Senin, 01 Desember 2025

Kisah Dona Catharina Maimunina Somporiboan dari Tabukan

 



Dua putri bangsawan Tabukan tahun 1927.
KITLV 505389. 

  


Perkawinan politik sejak awal telah membudaya di kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Sulawesi Utara. Puteri Somporiboan dari Tabukan, sebuah kerajaan besar yang berada di Pulau Sangihe Besar adalah contoh klasiknya. Ayahnya adalah Raja Tabukan Kaicil Garuda sedangkan ibunya bernama Lolontingo adalah putri Raja Balango dari Tagulandang. Keduanya masih saudara sepupu, karena ayah Kaicil Garuda yakni Raja Francisco Gama bersaudara kandung dengan Raja Balango. 

Kecantikan Puteri Somporiboan terkenal di mana-mana. Namun sejak kecil ia telah dijodohkan ayahnya dengan putera mahkota kesultanan Ternate Kaicil Sibori, anak tertua dari Sultan Mandarsaha, demi hubungan politik. Seperti kerajaan lain yang berada di Kepulauan Sangihe, Ternate mengklaim Tabukan sebagai miliknya, meski bolak-balik dibantah oleh para raja Tabukan, termasuk Kaicil Garuda sendiri. 

Puteri Somporiboan kemudian dibawa ke Ternate. Kecantikannya memang menawan hati Kaicil Sibori atau dikenal pula dengan nama Kaicil Amsterdam. Di Ternate Somporiboan lebih terkenal dengan nama Putri Maimuna

Namun sampai tahun 1674, ia belum dinikahi secara resmi, sehingga membuat Puteri Somporiboan merasa kecewa. 

Kecewa dan rasa gusar yang luar biasa dialami pula oleh ayahnya Kaicil Garuda yang merasa dipandang sebelah mata. 

Kekecewaan Kaicil Garuda kepada Ternate telah tumbuh jauh-jauh hari ketika Sultan Mandarsaha di Ternate membentuk kerajaan Limau dan Saban. Kerajaan boneka Limau mengambil wilayah serta penduduk Tabukan sedangkan kerajaan Saban mengambil penduduk Tahuna sebagai rakyatnya. Seorang kapiten lautnya bernama Takaluman telah diangkat sebagai penguasa Limau.  

Hal itu masih ditahannya. Tapi kehormatan putrinya berada di atas segala-galanya. Raja Garuda merasa kecilnya rasa hormat Sultan Mandarsaha terhadap dirinya. Ia membela putrinya sebab telah dijodohkan dengan Kaicil Sibori dalam jangka waktu lama, tapi tidak ada konsekuensi pernikahan.

Karenanya Raja Garuda bermaksud untuk membawa pulang putrinya dan mengantarnya ke Tagulandang untuk belajar agama Kristen. 

Tagulandang masa itu diperintah wakil raja yang mewakili cucunya Philippus Bawias yang belum dewasa, setelah kematian anaknya Raja Anthony Bawias. Di bawah pemerintahan Anthony Bawias sejak tahun 1664 Tagulandang beralih menjadi Kristen.

Penguasa Maluku dari Kompeni Belanda, President Willem van Cornput ketika berkunjung di Manado Agustus 1674 mengkhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ia mendengar kabar tentang kekecewaan Raja Garuda tersebut dari kapiten laut Tabukan. 

Untuk mengatasi hal tersebut kepada Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker dalam surat bertanda Malayu di Kastil Oranje 1 September 1674, Willem van Cornput menjanjikan akan menasehati Kaicil Sibori mengenai pernikahannya dengan putri Raja Tabukan. 

 

DIPULANGKAN

Pernikahan Kaicil Sibori dan Puteri Somporiboan memang berlangsung. Namun ketika Kaicil Sibori naik tahta Ternate tanggal 1 Februari 1675 menggantikan ayahnya Mandarsaha yang meninggal 3 Januari 1675, bukannya diangkat sebagai permaisuri, Puteri Somporiboan justru dikembalikan ke Tabukan.   

Kaicil Sibori memberi alasan Puteri Somporiboan ingin pulang kembali dan ia tidak mampu menahannya. Belakangan Kapten Spanyol di Siau Andreas Serano menuduh putri Tabukan tersebut hanya sekedar selir yang diterlantarkan. Robertus Padtbrugge yang menjadi gubernur sejak 1 Desember 1676 membela Sultan Ternate itu bahwa Kaicil Sibori tidak pernah menahannya, juga tidak ditinggalkan atau mengusirnya, tapi pesan jujur kepada ayahnya sudah cukup.

Francois Valentijn sendiri menyebut alasan Puteri Somporiboan dipulangkan Kaicil Sibori pada ayahnya karena tidak diterima rakyat Ternate yang pemarah dan Kaicil Sibori tidak berani mempercayai mereka dengan penolakan itu. Dibalik itu Kaicil Sibori sedang merencanakan mengawini tunangan masa kecilnya Dain Rooze, putri pamannya Kalamata yang tinggal mengungsi di Makassar, meski Rooze telah kawin dengan pangeran Makassar dan sedang hamil.

Raja Garuda masih berharap keduanya rujuk ketika Kaicil Sibori Amsterdam datang untuk memerangi Raja Manganitu Don Santiago (Saint Jago) pada awal tahun 1675 itu, sebab didesas-desuskan kedatangannya adalah untuk menjemput istrinya. 

Kaicil Sibori dan Puteri Somporiboan sempat bertemu di Tabukan, bahkan bercengkerama di pantai. Tapi akhirnya berpisah, ketika sultan tersebut kembali ke Ternate pada bulan Juli 1675. 

Kekecewaan Raja Garuda terhadap Sultan Ternate dan Kompeni makin besar di bawah penguasa sementara Maluku Pedagang Kepala Jacobus de Gheyn yang mengganti Willem van Cornput yang meninggal 15 Juni 1675. De Gheyn kembali melontarkan kalimat bahwa Tabukan adalah milik Ternate. Padahal kepada komisi-komisi yang berkunjung Raja Garuda telah menjelaskan Tabukan tidak pernah menjadi wilayah taklukan Ternate, tapi hubungan kesetaraan dalam satu persahabatan sejak buyutnya Raja Makaampo. 

Diam-diam Raja Garuda mencari perhubungan dengan Spanyol dan Siau, yang menjadi musuh Kompeni dan Ternate, bahkan ia menyatakan keinginannya menjadi Katolik dan sekutu Spanyol. Para padri melihat peluang memperoleh sekutu dari kerajaan terbesar di Kepulauan Sangihe dan Talaud itu, dan mengatur rencana perkawinan antara Putri Somporiboan dengan Raja Siau Don Francisco Xavier (XaveriusBatahi yang menduda yang disetujui Raja Garuda dan Puteri Somporiboan

Tahun 1676 Raja Batahi mendatangi Tabukan dengan puluhan korakora dan binintang, lalu awal tahun 1677 ia kembali datang ke Tabukan dengan 30 perahu besar dan kecil untuk urusan perjodohan dengan putri Tabukan.

 

DISERANI DAN KAWIN DENGAN BATAHI

Namun keinginan Raja Garuda berubah setelah Gubernur Padtbrugge menaklukkan Raja Batahi dan Spanyol di Siau 1 November 1677. Apalagi Padtbrugge memberi jaminan perlindungan tanpa keterlibatan atau campur tangan dari Ternate lagi

Pada Jumat 3 Desember 1677 Raja Garuda dibaptis dengan nama Francisco Makaampo oleh Predikant Zacharias Caheyng, dengan saksi Padtbrugge dan Raja Tahuna Don Martin Tatandam. Ia mengambil nama ayahnya serta kakek buyutnya Makaampo yang terkenal. Ratunya Lolontingo bernama Maria. Puteranya Mattheus (Francisco Makaampo), Marcus (Francisco Lalero) dan Martinus (Francisco Bankal). Dua putrinya bernama Catharina dan Anna. Sementara anak mantu, istri Marcus, bernama Susanna (Lorolabo). 

Catharina adalah nama serani dari Puteri Somporiboan. Dalam suratnya kepada Raja Tabukan yang dicatatnya pula dengan nama Francisco Garuda, serta Raja Siau Francisco Xaverius dan Raja Tahuna dan Kolongan Martin Tatandam bertanda Manado di Benteng Amsterdam 31 Desember 1678, Padtbrugge menyebut nama lengkapnya adalah Dona Catharina Maimunina (atau Maimonade) Somporiboan. 

Perkawinan antara Putri Somporiboan dan Raja Don Francisco Xavier Batahi terjadi, bahkan mendapatkan restu dari Kaicil Sibori. Keduanya melahirkan 3 putra masing-masing Jacobus Xaverius, Jacobus Raramo (Raramenusa) serta David Manasaribu (Monasehiwu) alias David Xaverius.

Raja Don Francisco Xavier Batahi meninggal awal Januari 1687. Diikuti tidak lama kemudian jandanya Dona Catharina Maimunina Somporiboan pada tahun 1688. 

Menurut laporan Pedagang Isaac van Thye yang memimpin sementara Manado bertanda loji Kompeni Benteng Amsterdam Manado 18 Juli 1689, mantan Ratu Siau tersebut meninggal di negeri kelahirannya Tabukan. Namun ia sempat menyaksikan putra sulungnya calon raja Jacobus Xaverius dibawa ke Ternate untuk mendapatkan pendidikan Belanda. 

 

 

1. Jose Miguel Herrera Reviriego menyebut putri tersebut dikawini oleh Mandarsaha, ayah Kaicil Sibori Sultan Amsterdam.

2. Anthony Bawias adalah putra tertua Raja Garuda menjadi Raja Tagulandang menggantikan kakeknya Raja Balango memerintah tahun 1664-1668. Sedangkan putranya Philippus Bawias atau Philip Balango lebih terkenal dengan nama Don Philip Anthonisz atau kemudian Don Philip Anthonisz Makaampo baru dilantik menjadi Raja Tagulandang 9 Juni 1684.

3. J.E.E Scherrer mengungkap kisah Maimuna tidak ingin lagi menjadi istri Kaicil Sibori, berakibat rambutnya dicukur habis dan ditawan di rumah kecil di tepi pantai. Saudaranya Dalero (Lalero) yang disebut telah menjadi Raja Tabukan bersama Raja Batahi kemudian melarikannya dari Ternate, dan karena keajaiban yang dialaminya, Dalero pindah menganut Kristen.

4. Dalam Een opstand in de Molukkos, Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, kejadian disebut berlatar intrik politik persaingan mahkota Ternate. Pendukung Kalamata melalui budak pelawak kepercayaan Kaicil Sibori sengaja menyebar gosip Putri Tabukan anggun dan cantik, tapi Dain Rooze tunangannya, masih lebih cantik dan pintar, sehingga Kaicil Sibori tergoda ingin menjadikan Dain Rooze sebagai ratu. Ia mengirim jogugu ke Makassar meminangnya, sedangkan Putri Tabukan diantar pulang ke Sangihe oleh Kaicil Ali.

5. Gubernur Joan Henric Thim dalam surat pada Gubernur Jenderal Joannes Camphuys 20 Juni 1687 menyebut keduanya memiliki empat anak laki-laki. Putra keempat tidak diketahui namanya. Namun Predikant Ternate Ds.Gillius Cammiga mencatat ketika berkunjung di Pehe pada 1 Oktober 1697 ia telah membaptis Daniel, putra dari Pieternella Lolosego dengan Francisco Laigan, anak mendiang Raja Batahi serta saudara Raja Jacobus Xaverius. 

 

 

 

SUMBER:

Sejarah Kerajaan di Kepulauan Sangihe, Sitaro dan Talaud, naskah.

Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien, 5, Dordrecht-Amsterdam, 1724.

J.E.E Scherrer, De afkomst van Makaampo, BKI 115, 1959.

Jose Miguel Herrera Reviriego, Manila y Filipinas en el mundo interconectado de la segunda mitad del siglo XVII. (PhD dissertation), Universitat Jaume I, 2014 .

P.A.Leupe, Het Journal van Padtbrugge's reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden, BKI 14, 1867.


Selasa, 25 November 2025

Raja dan Ratu Siau meninggal karena cacar anak

 


Kerajaan Siau dan pulau wilayahnya.
NL-HaNA_4.MIKO_2658.2  



Banyak harapan ditujukan kepada Jacobus Xaverius sejak dilantik menjadi Raja Siau pada 1 Agustus 1696. Kompeni Belanda berharap dengan pengetahuan yang ditimbanya selama 8 tahun tinggal di Ternate, kefasihannya dalam berbicara dan menulis bahasa Belanda, maka apa yang dilihat dan dipelajarinya akan diterapkan ketika memerintah kerajaannya. 

Tapi harapan tersebut jauh dari kenyataan, bahkan mendatangkan kekecewaan yang besar bagi Gubernur Salomon Lesage yang telah melantiknya. Tidak ada kemajuan dalam pendidikan anak dan penyebaran agama pada penduduk. Sekolah hanya didatangi sedikit anak karena pergi ke hutan membantu orang tuanya. Penduduk juga jarang beribadah di gereja, karena banyak yang tinggal di hutan. 

Hampir setahun setelah Jacobus Xaverius menjadi raja, komisi Pedagang dan Fiskal Daniel Fiers dan Ajun Boekhouder Jan Walraven de la Fontaine yang berkunjung di Siau Juli 1697 menemukan kondisi kerajaan yang menyedihkan, dengan gereja tampak lebih cocok sebagai kandang kuda dari pada rumah Tuhan.  

Pehe, negeri kedudukan Raja Siau sangat memprihatinkan. Pertumbuhan agama serta pelayanan gereja dan sekolah ketinggalan dari pada negeri Ulu, Ondong atau Lehi, karena raja tidak bertindak apa-apa. 

Predikant Ternate Ds.Gillius Cammiga yang berkunjung di Pehe 25 September 1697 hanya menemukan 34 murid antaranya 4 anak perempuan di sekolah. Padahal ketika ia berkunjung tahun 1692 ada 70 murid dari 140 anak yang terdaftar. Bahkan Ds.Joannes Stampion yang membezuk sekolah dan gereja tahun 1695 masih mencatat sebanyak 68 murid. Pendeta Cammiga memindahkan guru Pehe Pieter Pays ke Dauw Kaidipang, menggantikannya dengan guru Thomas Naouhi dari Tamako. 

Raja Jacobus Xaverius tidak terlalu perduli dengan urusan pemerintahan, sedangkan para regent tersisa bersembunyi setelah Jogugu Jeronimo Daras dan Kapiten Laut Juan Noas meninggal. Penduduk menuntut keadilan menuduh pemerintahan para regent menyebabkan penderitaan karena mereka harus membayar pajak pendapatan tahunan berupa sejumlah uang atau padi atau hasil panen yang lain.  

Gubernur Salomon Lesage menuduh Raja Jacobus Xaverius melakukan hal-hal menjengkelkan dan kekanak-kanakan. Permasurinya Dona Catharina Statia yang berusia lebih tua darinya harus banyak campur tangan mengurus pemerintahan. 

Dengan keputusan Gubernur Salomon Lesage pada 1 Juli 1697 mantan jogugu Thomas Mahonis ayah Dona Catharina Statia diangkat kembali oleh Fiers dan de la Fontaine sebagai jogugu Siau pengganti Jeronimo Daras. Sedangkan mantan regent dan kapiten laut Santiago Manumpil dikembalikan menjadi kapiten laut menggantikan Juan Noas. 

Dalam surat kepada Gubernur Jenderal Mr.Willem van Outhoorn 26 September 1697 Lesage berpendapat dengan dibantu oleh mantri berpengalaman di bawah ayah mertuanya, Raja Jacobus Xaverius akan sedikit lebih baik. 

Perubahan memang terjadi. Ketika Ds.Joannes Stampion berkunjung kembali di Pehe 14 Agustus 1698 ia menemukan sebuah gereja baru dan rumah guru Thomas Naouhi yang juga baru. Meski Stampion masih memimpin kebaktian di rumah mendiang Raja Don Francisco Xaverius.

 

HARI SAMA

Ds.Abraham Feylingius yang membezuk sekolah Pehe 19 Juli 1700 melaporkan kemajuan berarti karena sekolah Pehe di bawah guru Thomas Naouhi sampai memiliki 116 anak murid. Sayang banyak anak meninggal karena cacar anak sehingga yang hadir di sekolah hanya 22 murid. 

Penyakit cacar anak menyebabkan banyak penduduk Siau tewas. Jemaat Kristen Pehe yang tahun 1698 ada sebanyak 1.111 orang, menurut Pendeta Feylingius tinggal 915 orang. Korban tewas di negeri Ulu bahkan mencapai 536 orang, belum korban dari negeri Ondong dan Lehi.   

Wabah cacar anak berjangkit sejak tahun 1700 di Maluku serta banyak tempat di Sulawesi Utara hingga Gorontalo dan menelan korban jiwa ribuan orang, baik anak-anak dan orang dewasa. Gubernur Pieter Roselaar masih menyebut dari laporan komisi yang berkunjung di Siau Desember 1701 adanya korban meninggal sebanyak 446 orang.   

Penyakit cacar anak ikut merengut pula nyawa Raja Jacobus Xaverius dan Ratu Dona Catharina Statia. 

Sang raja meninggal pada pagi tanggal 5 Mei 1701 diikuti tidak lama kemudian oleh permaisurinya Dona Catharina Statia di hari bersamaan. Usia Raja Jacobus Xaverius baru 24 tahun dan belum genap 5 tahun memerintah Siau. 

Dua saudara kandung Raja Jacobus Xaverius, yakni Jacobus Raramo dan bungsu David Manasaribu memperebutkan tahta sebagai calon raja pengganti.  

Tapi karena wabah penyakit cacar anak serta gangguan perdagangan, pemilihan raja baru tertunda-tunda. Untuk sementara waktu Gubernur Pieter Roselaar menunjuk Jogugu Thomas Mahonis menjalankan tugas pemerintahan sebagai regent.

Baru tanggal 12 Juli 1703 Jogugu Thomas Mahonis dan 4 mantri Siau tiba di Ternate, dan dalam pertemuan Dewan Maluku pada 28 Agustus, mereka memilih dari dua bersaudara Jacobus Raramo dan David Manasaribu, pangeran bungsu David Manasaribu sebagai raja baru Siau, karena dianggap cakap. 

David Manasaribu mengadopsi nama Xaverius atau Xavier dilantik Gubernur Pieter Roselaar menjadi Raja Siau yang baru di Kastil Oranje Ternate tanggal 10 September 1703.

 

 

REFERENSI:

 Sejarah Kerajaan di Kepulauan Sangihe, Sitaro dan Talaud, naskah.

H.B.Elias, Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau, Markas cabang Legiun Veteran RI Kotamadya Manado, 1973.

Hubert Jacobs, Documenta Malucencia, vol.III 1606-1682, Instititum Historicum Societatis Iesu (vol.126), Roma 1984.


Sabtu, 22 November 2025

Jacobus Xaverius, raja yang hilang dari sejarah Siau




   

Pemandangan di Siau
Nationaal Museum van Wereldculturen  



Sejarah Siau tidak mencatat beberapa raja yang pernah memerintah di masa lalu. Salah seorang diantara raja tersebut adalah Jacobus Xaverius. Jacobus Xaverius adalah putra tertua Raja Don Francisco Xavier (XaveriusBatahi.  

Wladcy Sangihe (Celebes Północny) umpama mengurai Raja Don Francisco Xavier Batahi digantikan berturut-turut oleh kedua putranya bernama Monasehiwu (1678–1687) dan kemudian Jacobus Rarame Nusa (1687-1703). Atau menurut H.B.Elias Raja Batahi diganti Monasehiwu alias Xaverius Jacobus (1678-1680), kemudian Rarame Nusa alias Hendrik Daniel Jacobus (1680-1716).

Raja Don Francisco Xavier Batahi mengawini Putri Somporiboan yang bernama Protestan Dona Catharina Maimunina. Catharina adalah putri dari Raja Tabukan Don Francisco Makaampo dan mantan istri Kaicil Sibori Sultan Amsterdam dari Ternate.

Putra pertama Don Francisco Xavier Batahi dan Catharina Maimunina Somporiboan bernama Jacobus Xaverius atau Lambetuaka lahir tahun 1677.

Dari surat Gubernur Robertus Padtbrugge bertanda Manado 31 Desember 1678 dan jurnal komandan pos Siau Sersan Jan Lodewyks, putra pertama mereka lahir bulan Desember 1678 di Tagulandang, dan putra kedua lahir 22 September 1680. 

Nama adik Jacobus Xaverius adalah Jacobus Raramo atau Raramenusa dan bungsu David Manasaribu atau Monasehiwu. Mereka semua dibaptis oleh Predikant Manado Ds.Zacharias Caheyng. 

Raja Don Francisco Xavier Batahi meninggal awal bulan Januari 1687. Sebelum kematiannya, Batahi telah menunjuk saudara iparnya Kapiten Laut Santiago Manumpil sebagai penguasa sementara Siau. Ia secara pribadi meminta Gubernur Joan Henric Thim untuk merawat putra sulungnya Pangeran Jacobus Xaverius dan membesarkannya lebih lanjut. 3  

Wasiat lainnya, bila telah dewasa pangeran tersebut harus dikawinkan dengan putri dari Jogugu Thomas Mahonis bernama Dona Catharina Statia

Pangeran Jacobus Xaverius baru dibawa ke Ternate pada tahun 1688, dikostkan di kompleks Malayu di rumah Gubernur Joannes Cops, pengganti Thim.   

Pemerintahan Siau selama raja muda di Ternate dijalankan dewan regent dibawah Kapiten Laut Santiago Manumpil (1687-1691), kemudian Jogugu Jeronimo Darras (1691-1696). Keduanya bertindak sebagai wakil raja atau regent utama.  

Pemerintahan oleh para wakil raja dan regent lain menimbulkan rasa tidak suka penduduk yang meminta raja muda mereka kembali dan mulai memerintah mereka. Daras memanfaatkan posisinya menuntut dari penduduk pendapatan tahunan yang biasa dinikmati raja-raja Siau sebelum kematian Raja Don Francisco Xavier Batahi. 

Penduduk Pulau Siau, Tamako dan Kabaruan biasanya membayar raja sejumlah uang atau padi, atau hasil panen yang lain sesuai kesepakatan. Tapi penduduk menolak membayarnya selama raja muda masih belajar di Ternate. 

Gubernur Cornelis van der Duyn yang memerintah Maluku ketika itu curiga penolakan penduduk gara-gara hasutan Thomas Mahonis yang tidak puas terhadap Jeronimo Daras. Gubernur ikut mencurigai rencana perkawinan Jacobus Xaverius dengan Dona Catharina Statia putri Thomas Mahonis yang telah diberhentikan sebagai jogugu dan salah satu regent sebagai satu mamalansa (perkawinan paksa). 

Tapi sang gubernur insyaf setelah melihat Pangeran Jacobus Xaverius cenderung mengikuti wasiat ayahnya. Namun karena belum mencapai umur dewasa dan mengkhawatirkan pelajaran yang akan berguna baginya di kemudian hari terbengkalai, gubernur mengambil keputusan Jacobus Xaverius tetap tinggal di Ternate selama beberapa tahun lagi. 

 

DIMAHKOTAI DENGAN SOMBRERO

Dalam surat Gubernur Cornelis van der Duyn dan penggantinya Salomon Lesage pada Jeronimo Daras dan Thomas Mahonis bersama bobato Siau 16 Mei 1696 diputuskan Pangeran Jacobus Xaverius sudah mencapai usia dewasa untuk menikah dengan Dona Catharina Statia dan memerintah Siau. 

Raja muda tersebut sudah berkali meminta untuk dikukuhkan dalam perkawinan yang segera akan dilakukan dalam beberapa hari ke depan. Daras dan Mahonis serta bobato Siau diperintahkan untuk segera mengangkatnya sebagai raja menurut adat istiadat Siau.  

Kepada pemerintah tinggi Kompeni di Batavia Lesage melaporkan tanggal 20 September 1696, Jacobus Xaverius telah mencapai usia 19 tahun dan selama 8 tahun tinggal di Ternate telah mempelajari bahasa Belanda, dan lancar baik bicara maupun menulis. 

Menurut Lesage, dalam beberapa minggu terakhir, Jacobus Xaverius kembali mengajukan permintaan untuk menikah dengan Dona Catharina Statia yang telah diijinkannya. Dan karena pertimbangan setelah kematian ayahnya Siau tanpa raja dan urusan menjadi liar di bawah penanganan jogugu, maka dengan persetujuan pemerintah tinggi Jacobus Xaverius telah ditunjuk sebagai penerus Raja Siau yang sah. 

Jacobus Xaverius resmi naik tahta sebagai Raja Siau pada tanggal 10 Agustus 1696. Ia dikukuhkan Gubernur Salomon Lesage di Kastil Oranje Ternate, dengan dihadiri mantri bobato Siau. 

Raja baru dan bobato meneken pembaruan kontrak. Kontrak terakhir ditandatangani oleh mendiang ayahnya Don Francisco Xavier Batahi pada November 1677. Raja dan mantri bersumpah setia serta berjanji memelihara dan menindaklanjuti hal yang sama. 

Raja Jacobus Xaverius dimahkotai dengan tongkat bertabur perak di ujungnya serta topi khas sombrero, dan kembali dengan rombongannya ke Siau pada tanggal 14 Agustus dibekali hadiah 12 hasta kain ellen. 

 

 

1. Putri Somporiboan pulang kembali dari Ternate setelah Kaicil Sibori naik tahta tanggal 1 Februari 1675. Ayahnya mencari perhubungan dengan Spanyol dan Siau, musuh Kompeni dan Ternate. Para padri melihat peluang memperoleh sekutu dari kerajaan terbesar di Kepulauan Sangihe dan Talaud itu, dan mengatur rencana perkawinan antara Putri Somporiboan dengan Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi yang menduda. Tahun 1676 Raja Batahi mendatangi Tabukan dengan puluhan korakora dan binintang, lalu awal tahun 1677 Raja Siau kembali datang ke Tabukan dengan 30 perahu besar dan kecil untuk urusan perjodohan dengan putri Tabukan. Namun perkawinan secara Protestan baru berlangsung akhir tahun 1677.

2. Hubert Jacobs menyebut Raja Don Francisco Xavier Batahi digantikan oleh Don Jeronimo Habo, seorang adiknya yang telah lama dipersiapkan menjadi penggantinya.

3. Dalam surat pada Gubernur Jenderal Joannes Camphuys bertanda Ternate 20 Juni 1687, Gubernur Joan Henric Thim mencatat Pangeran Jacobus Xaverius berusia sekitar 9 tahun.

 

 

 

REFERENSI:

 Sejarah Kerajaan di Kepulauan Sangihe, Sitaro dan Talaud, naskah.

H.B.Elias, Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau, Markas cabang Legiun Veteran RI Kotamadya Manado, 1973.

Hubert Jacobs, Documenta Malucencia, vol.III 1606-1682, Instititum Historicum Societatis Iesu (vol.126), Roma 1984.

 


Senin, 27 Oktober 2025

Makam Ds.Joan Thomas Werndly di Kaidipang



Boroko di Kaidipang September 1917.
(Walter Kaudern, The National Museums of World Culture/Wikipedia). 


Ketika Kompeni Belanda berkuasa di Sulawesi Utara termasuk kawasan Bolaang Mongondow Kristen Katolik dilarang. Hanya Kristen Reformasi atau Protestan yang diperkenankan. Agama yang dikenal penduduk sebagai agama Kompeni disebarkan kepada penduduk oleh para guru yang dikirim dari Ternate dan Ambon. 

Secara berkala datang para pendeta (predikant) dari Ternate pusat kegubernuran Maluku, bahkan sebelumnya dari Ambon. Kunjungan hampir rutin setahun sekali yang terus berkurang intensitasnya, dua kemudian tiga hingga berjeda sepuluh tahunan sebelum akhirnya tidak ada lagi menjelang kebangkrutan Kompeni. 

Agama Kompeni wajib dipeluk oleh para raja dan mantri utama. Perjanjian-perjanjian yang diteken setiap calon raja yang dinominasikan dewan kerajaan, selama pemerintahan Kompeni di Sulawesi Utara mensyaratkan hanya ada Kristen Reformasi. Bahkan dalam pasal kontrak selalu ditegaskan seorang permaisuri wajib seorang Kristen pula. 

Para pendeta yang memperoleh gaji besar darpemerintah Kompeni berkunjung ke Manado, Amurang, Tanawangko dan Likupang di Minahasa serta negeri besar yang ada di Sangihe Talaud dan kerajaan-kerajaan di pantai utara Sulawesi. Mereka melakukan pengajaran agama, membezuk sekolah, melakukan pembaptisan penduduk, pemberkatan nikah dan sidi hingga perjamuan kudus. Pembaptisan yang memprioritaskan kalangan anak selalu massal mencapai ratusan jiwa.   

Ada banyak pendeta yang pernah berkunjung di kawasan Sulawesi Utara. Salah seorang diantaranya adalah Pendeta Werndly. 

Sejarawan dan arsiparis E.C.Godee Molsbergen dalam bukunya Geschiedenis van de Minahassa tot 1829 menyebutnya bernama Georg Heinrich Werndly. Seorang teolog terkenal yang menulis tata bahasa Melayu baku pertama, yang tahun 1737 diangkat menjadi guru besar di Lingen Jerman dan meninggal pada tahun 1744. 

Namun dari surat-surat Gubernur Maluku Jacob Christiaan Pielat dan penggantinya Elias de Haeze, termasuk tinggalannya sendiri berupa raport kunjungan gereja dan sekolah yang dilakukannya, predikant tersebut adalah Ds.Joan (Johan) Thomas Werndly.  

Werndly menjadi predikant Ternate sejak sebelum tahun 1725 bersama Ds.Didericus Bontekoe dan Ds.Joan Henric Molt. Belakangan Werndly bekerja dengan Ds.Johannes Scherius dalam Dewan Gereja (Kerkenraad) Ternate. 

Tahun 1728 selang tanggal 8 Juli hingga 22 Desember Werndly melakukan kunjungan gereja dan sekolah, dimulai dari Makian dan Bacan di Maluku Utara, lalu di Sulawesi Utara di Manado, Amurang, Bolaang, Bolaangitang, Kaidipang, Buol, Atinggola hingga di Sangihe, Tagulandang dan Siau. 

Ds.Werndly berada di Kaidipang 21-23 Agustus 1728 dan membaptis 101 anak pada 22 Agustus. Balik kembali di Kaidipang 24 September, dari perjalanan ke Buol dan Atinggola, keesokan harinya sebelum ke negeri Bolaang ia membaptis 29 anak dan mengawinkan 3 pasangan suami-istri. 

Sekolah Kaidipang menurutnya mempunyai 83 murid, diantaranya 20 anak perempuan. Sedangkan jemaat Kristen sebanyak 1.477 orang. Untuk mengelola sekolah dan jemaat ada dua guru, Mattheus Danielsz dan Silvester Patilima guru yang baru diangkat Werndly.  


SAKIT DEMAM

Tahun 1733 Ds.Werndly kembali melakukan kunjungan gereja dan sekolah di Sulawesi Utara. Tapi ketika tiba di Kaidipang ia jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 24 Agustus 1733. Siang kedatangannya, Werndly sempat 4 kali melakukan pembaptisan kepada 346 anak. Pendeta tersebut dikuburkan di gereja Kaidipang.   

Raja Kaidipang ketika itu, Albertus Cornput (1729-1740) dalam sepucuk surat kepada Gubernur Elias de Haeze di Ternate bertanda Caudipan 30 Agustus 1733 melaporkan Ds.Werndly tiba di Kaidipang siang 15 Agustus 1733, tapi malam harinya demam menyebar ke seluruh tubuhnya hingga kematiannya. Ia masih dapat berbicara hingga tanggal 23 dan meninggal pukul setengah tujuh malam hari Senin tanggal 24 Agustus serta dimakamkan di gereja Kaidipang pada Rabu pukul empat sore. 

Janda Werndly bernama Josina van Bemmel tidak berhasil mengupayakan pemindahannya ke Ternate. 

Laporan terakhir tentang makam Werndly datang dari Ds.Ulpianus van Sinderen. Sinderen berkunjung di Kaidipang tahun 1761 masa Kaidipang telah dipimpin oleh Raja David Cornput (1750-1763). 

Sinderen melakukan perbaikan gereja Kaidipang dan perawatan makam Pendeta Werndly serta menunjuk Raja David Cornput dan guru Pieter Thomas sebagai pengelola kolekte gereja untuk pelayanan orang susah serta perawatan gereja dan makam Werndly. Guru kedua Kaidipang adalah Lucas Longi.  

Lokasi bekas gereja yang menyimpan makam pendeta Belanda tersebut tidak lagi diketahui, karena negeri ibukota Kaidipang sempat berpindah. Apalagi agama Kristen kemudian ditinggalkan ketika Raja Willem David Cornput (1782-1820) bersama penduduknya pindah menganut Islam pada masa pemerintahan Kompeni Inggris. 

 

 

 REFERENSI:

 Bolaang Mongondow Masa Kompeni dan Hindia-Belanda, Sejarah kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaangitang, Kaidipang, Kaidipang Besar, Bolaang Uki dan Bintauna, naskah.

B.J.van Doren, Bijdragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz, 1 (Amsterdam, 1860).

E.C.Godee Molsbergen, Geschiedenis van de Minahassa tot 1829, Landsdrukkerij Weltevreden, (1928).

J.E.Heeres, Bouwstoffen voor de Nederlandsch-Indische Kerkgeshiedenis, MNZG 45, M.Wyt&Zonen, (Amsterdam,1901). 

Selasa, 21 Oktober 2025

Kristen Lama di Bolaang Mongondow

 


Peta kawasan Bolaang Mongondow
NL-HaNA_4.MIKO_1630.
  


Banyak publikasi sekarang mengungkap masa pra-Islam di Bolaang Mongondow, Bolaangitang, Kaidipang, dan Bintauna, yakni kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di kawasan Bolaang Mongondow, adalah tempo pada periode dan pengaruh Kristen Katolik.

Pendapat demikian banyak dikemukakan oleh para penulis dan sejarawan daerah ini. Muncul dalam banyak tulisan lepas, bahkan terbitan berbentuk buku sejarah serta karya dan dalam jurnal ilmiah. Para raja kerajaan-kerajaan ini hingga ketika Islam menggantikan perannya sejak dekade awal abad ke-19 ditegaskan sebagai penganut Katolik.  

Pertanyaannya, benarkah demikian?   

Katolik pernah berjejak di kawasan yang sekarang mekar beberapa kabupaten dan kota ini. Misi pertama kali dibawa oleh padri Jesuit Diogo Magelhaes pada tahun 1563. Meski raja dan penduduk Bolaang Mongondow berkeinginan menjadi Katolik, Magelhaes menolak melakukan pembaptisan, karena rajanya telah diislamkan oleh Kaicil Guzarate yang datang dalam armada Ternate pimpinan Baabullah yang dikirim oleh Sultan Hairun. Magelhaes sekedar membaptis Raja Kaidipang pada persinggahan awal, dan ketika kembali dari Tolitoli, ia membaptis selama 8 hari 2.000 penduduk Kaidipang. 

Tahun 1568 Padri Pedro Mascarenhas mengunjungi ulang Bolaang Mongondow dan Kaidipang. Tapi, ia tidak melakukan pembaptisan apa-apa. Mascarenhas hanya meneguhkan penduduk yang dibaptis Magelhaes di Kaidipang serta memberi pengajaran agama. 

Misi Jesuit di Kaidipang selanjutnya tidak banyak diketahui, karena tidak ada laporan resmi adanya kunjungan imam Jesuit kembali. 

Upaya pengkristenan dilakukan kembali kaum Fransiskan dengan kedatangan Padri Sebastian de Benevente y Sanches (San Jose) dan Francisco Antonio de Santa Ana yang sempat dijamu oleh Ratu Kaidipang Dongue 15 Juni 1610. 

Dongue mengaku telah diajar iman Katolik oleh seorang imam yang berada di Kaidipang beberapa tahun sebelumnya, namun belum dibaptis. Ia akan dengan senang hati menerima baptisan kudus jika seorang imam tinggal menetap di Kaidipang. Tap kedua padri tersebut martir di Buol dan Tagulandang pada 18 dan 28 Juni 1610. 

Fransiskan masih melakukan upaya pengkristenan tahun 1612 dengan mengirim Padri Juan del Cano dan Cristobal Gomes, tapi juga tidak ada laporan hasil pekerjaan mereka di pantai utara Sulawesi. 


LINKAKOA DAN ORANG DEKAT

Katolik tumbuh kembali pada periode menjelang akhir pengaruh Spanyol dari para imam Jesuit. Tahun 1675 Ratu Bolaangitang Linkakoa yang disebut pula Sinkakoa atau Luihahoa dibaptis Padri Carlo Turcotti bersama 500 penduduk yang mencakup sejumlah warga Kaidipang di dekat Bolaangitang.  

Di bawah Linkakoa, Bolaangitang adalah negara satelit dari kerajaan Katolik Siau. Raja Siau Don Ventura Pinto de Morales bersama Raja Tadohe dari Bolaang Mongondow telah menaklukkan Bolaangitang dan Kaidipang. Sebagai pemenang, Siau menjadi penguasa Bolaangitang, dan Kaidipang dimiliki Bolaang, dimana Linkakoa diangkat menjadi Ratu Bolaangitang, sedangkan Bolaang mengangkat Mobiling sebagai Raja Kaidipang. Mobiling menjadi suami pertama dari Linkakoa. 

Ketika dibaptis Turcotti, Linkakoa, yang digambarkan Gubernur Kompeni Belanda Robertus Padtbrugge sebagai seorang berpembawaan berani dan dalam segala hal adalah wanita yang gagah tersebut, memakai nama Dona Magdalena atau Elena Linkakoa. Atau dalam laporan Belanda lainnya disebut Elisabet Linkakoa atau juga Maria Linkakoa. 

Gelar kehormatan orang-orang yang telah dibaptis Katolik di masa Spanyol adalah Dona untuk wanita dan Don untuk pria

Selain Linkakoa, kerabat dekatnya adalah adik wanitanya yang bernama Dona Maria Duongo atau Dwong, serta Don Carlo jogugu yang menjadi salah seorang dari beberapa suami Linkakoa. Kemudian saudara ipar Linkakoa Don Ignacio Tambuca dan Don Francisco Gama seorang penasehatnya. Tokoh lain yang kelak memilih menjadi Kristen Reformasi seperti halnya Linkakoa adalah Kapiten Laut Don Pedro Goma dan Kapiten Don Santiago Bolangoa. 

 

SAUDARA LOLODA  

Di Bolaang Mongondow pengaruh Katolik dan Spanyol pada era tersebut meliputi keluarga dekat Raja Loloda Mokoagow. 

Loloda sempat dekat dengan Spanyol, meski laporan-laporan Belanda menegaskannya sebagai pagan. Kepercayaan pagan yang dianut Loloda diungkap oleh President Maluku Abraham Verspreet kepada Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker dan Dewan Hindia di Batavia 24 Agustus 1669. Hal mana ditegaskan kembali oleh Gubernur Cornelis van der Duyn dan penggantinya Salomon Lesage dalam surat bersama kepada Gubernur Jenderal Mr.Wllem van Outhoorn 14 Juli 1696. 

Seorang saudara laki-laki Loloda, yakni Pangeran Makarompis digambarkan Gubernur Padtbrugge sangat Spanyol. Kendati demikian tidak diketahui apakah Makarompis sempat menjadi Katolik ataupun Kristen Reformasi kemudian. Tapi dalam kapasitas jogugu di negeri Ayong Makarompis dikenal menjadi penganjur utama pembaptisan penduduk Ayong tahun 1679 ketika Kompeni Belanda mulai menanamkan legitimasinya. 

Makarompis pernah menjalin koalisi erat dengan Spanyol dan Siau. Ketika Makarompis menggerakkan perlawanan terhadap Loloda selama perang saudara yang berlangsung tahun 1670-1676, ia dibantu pasukan dan amunisi untuk perang oleh komandan infantri Spanyol di Siau Kapten Andreas Serano. Biasanya sebagai prasyarat dari hubungan dan bantuan Spanyol, apabila sekutunya telah memilih menganut agama kepausan. 

Apalagi dari surat Komandan Manado Vandrig (kemudian Letnan) Jochem Sipman (1668-1675) juga surat President Maluku Cornelis Francx pada Gubernur Amboina Anthonio Hurdt 26 Januari 1673 serta surat protes Gubernur dan Kapten Jenderal Spanyol di Manila A.Vergas Urtado (Juan de Vargas y Hurtado) pada pemerintah tinggi Kompeni di Batavia 10 Januari 1679, pada perang tersebut Makarompis diasistensi langsung oleh Jesuit dari Siau. 

Padri Manuel Espanol menjadi penasehat Makarompis Juli 1672 bersama seorang letnan dan dua serdadu Spanyol. Mereka berhasil membangun dua benteng pertahanan di Ayong. 

Tahun 1673 Padri Francisco Miedas yang bertindak sebagai penasehat Makarompis. Bulan Juni tahun tersebut Miedas datang bersama Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi. Batahi putra Don Ventura Pinto de Morales yang datang dengan 70 korakora dan binintang, meski ekspedisinya dengan tujuan utama ingin menghukum Raja Kaidipang Binangkal, sengaja membantu Makarompis dengan membunuh pendukung Loloda di Amurang Hukum Bala dan dua anak laki-lakinya. 

Tapi tiga saudara lain dari Raja Loloda dan Makarompis dari nama mereka kemungkinan kuat pernah dibaptis Katolik sebelum tahun 1675. Meski tidak ditemukan dokumen Katolik atau laporan dari pemerintah Spanyol di Manila yang mencatatkan adanya aktivitas dan pembaptisan oleh padri Katolik di Bolaang Mongondow. 

Ketiganya adalah Sougeha yang menggunakan nama Don Pedro Sougeha. Kemudian Dona Isabella, dan Konda atau Gonda yang memakai nama Dona Maria. 

Kemungkinan Padri Turcotti yang melakukan pembaptisan itu. Turcotti masa itu berada di Bolaangitang. Dugaan lain adalah Padri Manuel Espanol atau juga Padri Francisco Miedas. 

Selama pertikaian Loloda dan Makarompis, kedua saudara wanita mereka yakni Dona Isabella dan Dona Maria alias Gonda atau Konda tidak mendukung Makarompis. Mereka harus lari dari Mongondo, negeri ibukota Loloda masa itu. 

Jochem Sipman melaporkan pada President Willem van Cornput 20 Mei 1675 kalau Kapiten Laut Jeronimo Daras (mantan jogugu Siau, lalu menjadi menantu Loloda) bersama Bartholomeus Rampengang Hukum Manado yang dekat dengan Loloda, pada tahun 1674 telah diminta Loloda mengungsikan adiknya Dona Isabella dan kemudian Dona Maria bersama seluruh keluarganya untuk tinggal di Manado. 

Dona Isabella jatuh sakit dan meninggal di Manado tahun 1675. Sedangkan Dona Maria yang disebut pula dengan nama Catalina atau Catharina Conda oleh Loloda dalam sepucuk suratnya kepada Gubernur Cornelis van der Duyn 30 November 1692 adalah janda dari Raja Tolitoli Malikampo atau Patilima. Bulan Maret sebelumnya Dona Catalina dilaporkan Fiskal Jacob Claasz telah tinggal di negeri Passir, dekat dengan negeri Pajoa. 

Don Pedro Sougeha sendiri dilaporkan Coopman (pedagang) Daniel Fiers dan Boekhouder (pemegang buku) Jan Walraven de la Fontaine, yang melakukan kunjungan komisi di wilayah Bolaang Mongondow, terbunuh bersama 35 orang pengikutnya atas perintah Raja Buol. 

Setelah permusuhan panjang, kedua pejabat Kompeni Belanda itu menginisiatif perdamaian Bolaang Mongondow dan Buol dengan penandatangan perjanjian damai antara kemenakannya Raja Jacobus Manoppo dari Bolaang Mongondow dan Raja Jacobus Ladowali dari Buol yang diteken di ibukota masing-masing kerajaan selang Mei 1697. 

Katolik di kerajaan yang ada di kawasan Bolaang Mongondow secara resmi dilarang Padtbrugge sejak ekspedisinya ke Sulawesi Utara pada tahun 1677.   

 

.

REFERENSI:

Bolaang Mongondow Masa Kompeni dan Hindia-Belanda, Sejarah kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaangitang, Kaidipang, Kaidipang Besar, Bolaang Uki dan Bintauna, naskah buku.

Coleccion de Documentos Ineditos Para la Historia de Espana, Correspondencia de Don Geronimo de Silva con Felipe III, 52, (Madrid, 1868).

Arthur Basilio de Sa, Documentacao para a historia das missoes do Padroado Portugues do Oriente: Insulindia, 3 (1663-1567), Agencia geral do ultramar, Divisaao de Publicacoes e Biblioteca, (Lisboa, 1954).

B.J.J.Visser, Onder Portugeesch-Spaansche Vlag. De Katholieke Missie van Indonesiƫ 1511-1605, (Amsterdam, 1926).

---Onder de Compagnie, Geschiedenis der Katholieke Missie van Nederlandsch-Indie 1606-1800, (Batavia, 1934).   

Hubert Jacobs, Documenta Malucensia 1(1542-1577), Instititum Historicum Societatis Iesu, (Roma, 1974).

P.A.Tiele, De Europeers in den Maleischen Archipel, BKI, (‘s-Gravenhage, 1877-1887). 

Sigfridus Stokman, De Missies der Minderbroeders op de Molukken, Celebes en Sangihe in de XVIe en XVIIe eeuw, Collectanea Franciscana Neerlandica 2, (‘s-Hertogenbosch, 1931).