Oleh:
Adrianus Kojongian
Kerajaan
Bintauna di Bolaang-Mongondow masih mengklaim Bintauna di Gorontalo sampai
pertengahan abad ke-19 ketika dilarang resmi oleh Residen Manado Albert Jacques
Frederic Jansen. Residen Jansen bulan September 1857 melakukan kunjungan ke
Bintauna dari persinggahan Bolaang-Itang menggunakan kapal perang Z.M.stoomschip Phoenix, di bawah komandan
Letnan klas satu pelaut F.R.Toewater.
Ketika
meneken perjanjian di Bintauna dengan Residen Jansen 24 September 1857 yang
memuat 21 artikel (pasal), Raja Elias Datunsolang dan mantrinya berjanji tidak
ikut campur urusan Bintauna di bagian Gorontalo, sebab berada dalam otoritas
Raja Bone (ayat 2 artikel 4).
Yurisdiksi
raja hanya terbatas pada populasi Bintauna semata (artikel 6). Penduduk pun dilarang
sembarang pindah ke kerajaan tetangga, sebaliknya warga lain dilarang di
Bintauna (ayat 1 artikel 13), sehingga mesti diekstradisi, termasuk Bintauna
dari Gorontalo (ayat 2 artikel 13).
Perjanjian
yang disahkan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda C.F.Pahud 22 Februari 1858 itu
diteken pula para mantri Bintauna. Jogugu adalah K.Sjeman Kolomkomol (sesuai
tulisan), Kapitein Laut Adrian Datoensolang, Kapitein Laut Kornelis
Datoensolang, Marsaole Albertus Tinunbaija, Marsaole Sadrak Nakora, Walaapulu
Simon Binolombanjan, Majoor Paulus dan Majoor Lodewijk Sampongan.
Kerajaan Bintauna dalam artikel 1 perjanjian
tersebut, ditegas sebagai ‘milik’ Belanda. Raja Belanda dan pemerintah
Hindia-Belanda diakui menjadi kepala dan tuan (opper-en leenheer).
Pemerintah Hindia-Belanda pun, berhak memberhentikan serta menunjuk pengganti
raja setelah berkonsultasi dengan para mantri. Sedangkan Jogugu dan Kapitein
Laut diangkat dan diberhentikan oleh Residen Manado setelah konsultasi dengan
raja dan para mantri (artikel 6).
Raja
Elias Datunsolang sendiri mulai bertahta di Bintauna sejak tanggal 5 September
1855. Menurut Almanak resmi Hindia-Belanda, ia menggantikan Raja A.S.Datunsolang.
Penduduk Bintauna sejak kontrak 1857
mesti membayar pajak rumah tangga yang disebut hacil (hasil, uang kepala) untuk penggantian pasokan emas. Nilainya
adalah 5 gulden tiap rumah tangga. Pajak mana dapat dibayar tunai, atau diganti
emas atau produksi lain seperti tripang, penyu sisik, kapas dan koffo.
Insentif untuk raja dan mantri,
adalah sepersepuluh dari total pajak Bintauna sebesar 250 gulden (dengan
hitungan penduduk Bintauna sebanyak 50 rumah tangga). Bagian sepersepuluh itu pun
mesti dibagi pula. Untuk raja --yang berkewajiban harus secara pribadi membawa
hacil atau barang penggantinya ke Manado (dua kali setahun, di bulan Juni dan
Desember)-- memperoleh 5/25 dari sepersepuluhnya. Sedang mantrinya, yakni
jogugu 3/25, kapitein laut 6/25, marsaole 6/25 serta walaapulu 8/25.
Raja
dan mantri Bintauna masih dibebani untuk tetap membayar hutang pasokan emas Bintauna
sejumlah 1.056 real emas, karena pengiriman terlambat, di bawah kontrak 18
November 1829.
BUNTUT PEMBAJAKAN
Peristiwa
pembajakan yang terjadi bulan Februari 1864 telah menyebabkan pemberhentian
Raja Elias Datunsolang.
Raja
Elias Datunsolang bersama Raja Kaidipang Mohamad Nurdin Korompot yang bergelar
Prins van Diets Korompot dituduh
kolonial Belanda telah mengetahui insiden tersebut. Mereka dianggap lalai
melakukan kewajiban di bawah kontrak 1857. Terutama, artikel 9, yang mewajibkan
raja untuk membantu memerangi serta tidak mentolerir pembajakan.
Kebetulan, tokoh yang dituding Belanda
sebagai otak pembajakan, yakni Pangeran Matoko asal Bone, berdomisili di
Bintauna. Untuk mengatasi peristiwa itu, Belanda sampai mengirim kapal perang
Zr.Ms.stoomschip Haarlemmermeer (baca: Tiga Raja Bolaang dan Bajak Laut).
Tapi, berbeda dengan Raja Kaidipang Prins
Diets van Korompot yang diasingkan ke Ambon, Raja Elias Datunsolang tidak
sampai dihukum buang oleh Belanda, karena pertimbangan usia yang sudah tua. Raja
Elias sekedar diberhentikan dari martabat raja pada bulan Juni 1865, setelah
hampir sepuluh tahun berkuasa.
Untuk penggantinya, sempat timbul
pertikaian, sehingga mesti ditengahi Residen Manado. Para mantri Bintauna yakni
jogugu, kapitein laut, marsaole dan hukum yang membentuk majelis kerajaan, kemudian
memilih Salmon Datunsolang, anak raja almarhum sebelumnya.
Salmon Datunsolang resmi diangkat raja
29 Juni 1865. Tapi baru dilantik di Manado tanggal 15 September 1866 oleh
Residen Manado Frederik Justus Herbert van Deinse. Ketika meneken acte van bevestiging dan verklaring, Raja Salmon Datunsolang hanya
bertanda kruis pada namanya. Pengukuhannya sebagai raja turun dengan beslit
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda P.Mijer 20 April 1868.
Janji dan sumpah Raja Salmon. *) |
Koloniaal Verslag 1887 menyebut Raja
Bintauna Salmon Datunsolang mengundurkan diri tahun 1886. Putranya Israel
Datunsolang baru mulai bertahta 1887.
Terakhir nama Raja Salmon Datunsolang
dicatat Almanak resmi pemerintah Hindia-Belanda 1887, sementara Raja Israel
Datunsolang mulai diterakan sejak 1888.
Kendati demikian, hingga akhir
kekuasaannya, Raja Israel Datunsolang tidak pernah dicatatkan resmi tanggal
pelantikan. Termasuk kapan beslit pengukuhan dari Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda, seperti lazim terjadi.
Tradisi baku kerajaan-kerajaan di
Keresidenan Manado ketika itu, raja dipilih oleh Majelis Kerajaan (rijksraad) yang beranggotakan para mantri
(rijksgrooten), menerima pengangkatan dari Residen Manado, sambil mengambil
sumpah setia kepada pemerintah Belanda. Dan, paling pokok, memperoleh
pengukuhan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
Sejak pertengahan abad ke-19,
tanggal dari beslit pengukuhan Gubernur Jenderal, dianggap ‘resmi’ Belanda sebagai
hari ketika seorang raja mulai memerintah.
MOHAMMAD DATUNSOLANG
Tanggal 28 November 1894 Raja Israel
Datunsolang meninggal dunia. Pemerintahan Bintauna untuk sementara dijalankan
pemangku jabatan raja, yakni Mohammad Toradju Datunsolang, dengan gelaran
President Raja.
Mohammad Toradju Datunsolang baru dilantik
di Manado sebagai Raja Bintauna oleh Residen Manado Eeltje Jelles Jellesma pada
22 Juli 1895.
Ia meneken acte van verband, sekaligus
bersama mantrinya kontrak panjang (lange
contract) sebanyak 34 artikel. Titel yang disematkan adalah Paduka Raja. Secara
resmi, pengukuhan dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda C.H.A.van der Wijck bertanggal
13 Oktober 1895.
Raja dan mantri tetap memperoleh
pendapatan dari persentase pajak (hacil atau uang kepala) yang dibayar penduduk,
yakni tiga gulden tiap tahunnya kepada pemerintah kolonial (turun dari 5 gulden
sebelumnya). Total pajak dari penduduk Bintauna adalah 300 gulden, dengan
hitungan dari Kampung Baludaa 84 gulden, Bahuta 83 gulden, Paude 83 gulden dan
Doloduo 50 gulden.
Besaran persentase dari hacil yang
diperoleh raja dan mantri adalah sepersepuluhnya. Untuk Raja Mohammad
Datunsolang 7/20, lalu mantri (saat naik tahtanya 1895), yakni jogugu 4/20,
president raja 3/20 dan kapitein laut 6/20. Raja dan mantri masih menerima
insentif sepersepuluh bagian dari pajak hasil perdagangan untuk ekspor, yang
kemudian diambilalih kolonial Belanda pula.
Raja Mohammad Toradju Datunsolang masih
meneken perjanjian tambahan dengan Residen Jellesma 25 Juli 1897, 9 September
1897, 26 Maret 1901, dan 21 Februari 1907 tentang batas kerajaan.
Kalau sebelumnya raja dibantu para
mantri seperti jogugu, president raja, dan kapitein laut, sejak awal tahun
1930-an, Raja Mohammad Datunsolang boleh dikata berkuasa mutlak, karena tinggal
dibantu oleh seorang schrijver
(penulis).
Raja kemudian memperoleh gaji. Di
tahun 1930-an besarnya adalah 150 gulden per bulan, dengan potongan 17 persen, tapi,
menerima tunjangan berupa uang saku untuk ongkos perjalanan dan akomodasi yang berasal
dari kas onderafdeeling. Kepala kampung, Sangadi tidak dibayar, hanya menerima
upah dari persentase hasil (pajak rumah tangga), serta bantuan pengerjaan kebun
dan rumah dari penduduk.
Anggaran Landschap Bintauna memang
kecil. Di tahun 1940 anggarannya dilaporkan hanya cukup untuk membayar gaji
raja dan sekretarisnya.
Dalam memerintah. Raja Mohammad Toradju
Datunsolang dipuji surat kabar Hindia-Belanda sangat berwibawa, dihormati
masyarakat dan dikenal sangat taat serta adil mengemudikan kerajaannya. Apalagi
sejak tidak ada para mantri, ia mengontrol sendiri segala urusan pemerintahan.
Ia dipujikan Residen Manado Anton
Philip van Aken karena perannya dalam pemberantasan penyakit malaria yang
mewabah di Bintauna ketika itu. Juga dipuji terbuka oleh penggantinya Dr Frans Herman
Visman. Kemudian pula oleh Residen M.van Rhijn.
Raja
pun dianggap sangat toleran. Meski mayoritas penduduk Bintauna Islam, tapi di Kampung
Huntuk penduduk beragama Kristen, setelah sebelumnya masih kafir.
Harian
Het Nieuws van den Dag 1933 mencatat
Raja Mohammad Datunsolang awalnya menginginkan semua penduduk Huntuk masuk
Islam. Tapi, penduduk Huntuk keberatan, karena makanan biasa bagi mereka,
justru adalah yang dihalalkan Islam. Karena tidak dapat merobah pola makan
demikian, mereka meminta izin Raja untuk tetap mengkonsumsinya. Atas dasar ini,
penduduk Huntuk dinyatakan tidak lulus Islam. Mereka kemudian diseranikan oleh
seorang Zendeling.
Di
tahun 1933 itu, Bintauna dihubungkan ’jalan’ sejauh 40 Km di sepanjang pantai
dari Boroko, tempat kedudukan Raja Kaidipang Besar. Namun jalan tersebut hanya
dapat dilewati kendaraan di musim kemarau, apalagi satu-satunya mobil yang ada
saat itu hanya milik Raja Kaidipang Besar Ram Soeit Ponto.
Ketika
musim hujan, kuda yang melewatinya di beberapa tempat akan sulit melalui lumpur
yang dalam. Padahal, setiap tahun ratusan penduduk memperbaikinya lewat kerja Herendienst.
Raja
Mohammad Datunsolang menerima penghargaan bintang dari pemerintah kolonial
Belanda untuk pengabdiannya, sehingga beroleh julukan Raja Bintang. Pertama,
penghargaan bintang emas kecil (Kleine
Gouden ster) van verdienste diterimanya
Agustus 1933. Kemudian, pada perayaan 45 tahun berdinasnya sebagai raja yang
dirayakan besar-besaran di Bintauna tanggal 22 Juli 1940, dengan beslit 13 Juli
1940, ia menerima penghargaan bintang emas besar (Groote Gouden ster) voor
trouw en verdienste.
Raja
Mohammad Toradju Datunsolang kelahiran tahun 1873 mencatatkan diri sebagai raja
paling lama memangku jabatannya di Indonesia. Rekor memerintahnya hampir genap
54 tahun.
Sejak
tahun 1940 ia berkeinginan mundur, tapi baru terwujud 1 Juli 1948. Penggantinya
adalah putra sulungnya yang berpendidikan barat. Ia baru meninggal di Bintauna
Februari 1950. Kerajaan Bintauna sendiri berakhir 11 Juni 1950.
KECIL DAN SEDIKIT
Bintauna
memang kecil. Panjang kerajaan di pantai utara Sulawesi ini, dilukis Het Nieuws
van den Dag tahun 1933, hanya sejauh sepuluh kilometer di sepanjang pantai dan
lebih dari dua puluh kilometer pedalamannya.
Ketika
Raja Salmon Datunsolang dilantik 15 September 1866, Bintauna dinyatakan berbatas
di timur dengan kerajaan Bolaang Uki. Di barat dengan Bolaang-Itang. Selatan
dengan Asisten Residensi Gorontalo, dan utara dengan Laut (Sulawesi). Sementara
saat pentahtahan Paduka Raja Mohammad Datunsolang 22 Juli 1895 dijelaskan batas
di bagian utara dan timur menjadi kerajaan Bolaang-Mongondow.
Batas-batas
Landschap Bintauna lebih ditegaskan pada tambahan kontrak 21 Februari 1907
antara Raja Mohammad Datunsolang dan Kontrolir Bolaang-Mongondow Abraham
Coomans. Utara dengan Laut Sulawesi. Timur di Sungai Biau ke Sungai Sangkub dan
alirannya di muara Laut Sulawesi (batas dengan Landschap Bolaang-Mongondow). Selatan
daerah aliran sungai berbatas Bolaang Uki. Kemudian di barat dengan Sungai
Biontong atau Sungai Bunong ke Laut Sulawesi (Bunong-diti, batas Landschap Kaidipang
Besar).
Tahun
1840 digambarkan ibukota Bintauna berada sepuluh jam dari Bangka (Uki), dan
enam jam dari pantai, berada di antara Sungai Biau dan Gambuta.
Seluruh
kerajaan kecil ini, tahun 1868 hanya terdiri tiga negeri. Ketiga negeri adalah
Bintauna, Baludawa (Baludaa) dan Doloduo.
Ibukotanya,
negeri Bintauna, di tahun 1869, telah berada di pantai utara, di 123°37' Bujur Timur, di tepi sungai
senama. Bintauna, adalah tempat kedudukan raja. Meski raja sering tinggal di
tempat lain, termasuk di daerah Bolaang-Mongondow.
Tahun
1895 pada kontrak pelantikan Raja Mohammad Datunsolang, Bintauna dinyatakan memiliki
4 kampung. Ibukota Bintauna terbagi atas tiga kampung, yakni Baludaa, Bahuta
dan Paude, semuanya terletak di tepi sungai Sangkub. Lebih di luar masih ada Kampung
Doloduo, dekat dengan hulu sungai Dumoga, berbatas anak sungai Owei dengan Kampung
Dumoga milik Bolaang-Mongondow.
Tahun
1852 penduduk Bintauna dicatat 880 jiwa, ketika penggalian emas masih jadi
sandaran utama penghidupan. Kemudian turun tinggal 500 atau 600 jiwa. Tahun
1857, 50 rumah tangga. Tahun 1862, 703 jiwa. Tahun 1866 ketika dikunjungi
Wilken dan Schwarz 100 kepala keluarga. Begitu pun dilaporkan tahun 1895 hanya 100
rumah tangga.
Di
tahun 1916 Bintauna berpenduduk sebanyak 2.427 orang, terdiri Islam 2.270 dan
kafir 150 orang. Tahun 1932 berjumlah 2.278 jiwa, yakni 4 orang Eropa dan yang
sederajat, 2.172 pribumi, 18 Cina dan 84 orang timur asing. Kemudian tahun 1940
penduduk sekitar 2.000 jiwa.
Mata
pencaharian utama di tahun 1868 masih menggali emas. Kemudian sumber utama adalah
dari melaut dan bertani. Bintauna di tahun 1895 banyak menghasilkan bahan
ekspor seperti damar, kopra, beras, rotan, bangkudu, sagu, coklat, kulit kerbau,
dan tripang. ***
*).Dari Staten Generaal Digitaal.
Raja
Bintauna
(versi Riedel)
di Bintauna, Gorontalo.
Tendeno, Ratu, awal 1700-an.
Bauda.
Talu-e-daa.
Talu-e-kiki.
Raja
Bintauna
(dari berbagai data, sampai terbagi dua)
Kitjili Tolucci, Raja, sejak 2 April 1735-1755.
Putri Manilha, Ratu, 21 Oktober 1755-1777.
Salmon Datunsolang, Jogugu lalu Regent Bintauna (utara) sejak 1755/5/ Agustus 1769-1776.
Adriaan Salmon Datunsolang, Regent sejak 8 November 1776.
Raja Bintauna
(Di
Gorontalo, dari berbagai data, setelah terbagi dua)
Iskander
Monoarfa,
dari Gorontalo, 1757-1777, suami Putri Manilha.
Muhammad Zain Buingi (Bohinga), sejak 10 April 1777.
Walango dari Gorontalo, Raja
Suwawa, sebagai Raja Suwawa dan Bintauna.
Pulumodoing, Raja Suwawa, sebagai Raja
Suwawa dan Bintauna; lalu Raja Bone, Bintauna dan Suwawa.
Humungo, Raja Bone,Bintauna
dan Suwawa, hingga 1839.
Wartabone (Sapjatidien Iskander Muhammad
Warotabone), Raja Bone, Bintauna dan Suwawa, 1839-1856.
Rohobanie, Raja Bone, Bintauna
dan Suwawa, 26 Desember 1856-1859.
Abdul Latief Muhammad Tengaho,
Raja Bone, Bintauna dan Suwawa 21 Mei 1859, lalu tinggal Raja Bone 1864 hingga
1870.
Raja Bintauna
(sejak
tahun 1850-an)
di
Bintauna, Bolaang Mongondow.
Adriaan Salomon Datunsolang, Raja,
hingga 1855.
Elias Datunsolang, Raja
5 September 1855-Juni 1865.
Salmon Datunsolang,
-President
Raja 29 Juni 1865-15 September 1866.
-Raja
15 September 1866-1886.
Israel Datunsolang, Raja
1887-28 November 1894.
Mohammad Toradju Datunsolang,
-President
Raja 28 November 1894-22 Juli 1895.
-Raja
22 Juli 1895-1 Juli 1948.
Jan Abdul Rasjid Datunsolang,
Raja Muda 1948-1950.
LITERATUR
Almanak van Nederlandsch-Indie, 1853,1855,1858,1859,1861,1863,1867,1871,1872.1873,1879,1884,1890,1898,1903,1904,1907,1912.
Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin dan Google Boeken.
Bastiaans,
J. Batato’s
in het oude Gorontalo, in verband met den Gorontaleeschen staatsbouw.
Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel LXXIX,1939.
Coolhaas, Dr.W.Ph. Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII, deel IX 1729-1737, dan deel XII 1756-1761. resources.huygens.knaw.nl.
Delpher Kranten, Het
Nieuws van den dag 29 Juni 1933; Soerabaijasch-handelsbald 16 Agustus 1940.
Haga, Dr.B.J., De Lima-pahalaa (Gorontalo) volksordening,
adatrecht en bestuuurspolitiek, Tijdschrift voor Indische
Taal-,Land-en Volkenkunde, deel LXXI,1931.
Heeres, Mr.J.E., Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, tweede deel (1650-1675), Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie, deel 87, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1931.
Hollander, Dr.J.J., --Aardrijksbeschrijving van Nederlandsch
Oost-Indie, Amsterdam (1868).
--Handleiding bij de Beoefening der Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch Oost-Indie, tweede deel, 1869.
Riedel, J.G.F.. --De Landschappen Holontalo, Limoeto, Bone,
Boalemo en Kattinggola, of Andagile.
Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-,en Volkenkunde, deel XIX, 1870.
--De Volksoverleveringen betreffende de voormalige gedaante van
Noord-Selebes en den oorsprong zijner bewoners. Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie, derde serie 5de jaargang, 1871.
--Het Oppergezag der Vorsten van Bolaang over
de Minahasa (Bijdrage tot de Kennis der oude Geschiedenis Noord-Selebes). Tijdschrift voor Indische
Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XVII, 1869.
Rosenberg,
C.B.H.von, Reistogten in de Afdeeling Gorontalo, Amsterdam 1865.
Stapel, Dr.F.W., Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, vijfde
deel (1726-1752), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsche-Indie, deel 96, Martinus
Nijhoff, ‘s-Gravenhage (1938).
Staten
Generaal Digitaal, Overeenkomsten
met Islandsche Vorsten in den Oost-Indischen Archipel, dan Koloniaal Verslag.
Statistieke
aanteekeningen over de Residentie Menado, Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 1840.
Stibbe, D.G. dan Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, achtste deel,
‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. 1939.
Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam,
1724.
Van der Chijs, Mr.J.A. Inventaris van ‘s Lands Archief te Batavia
(1602-1816), Batavia,1882, Koleksi ANRI.
Wilken,
N.P.dan J.A.Schwarz, Verhaal eener reis naar Bolaang-Mongondow. Mededeelingen van wege het Nederlandsche
Zendelinggenootschap, elfde jaargang, 1867.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.