Oleh: Adrianus Kojongian
Minahasa
sempat dilanda gempa bumi paling hebat dalam sejarah. Ada sekian banyak gempa
terjadi hingga abad ini, tapi, peristiwa yang berlangsung pada hari Sabtu
tanggal 8 Februari 1845, lebih seratus tujuh puluh tahun silam ini, terbilang
paling besar dan berdampak sangat hebat, karena merusak dan memporakporandakan
hampir seluruh tanah Toar-Lumimuut. Korban tewas sampai puluhan orang dan
ratusan lain mengalami luka-luka sementara ribuan kehilangan tempat tinggal.
Sayang ada
dua versi soal dimana pusat gempa. Penulis terkenal Nicolaas Graafland,
demikian pun dengan berbagai cerita rakyat banyak negeri Tombulu, menunjuk
episentrumnya berasal dari Gunung Lokon. Tapi, pendataan Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mencatat pusat gempa berada di Laut Sulawesi pada koordinat 1.48°Lintang
Utara dan 124,85°Bujur Timur.
Yang berbeda
lagi adalah detik awal kejadiannya. BMKG merinci kejadian berlangsung pukul
7.30.00 AM (ante meridiem), artinya
di pagi hari. Tapi, berita-berita resmi seperti dimuat berbagai koran di pulau
Jawa dan Negeri Belanda, peristiwa gempa baru dimulai pada pukul setengah tiga
sore (15.30 PM=post meridiem).
Kekuatan
gempa dicatat 7 pada Skala Richter tanpa data kedalaman gempa mau pun tinggi
gelombang atau pun berdampak tsunami.
Hampir semua
koran masa itu memuat peristiwanya di halaman depan meski sudah sangat basi,
karena baru heboh di Negeri Belanda pertengahan bulan September. Artinya, lebih
tujuh bulan setelah kejadian. Koran-koran tersebut semua mengutip corong resmi
pemerintah Hindia-Belanda yakni Javasche
Courant, yang juga baru memuat berita tersebut tanggal 21 Mei 1845.
Seperti di
lain tempat Indonesia, dari waktu ke waktu gempa terasa di Keresidenan Manado.
Meski hanya gempa berskala kecil. Namun, berdasar pengamatan masa itu,
selama dua atau tiga tahun terakhir, ada lebih sepuluh kali guncangan gempa.
Ini telah menyebabkan beberapa kerusakan besar, sehingga penduduk Manado
mengkhawatirkan konsekuensi serius akibat gempa yang lebih besar nanti.
Kekhawatiran
mereka terbukti ketika Sabtu sore 8 Februari 1845 pukul setengah tiga, terjadi
gempa hebat. Guncangannya hanya berlangsung selama limapuluh sampai
enampuluhdetik. Namun, akibatnya dahsyat. Rumah-rumah Minahasa yang sebagian
besar terbuat dari kayu dan berdiri di atas pengalas batu bergetar hebat lalu
ambruk dan hancur. Di banyak rumah lainnya, akibat getaran gempa membalik
lemari dan perabotan dan barang rumah tangga seperti lampu dan gelas serta
peralatan lain yang terbilang luks masa itu hancur atau rusak parah.
Sebagian
besar penduduk Manado harus melihat kerusakan yang terjadi dengan syok dan
sedih. Tapi, untungnya di ibukota (wilayah Distrik Manado, pusat pemerintahan
masa itu mencakup antara lain Sindulang dan Kampung Ternate, sekarang masuk
Kecamatan Tuminting Kota Manado) tidak ada orang yang kehilangan nyawa mereka.
Benteng (fort) Amsterdam yang berada tidak jauh
dari pantai mengalami kerusakan parah, dindingnya pecah dan hancur di semua
sisi. Kelak di kemudian hari benteng Amsterdam diperbarui, dan diberi nama Nieuwe Amsterdam=Amsterdam Baru.
Sementara bangunan batu sebagian besar runtuh dan tidak dapat digunakan. Terutama adalah bekas rumah kediaman residen yang telah dijadikan kantor mengalami kerusakan parah. Bagian depannya benar-benar runtuh, sehingga dianggap perlu dibongkar. Residen Manado Abraham Isaac van Olpen (1843-1850) mendiami sebuah bangunan kayu yang cukup besar, terletak agak jauh ke samping.
Sementara bangunan batu sebagian besar runtuh dan tidak dapat digunakan. Terutama adalah bekas rumah kediaman residen yang telah dijadikan kantor mengalami kerusakan parah. Bagian depannya benar-benar runtuh, sehingga dianggap perlu dibongkar. Residen Manado Abraham Isaac van Olpen (1843-1850) mendiami sebuah bangunan kayu yang cukup besar, terletak agak jauh ke samping.
Perumahan di
pusat kota Manado umumnya menderita. Tapi di kompleks perumahan penduduk Eropa
(Letter A-F), hanya satu rumah yang runtuh. Kompleks Kampung Cina (Letter G, sekarang
Kecamatan Wenang) menderita karena sebagian besar rumahnya berdiri di atas
tiang, selain runtuh dan tidak layak huni, akibat tanah longsor yang terjadi
pula.
Nasib sama menimpa
rumah-rumah penduduk Minahasa yang ada di Tikala, ibukota Distrik Ares
masa itu. Seorang wanita dan seorang anak dinyatakan tewas.
Berjarak
enam paal (sekitar 7 kilometer) dari
Manado berada negeri Lotta, ibukota Distrik Kakaskasen (sekarang masuk
Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa). Gempa meruntuhkan sebuah bangunan besar
yang berdiri di atas panggung tinggi. Saat kejadian, bangunan tersebut disesaki
hampir seratus orang yang sedang melaksanakan satu pesta. Akibatnya, semua orang
terkubur dibawah balok dan papan. Tapi, ajaib karena hanya satu wanita saja
yang tewas. Sisanya selamat meski banyak yang mengalami cedera dan memar.
Jauh dari
sana, di negeri Kakaskasen, masih distrik sama (sekarang masuk Kecamatan
Tomohon Utara Kota Tomohon), kebanyakan rumah penduduk roboh. Empat orang
tewas, dan terluka sebanyak dua puluh orang.
Di Distrik
Tomohon, rata-rata rumah juga roboh atau sebagian hancur. Korban tewas dicatat empat
belas orang, dan ada empat puluh korban luka.
Kerusakan di
Distrik Sarongsong (sekarang Kecamatan Tomohon Selatan) begitu parah. Semua
rumah penduduk telah runtuh, kecuali empat rumah lainnya. Disini lima orang
penduduk kehilangan nyawa.
Selain rumah
Gubernemen ada seratus enam puluh rumah baik besar mau pun berukuran kecil yang
runtuh, dan yang lain untuk sebagian besar tidak dapat dihuni lagi karena
kerusakan yang terjadi. Dua orang tewas dan dua lain terluka.
Gereja di
Tondano ikut rusak parah, sehingga tidak dapat digunakan.
Di
negeri-negeri lain dalam distrik Tondano (Tondano-Touliang dan
Tondano-Toulimambot), perumahan pada umumnya banyak menderita, Ada korban
terluka.
Di Amurang,
bentengnya robek, sehingga harus dihancurkan. Rumah-rumah penduduk banyak
mengalami kerusakan.
Kerusakan
akibat gempa di Tanawangko (ibukota Distrik Tombariri), begitu parah. Selain
empat rumah yang selamat, semua rumah lain roboh. Sekitar tiga puluh orang
kehilangan nyawa, dan banyak lain yang terluka. Jembatan dan jalan dari Manado
ke Amurang turut hancur, sehingga orang yang hendak ke Amurang harus merintis
jalan melalui hutan dan kebun.
Kerusakan
yang mengakibatkan banyak rumah roboh atau rusak berat terjadi pula di
negeri-negeri Distrik Kawangkoan, Rumoong, Tombasian dan Sonder. Sementara di Distrik Tompaso, Passan,
Ratahan, Belang (Ponosakan) dan Tonsawang (Tombatu), hanya sedikit atau bahkan
tidak ada kerusakan.
Di Kema
(ibukota Distrik Tonsea) dan Likupang (distrik senama), gempa terasa keras,
meski tidak menyebabkan kerusakan.
Puncak Gunung
Lokon di Kakaskasen pada saat gempa terbelah dan terjadi longsoran. Di Tomohon
banyak pohon besar tumbang dan terjadi longsoran batu-batu besar. Dari pengamatan saat itu, kekuatan getaran
gempa di sekitar gunung-gunung sangat terasa.
Di gunung
terdekat lain, bernama Talankau (Tolangkow), diantara Tomohon dan Pangolombian
(sekarang masuk Kecamatan Tomohon Selatan) terjadi retakan dan sebagian tanah
amblas. Seorang pria yang berada di dekatnya terperosok masuk ke dalam lobang. Untung
ia terhindar dari bahaya setelah ditolong orang lain.
Setelah
gempa Sabtu sore itu, masih hampir setiap hari terjadi gempa susulan. Guncangan
terakhir terjadi malam hari tanggal 17 Februari 1845 sekitar pukul duabelas.***
*). Lukisan
dari Reis door den Indischen Archipel,
L.J.van Rhijn, 1851.
BAHAN OLAHAN:
Delpher
Kranten:
Algemeen Handelsblad, 15 September
1845.
Arnhemsche Courant, 16
September 1845.
Javasche Courant, 21 Mei 1845.
Leydse Courant, 15 September 1845.
Nederlandsche Staatscourant, 13 September
1845.
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15 September
1845, 18 September 1845.
Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Minahasa Masa
Lalu dan Masa Kini, N.Graafland/Yoost Kullit, 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.