Oleh: Adrianus Kojongian
Belanda semakin
merasa Pulau-Pulau Talaud sangat penting, setelah Amerika Serikat mengklaim
Miangas, pulau paling bersipatan dengan Filipina. Segera dengan beslit Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda J.B.van Heutsz tanggal 4 Mei 1906 dibentuk Afdeeling Sangi-en Talaud-eilanden
berkedudukan di Tahuna yang dipimpin seorang asisten-residen tituler, yakni
H.Ch.Douwes Dekker mulai 11 Juni 1906, dan kemudian H.Th.Pino Post 26 Agustus
1908.
Kepulauan Talaud pun
dibentuk sebagai satu onderafdeeling
mencakup Kepulauan Nanusa dan Pulau Palmas alias Miangas. A.D.Vischer diangkat
sebagai Kontrolir Kepulauan Talaud berkedudukan di Lirung Pulau Salibabu,
menempati posnya sejak Agustus 1906. Untuk membantunya diangkat pula
J.E.Franken sebagai Aspiran Kontrolir. Selain itu ditempatkan seorang penulis
pribumi dengan gaji 25 gulden per bulan dan empat opas polisi bergaji 12,50
gulden.
Kebijakan baru tersebut
sangat mendadak. Karena baru pada 1 Oktober 1903 Residen Manado Steven Jan
Matthijs van Geuns yang belum lama mengganti Jellesma menetapkan kembali Lirung
sebagai tempat bagi pejabat sekelas Posthouder. J(ohannis) E(ugenius) Leidelmeijer yang telah
memimpin Talaud sejak tahun 1888 masih dipercaya sebagai pejabatnya (hingga
1905).
Setelah Kontrolir
Vischer, berturut-turut pejabat Belanda yang memimpin Onderafdeeling Kepulauan
Talaud adalah: E.Gobee (kontrolir) Desember 1910, L.Th.van Heusden (civiel
gezaghebber dengan fungsi kontrolir) 1911, M.R.Brouwer (civiel gezaghebber)
Februari 1913; J.H.Riem (kontrolir) Januari 1915, J.P.de Kat Angelino
(kontrolir) 1916, Th.P.Craus (civiel gezaghebber) Januari 1918, W.C.Voorn
(aspiran kontrolir) April 1922 dan A.F.Neijs (civiel gezaghebber) Oktober 1922.
PEMERINTAHAN SENDIRI
Kebijakan berikutnya
terjadi tahun 1912. Kepulauan Talaud dicanangkan menjadi Landschap ‘merdeka’
dengan pemerintahan sendiri yang mandiri. Lepas dari semua kerajaan induk,
serta memiliki uang kas landschap yang tersendiri pula.
Klaim dari semua raja
di Sangihe Besar, Siau dan Tagulandang atas depedensinya di Kepulauan Talaud
diakhiri.
Pejabat Raja Siau
Abraham Jacob Mohede di Ulu bersama landsgrootennya dengan deklarasi (verklaring) tanggal 6 Mei 1912
menyerahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda kejoguguan Mangaran, Kabaruan dan
Taduwale. Disusul Raja Tabukan David Sarapil dengan verklaring 11 Mei 1912
menyerahkan kejoguguan Lirung, Moronge, Salibabu, Kiama, Beo, Lobbo, Essang,
Banada, Amata dan Rainis.
Lalu Salmon Ponto Raja Kandhar-Taruna (Taruna telah digabung dengan Kandhar 1898) pada 13 Mei 1912 menyerahkan kejoguguan Nanusa. Bersama dengannya, di Tahuna di tanggal sama, Raja Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis menyerahkan Tarung dan Niampak. Dua hari kemudian (15 Mei 1912) di Tagulandang, Raja Tagulandang Laurentius Manuel Tamara menyerahkan kejoguguan Pulutan dan Lehang.
Kesemua kejoguguan yang diserahkan diambilalih serta diterima resmi dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia-Belanda A.F.W.Idenburg 18 Februari 1915 nomor 18.
Lalu Salmon Ponto Raja Kandhar-Taruna (Taruna telah digabung dengan Kandhar 1898) pada 13 Mei 1912 menyerahkan kejoguguan Nanusa. Bersama dengannya, di Tahuna di tanggal sama, Raja Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis menyerahkan Tarung dan Niampak. Dua hari kemudian (15 Mei 1912) di Tagulandang, Raja Tagulandang Laurentius Manuel Tamara menyerahkan kejoguguan Pulutan dan Lehang.
Kesemua kejoguguan yang diserahkan diambilalih serta diterima resmi dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia-Belanda A.F.W.Idenburg 18 Februari 1915 nomor 18.
Namun, tindakan
penyerahan koloni-koloni itu sangat tidak disukai raja-raja Sangihe. Terutama
Pejabat Raja Siau Abraham Mohede menentang terang-terangan penyerahan
wilayahnya di Talaud, termasuk rencana Belanda menggabungkan kejoguguan Tamako
serta pulau-pulau Mahumu, Kalama, Karakitan, Mahengetang, Bara, Nitu,
Salangkere, Siha, Silahe, Bowondeka dan Sengelon kepada Manganitu. Meski
kemudian menjadi tokoh paling pertama meneken deklarasi penyerahan wilayahnya di Talaud, Mohede segera
diberhentikan dengan keputusan pemerintah kolonial 19 Juni 1912 nomor 8. Hanya
sebulan setelah meneken verklaring. Ia digantikan pejabat lalu definitif raja
Anthonie Jafet Kansil Bogar yang kemudian menyerahkan enklave Tamako serta
pulau-pulau tersebut kepada Manganitu 9 Januari 1913.
Raja Tagulandang
Laurentius Manuel Tamara juga minta berhenti, dan disetujui dengan keputusan gubernemen 17
September 1912 nomor 23, digantikan Cornelius Tamaleroh (baca Mengenal Raja-raja Tagulandang 2).
Landschap baru diberi
nama Kerajaan Kepulauan Talaud (Talaud-eilanden) mencakup semua kejoguguan
bekas depedensi. Ibukota kerajaan ditetapkan di Beo di Pulau Karakelang. Segera
pula kedudukan kontrolir Kepulauan Talaud yang berada di Lirung dipindahkan ke
Beo bulan September 1915.
Penunjukan Beo
sebagai ibukota, awalnya mendapatkan tentangan keras dari President Jogugu
Lirung Simon Petrus Tukunan (fam sering ditulis Toekoenan atau Tucunan). Namun,
kemudian tanggal 20 September 1913, Tukunan datang ke Manado menemui Residen
Philipe Jules van Merle, dan menyatakan keterikatannya dengan pemerintah
kolonial, serta keinginannya untuk tetap berada di wilayahnya.
Berdasar pasal 4
beslit 18 Februari 1915, Zelfbestuur
Landschap Kepulauan Talaud dilaksanakan oleh Dewan Jogugu (Landsgrooten),
terdiri dari para jogugu dan dipimpin oleh kontrolir Talaud-eilanden.
Peresmian dewan
jogugu berlangsung 27 Maret 1916 dengan penandatanganan korte verklaring (pernyataan singkat) uniform model (model seragam) yang memperoleh peneguhan dengan
beslit gubernemen 29 September 1916 nomor 3.
Para jogugu yang
bertindak sebagai bestuurder Landschap Kepulauan Talaud dan telah meneken korte
verklaring adalah Julius Sario Tamawiwij (fam sering hanya dicatat Tamawiwi);
Corinus Lampah, Nicolaas Goemansalangi, Cornelis Alex Sario Tamawiwij dan
Petrus Willem Bamboeloe.
Julius Sario
Tamawiwij adalah Jogugu Karakelang Utara (Noord Karakelang) sejak tahun 1915.
Ia menjadi tokoh menonjol di Talaud menggantikan peran President Jogugu Lirung
S.P.Tukunan. Tahun 1920 ia menjadi jogugu seluruh Karakelang. Corinus Lampah
Jogugu Salibabu, tapi kemudian digantikan Cornelis Alex Sario Tamawiwij tahun
1920. Sementara Nicolaas Goemansalangi adalah Jogugu Kabaruan, sebelumnya
sampai 1915 menjabat President Jogugu Mangaran.
Kemudian, dengan
kesepakatan dari Dewan Jogugu yang memperoleh beslit dari gubernemen
Hindia-Belanda 15 Juli 1921 nomor 24, pasal 4 dari keputusan 18 Februari 1915
dicabut. Kepada Jogugu Karakelang Julius Sario Tamawiwij diberikan otoritas
sebagai raja.
Julius Sario
Tamawiwij resmi diangkat menjadi Raja Kepulauan Talaud dengan meneken korte
verklaring model seragam tanggal 8 September 1921 dan akte van verband. Segera pada 28 Juli 1922 dengan beslit bernomor
31, ia memperoleh pengakuan dan konfirmasi (pengukuhan) Gubernur Jenderal
D.Fock. Gelarannya sebagai Paduka Raja.
TINGGAL DUA
Dalam
perkembangannya, Kepulauan Talaud dari 18 kejoguguan yang ada, sejak tahun 1915
disederhanakan lagi, tinggal tersisa 5 kejoguguan. Jabatan President Jogugu
ditiadakan, dan Jogugu disederajatkan sebagai kepala distrik.
Kejoguguan Karakelang
Selatan (Zuid Karakelang) terdiri 15 negeri, yakni: Beo, Makatara, Matahit,
Tarohan, Rusoh, Tarun, Melonguane, Mala, Kiama, Tule, Pulutan, Alo, Rainis,
Bantane dan Tabang.
Kejoguguan Karakelang
Utara (Noord Karakelang) terdiri 15 negeri: Lobbo, Rae, Awit, Ensem, Kuma,
Essang, Lalue, Bulude, Bambung, Gemeh, Arangkaa, Apan, Ammat, Dapalan dan
Binalang.
Kejoguguan Pulau
Salibabu terdiri 8 negeri, yakni: Lirung, Moronge, Salibabu, Bitunuris, Balang,
Sereh, Kalongan dan Musi.
Kejoguguan Pulau
Kabaruan terdiri 8 negeri, yakni: Mangaran, Kabaruan, Birang, Akas, Damau,
Taduwale, Pangeran dan Bulude.
Kemudian, kejoguguan
Kepulauan Nanusa terdiri 6 negeri, yakni: Karatung, Miangas, Kakorotan,
Marampit, Laluhe dan Dampulis.
Lima kejoguguan pun
berangsur-angsur dikurangi, sehingga terakhir tinggal tersisa dua. Di Lirung
dan Nanusa. Tidak ada lagi dewan jogugu. Tetapi para jogugu yang menjadi
pejabat Landschap.
Di tahun 1932,
penduduk Kepulauan Talaud terdiri 31 orang Eropa dan yang sederajat, 23.566
penduduk asli (pribumi), 225 orang Cina dan 16 orang timur asing (vreemde oosterlingen). Total 23.838
jiwa. Penduduk Talaud hampir semuanya telah beragama Kristen Protestan.
Ds.Brilman mencatat
di awal 1930-an penduduk Kepulauan Talaud sekitar 24.000 jiwa, dengan sekitar
13.000 tinggal di Karakelang, sementara catatan koran tahun 1936 sebanyak
25.000 jiwa.
Valentijn sendiri
menghitung penduduknya di akhir abad ke-17 sebanyak 13,000 jiwa dan Komisaris
E.Francis di tahun 1846 memperkirakan 13.650 jiwa. Sementara di tahun 1911
penduduk Kepulauan Talaud sekitar 25.000 jiwa, dengan Pulau Salibabu
berpenduduk 4.500 orang, Kabaruan 3.500, Karakelang 14.000 dan Kepulauan Nanusa
3.500 orang.
Pulau Miangas di
Kepulauan Nanusa menjadi perhatian internasional, berawal 21 Januari 1906
Gubernur Provinsi Moro dari Amerika Serikat Jenderal Leonard Wood
mengunjunginya, setelah juga datang diam-diam di tahun 1903. Amerika Serikat
kemudian mengklaim Miangas berdasar pasal 3 perjanjian damai Amerika Serikat
dan Spanyol 10 Desember 1898 (Perjanjian Paris) yang menyebut Pulau Miangas
termasuk dalam kepulauan yang dikenal sebagai Filipina. Belanda memprotes
menganggap Miangas sebagai bagian dari wilayah kepemilikannya selama lebih 200
tahun.
Setelah korespondensi
diplomatik yang alot, dengan perjanjian khusus 23 Januari 1925, disepakati
penyelesaian sengketa atas kedaulatan Miangas oleh Permanent Court of Arbitrase (mahkamah arbitrase antarbangsa) di
Den Haag Belanda. Hakim tunggal Prof.Dr.Max Huber memutuskan 4 April 1928
Miangas yang berpenduduk hampir 700 jiwa sebagai bagian dari wilayah milik
Belanda.
Merayakannya, tanggal
7 Mei 1929 di Miangas, dihadiri Raja Pulau-Pulau Talaud dan Residen Manado
dilakukan upacara pengibaran bendera Belanda.
Raja Julius Sario
Tamawiwij kelahiran tahun 1881 adalah anak Swensie Sario Tamawiwij, bekas
President Jogugu Beo. Ia mulai berdinas dalam pemerintahan lokal Talaud dalam
usia 18 tahun sejak 1899, dan bulan Maret 1917 dipilih duduk mewakili Kepulauan
Talaud sebagai anggota Landraad Manado. Ia dipuji suratkabat sangat dihormati
dan dicintai rakyatnya.
Bulan Agustus 1930
Raja Julius merencanakan mengundurkan diri, dan merekomendasikan saudaranya
Metusala sebagai pengganti. Namun batal dan ia masih memerintah Kepulauan
Talaud hingga meninggal dunia di Manado 19 Juli 1931 di rumah familinya, janda
dari Zendeling Wilhelm Richter, Carolina Auguste Sario Tamawiwij (baca pula Kepulauan Talaud Tempo Dulu 3).
Jenasahnya dilepas
Residen Manado Anton Philip van Aken, Ds.F.E.T.Kelling dan banyak pejabat
Belanda lain, serta penduduk asal Talaud di Manado. Dengan kapal uap gubernemen
Zwaluw dibawa ke Talaud dan dimakamkan di Beo 28 Juli 1931.
Saudaranya Metusala
Sario Tamawiwij (beberapa koran masa itu menulis sebagai saudara muda dari Raja
Julius), ditunjuk menjadi pejabat (waarnemend)
raja.
Suksesi Kepulauan
Talaud ternyata tidak berjalan mulus. Banyak calon raja bermunculan, baik dari
anak-anak Raja Julius, mau pun anak Metusala sendiri yang bernama Ernst Reinier
Sario Tamawiwij yang beberapa tahun tinggal dengan Kontrolir J.P.de Kat
Angelino di Toli-Toli. Juga dari keluarga bangsawan lain.
Awal tahun 1932
Metusala dipilih secara resmi. Namun penentangan terkuat datang dari Jogugu
yang juga menjadi salah seorang kandidat raja. Volksraad (dewan rakyat
Hindia-Belanda) dan pemerintah kolonial dibanjiri petisi dan tuduhan yang baru
berakhir setelah polisi kolonial melakukan penangkapan.
Masa itu, sebuah
peristiwa bersejarah terjadi di Lirung tanggal 30 April 1933. Estefanus Pata
Gagola bekas guru gubernemen di Gorontalo dan aktivis Indische Partij, dengan
Perkumpulan Anak Muda Lirung (Pamil) pada perayaan hari ulang tahun Putri Juliana
berpawai keliling Lirung memakai kemeja dan blus merah-putih. Akibatnya Gagola,
H.L.Tucunan Kapitein Laut Lirung dan C.A.S.Tamawiwij ditangkap Belanda dan
ditahan di penjara Sukamiskin Bandung. Mereka menjadi para perintis kemerdekaan
Indonesia dari Talaud.
Setelah tanpa raja
definitif lebih empat tahun, baru bulan Mei 1935 Metusala Sario Tamawiwij
dilantik secara resmi sebagai Raja Kepulauan Talaud dengan pesta adat besar dan
seremoni oleh pejabat Residen Manado, yakni
Asisten Residen A.Stuurman. Ia diteguhkan dengan gelaran Paduka Raja dan
meneken akte van verband.
Raja Metusala
memperoleh pengakuan dan konfirmasi pemerintah kolonial sebagai raja awal bulan Agustus 1935.
Dalam kedudukannya,
ia menerima gaji dari uang kas landschap Talaud sebesar 260 gulden per bulan
(dikorting 17 persen). Selain itu tunjangan untuk biaya perjalanan dan
akomodasi. Dua jogugu (di Lirung dan Nanusa) ikut memperoleh gaji, ditambah
tunjangan biaya perjalanan dan akomodasi. Kepala kampung (kapitein laut) tidak menerima
gaji, tapi insentif dari pengumpulan dan persentase pajak.
Putra Metusala yakni
Ernst Reinier telah bekerja di salah satu perusahaan pelayaran besar di
Batavia, dan suratkabar-suratkabar menganggapnya sebagai calon kuat pengganti
ayahnya nanti.
Tapi, tahun 1939 Raja
Metusala Sario Tamawiwij tiba-tiba diberhentikan.
Bestuur-assistent P.G.Koagouw diangkat Residen Manado menjadi
pejabat (waarnemend) Raja Kepulauan Talaud yang baru menggantikan Metusala
Sario Tamawiwij,
Koagouw berasal
Minahasa sebelumnya bertugas sebagai bestuur-assistent di Sulawesi Tengah.
Residen Manado M.van Rhijn menganggap eksperimen penempatan bestuur-assistent
F.P.Parengkuan sukses sebagai raja adinterim di Siau, sehingga menempatkan
Koagouw di Kepulauan Talaud.
Dua jogugu yang
membantu pemerintahan Koagouw adalah J.S.Lantaka di Nanusa dan Theopilus
Binilang Jogugu Lirung. Tidak beberapa lama ia diangkat resmi menjadi raja
definitif, karena Almanak 1941 telah mencatatnya sebagai raja.
MASA JEPANG
Posisi strategis
Kepulauan Talaud sebagai salah satu batu loncatan untuk menguasai Indonesia membuat
Jepang telah memata-matai Talaud sejak tahun 1930-an. Sebuah kapal selamnya
tahun 1936 muncul di perairan Salibabu dekat Lirung, dan beberapa waktu
kemudian di pantai utara Karakelang. Juga adanya 5 warga Jepang yang dicurigai
menjadi mata-mata dengan menyamar sebagai pedagang.
Ketika Jepang
menduduki Talaud, Raja Koagouw ditahan dan kemudian dieksekusi di Tahuna 19
Januari 1945, meski menurut versi lain pencopotan lalu pengeksekusiannya
bersama raja dan kepala Sangihe lain terjadi tanggal 7 Juli 1942 atau bahkan 9
November 1944 (berkait Misteri Kematian Raja-raja dan Tokoh Satal).
Jogugu Lirung
Theopilus Binilang diangkat Jepang menjadi raja (syutjo) menggantikan Koagouw.
Raja Binilang dan Wesseldijk 1945. *) |
Kepulauan Talaud
memang bernilai strategis. Jepang menempatkan satu garnizun berkekuatan 3.000
orang dengan lokasi teluk Beo yang vital untuk dukungan armadanya. Komandan Garnizun
Talaud terkenal adalah Kolonel Shigerie Koba.
Sebuah batalion dari
Resimen ke-111 Divisi ke-32 Jepang di Beo di bawah Mayor Tamura terkenal pula
karena sadisnya. Beberapa bulan sebelum Jepang menyerah tanpa syarat, tiga
orang penerbang dari Royal Australian Air
Force (RAAF) dari Australia dan seorang pilot Amerika Serikat melakukan
pendaratan darurat di Kepulauan Talaud saat terbang dari Morotai ke Kepulauan
Numfoor.
Tanggal 23 Maret 1945
keempat penerbang dieksekusi di markas batalion di Beo dalam acara yang disebut
Roman Holiday untuk menstimulasi
moral pasukan.
Keempat tahanan
diikat pada kayu berbentuk salib dan diposisikan di depan pasukan Jepang yang
sengaja diatur dalam empat kompi. Tiap kompi dengan satu tahanan. Para tahanan
kemudian ditusuk dengan bayonet melalui hati oleh tiap anggota kompi.
Kemajuan Sekutu dalam
Perang Pasifik menjadikan Talaud terutama Beo sasaran dari pesawat pembom yang
berpangkalan di Biak dan Morotai.
Bukan hanya fasilitas
militer yang rusak, tapi kota Beo benar-benar hancur total, termasuk
pelabuhannya akibat pemboman yang dilakukan oleh formasi pesawat B-25 Mitchell
dari Sekutu yang menimbulkan kebakaran hebat pula. Tidak ada rumah yang
tersisa, hanya Gereja Beo yang berada di pinggiran kota dimana di pekarangannya
berada nisan Zendeling Willem Richter mengalami rusak sebagian.
Gereja Beo setelah pemboman. *) |
Pasukan Sekutu dari
Australia di bawah Mayor R.C.Garnsey yang bertindak sebagai Komandan Talaud
Force dengan kapal HMAS (Her Majesty’s
Australian Ship) Bowen mengambilalih kekuasaan di Talaud dari Jepang.
Pasukan Sekutu telah diboncengi perwira L.C.Wesseldijk dari NICA Belanda.
Tanggal 14 Oktober 1945 di Lirung dan Beo diumumkam pembebasan bagi penduduk Talaud
dari penjajahan Jepang.
Tanggal 3 November
1945 Komandan Garnizun Talaud Kolonel Koba ditahan bersama Mayor Tamura, dan perwira
lain dari batalion Beo. Mereka di bawa ke Morotai dan diadili di pengadilan
militer Sekutu (Australia) atas kejahatan perang, serta dihukum mati (masih berkait Ironi Dai Nippon di Pengadilan Militer Morotai).
Raja Kepulauan Talaud
Theopilus Binilang masih memerintah hingga sistem kerajaan dihapus. ***
Raja-raja Kepulauan Talaud
Dewan Jogugu (Landsgrooten),
27 Maret 1916/29 September 1916-15 Juli 1921.
Julius Sario
Tamawiwij,
Corinus (Cornelis)
Lampah
Nicolaas Goemansalangi
Cornelis Alex Sario
Tamawiwij
Petrus Willem
Bamboeloe.
Raja Julius Sario Tamawiwij,
8 September 1921/28 Juli 1922-19 Juli 1931.
Pejabat Raja Metusala
Sario Tamawiwij.
Raja Metusala Sario
Tamawiwij, Mei 1935/awal Agustus 1935-1939.
Pejabat lalu Raja
P.G.Koagouw, 1939-1944.
Raja Theopilus
Binilang.
*).Foto dari Nederlands Institute voor Militaire Historie,
dan Australian War Memorial.
LITERATUR
Almanak 1941.
Delpher Kranten: Bataviaasch
Nieuwsblad 1903,1914,1915,1922,1931. De
Indische courant 1931,1932,1935. De
Preanger-Bode 1911. Het Nieuws van
den dag 1906,1910,1918,1930,1935,1936,1939. Het Vaderland 1932. Nieuwsgier
1954.
Explanation of the Netherlands Government in reply to a
request made on December 21,1926 by arbitrator in the dispute concerning the
island of Palmas (or Miangas), The Hague 1927.
National Library of Australia, Trove-Digitised newspaper and more. Koran-koran
selang 1945-1946.
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie
1905,1906,1908,1909,1912.
Snelleman, Joh.F. Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indie, vierde deel, ‘s-Gravenhage-Leiden, 1905.
Staten Generaal
Digitaal, Overeenkomsten met Inlandsche Vorsten in den Oost-Indischen
Archipel dan Koloniaal Verslag 1915,1918,1920,1922..
Stibbe, D.G. dan Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, achtste deel, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1939.
The Island of Palmas Case (or Miangas), Award
of the Tribunal, Arbitrator M.Huber, The Hague 4 April 1928.
Please,look on my fb for picture of Kapitan laut f Beo 1930-ies. Salam hormat: DP Tick Taken from collectie.wereldculturen.nl
BalasHapusfacebook: Donald Tick
BalasHapus