Pesisir pantai Kendahe, negeri kelahiran Lorolabo (koleksi Micojan Bawuna). |
Kisah cinta Putri Lorolabo, seorang wanita cantik dari Kepulauan Sangihe menjadi legenda klasik yang terkenal tentang kasih seorang istri akan suaminya yang serong. Meski disia-siakan, dihina bahkan dicerai, ia membuktikan cintanya tak surut oleh waktu.
Lorolabo adalah putri bangsawan, anak dari Raja Kendahe Datu Buisan. Francois Valentijn penulis Oud en Nieuw Oost-Indie menyebutnya sebagai wanita bermartabat, putri dari seorang ibu yang terpandang. Ibunya adalah Bele Serieuw.
Masih kecil, ia telah ditunangkan dengan Lalero putra kedua dari Kaicil Garuda, Raja Tabukan. Perkawinan keduanya berlangsung ketika sudah cukup umur, di pertengahan tahun 1670-an. 1
Lorolabo sangat mencintai Lalero, apalagi setelah ia melahirkan seorang putra di tahun 1677. Anak yang dikasihi kakeknya, sehingga ditunjuk sebagai calon penggantinya di Kendahe dengan melangkahi banyak pamannya.
Lorolabo adalah penganut Islam yang taat. Tapi pada Jumat 3 Desember 1677 ia mengikuti suaminya dibaptis Protestan dan disahkan perkawinannya oleh Pendeta Zacharias Caheyng. Bertindak sebagai saksi adalah Gubernur Maluku Dr.Robertus Padtbrugge dan Raja Tahuna Don Martin Tatandam. Ia memperoleh nama baru Susanna, sementara suaminya memakai nama Marcus.
Namun kebahagiaan perkawinan mereka berakhir ketika suaminya Marcus Lalero menjadi Raja Tabukan tahun 1682 menggantikan ayahnya yang menjadi Kristen dengan nama Francisco Maccaampo yang meninggal. 2
Tiba-tiba Marcus Lalero menceraikan Lorolabo dan mengambil janda beranak dua sebagai penggantinya. Menjadi masalah besar karena janda tersebut adalah Salontingo, istri Bangkal, adiknya sendiri. Bangkal yang bernama Martinus baru meninggal, sementara Salontingo yang memperoleh nama baptis Joanna Lolonsego memiliki dua anak dari Bangkal.
Kejadian ini menghebohkan dan banyak dikritik, termasuk oleh Datu Buisan ayah Lorolabo yang memintakan keadilan kepada Gubernur Kompeni di Ternate. Tapi, Lalero tidak perduli.
Bahkan, untuk pembenaran tindakannya Lalero berangkat sendiri ke Maluku menemui Gubernur Jacob Lobs yang telah mengggantikan Padtbrugge. Lalero tiba di Ternate awal bulan Juli 1684.
Dalam pengakuannya kepada Lobs, ia menyalahkan ayahnya yang mengatur perkawinan mereka, bukan atas kehendaknya sendiri. Perkawinan yang terjadi dianggapnya sebagai sebuah toteriha (perkawinan paksa). 3
Menurut Lalero, ayahnya memberikannya ketika masih kecil kepada Putri Lorolabo, dan adiknya Bangkal kepada Putri Salontingo.
Padahal Salontingo adalah kekasih pertamanya, dan sejak awal sedari kecil itu ia tidak memiliki kasih sayang untuk Lorolabo, sebab sudah begitu akrab dan mencintai Salontingo.
Jadi ketika Bangkal meninggal, menurut Lalero, rasa cinta tersebut berakar kembali, sehingga mereka berdua telah hidup sebagai suami istri.
Lalero menuduh Lorolabo melakukan hal yang tidak pantas dan dia sekarang menjadi seorang Kristen sementara Lorolabo masih sangat Islam. Ia memohon toteriha yang diatur ayahnya itu diputus dan memberinya izin perkawinannya dengan Putri Salontingo yang telah memberinya beberapa anak.
‘’Dengan izin ini baru kemudian dia akan merasa berhak atas kekuatan kerajaannya untuk mempromosikan sekolah dan gereja dengan benar. Dan, ia mengatakan tidak bisa hidup tanpa putri itu,’’ tulis Lobs dalam surat ke pemerintah tinggi Kompeni di Batavia 30 Juli 1684.
Lorolabo tidak diam. Ia menyurat ke Ternate meminta keputusan terbaik pernikahan antara dia dan Lalero seraya mengatakan memahami sekali apa yang dikatakan Lalero tentang dirinya. Lorolabo meminta penetapan dan penyelesaian kasus tersebut dari pemerintah tinggi Kompeni.
Gubernur Lobs serta Predikant Ternate Ds.Cornelius de Leeuw tidak dapat memutuskan perkara. Mereka memintakan penetapan dan penyelesaian kasus dari pemerintah tinggi Kompeni. 4
Ternyata kasus Raja Tabukan ikut membingungkan Pemerintah Tinggi Kompeni di Batavia yang melimpahkan masalah tersebut kepada Dewan Gereja (kerken-raad) Batavia, karena berkaitan dengan urusan gerejawi.
Dewan Gereja Batavia yang bersidang pada 22 Januari 1685 harus meminta saran dari Direktur Kompeni Antoni Hurdt, yang empat hari kemudian tidak dapat memberi jawaban memuaskan.
Sebanyak empat belas poin dikembalikan ke Ternate. Pertanyaan seputar status dan mati atau hidup dari anak-anak Bangkal dan Lalero dari Salontingo, agama dari Lorolabo dan Salontingo. Dan, apakah ketika menghamili Salontingo Lalero masih menikah dengan Lorolabo.
Baru dua tahun kemudian, tanggal 27 Januari 1687 Dewan Gereja Batavia dengan memperhatikan pernyataan dari Ds.de Leeuw atas empat belas poin Raja Tabukan, menyimpulkan adanya perbedaan mencolok dengan pernyataan Lalero dalam surat Lobs 30 Juli 1684.
Sebab diketahui Marcus Lalero Raja Tabukan menikah dengan Putri Lorolabo dan mereka berdua masuk Kristen. Juga saudaranya Bangkal menikah dengan Putri Lolonsego yang sebelumnya disebut Salontingo, dan keduanya telah menjadi Kristen.
Keputusan yang diambil, ‘’Bahwa setelah Bangkal ini meninggal, maka adalah haram saudaranya Marcus menceraikan istrinya sendiri Lorolabo dan menikahi Lolonsego, janda saudaranya, sehingga kedua hal itu secara tegas dilarang dalam firman Tuhan.’’
Keputusan dipatuhi Lalero yang mengambil kembali Lorolabo sebagai permaisuri.
Tapi tidak bertahan lama. Lalero dilaporkan berselingkuh dengan istri mantrinya, Kapiten Laut Gingang, dan kemudian mengambil ulang Lolonsego sebagai permaisurinya.
Nasib Lorolabo menyedihkan. Dengan paksa ia dibawa kepada mantri utama Tabukan, Jogugu David Pandjalang yang adalah saudara Lorolabo sendiri. Lorolabo terakhir berlindung kepada ayahnya di Kendahe.
Antara Lalero dan Pandjalang sendiri sejak lama telah timbul ketidakharmonisan. Demi membela saudara wanitanya, Pandjalang
bertengkar hebat dengan raja dengan kata-kata tinggi mempertanyakan kekurangan dan ketidakpantasan dari saudara perempuannya yang adalah putri seorang raja sehingga diperlakukan demikian. Kebesaran dan martabat adiknya yang meski disia-siakan tidak melakukan apa pun untuk mengorbankan suaminya.
Kepada Vaandrig David Haag, Pandjalang menyebut tindakan raja sebagai satu perbuatan fasik yang tidak menyiratkan perilaku seorang Kristen. Belanda mengirim perwira pembantu itu pada 23 September 1688 untuk menyelesaikan perselisihan yang meruncing hingga Pandjalang harus lari mengungsi bersama seisi rumah tangganya ke hutan. Haag sempat ditemui Lorolabo yang berkeluh kesah ditinggalkan suaminya.
EPILOG
Sengketa antara Pandjalang dengan raja dapat didamaikan Belanda tahun 1691. Namun nasib Lorolabo menggantung, karena Lalero tetap menjadikan Lolonsego sebagai ratunya seperti dilihat Haag kembali di istana Tabukan tahun 1690.
Tanggal 4 Oktober 1695 Raja Marcus Lalero meninggal, dan karena putra mahkotanya masih kecil, kakaknya Mattheus Franciscus Maccaampo diangkat sebagai regent November berikutnya. Baru dua tahun kelak, di Tabukan pada 31 Juli 1697 Mattheus resmi dilantik jadi Raja Tabukan baru oleh Gecommitteerde Daniel Fiers mewakili Gubernur Salomon Lesage.
Putri Joanna Lolonsego meninggal di tahun 1697. Sementara
mantan ratunya yang malang Susanna Lorolabo meninggal dengan menyedihkan dalam bencana akibat erupsi Gunung Awu di Kendahe pada 10 Desember 1711. Ia ditemukan tewas bersama putrinya bernama Maria Sarabanong. ***
.
1. Valentijn menggambarkan Lalero sebagai orang yang terlihat lesu, lamban, tapi blak-blakan, dengan sifat yang menggairahkan. Namanya disebut Marcus Franciscus Lalero, sementara dokumen-dokumen Kompeni termasuk surat-surat yang ditulis Lalero sendiri, hanya mencatatkan namanya sebagai Marcus Lalero, tidak pernah memakai nama Jacobus. Jacobus adalah putra Lalero dari Putri Joanna Lolonsego yang kemudian menjadi Raja Tabukan dengan nama Jacobus Marcus Lalero menggantikan pamannya Mattheus Franciscus Maccaampo.
2. Tidak diketahui penyebab Belanda mengangkat Lalero sebagai raja pengganti ayahnya dengan melangkahi kakaknya Mattheus. Namun Lalero pada awal kedatangan Padtbrugge berperan besar sebagai wakil Tabukan. Bahkan mewakili ayahnya dan Tabukan dalam penandatanganan perjanjian perdamaian Siau di Ulu 8 November 1677 dengan nama Beta Lalero.
3. Toteriha kemudian dilarang Belanda di Sangihe-Talaud.
4. Ds.Cornelius de Leeuw adalah Predikant Ternate tahun 1680-1689. Ia belajar bahasa Melayu di Ambon dan setibanya di Ternate juga belajar bahasa Sangihe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.