Oleh:
Adrianus Kojongian
Bintauna,
sebuah nama yang masih lestari pada salah satu dari enam kecamatan yang berada
di Kabupaten Bolaang-Mongondow Utara, pernah terkenal sebagai satu kerajaan.
Meski digolongkan mini dibanding lima kerajaan lain yang pernah ada di wilayah
Bolaang-Mongondow, namun --seperti
Bolaang Uki-- mempunyai keunikan tersendiri. Punya timpalan di wilayah yang
sekarang menjadi Provinsi Gorontalo. Sama-sama menyandang nama Bintauna.
Kedua
kerajaan memang bersaudara dan berkerabat dekat. Leluhur mereka, yakni penduduk
asli Bintauna, menurut Encyclopaedie Nederlandsch-Indie 1939, berasal dari Bwool,
seperti hal orang Kaidipang.
Kenapa
satu Bintauna, menjadi dua kerajaan (Landschap),
dijelaskan dalam memorandum pelantikan Raja Salmon Datunsolang di Manado 15
September 1866.
Penduduk
Bintauna telah ada di abad sebelumnya. Terbagi penduduk yang telah menganut
agama Islam dan bagian lain yang masih kafir. Yang pertama tinggal di wilayah
yang sekarang masuk Gorontalo, sedangkan yang terakhir hidup di sepanjang
pantai utara.
Semua
orang Bintauna, baik yang Islam mau pun kafir mematuhi satu Raja Bintauna yang
berkedudukan di Gorontalo.
Namun,
ketika agama Kristen (Protestan) mulai mendapatkan tempat di kalangan penduduk,
hal ini melahirkan masalah. Penduduk Bintauna yang masih kafir memeluk agama
Kristen. Sedangkan populasi Muslim tetap agamanya dengan Raja Islam yang
berkuasa.
Akibatnya
timbul perbedaan paham. Orang Kristen Bintauna menolak berada di bawah perintah
penguasa Islam. Mereka ingin berada di bawah perintah penguasa Kristen.
Maka,
terjadi perpisahan. Terbentuk dua Bintauna yang berdiri sendiri. Bintauna Utara
dikhususkan untuk penduduk Kristen. Sedangkan yang Islam berkedudukan di
Bintauna Selatan.
Tapi
kemudian, ditambahkan penjelasan nota pelantikan Raja Salmon Datunsolang itu, populasi
Bintauna Utara, mungkin, karena pengaruh Bugis, berpindah memeluk agama Islam.
Hubungan
antara Bintauna Utara dan Selatan dapat dipulihkan, meski pemisahan keduanya
tetap terjadi. Bintauna Selatan menjadi bersatu dengan Landschap Bone dan
Suwawa, dan terakhir menjadi bagian dari kerajaan Bone dalam Afdeeling
Gorontalo.
SURAT MOSSEL
J.Bastiaans
dalam Batato’s in het oude Gorontalo
mengungkap, pada abad ke-18, Bintauna berpenduduk Islam dan Kristen.
Perpisahan
kedua Bintauna, terjadi ketika orang Kristen Bintauna yang bermukim di pantai
utara mendirikan pemerintahan sendiri di bawah seorang regent. Kejadiannya
terjadi tahun 1755.
Perhubungan
dan ‘pengakuan’ dari VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie atau Kompeni Belanda) terhadap keberadaan Bintauna
Utara, ditandai dengan penandatanganan kontrak politik terpisah tanggal 5
Agustus 1769 antara Kristen Bintauna di bawah pimpinan Regent dengan Residen
Manado Seidilman (Johan Libregt Seidelman atau Seydelman, 1763-1770). Kemudian nanti
penduduk Kristen telah berpindah ke agama Islam.
Peristiwa
di dekade tersebut diperkuat oleh surat resmi Gubernur Jenderal Kompeni Belanda
Jacob Mossel 31 Desember 1759. Ia menulis adanya permintaan Putri Manilha asal
Boni (Bone, Landschap yang berada di Gorontalo), agar kerajaan kecil itu untuk
anak kakaknya Pangeran Abouli. Sementara, menurut Mossel, sebagian besar penduduk
Bintauna menjadi Kristen. Mereka justru meminta seorang Kristen untuk
menggantikannya.
Kemudian
dalam surat resmi 31 Desember 1760, Mossel mencatat pengaduan para mantri (rijksgrooten) Bintauna atas pemerintahan
Ratu Putri Manilha. Juga permintaan untuk mengangkat Jogugu Salmon Datunsolang
(ditulis Salomon Datonsola), seorang Kristen sebagai Regent pengganti.
Namun,
tidak diketahui kapan dan siapa pendeta yang mengkristenkan Salmon Datunsolang
serta penduduk Bintauna (utara) ketika itu. Tapi diperkirakan, agama Kristen (Protestan) berkembang
di Bintauna Utara, baru pada dekade kedua atau ketiga abad ke-18. Kemungkinan
besar karena pengaruh penduduk Kristen, yang telah lebih dulu berkembang di
Bolaang-Itang, Bolaang- Mongondow dan Kaidipang; serta dari kerajaan Atinggola
di Gorontalo.
Raport para Predikant Belanda di Ternate yang rutin
melakukan kunjungan di Sulawesi Utara menguatkan dugaan ini. Predikant
Abraham Feilingius tahun 1701 dan Ds.Arnoldus Brands 1705 mencatat di Bolaang (Mongondow) terdapat
153 orang Kristen. Bolaang-Itang 472 Kristen. Bwool 1.618 Kristen. Lewaas dan
Attingola 300 Kristen, serta Dauw di Kaidipang 486 Kristen.
Pendeta Brands bahkan
membangun sebuah sekolah Kristen di Bolaang tahun 1705. Sekolah tersebut tetap bertahan
hingga tahun 1831. Terakhir di bawah pimpinan guru Jacobus Bastiaan.
Sementara di
Atinggola terdapat sekolah lain yang tahun 1739 dipimpin oleh guru Bastian
Lokkoo, dengan rajanya saat itu Adriaan Patalima (Patilima), juga Kristen.
Begitu pun dengan Kaidipang dan Bolaang-Itang, dimana raja dan regent awal masih
Kristen Protestan (baca: Mengenal (Beberapa) RajaKaidipang,
dan Mengenal Sedikit Raja-Raja Bolaang-Itang).
Regent
Salmon Datunsolang lah yang pada 5 Agustus 1769 meneken verbond (perjanjian) dengan Kompeni Belanda diwakili Residen Manado
Seidelman. Tandingannya, Raja Bintauna di Gorontalo baru tanggal 4 November
1769 meneken konvensi dengan Kompeni Belanda untuk penyediaan debu emas,
bersama-sama Raja Atinggola, Bolango dan Bone.
Kontrak
berikut yang diteken atas nama Regent Bintauna (di Bolmong) berlangsung 8
November 1776. Raja Bintauna (di Gorontalo) bersama Raja Atinggola, Bolango dan
Bone mendahului pada 5 Agustus 1776 meneken renovasi dan ampliasi dari konvensi
1769. Regent Bintauna (utara) masih meneken verbond 10 April 1777 pula.
Setelah
Bintauna (utara) dipimpin oleh anak Salomon Datunsolang, Adriaan Salomon Datunsolang, perjanjian dengan Kompeni Belanda diteken dengan nama Regent Bintauna 24 Juli 1795 berupa acte
van assopiatie dengan Raja Bolaang-Mongondow.
Sementara
dengan pemerintah Hindia-Belanda (pengganti Kompeni Belanda), Adriaan Salomon Datunsolang sebagai Regent Bintauna
meneken kontrak 18 November 1829 untuk pemasukan emas, sebanyak 50 oncen per tahun.
Adriaan Salomon Datunsolang diangkat menjadi Regent Bintauna mengganti ayahnya yang mengundurkan diri karena usia tua. Ia dilantik regent di Kastil Orange Ternate 8 November 1776 oleh Gubernur Maluku Paulus Jacob Valckenaer
TENDENO DAN TOLUCCI
Menurut
Dr.J.G.F.Riedel, Tendenolah yang menjadi raja pertama dari kerajaan Bintauna, di
masa kerajaan Suwawa diperintah oleh Olongia (Raja) Bumbulo.
Masa
Tendeno dan Bumbulo diperkirakan awal abad ke-18. Sementara menurut taksiran
satu sumber lain, Tendeno baru menjadi Raja Bintauna, sekitar tahun 1730,
sehingga agak mustahil karena hampir sejaman dengan Kitjili Tolucci yang
diangkat Kompeni Belanda sebagai Raja Bintauna 1735.
Riedel
menjelaskan Tendeno adalah Raja Putri (Ratu) Bintauna, anak Tumungku. Bersama
dengan pengikutnya, Tendeno datang ke kerajaan Suwawa untuk mengunjungi kakaknya
bernama Gulabu yang telah meninggalkan Bintauna untuk waktu yang lama.
Tendeno
meminta kepada Raja Bumbulo agar diizinkan untuk menetap di tempat itu. Karena ia
tidak ingin kembali ke Bintauna, dimana ayahnya Tumungku terbunuh.
Raja
Bumbulo mengizinkannya. Setelah Tendeno membeli sebidang tanah di Suwawa, dia
tinggal di situ sebagai ratu bagi pengikutnya.
Maka,
seperti dicatat pula oleh Dr.B.J.Haga, berdiri 3 kerajaan di wilayah tersebut. Suwawa
yang memang penghuninya sejak awal. Lalu Bone yang penduduknya datang dari kerajaan
Bone di Sulawesi Selatan; serta Bintauna yang datang dari Bolaang-Mongondow; dengan
menandatangani kontrak bersama dengan Kompeni Belanda. Masing-masing ketiga
kerajaan dengan raja sendiri dan dua orang marsaole.
Riedel
bahkan berpendapat, kejadian tersebut terjadi di pertengahan abad ke 18, ketika
Raja Bone dan Bintauna mendapat izin dari Kompeni Belanda untuk bergabung
dengan Suwawa, dan hidup tanpa gangguan dari kerajaan lain.
Ratu
Putri Tendeno digantikan berturut-turut oleh Raja Bauda, Talu-e-daa, kemudian
Talu-e-kiki.
Pengganti
berikut, menurut Riedel, adalah Iskander Monoarfa dari Gorontalo. Raja Iskander Monoarfa lebih
terkenal sebagai Raja Di bawah (Raja Kompeni, to huliyalio) Gorontalo sejak
1757, sampai ditahan Belanda di Ternate 1777.
Raja
Iskander Monoarfa inilah yang pada 4 November 1769 telah meneken verbond dengan
Kompeni Belanda atas nama Bintauna (Gorontalo). Juga dalam kapasitas sebagai
Raja (Di bawah) Gorontalo.
KONTRAK PERTAMA
Kontrak
politik paling awal kerajaan Bintauna dengan Kompeni Belanda sendiri telah berlangsung
2 April 1735 (hampir persis pendapat Riedel), yakni ketika eksploitasi emas di
wilayah itu, mulai menarik perhatian Kompeni Belanda.
Dalam
Corpus, Dr.F.W.Stapel menggarisbawahi bahwa kontrak 2 April 1735 itu menegaskan
Bintauna menjadi kerajaan yang ‘merdeka’ dan independen. Karena sebelumnya
masih tunduk ke Gorontalo.
Hari
itu, Johannes Bernard Raad-extraordinaris
van Nederlands-Indie dan Komisaris Maluku mewakili Gubernur Jenderal Dirk
van Cloon melantik Pangeran Kitjili (Kaicil) Tolucci sebagai Raja Bintauna, bertempat di
Logie Kompeni di Gorontalo. Sebelumnya
di tempat sama, Komisaris Bernard pada 19 Maret 1735, dengan pembaruan kontrak,
melantik Kitjili Kilat (Nuwa) sebagai Raja Gorontalo (to tilayo, raja di atas,
raja negeri) menggantikan Kitjili Lepe (Lepehulawa alias Tinito).
Perjanjian
dengan Raja Kitjili Tolucci pendek, hanya terdiri 3 pasal. Antara lain, raja
dan mantri Bintauna bersama Raja Gorontalo, Limboto, Bolango dan Atinggola
membantu pembangunan Logie Kompeni di Illolodoa (Doloduo), untuk kelancaran
transportasi barang ke sentra emasTomecalang (Tomakalang).
Kitjili
Tolucci sebelumnya menjabat sebagai Jogugu Bintauna. Ketika masih Jogugu, di tahun
1734 ia sempat dimasalahkan soal pengembalian tiga puluh budak dan barang lain.
Kemudian adanya perbedaan yang terjadi dengan Raja Atinggola Adriaan Patilima.
Ada
versi menyamakan Kitjili Tolucci sebagai Talu-e-daa, Raja Bintauna ke-3. Sebutan
Kitjili atau Kitjil atau Kaicil adalah gelaran pangeran Ternate dan raja serta
bangsawan di daerah yang pernah berada di bawah supremasi Ternate, termasuk
raja-raja di wilayah Gorontalo.
Nama
Tolucci atau mungkin Tolucco atau Terloko atau Toloko pun umum. Entah mengambil
nama dari benteng di Ternate. Atau pun karena pamor Pangeran Tolucco, putra
Sultan Mandarsjah, yang kemudian bernama Pangeran Rotterdam, dan menjadi Sultan
Ternate 1692-1714.
Seorang
pangeran dari Gorontalo pun bernama Tolucco dan hidup bersamaan dengan Kitjili
Tolucci. Pangeran
Tolucco van Gorontalo bersama
Pangeran Tuleabo dari Limboto adalah tokoh-tokoh yang meneken kontrak Gorontalo
dan Limboto bersama Gubernur dan Direktur Maluku Jacob Christiaan Pielat di Kastil
Orange Ternate 26 September 1730.
Ketika meninggal tahun 1755, Kitjili Tolucci diganti Putri Manilha, putrinya yang naik tahta dengan meneken kontrak pada 21 Oktober 1755. Masanya Bintauna terpecah dua, penduduk di bagian utara yang telah memeluk Kristen Protestan memisahkan diri di bawah Jogugu Salomon Datunsolang yang diangkat Residen Manado Seidelman 5 Agustus 1769 di Manado sebagai regent.
Putri Manilha memimpin Bintauna Islam bersama suaminya Iskandar Monoarfa.
BINTAUNA GORONTALO
Setelah
Bintauna terbagi dua, kerajaan Bintauna di Gorontalo, dipimpin oleh Muhammad Zain
Buingi (Bohinga) yang naik tahta mengganti Putri Manilha dengan meneken kontrak tanggal 10 April 1777.
Kemudian
Bintauna diperintah para Raja Suwawa, di bawah Raja Walango van Gorontalo dan
penggantinya Pulumodoiong.
Ketika
Raja Bone Hulopango meninggal, Raja Pulumodoing ditunjuk sebagai raja atas
ketiga landschap, dengan sebutan Raja Bone, Bintauna dan Suwawa (Haga mencatat
sebaliknya, bahwa ketika Raja Suwawa meninggal, kerajaannya ditempatkan di
bawah Raja Bone, dan hal yang sama terjadi pada Bintauna).
Raja
Pulumodoing digantikan oleh Humungo, dan sejak 1839 Raja Warotabone (Wartabone)
yang bernama lengkap Sapjatidien Iskander Muhammad Warotabone Illahu.
Pengganti
Raja Wartabone adalah Pangeran Rohobanie 26 Desember 1856.
Paling
akhir, Raja Abdul Latief Mohammad Tengaho, memerintah 21 Mei 1859 hingga 1870, ketika
landschapnya tinggal disebut Bone. Dengan beslit 4 September 1864 nomor 17, yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, landschap-landschap berakhir, dan pemerintahan
langsung di bawah kendali pemerintah Hindia-Belanda, dimana raja tidak
digantikan lagi.
Bintauna
Gorontalo pun tinggal sebagai satu distrik, dipimpin seorang kepala distrik
dengan gelar adat Marsaole, terdiri atas 3 kampung. Distrik lain adalah Bone
dan Suwawa.
Tahun
1864 ketiga distrik tadi resmi digabung satu menjadi Distrik Bone. Sementara Bintauna
dan Suwawa tinggal berderajat Onderdistrik (distrik kedua atau distrik bawahan)
dipimpin kepala dengan gelar Walaapulu.
Menurut
Dr.Haga, penduduk Bone telah campur aduk, sehingga orang tidak tahu lagi apakah
mereka berasal dari Bintauna, Bone atau Suwawa.
MORETEO DAN SOLAGU
Tradisi
lisan Bintauna mencatat Lepeo Mooreteo, sebagai raja pertama Bintauna di
wilayah Bolaang-Mongondow.
Dihistorisasikan
awal pemerintahannya tahun 1675. Mooreteo yang kemudian beragama Kristen,
menurut satu hadis, adalah anak Tendeno. Ia dipilih sebagai raja, setelah
Tumungku terbunuh.
Sayang
tidak diketahui nama serani yang dipilih oleh Mooreteo ketika masuk Kristen,
seperti lazim terjadi di masa itu. Tapi, sangat kuat dugaan, fam pilihannya
ketika itu adalah Datunsolang.
Di
dekat makam Mooreteo di Bintauna terdapat kubur seorang ‘pendeta’ asal Ambon,
bernama Talahutu. Aslinya pasti hanya seorang guru injil yang ditempatkan oleh
seorang pendeta. Sebab, selang akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-19 para pendeta
biasanya masih orang Belanda, dan baru satu orang predikant berkedudukan di
Ternate, kemudian juga Ambon, yang pada periode tertentu datang mengunjungi,
serta melakukan pembaptisan penduduk di kawasan Sulawesi Utara. Para guru injil
yang dididik langsung pendeta, baik di Ternate mau pun Ambon, selalu ditempatkan
di daerah terpencil di pelosok wilayah Keresidenan Manado. Guru-guru tersebut bertugas
untuk mengajar di sekolah, memimpin ibadah di hari Minggu dan mengajak
masyarakat masuk Kristen.
Sayang
raport-raport para Predikant Ternate mau pun Ambon yang pernah berkunjung dan melakukan
pembaptisan di masa silam, banyak belum terpublikasi.
Mooreteo
menurut hadis digantikan anaknya Datu. Lalu anak Datu bernama Patilima Datunsolang
dilantik sebagai raja di Ternate 1783. Patilima menjadikan Islam sebagai agama
kerajaan. Bintauna kemudian dipimpin berturut oleh dua anak Patilima yakni Raja
Salmon Datunsolang dan Raja Elias Datunsolang.
Ada
versi lain lagi. Solagu yang menurut silsilah keluarga Ponto dari Bolaang-Itang
adalah anak Duongo dan cucu Tuhinga, juga kemenakan Pugu-Pugu (dikenal kemudian
sebagai Raja Kaidipang Maurits Binangkal), adalah tokoh yang mendirikan
Bintauna di bagian utara. Keturunannya kemudian memakai pula fam Datunsolang.
Perpecahan
dua Bintauna seakan terjadi ketika Raja Putri Tendeno pindah ke Suwawa dan
mendirikan kerajaan Bintauna Gorontalo serta pengangkatan Mooreteo sebagai Raja
Bintauna di Bolmong.
Namun,
menilik nota penjelasan dari Raja Bintauna Salmon Datunsolang (kedua) 1866,
surat resmi Gubernur Jenderal Jacob Mossel 1759 dan arsip temuan J.Bastiaans
1939, perpecahan dua Bintauna baru terjadi tahun 1755. Sehingga sampai saat
pengangkatan Salmon Datunsolang sebagai Regent dengan menggantikan Putri
Manilha, maka Bintauna (utara) pun masih diperintah oleh seorang Raja Bintauna
di Gorontalo.
Lalu
siapa Mooreteo dan siapa Regent Salmon Datunsolang sendiri, memerlukan
penelitian dan telaah mendalam dari para peneliti dan sejarawan Bolaang-Mongondow
dan Gorontalo. Termasuk sangat penting kepedulian dari pemerintah Kabupaten
Bolaang-Mongondow Utara untuk melakukan penelitian serta pengumpulan arsip-arsip
berkaitan kerajaan-kerajaan yang pernah ada di wilayahnya, baik dokumen yang
ada di ANRI, Perpustakaan Nasional, bahkan hingga ke Negeri Belanda.
Berbagai
kontrak, pembaharuan atau pun perjanjian tambahan, surat-surat para raja, termasuk
sumpah pelantikan dan beslit mereka di masa silam, kemudian raport para Residen
Manado (juga raport Residen dan kemudian Asisten Residen Gorontalo); bahkan
missive para Gubernur Belanda di Maluku dan Gubernur Jenderal, akan membuka lebar
tabir sejarah Bintauna yang selama ini gelap dan belum tercatatkan. Dengan
demikian akan tersusun sebuah buku sejarah yang sangat mendetil dan benar-benar
sahih, bukan hanya sejarah Bintauna saja, tapi juga sejarah dari bekas kerajaan
Bolaang-Itang dan Kaidipang yang terakhir bersatu sebagai Kaidipang Besar.
Ambil
misal, keberadaan Salmon Datunsolang (pertama) yang sebelum periode raja-raja menjadi
Regent Bintauna pertama, serta jauh-jauh hari sebelum Raja Patilima Datunsolang
telah memakai fam Datunsolang (berdasar surat Mossel), selama ini tidak terdatakan
di sejarah Bintauna.
Sementara,
menurut J.Bastiaans, Raja Bintauna berikut, justru adalah keturunan dari Regent
Salmon Datunsolang. ***
*).Lukisan dari buku C.B.H.von
Rosenberg, Reistogten in de Afdeeling Gorontalo.
LITERATUR
Almanak van Nederlandsch-Indie, 1853,1855,1858,1859,1861,1863,1867,1871,1872.1873,1879,1884,1890,1898,1903,1904,1907,1912.
Google Boeken dan dari Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin.
Bastiaans,
J. Batato’s
in het oude Gorontalo, in verband met den Gorontaleeschen staatsbouw.
Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel LXXIX,1939.
Bleeker,P.
Reis
door de Minahassa en den Molukschen Archipel, eerste
del, Batavia, 1856.
Buddingh, Dr.S.A. Neerlands-Oost-Indie,
Rotterdam,1860.
Coolhaas, Dr.W.Ph. Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII, deel IX 1729-1737, dan deel XIII 1756-1761, resources.huygens.knaw.nl.
Haga, Dr.B.J. De
Lima-pahalaa (Gorontalo) volksordening, adatrecht en bestuuurspolitiek.
Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel LXXI,1931.
Heeres, Mr.J.E. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, tweede deel (1650-1675). Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie, deel 87, Martinus Nijhoff,
‘s-Gravenhage, 1931.
Lasahinda, Hariana (dkk), Kerajaan Bintauna (Kajian historis
1901-1950), Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Gorontalo,
Riedel, J.G.F. --De Landschappen Holontalo, Limoeto, Bone,
Boalemo en Kattinggola, of Andagile.
Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-,en Volkenkunde, deel XIX, 1870.
--De Volksoverleveringen betreffende de voormalige gedaante van
Noord-Selebes en den oorsprong zijner bewoners. Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie, derde serie 5de jaargang, 1871.
--Het Oppergezag der Vorsten van Bolaang over
de Minahasa (Bijdrage tot de Kennis der oude Geschiedenis Noord-Selebes). Tijdschrift voor Indische
Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XVII, 1869.
Rosenberg,
C.B.H.von, Reistogten in de Afdeeling Gorontalo, Amsterdam 1865.
Stapel, Dr.F.W. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum,
vijfde deel (1726-1752). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsche-Indie, deel 96, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage (1938).
Staten
Generaal Digitaal, Overeenkomsten met Islandsche Vorsten in den Oost-Indischen
Archipel, dan Koloniaal Verslag.
Stibbe, D.G. dan Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, achtste deel, ‘s-Gravenhage,
Martinus Nijhoff, 1939.
Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam,
1724.
Van der Chijs, Mr.J.A. Inventaris van ‘s Lands Archief te Batavia
(1602-1816), Batavia,1882, Koleksi ANRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.