesar Dumont
d’Urville, Paris, 1830-an, koleksi New York Public Library, dan dari surat Gubernur Geronimo de
Silva serta dari Archivo General de Indias (AGI), Filipinas.
LITERATUR
Aa,
Robide van der, Het Journal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes
en de Noordereilanden (16 Aug-23 Dec.1677),
Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie, tweede
deel, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1867.
Aernsbergen
SJ., A.J.van, Uit en over de Minahasa. De Katholieke Kerk
en Hare Missie in de Minahasa, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde
van Nederlansch- Indie, deel 81 afl.I, Batavia, 1925.
Argensola,
Bartolome Leonardo, Conquista de las Islas Malucas, Imprenta
del Hospicio Provincial, Zaragoza, 1891.
Aritonang,
Jan Sihar, Karel Steenbrink (ed),
A.History of Christian in Indonesia,
Brill, 2008.
Blair,
Emma Helen, James Alexander Robertson
(ed), The Philippine Islands, vol.
XIII-XXXVI 1604-1666, The Project Gutenberg EBook, 2005-2009.
Brouwer,
M., Bestuursvormen en Bestuursstelsels in de
Minahassa, H.Veenman &Zonen, Wageningen, 1936.
Campo
Lopez, Antonio C., La presencia Espanola en el norte
Sulawesi durante el siglo XVII,
Revista de Indias, vol.LXXVII no.269, Madrid, 2017.
Coleccion
de Documentos Ineditos Para la Historia de Espana, Correspondencia de Don Geronimo de
Silva con Felipe III, tomo 52, Madrid, 1868. Google Books.
Coolhas,
Dr.W.Ph., Generale missive van Gouverneurs-Generaal en Raden aan
Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, deel 1-4 (1610-1685), Martinus
Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1960-1971.
Colin,
P.Francisco, Labor Evangelica, y Ministerios Apostolicos
de los Obreros de la Compania de Iesus en las Islas Filipinas, Madrid,
1662.
Costa,
Horacio de la, The Jesuits in the Philippines, 1581-1768,
Harvard University Press, Cambridge, 1967.
De
Clercq, F.S.A., Overzijde der Ranojapo, Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-
en Volkenkunde, XIX, 1870.
De
Huerta, P.Fray Felix,
Estado geografico, topografico,
estadistico, historico-religiosa de la santa y apostolic province de S.Gregorio
Magno, Imprenta de M.Sanchez, 1865.
De
Jonge, Jhr.Mr.J.K.J.,
De opkomst van het Nederlandsch gezag in
Oost-Indie (1596-1610), derde deel, 1865.
De
la Concepcion, P.Fr.Juan, Historia General de Philipinas, tomo VI, Manila, 1788.
Dunnebier, W.,
Over de vorsten van Bolaang-Mongondow,
Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, deel 105,
no.1. 1949.
Gomez Platero, P.Fr.Eusebio,
Catalogo biografico de los Religiosos
Franciscanos de la provincial de San Gregorio Magno de Filipinas desde 1577 en que
Ilegaron los primeros a Manila hasta los de nuestros dias, Imprenta del
Real Colegio de Santo Tomas, Manila, 1880.
Graafland,
N., De Manadorezen, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indie, deel 15, Batavia, 1868.
Godee
Molsbergen, E.C., Geschiedenis van de Minahassa tot 1829,
Landsdrukkerij, Weltreveden, 1928.
Heeres,
Mr.J.E., Dr.F.W.Stapel (ed), Corpus
Diplomaticum Neerlando-Indicum, derde deel
(1676-1691), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie,
deel 91, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1934.
Henley,
David, A Superabundance of Centers: Ternate and the Contest for North Sulawesi,
Cakalele vol.4, 1993.
Herrera
Reviroego, Jose Miguel,
Manila y la Gobernacion de Filipinas en el Mundo Interconectado de la segunda
mitad del siglo XVII, (PhD dissertation),
Universitat Jaume I, 2014.
Martinez,
P.Fr.Domingo, Compendio Historico de la Apostolica
Provincia de San Gregorio de Philipinas de Religiosos Menores Descalzoz de
N.P.San Francisco, Viuda
de Manuel Fernandez, Madrid, 1756.
Padtbrugge,
Robertus, Beschrijving der zeden en
gewoonten van de bewoners der Minahasa, Bijdragen tot de Taal-,Land-en
Volkenkunde, deel 13, 1866.
Riedel,
J.G.F., De Minahasa in 1825, Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en
Volkenkunde, deel 18, 1872.
----De Volksoverlevering betreffende
de voormalige gedaante van Noord-Selebes en den oorsprong zijner bewoners,
Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, derde serie, 5 de jaargang, 1871.
----Het
Landschap Bolaang-Mongondouw, Tijdschrift
voor Indisch Taal-,Land-en Volkenkunde, deel
13, 1864.
----Het
Oppergezag der vorsten van Bolaang over Minahasa (Bijdrage
tot de kennis der oude geschiedenis van Noord-Selebes), Tijdschrift voor
Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel 17, Batavia, 1869.
Rodrigues
y Fernandez, D.Ildefonso,
Historia de la muy noble, muy leal y
coronada villa de Medina del Campo, Editorial Maxtor, Madrid, 2008
Sánchez
Pons, Jean-Nöel, MisÃon y dimisÃon: Las Molucas en el siglo
XVII entre Jesuitas Portugueses y Españoles, dalam Jesuitas e Imperios de Ultramar Siglos XVI-XX, edited by Alexander
Coello, Javier Burrieza and Doris Moreno, Silex, Madrid, 2012.
Schouten,
Maria Johanna, Patrimonia enigmatico:os Portugueses na
memoria colectiva na Minahasa, Veritas-Revista Cientifica da Universidade
Nacional Timor Lorosa’e, vol.4 no.3 Desember 2016.
Supit,
Bert, Minahasa dari amanat Watu Pinawetengan
sampai gelora Minawanua, Sinar Harapan, Jakarta, 1986.
Taulu,
H. M., Sedjarah Minahasa, Badan Penerbit dan
Penjiar Buku Membangun, Manado, 1951.
----Sebingkah sedjarah perang Minahasa-Spanjol, Jajasan Pembangunan,
Manado, 1966.
Tiele,
P. A., J. E. Heeres
(ed), Bouwstoffen voor de geschiedenis
der Nederlanders in den Maleischen Archipel, deel 1 dan 2, Martinus Nijhoff,
‘s-Gravenhage, 1877, 1886.
Valentijn,
Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, vyf deelen,
Joannes van Braam dan Gerard Onder de Linden, Dordrecht dan Amsterdam, 1724.
Van
der Dijk, Mr.L.C.D.,.Mededeelingen uit het Oost-Indisch Archief,
J.H.Scheltema, Amsterdam,1859.
----Neerland’s
vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam en
Cochin-China,
J.H.Scheltema, Amsterdam, 1862.
Van
der Chijs. Mr.J.A., Dagh-Register
gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlands-India,
Anno 1664, Landsdrukkerij, s’Hage-Batavia, 1893.
Visser,
MSC, B.J.J., Onder Portugeesch-Spaansche Vlag De
Katholieke Missie van Indonesie 1511-1605, Amsterdam, 1925.
Watuseke,
F.S., Sedjarah Minahasa, tjet.2 Pertjetakan Negara, Manado, 1968.
----Sejarah Penginjilan di Minahasa, harian Manado Post, Manado, 1990.
Wessels,
C. , De Katholieke Missie in de Molukken,
Noord-Celebes en de Sangihe-Eilanden gedurende de Spaansche Bestuursperiode,
1606-1677. Henri Bergmans and Cie, Tilburg, 1935.
Wigboldus,
Jouke S., A.History of the Minahasa c.1615-1680,
Archipel, vol.34, 1987.
Wilken, N.Ph., J.A.Schwarz,
Allerlei over het land en volk van
Bolaang Mongondou, Mededeelingen van wege het Nederlandsche
Zendelinggenoostchap, elfde jaargang, Rotterdam, 1867.