Senin, 11 Juni 2018

Bintauna, Dua Kerajaan Bersaudara (2)







Oleh: Adrianus Kojongian








Kerajaan Bintauna di Bolaang-Mongondow masih mengklaim Bintauna di Gorontalo sampai pertengahan abad ke-19 ketika dilarang resmi oleh Residen Manado Albert Jacques Frederic Jansen. Residen Jansen bulan September 1857 melakukan kunjungan ke Bintauna dari persinggahan Bolaang-Itang menggunakan kapal perang Z.M.stoomschip Phoenix, di bawah komandan Letnan klas satu pelaut F.R.Toewater.

Ketika meneken perjanjian di Bintauna dengan Residen Jansen 24 September 1857 yang memuat 21 artikel (pasal), Raja Elias Datunsolang dan mantrinya berjanji tidak ikut campur urusan Bintauna di bagian Gorontalo, sebab berada dalam otoritas Raja Bone (ayat 2 artikel 4).

Yurisdiksi raja hanya terbatas pada populasi Bintauna semata (artikel 6). Penduduk pun dilarang sembarang pindah ke kerajaan tetangga, sebaliknya warga lain dilarang di Bintauna (ayat 1 artikel 13), sehingga mesti diekstradisi, termasuk Bintauna dari Gorontalo (ayat 2 artikel 13).

Perjanjian yang disahkan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda C.F.Pahud 22 Februari 1858 itu diteken pula para mantri Bintauna. Jogugu adalah K.Sjeman Kolomkomol (sesuai tulisan), Kapitein Laut Adrian Datoensolang, Kapitein Laut Kornelis Datoensolang, Marsaole Albertus Tinunbaija, Marsaole Sadrak Nakora, Walaapulu Simon Binolombanjan, Majoor Paulus dan Majoor Lodewijk Sampongan.

Kerajaan Bintauna dalam artikel 1 perjanjian tersebut, ditegas sebagai ‘milik’ Belanda. Raja Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda diakui menjadi kepala dan tuan (opper-en leenheer). Pemerintah Hindia-Belanda pun, berhak memberhentikan serta menunjuk pengganti raja setelah berkonsultasi dengan para mantri. Sedangkan Jogugu dan Kapitein Laut diangkat dan diberhentikan oleh Residen Manado setelah konsultasi dengan raja dan para mantri (artikel 6).

Raja Elias Datunsolang sendiri mulai bertahta di Bintauna sejak tanggal 5 September 1855. Menurut Almanak resmi Hindia-Belanda, ia menggantikan Raja A.S.Datunsolang.

Penduduk Bintauna sejak kontrak 1857 mesti membayar pajak rumah tangga yang disebut hacil (hasil, uang kepala) untuk penggantian pasokan emas. Nilainya adalah 5 gulden tiap rumah tangga. Pajak mana dapat dibayar tunai, atau diganti emas atau produksi lain seperti tripang, penyu sisik, kapas dan koffo.

Insentif untuk raja dan mantri, adalah sepersepuluh dari total pajak Bintauna sebesar 250 gulden (dengan hitungan penduduk Bintauna sebanyak 50 rumah tangga). Bagian sepersepuluh itu pun mesti dibagi pula. Untuk raja --yang berkewajiban harus secara pribadi membawa hacil atau barang penggantinya ke Manado (dua kali setahun, di bulan Juni dan Desember)-- memperoleh 5/25 dari sepersepuluhnya. Sedang mantrinya, yakni jogugu 3/25, kapitein laut 6/25, marsaole 6/25 serta walaapulu 8/25.

Raja dan mantri Bintauna masih dibebani untuk tetap membayar hutang pasokan emas Bintauna sejumlah 1.056 real emas, karena pengiriman terlambat, di bawah kontrak 18 November 1829.

BUNTUT PEMBAJAKAN
Peristiwa pembajakan yang terjadi bulan Februari 1864 telah menyebabkan pemberhentian Raja Elias Datunsolang.

Raja Elias Datunsolang bersama Raja Kaidipang Mohamad Nurdin Korompot yang bergelar Prins van Diets Korompot dituduh kolonial Belanda telah mengetahui insiden tersebut. Mereka dianggap lalai melakukan kewajiban di bawah kontrak 1857. Terutama, artikel 9, yang mewajibkan raja untuk membantu memerangi serta tidak mentolerir pembajakan.

Kebetulan, tokoh yang dituding Belanda sebagai otak pembajakan, yakni Pangeran Matoko asal Bone, berdomisili di Bintauna. Untuk mengatasi peristiwa itu, Belanda sampai mengirim kapal perang Zr.Ms.stoomschip Haarlemmermeer (baca: Tiga Raja Bolaang dan Bajak Laut).

Tapi, berbeda dengan Raja Kaidipang Prins Diets van Korompot yang diasingkan ke Ambon, Raja Elias Datunsolang tidak sampai dihukum buang oleh Belanda, karena pertimbangan usia yang sudah tua. Raja Elias sekedar diberhentikan dari martabat raja pada bulan Juni 1865, setelah hampir sepuluh tahun berkuasa.

Untuk penggantinya, sempat timbul pertikaian, sehingga mesti ditengahi Residen Manado. Para mantri Bintauna yakni jogugu, kapitein laut, marsaole dan hukum yang membentuk majelis kerajaan, kemudian memilih Salmon Datunsolang, anak raja almarhum sebelumnya.

Salmon Datunsolang resmi diangkat raja 29 Juni 1865. Tapi baru dilantik di Manado tanggal 15 September 1866 oleh Residen Manado Frederik Justus Herbert van Deinse. Ketika meneken acte van bevestiging dan verklaring, Raja Salmon Datunsolang hanya bertanda kruis pada namanya. Pengukuhannya sebagai raja turun dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia-Belanda P.Mijer 20 April 1868.



Janji dan sumpah Raja Salmon. *)

Koloniaal Verslag 1887 menyebut Raja Bintauna Salmon Datunsolang mengundurkan diri tahun 1886. Putranya Israel Datunsolang baru mulai bertahta 1887.

Terakhir nama Raja Salmon Datunsolang dicatat Almanak resmi pemerintah Hindia-Belanda 1887, sementara Raja Israel Datunsolang mulai diterakan sejak 1888.

Kendati demikian, hingga akhir kekuasaannya, Raja Israel Datunsolang tidak pernah dicatatkan resmi tanggal pelantikan. Termasuk kapan beslit pengukuhan dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, seperti lazim terjadi.

Tradisi baku kerajaan-kerajaan di Keresidenan Manado ketika itu, raja dipilih oleh Majelis Kerajaan (rijksraad) yang beranggotakan para mantri (rijksgrooten), menerima pengangkatan dari Residen Manado, sambil mengambil sumpah setia kepada pemerintah Belanda. Dan, paling pokok, memperoleh pengukuhan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.

Sejak pertengahan abad ke-19, tanggal dari beslit pengukuhan Gubernur Jenderal, dianggap ‘resmi’ Belanda sebagai hari ketika seorang raja mulai memerintah.

MOHAMMAD DATUNSOLANG
Tanggal 28 November 1894 Raja Israel Datunsolang meninggal dunia. Pemerintahan Bintauna untuk sementara dijalankan pemangku jabatan raja, yakni Mohammad Toradju Datunsolang, dengan gelaran President Raja.

Mohammad Toradju Datunsolang baru dilantik di Manado sebagai Raja Bintauna oleh Residen Manado Eeltje Jelles Jellesma pada 22 Juli 1895.

Ia meneken acte van verband, sekaligus bersama mantrinya kontrak panjang (lange contract) sebanyak 34 artikel. Titel yang disematkan adalah Paduka Raja. Secara resmi, pengukuhan dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda C.H.A.van der Wijck bertanggal 13 Oktober 1895.

Raja dan mantri tetap memperoleh pendapatan dari persentase pajak (hacil atau uang kepala) yang dibayar penduduk, yakni tiga gulden tiap tahunnya kepada pemerintah kolonial (turun dari 5 gulden sebelumnya). Total pajak dari penduduk Bintauna adalah 300 gulden, dengan hitungan dari Kampung Baludaa 84 gulden, Bahuta 83 gulden, Paude 83 gulden dan Doloduo 50 gulden.

Besaran persentase dari hacil yang diperoleh raja dan mantri adalah sepersepuluhnya. Untuk Raja Mohammad Datunsolang 7/20, lalu mantri (saat naik tahtanya 1895), yakni jogugu 4/20, president raja 3/20 dan kapitein laut 6/20. Raja dan mantri masih menerima insentif sepersepuluh bagian dari pajak hasil perdagangan untuk ekspor, yang kemudian diambilalih kolonial Belanda pula.  

Raja Mohammad Toradju Datunsolang masih meneken perjanjian tambahan dengan Residen Jellesma 25 Juli 1897, 9 September 1897, 26 Maret 1901, dan 21 Februari 1907 tentang batas kerajaan.

Kalau sebelumnya raja dibantu para mantri seperti jogugu, president raja, dan kapitein laut, sejak awal tahun 1930-an, Raja Mohammad Datunsolang boleh dikata berkuasa mutlak, karena tinggal dibantu oleh seorang schrijver (penulis).

Raja kemudian memperoleh gaji. Di tahun 1930-an besarnya adalah 150 gulden per bulan, dengan potongan 17 persen, tapi, menerima tunjangan berupa uang saku untuk ongkos perjalanan dan akomodasi yang berasal dari kas onderafdeeling. Kepala kampung, Sangadi tidak dibayar, hanya menerima upah dari persentase hasil (pajak rumah tangga), serta bantuan pengerjaan kebun dan rumah dari penduduk.

Anggaran Landschap Bintauna memang kecil. Di tahun 1940 anggarannya dilaporkan hanya cukup untuk membayar gaji raja dan sekretarisnya.

Dalam memerintah. Raja Mohammad Toradju Datunsolang dipuji surat kabar Hindia-Belanda sangat berwibawa, dihormati masyarakat dan dikenal sangat taat serta adil mengemudikan kerajaannya. Apalagi sejak tidak ada para mantri, ia mengontrol sendiri segala urusan pemerintahan.

Ia dipujikan Residen Manado Anton Philip van Aken karena perannya dalam pemberantasan penyakit malaria yang mewabah di Bintauna ketika itu. Juga dipuji terbuka oleh penggantinya Dr Frans Herman Visman. Kemudian pula oleh Residen M.van Rhijn.

Raja pun dianggap sangat toleran. Meski mayoritas penduduk Bintauna Islam, tapi di Kampung Huntuk penduduk beragama Kristen, setelah sebelumnya masih kafir.

Harian Het Nieuws van den Dag 1933 mencatat Raja Mohammad Datunsolang awalnya menginginkan semua penduduk Huntuk masuk Islam. Tapi, penduduk Huntuk keberatan, karena makanan biasa bagi mereka, justru adalah yang dihalalkan Islam. Karena tidak dapat merobah pola makan demikian, mereka meminta izin Raja untuk tetap mengkonsumsinya. Atas dasar ini, penduduk Huntuk dinyatakan tidak lulus Islam. Mereka kemudian diseranikan oleh seorang Zendeling.

Di tahun 1933 itu, Bintauna dihubungkan ’jalan’ sejauh 40 Km di sepanjang pantai dari Boroko, tempat kedudukan Raja Kaidipang Besar. Namun jalan tersebut hanya dapat dilewati kendaraan di musim kemarau, apalagi satu-satunya mobil yang ada saat itu hanya milik Raja Kaidipang Besar Ram Soeit Ponto.

Ketika musim hujan, kuda yang melewatinya di beberapa tempat akan sulit melalui lumpur yang dalam. Padahal, setiap tahun ratusan penduduk memperbaikinya lewat kerja Herendienst.

Raja Mohammad Datunsolang menerima penghargaan bintang dari pemerintah kolonial Belanda untuk pengabdiannya, sehingga beroleh julukan Raja Bintang. Pertama, penghargaan bintang emas kecil (Kleine Gouden ster) van verdienste diterimanya Agustus 1933. Kemudian, pada perayaan 45 tahun berdinasnya sebagai raja yang dirayakan besar-besaran di Bintauna tanggal 22 Juli 1940, dengan beslit 13 Juli 1940, ia menerima penghargaan bintang emas besar (Groote Gouden ster) voor trouw en verdienste.

Raja Mohammad Toradju Datunsolang kelahiran tahun 1873 mencatatkan diri sebagai raja paling lama memangku jabatannya di Indonesia. Rekor memerintahnya hampir genap 54 tahun.

Sejak tahun 1940 ia berkeinginan mundur, tapi baru terwujud 1 Juli 1948. Penggantinya adalah putra sulungnya yang berpendidikan barat. Ia baru meninggal di Bintauna Februari 1950. Kerajaan Bintauna sendiri berakhir 11 Juni 1950.

KECIL DAN SEDIKIT
Bintauna memang kecil. Panjang kerajaan di pantai utara Sulawesi ini, dilukis Het Nieuws van den Dag tahun 1933, hanya sejauh sepuluh kilometer di sepanjang pantai dan lebih dari dua puluh kilometer pedalamannya.

Ketika Raja Salmon Datunsolang dilantik 15 September 1866, Bintauna dinyatakan berbatas di timur dengan kerajaan Bolaang Uki. Di barat dengan Bolaang-Itang. Selatan dengan Asisten Residensi Gorontalo, dan utara dengan Laut (Sulawesi). Sementara saat pentahtahan Paduka Raja Mohammad Datunsolang 22 Juli 1895 dijelaskan batas di bagian utara dan timur menjadi kerajaan Bolaang-Mongondow.

Batas-batas Landschap Bintauna lebih ditegaskan pada tambahan kontrak 21 Februari 1907 antara Raja Mohammad Datunsolang dan Kontrolir Bolaang-Mongondow Abraham Coomans. Utara dengan Laut Sulawesi. Timur di Sungai Biau ke Sungai Sangkub dan alirannya di muara Laut Sulawesi (batas dengan Landschap Bolaang-Mongondow). Selatan daerah aliran sungai berbatas Bolaang Uki. Kemudian di barat dengan Sungai Biontong atau Sungai Bunong ke Laut Sulawesi (Bunong-diti, batas Landschap Kaidipang Besar).

Tahun 1840 digambarkan ibukota Bintauna berada sepuluh jam dari Bangka (Uki), dan enam jam dari pantai, berada di antara Sungai Biau dan Gambuta.

Seluruh kerajaan kecil ini, tahun 1868 hanya terdiri tiga negeri. Ketiga negeri adalah Bintauna, Baludawa (Baludaa) dan Doloduo.

Ibukotanya, negeri Bintauna, di tahun 1869, telah berada di pantai utara, di 123°37' Bujur Timur, di tepi sungai senama. Bintauna, adalah tempat kedudukan raja. Meski raja sering tinggal di tempat lain, termasuk di daerah Bolaang-Mongondow.

Tahun 1895 pada kontrak pelantikan Raja Mohammad Datunsolang, Bintauna dinyatakan memiliki 4 kampung. Ibukota Bintauna terbagi atas tiga kampung, yakni Baludaa, Bahuta dan Paude, semuanya terletak di tepi sungai Sangkub. Lebih di luar masih ada Kampung Doloduo, dekat dengan hulu sungai Dumoga, berbatas anak sungai Owei dengan Kampung Dumoga milik Bolaang-Mongondow.

Tahun 1852 penduduk Bintauna dicatat 880 jiwa, ketika penggalian emas masih jadi sandaran utama penghidupan. Kemudian turun tinggal 500 atau 600 jiwa. Tahun 1857, 50 rumah tangga. Tahun 1862, 703 jiwa. Tahun 1866 ketika dikunjungi Wilken dan Schwarz 100 kepala keluarga. Begitu pun dilaporkan tahun 1895 hanya 100 rumah tangga.

Di tahun 1916 Bintauna berpenduduk sebanyak 2.427 orang, terdiri Islam 2.270 dan kafir 150 orang. Tahun 1932 berjumlah 2.278 jiwa, yakni 4 orang Eropa dan yang sederajat, 2.172 pribumi, 18 Cina dan 84 orang timur asing. Kemudian tahun 1940 penduduk sekitar 2.000 jiwa.

Mata pencaharian utama di tahun 1868 masih menggali emas. Kemudian sumber utama adalah dari melaut dan bertani. Bintauna di tahun 1895 banyak menghasilkan bahan ekspor seperti damar, kopra, beras, rotan, bangkudu, sagu, coklat, kulit kerbau, dan tripang. ***

                  
                                   *).Dari Staten Generaal Digitaal.



Raja Bintauna
(versi Riedel)
di Bintauna, Gorontalo.


Tendeno, Ratu, awal 1700-an.
Bauda.
Talu-e-daa.
Talu-e-kiki.

 

Raja Bintauna
(dari berbagai data, sampai terbagi dua)


Kitjili Tolucci, Raja, sejak 2 April 1735-1755.
Putri Manilha, Ratu, 21 Oktober 1755-1777.
Salmon Datunsolang, Jogugu lalu Regent  Bintauna (utara) sejak 1755/5/ Agustus 1769-1776.
Adriaan Salmon Datunsolang, Regent sejak 8 November 1776.



Raja Bintauna
(Di Gorontalo, dari berbagai data, setelah terbagi dua)


Iskander Monoarfa, dari Gorontalo, 1757-1777, suami Putri Manilha.
Muhammad Zain Buingi (Bohinga), sejak 10 April 1777.
Walango dari Gorontalo, Raja Suwawa, sebagai Raja Suwawa dan Bintauna.
Pulumodoing, Raja Suwawa, sebagai Raja Suwawa dan Bintauna; lalu Raja Bone, Bintauna dan Suwawa.
Humungo, Raja Bone,Bintauna dan Suwawa, hingga 1839.
Wartabone (Sapjatidien Iskander Muhammad Warotabone), Raja Bone, Bintauna dan Suwawa, 1839-1856.
Rohobanie, Raja Bone, Bintauna dan Suwawa, 26 Desember 1856-1859.
Abdul Latief Muhammad Tengaho, Raja Bone, Bintauna dan Suwawa 21 Mei 1859, lalu tinggal Raja Bone 1864 hingga 1870.



Raja Bintauna
(sejak tahun 1850-an)
di Bintauna, Bolaang Mongondow.


Adriaan Salomon Datunsolang, Raja, hingga 1855.
Elias Datunsolang, Raja 5 September 1855-Juni 1865.
Salmon Datunsolang,
-President Raja 29 Juni 1865-15 September 1866.
-Raja 15 September 1866-1886.
Israel Datunsolang, Raja 1887-28 November 1894.
Mohammad Toradju Datunsolang,
-President Raja 28 November 1894-22 Juli 1895.
-Raja 22 Juli 1895-1 Juli 1948.
Jan Abdul Rasjid Datunsolang, Raja Muda 1948-1950.
         




LITERATUR
Almanak van Nederlandsch-Indie, 1853,1855,1858,1859,1861,1863,1867,1871,1872.1873,1879,1884,1890,1898,1903,1904,1907,1912. Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin dan Google Boeken.
Bastiaans, J. Batato’s in het oude Gorontalo, in verband met den Gorontaleeschen staatsbouw. Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel LXXIX,1939.
Coolhaas, Dr.W.Ph. Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII, deel IX 1729-1737, dan deel XII 1756-1761. resources.huygens.knaw.nl.
Delpher Kranten, Het Nieuws van den dag 29 Juni 1933; Soerabaijasch-handelsbald 16 Agustus 1940.
Haga, Dr.B.J., De Lima-pahalaa (Gorontalo) volksordening, adatrecht en bestuuurspolitiek, Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel LXXI,1931.
Heeres, Mr.J.E., Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, tweede deel (1650-1675), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie, deel 87, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1931.
Hollander, Dr.J.J., --Aardrijksbeschrijving van Nederlandsch Oost-Indie, Amsterdam (1868).
--Handleiding bij de Beoefening der Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Oost-Indie, tweede deel, 1869.
Riedel, J.G.F.. --De Landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Kattinggola, of Andagile. Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-,en Volkenkunde, deel XIX, 1870.
           --De Volksoverleveringen betreffende de voormalige gedaante van Noord-Selebes en den oorsprong zijner bewoners. Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, derde serie 5de jaargang, 1871.
--Het Oppergezag der Vorsten van Bolaang over de Minahasa (Bijdrage tot de Kennis der oude Geschiedenis Noord-Selebes). Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XVII, 1869.
Rosenberg, C.B.H.von, Reistogten in de Afdeeling Gorontalo, Amsterdam 1865.
Stapel, Dr.F.W., Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, vijfde deel (1726-1752), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie, deel 96, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage (1938).
Staten Generaal Digitaal, Overeenkomsten met Islandsche Vorsten in den Oost-Indischen Archipel, dan Koloniaal Verslag.
Statistieke aanteekeningen over de Residentie Menado, Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 1840.
Stibbe, D.G. dan Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, achtste deel, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. 1939.
Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam, 1724.
Van der Chijs, Mr.J.A. Inventaris van ‘s Lands Archief te Batavia (1602-1816),  Batavia,1882, Koleksi ANRI. 
Wilken, N.P.dan J.A.Schwarz, Verhaal eener reis naar Bolaang-Mongondow. Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap, elfde jaargang, 1867.


                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.