Oleh:
Adrianus Kojongian
(Sebuah masukan untuk Pitres
S.)
saya berpuisi,
biar terlambat babad jangan ditulis percuma
menyesakkan, dikutip kata
menjadi kata dalam kata
lalu menjadi patung
bahkan moseleum bernama sejarah
untuk tuan, saya berlelah menelisik kebingungan
tidak sekedar tapa, uki;
jejak-jejak lombagin, totokia, tidupo,
meski hanya di lembar kenang yang usang
mencari wajah-wajah dan detil masa yang hilang dalam kata
terlupakan sejarah
ternyata, baru secuil jawab
enam tahun menanya seribu tanya
baru secuil saja,
sebab tanya selalu dahaga
dan kembali tanya
masih sembilansembilansembilan tanya
masih sembilansembilansembilan penasaran
tapi, tuan, biar baru secuil
siapa tahu bole menjadi masukan
Bolaang Uki dengan
orang Bolango banyak diulas dari dulu. Doktor Johan Gerhard Friedrich Riedel (1832-1911)
telah membahasnya panjang-lebar tahun 1870. Sebelumnya juga di tahun 1869 dan
kemudian 1871. Sementara Zendeling Nicolaas Philip Wilken (1813-1878) dari
Tomohon dan Johannes Albert Traugott Schwarz (1836-1918) dari Sonder memelopori penulisannya tahun 1867 setelah
mengunjungi Bolaang Uki 29 Juni 1866.
Meski demikian,
sejarah dari bekas kerajaan kecil yang pernah ada di Indonesia ini tetap
mengundang kontroversi dengan aneka ragam versi baik asal usul, mau pun
tokoh-tokoh yang pernah memimpinnya.
Riedel tidak mencatat
awal keberadaan orang Bolango yang disebutnya berkulit warna gelap dan rambut
keriting. Suatu tempat di perairan Maluku menjadi pemukiman awal orang Bolango
dan juga Atinggola.
Setelah waktu yang
lama, tanpa penjelasan penyebabnya, mereka pindah menetap di Kaburukan, negeri
yang kemudian dikenal dengan nama Kema, di pantai Minahasa Utara. Juga di Pulau
Lembeh dan Tanjung Pulisan.
Namun, karena
perbedaan pendapat dengan suku Tonsea, mendorong orang Bolango menjauh dari
sana. Di bawah kepala bernama Intu-intu mereka menyusur sepanjang pantai utara
Sulawesi, singgah di Pulau Bangka, Pulau Manado Tua, Mangatasi, sungai di
Tombariri sekarang, hingga Ranoiapo di selatan Minahasa. Akhirnya tiba di muara
Lombagin di wilayah Mongondo serta menetap di sisi timur sungai tersebut ¹).
Sebagian Bolango, di
bawah pimpinan Dugia dan Bantong dengan para pengikutnya, melanjutkan
perjalanan di sepanjang pantai selatan Sulawesi. Mereka tiba di Bunongo
(sekarang Kotabunan) dan Tanjung Bantong (Hungo lo Potilahu atau Tanjung Flesko).
Kemudian sampai di Totoia atau Totokia (dikenal kemudian sebagai Negeri Lama),
yang berada di antara Molibagu dan Gorontalo, sekitar sepuluh jam dari ibukota
Gorontalo.
Karena berselisih dengan orang Mongondo, Daepeagou membawa penduduk
tinggal di Mongoladia, di sekitar Molibagu. Setelah peristiwa kakaknya dengan
orang Suwawa, Raja Limboto bernama Moito mendengar kecantikan kedua putri Daepeagou
bernama Tanahi dan Damopinda. Ia datang dan mengawini mereka. Bersama kedua
istrinya Moito kembali ke Limboto ²). Banyak orang Bolango mengikuti Moito dan
istrinya, dan kemudian menetap di Tidupo
Setelah kematian
Moito dan dua istrinya, orang Bolango di Tidupo diperlakukan semena-mena,
sehingga timbul keinginan orang Bolango untuk kembali ke Mongoladia atau
Molibagu. Tapi, di Putanga, mereka kemudian dibujuk oleh Marsaole dari
Gorontalo bernama Hulubala dan Olongia (Raja) Ëiato
untuk beralih ke Palangguwa ³).
Setelah lama berdiam
di sini, timbul perbedaan pendapat dengan orang Gorontalo. Kepala mereka
bernama Matoka membawa sebagian besar orang Bolango meninggalkan tempat itu,
pergi ke Molibagu. Namun, beberapa tetua dengan keluarga mereka tetap tinggal
di Palangguwa, berbaur dengan orang Gorontalo, dan memiliki eksistensi
independen.
Matoka di Molibagu
menerima pesan dari Raja Liu atau Datu Liu, yang memimpin orang Bolango di
pantai utara Sulawesi,untuk datang menetap di bagian barat Sungai Lombagin.
Orang Bolango pada sisi timur dan barat dari Sungai Lombagin memiliki hak sama.
Kemudian Matoka kembali ke Molibagu dan kelak ke Gorontalo, dimana ia
meninggal.
Sebagian pengikutnya
di bawah Napu memisahkan diri, meninggalkan Lombagin karena gangguan buaya, dan
pergi ke Uki, sehingga nama Bolango Uki, atau Bolaang Uki mulai terkenal.
VERSI BERBEDA
Dr.Bauke Jan Haga memberi
versi lain. Populasi Bolango berasal dari Suwawa. Raja Bolaang-Mongondow
menemukan sekelompok orang di hutan yang mengikutinya ke Mongondo, dimana
mereka disebut orang Bolango. Sebagian kemudian pindah ke Gorontalo dan menetap
di Tapa. Yang lain pergi ke Atinggola.
Wilken dan Schwarz
menggambarkan, leluhur Bolango tinggal selama beberapa abad di kaki Gunung
Klabat Minahasa Utara, di sungai yang mendapat nama Ajer-Bolango. Kemudian
mereka pindah ke pantai, menyeberang ke Pulau Lembeh.
Namun, satu peristiwa
mengerikan akibat serangan serangga dan udang yang tak terhitung jumlahnya yang
menghancurkan kebun, pohon dan menyiksa ternak dan orang; kemudian berbuntut terjadinya
kelaparan dan wabah penyakit, telah menyebabkan mereka meninggalkan pulau itu.
Sebagian dari mereka
menetap di Siau, bagian lain di Kema. Sebagian lagi melewati Kotabunan dan
menetap di Totokia (Negeri Lama), di antara Gorontalo dan Molibagu. Kelompok
terakhir inilah yang menjadi nenek moyang dari orang Bolango kemudian.
Pernikahan seorang
pangeran dari Limboto dengan putri dari Totokia menghasilkan orang Bolango
pindah ke Gorontalo, dimana mereka mendirikan sebuah negeri di sekitar Limboto
yang disebut Bolango dan dipimpin seorang raja.
Kemudian
ketidaksepakatan dengan Raja Limboto soal kepemilikan tanah membuat mereka
memutuskan, dengan persetujuan pemerintah Belanda untuk pindah.
Di bawah pimpinan
Raja Matoka mereka pindah ke Bangka yang berada di pantai sebelah barat Sungai
Lombagin, bersatu dengan sesama mereka yang tinggal di situ. Kejadiannya
terjadi sekitar tahun 1802 atau 1803.
Ternyata, di Bangka,
mereka banyak menderita oleh angin selatan serta banyaknya buaya di Sungai
Lombagin, sehingga pada tahun 1849 atau 1850 mereka pindah ke Teluk Uki. Jika
sebelumnya dikenal sebagai Bangka atau Bolango-Bangka, mereka kemudian disebut
Bolango-Uki atau Bolaang Uki.
Raja-raja Bolango
sejak berada di Bangka, menurut Wilken dan Schwarz, adalah Matoka, Bagole,
Napu, Tuwako, Unomongo dan Badiaman. Badiaman inilah Raja Alijudini Iskander Gobel Badiaman
yang berkuasa sejak tahun 1837.
NOTA RAJA ISKANDER ALI
Nota penjelasan akte pelantikan
Raja Bolaang Uki Mohamad Alijoedini Iskander Ali van Gobel (tercatat pertama
kali memakai van pada namanya) bertanggal 30 April 1868, mengungkap sejarah
ringkas perpecahan Bolango tersebut.
Populasi Landschap Bolaang
Uki, awalnya terpilah oleh penduduk beragama Islam dan bagian lain yang kafir.
Populasi kafir berada di Mongondo, sedangkan yang Islam pergi ke barat di
Gorontalo, berdiri sebagai kerajaan kecil yang independen, yang seperti
kerajaan lain ketika itu berada di bawah supremasi Sultan Ternate, hingga
digantikan kendali Kompeni Belanda (Vereenigde
Oostindische Compagnie, VOC) dengan Kontrak 1683.
Di masa kekuasaan Kompeni
Inggris (East India Company, Maret
1797-Maret 1803), banyak orang Bolango menolak kendali Raja Gorontalo, meninggalkan
rajanya mengatasi sendiri, dan mencari perlindungan di Bolaang-Mongondow. Kapal
mereka diizinkan mendarat di pantai utara Sungai Lombagin, sehingga terjadi
persatuan kembali dengan penduduk yang masih kafir.
Mereka kemudian
mendapat izin membangun Bangka dekat gunung emas Lolak. Namun karena banyak
buaya, juga karena sering banjir dan angin kencang, orang Bolango meninggalkan
negeri Bangka. Dengan izin Raja Bolaang-Mongondow mereka memilih sedikit lebih
ke barat satu tempat di Teluk Uki yang dapat diakses kapal dan aman di semua
musim. Di sini mereka membangun satu negeri di teluk, menyandang nama Uki,
sehingga timbul Landschap Bolaang-Uki, yang berbatasan di timur dan selatan
dengan Bolaang-Mongondow dan sebelah barat Bintauna.
Dalam nota Raja
Iskander Ali van Gobel pula, disinggung adanya agama Kristen di masa sebelumnya
yang surut karena pengaruh Bugis dimana penduduk pindah ke agama Islam. Hal tersebut
seperti terjadi di kerajaan Bintauna (baca Bintauna, Dua Kerajaan Bersaudara).
RAJA AWAL
Menilik fakta
sejarah, Daepeagou masih hidup di awal abad ke-16, sebab Raja Moito dihistoriskan
berkuasa di Limboto sekitar 1500-an.
Setelah Raja Daepeagou,
terkenal pula Ratu Putri Bolango bernama Polunie. Menurut Riedel, Ratu Polunie
kawin dengan Podunge (Podungge) atau Padunge, Raja Di Bawah (Olongia to
Huliyalio) Gorontalo, adik Detu, Raja Di Atas (to Tilayo) Gorontalo yang berkuasa
di tahun 1550-an.
Setelah perkawinannya,
Raja Podunge membawa istrinya tinggal di Gorontalo. Bersamanya ikut sejumlah
orang Bolango yang tinggal di Tidupo, pergi bermukim di tepi Sungai Palanggua.
Di bawah Raja Detu dan Padunge inilah perang terjadi dengan Limboto.
Sementara peristiwa
orang Bolango mengungsi besar-besaran dari Tidupo di kerajaan Limboto ke
wilayah kekuasaan Gorontalo di Palangguwa atau Palanggua berlangsung tahun 1670.
Ditandai pendirian negeri Tapa, ketika Eiato berkuasa sebagai Raja Di Atas
Gorontalo.
Riedel menyebut tokoh
bernama Hulango yang memimpin pemindahan penduduk Bolango dari wilayah kerajaan
Limboto ke Palangguwa tersebut. Hulango pula yang menjadi raja pertama Bolango.
Kerajaan Bolango
sejak pemerintahan Raja Hulango, tergabung dalam Lipu lo Holontalo atau Limo lo
Pahalaa. Menurut Riedel yang sebelas tahun menjadi Asisten-Residen Gorontalo (7
Februari1864-September 1875), Lipu lo Holontalo terdiri Gorontalo dan Limboto,
Bone dan Suwawa, Bintauna, Bolango dan Atinggola.
Riedel bersama Raja dan mantri Gorontalo. *) |
Para pengganti
Hulango sebagai Raja Bolango adalah: Tuluaia, Mohulaingo, Patuma, Tengio,
Dangkato, Hubulo, Pilubulawa, dan Polinggula.
Arsip dan dokumen tua
di abad ke-17 dan 18 mencatat Bolango dengan aneka nama. Seperti Boelangse atau
Boelanga, Boelangers, Balongers, Bolanga atau pula Bolonga. Valentijn malah
menulisnya Balangas atau Boelangas.
Surat resmi Gubernur
Jenderal Joannes Camphuys 26 Maret 1691 menerakan Raja Bolango bernama Pangeran
Palamatta dan pewaris tahtanya, yakni Pangeran Sangilatu yang beragama Kristen
(Protestan), dengan nama Kristen Abraham Sangilatu. Sangilatu dari versi Riedel
adalah Dangkato dan dalam tradisi Bolaang Uki lebih dikenal dengan nama Sangian
Datu.
Dr.Willem Phillipus Coolhaas
dalam missive para Gubernur Jenderal berpendapat
Pangeran Abraham Sangilatu adalah kemenakan dari Palamatta, anak saudaranya.
Kristen Protestan
berkembang di Bolango di masa pemerintahan Raja Palamatta akhir tahun 1670-an
atau awal 1680-an.
Gubernur Jenderal
Cornelis Speelman 19 Maret 1683 menyebut semangat dan hubungan yang sangat baik
dari orang Bolango dan Atinggola terhadap agama Kristen. Ia mengutip laporan
Gubernur dan Direktur Maluku Dr.Robertus Padtbrugge yang melakukan kunjungan ke
Gorontalo dan Limboto dengan disertai Predikant Ternate Ds.Cornelis van der
Sluys, yang kemungkinan besar telah membaptis Sangilatu.
Pengganti Camphuys, yakni
Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn tanggal 9 Februari 1693 masih menyingung
ketertarikan Padtbrugge pada Bolango, ketika mengungkap perkembangan terbaru yang
terjadi di Bolango. Raja Palamatta yang telah lama memerintah, meninggal dunia
tahun 1692. Anaknya Sangilatu yang bernama Kristen Abraham Sangilatu menjadi
raja pengganti. Tapi, dengan syarat dari penduduk bahwa untuk memiliki tahtanya,
tidak lagi memeluk agama Kristen.
RAJA GOBEL
Kemudian, terkenal
Raja Gobel yang dinobatkan di Ternate tahun 1731, meski telah mulai bertahta
sejak 1726. Raja Gobel dikenal pula dengan nama Hubulo, atau dengan nama
Abraham Duaulu. Ia telah mengembangkan agama Islam di kerajaannya, mengakhiri
era Kristen yang singkat.
Dokumen mencatat Raja Bolango di dekade kedua abad ke-18
dengan nama Kitjil Gobolo atau Kitjil Goubouko yang merupakan pencatatan
Belanda dari aksen (berbeda-beda) nama Raja Gobel atau Hubulo.
Gubernur Jenderal Mattheus de Haan pada missive 5 Desember 1726 menulis Raja
Bolango (Abraham Sangilatu) telah mengajukan pengunduran dirinya karena usianya
yang sangat tinggi (tua). Ia lalu diberhentikan, dan putranya bernama Kitjil
Gobolo diangkat sebagai raja pengganti.
Sementara, nama Kitjil Goubouko sebagai Raja Bolango
tertera ketika bersama para mantrinya ia menyurati Gubernur dan Direktur Maluku
Jacob Christiaan Pielat dengan kapal ‘t Wijnglas 22 April 1729, seperti dicatat
Tanap Ternate.
Dalam kontrak yang
diteken sekaligus penobatan dirinya sebagai Raja Bolango di Kastil Orange
Ternate 30 April 1731 oleh
Gubernur Jacob Christiaan Pielat yang mewakili Gubernur Jenderal Mr.Diederik
Durven, ia dicatat dengan nama Pangeran Gobol.
Pembuka Kontrak Raja Gobel 1731. *) |
Hadir dan mendisposisi perjanjian 30 April 1731dari Raja
Gobel dengan Kompeni Belanda di Ternate para mantrinya. Abraham Panomanigi
sebagai Jogugu, Into-Into Kapitein Laut, Bileito Marsaole, Balaiya Hukum dan
Banta sebagai Sangadi.
Kontrak politik tersebut merupakan perjanjian pertama
yang dilakukan oleh kerajaan Bolango dengan Kompeni Belanda.
Seperti kepada raja-raja dan mantri kerajaan lain di
wilayah Gorontalo, Raja dan mantri Bolango dituntut membantu pembangunan Logie
Kompeni di Illolodoa (Duluduo) untuk kelancaran transportasi barang ke sentra
emas Tomecalang (Tomakalang).
Untuk produksi emas,
raja, mantri dan penduduk Bolango harus menjual kepada Kompeni Belanda, dengan
harga 10 rijksdaalders (1 rijksdaalders
senilai 60 sen). Kemudian dilarang dengan ancaman hukuman adanya pemalsuan atau
pencampuran mineral, atau penjualannya kepada individu.
Kontrak berikut serta pembaharuan kontrak antara Bolango dengan
Kompeni Belanda berlangsung tanggal 4 November 1769 bersama Raja Atinggola, Bone dan Bintauna untuk
penyediaan debu emas; 5 Agustus 1776
renovasi dan ampliasi kontrak lama. Kemudian 5 Oktober 1776 kontrak VOC dengan
Raja Bolango, serta 26 Mei 1787 pembaruan kontrak Bolango sebelumnya.
Dokumen mengungkap
pula, adanya nama seorang Raja Bolango yang dicatat missive Gubernur Jenderal Jacob Mossel 31
Desember 1758, bernama Amiroe Kaharoedien Kitjiliwa-adoe. Namun, dengan nama
kerajaan Bolango-Bone.
TIGA BOLANGO
Orang Bolango di
wilayah Bolaang-Mongondow yang masih kafir dan bertahan tinggal di Lombagin
memiliki kepala pula.
Nama Lombagin sendiri
telah tercatatkan sejak awal abad ke-17. Riedel mengutip B.L.de Argensola dalam
Conquista de las Islas Malucas yang
terbit di Madrid Spanyol 1609, mengungkap bagian kerajaan Ternate bernama Labague, atau Lombagin. Wilayah mahkotanya
yang lain adalah Gaydupa (Kaidipang),Gorontalo (Holontalo), Hiboto (Limboto) dan
Minado (Manado).
Kemudian pula, Lombagin
berada di bawah supremasi kerajaan Makassar (Goa), hingga Makassar dikalahkan
Kompeni Belanda. Nama Lombagin tertera di artikel 17 Traktat Bongaya yang
diteken Laksamana Cornelis Speelman dengan Sultan Hassanudin 18 November 1667.
Lombagin ditulis sebagai de landen van
Langagij’.
Orang Bolango di
Lombagin menentang pemerintahan Ternate karena tidak pernah berada dalam
hubungan bawahan dengan para penguasanya, sehingga hendak diperangi Sultan
Kaitjil Sibori (Sultan Amsterdam) tahun 1677.
Sayang, tidak
diketahui, apakah Lombagin dimaksud menyeluruh penamaan bagi orang Bolango. Baik
Bolango yang ketika itu tinggal di wilayah kerajaan Limboto dan kemudian ke
Gorontalo, atau hanya orang Bolango yang masih bertahan tinggal di tepian barat
dari Sungai Lombagin.
Para Raja Bolango di
Lombagin juga tidak diketahui. Tapi, salah seorang yang menjadi kepala orang
Lombagin di awal abad ke-19 adalah Raja (Datu) Liu.
Wilken dan Schwarz mengungkap
perpindahan orang Bolango serta pembangunan kerajaan Bolango-Bangka yang
dipimpin Raja Matoka terjadi di masa kekuasaan Kompeni Inggris, tahun 1802 atau
1803. Sementara orang Bolango berpindah dari Bangka ke Teluk Uki, sehingga nama
kerajaan menjadi Bolaang Uki, terjadi di tahun 1849 atau 1850. Hal ini
disinggung pula di nota pelantikan dari Raja Mohamad Alijoedini Iskander Ali
van Gobel 1868.
Pemindahan dari
Bangka ke Uki tersebut berlangsung ketika Bolaang Uki telah dipimpin oleh Raja
Budiman (dalam arsip dan dokumen namanya dicatat Badiaman atau Radiaman atau juga
Boediaman). Kendati menurut Riedel, pemindahannya telah berawal di masa Raja
Napu.
Raja Budiman yang
memiliki nama lengkap Mohamad
Alijudini Iskander Gobel Badiaman (fam masih ditulis Goebal), telah naik
tahta sejak tahun 1837.
Almanak resmi
Hindia-Belanda sampai tahun 1858, masih menulis Raja Budiman sebagai Raja
Bolaang-Bangka. Sementara pada perjanjian 1856 dengan Residen A.J.F.Jansen, ia telah
tercatatkan sebagai Raja Bolango Uki.
Bekas ibukota Bangka di tahun 1840, dilaporkan sebagai
negeri yang tinggal dipimpin oleh seorang Penghulu, meski rumah raja masih ada
di situ. Dicatat pula sekitar 40 keluarga telah pindah di dekat pantai.
Kerajaan orang Bolango lain tetap bertahan di Tapa
Gorontalo. Bahkan, Raja Matoka yang mendirikan kerajaan Bolango-Bangka, menurut
Riedel, sebagai Raja Bolango di Gorontalo. Termasuk pula dua penggantinya di
Bolaang-Bangka, yakni Napu dan Tuwako.
Setelah Tuwako, menurut Riedel, Raja Bolango di Gorontalo
berturut-turut dipegang oleh Sunge, Katili, Habi, Usmani, Humonggilu dan terakhir
Tilahunga.
Almanak
Hindia-Belanda 1855 menyebut Raja Bolango di Gorontalo bernama Mohamad Kaitjil
Iskander Baren Duaulu. Penduduk Bolango masanya sebanyak 800 jiwa di tahun
1840, dan 1852 759 jiwa.
Kemudian, berkuasa Pangeran
Usman 1856, dan tahun 1857 Pangeran Humongilo. Terakhir Pangeran Tilahunga,
anak Raja Di Atas Gorontalo Wadipalapa dinobatkan menjadi Raja Bolango 27 April
1857dan berkuasa sampai tahun 1862. Raja Tilahunga dipujikan Riedel karena ingatannya
yang luar biasa.
Bekas wilayah Bolango
sejak tahun 1858 dimasukkan Onderafdeeling Gorontalo, menjadi sebuah Distrik
(Tapa), dipimpin seorang Kepala Distrik bergelar Marsaole, dan Kepala Distrik Kedua
Walaapulu. Mereka langsung di bawah kontrol Belanda lewat tangan para kepala
onderafdeeling, seorang Kontrolir. Distrik Tapa terdiri sebelas kampung dengan
Kampung Talulobuto, bekas tempat kedudukan Raja Bolango, sebagai ibukotanya.
Orang Bolango Gorontalo
banyak pindah ke Molibagu dan ke Teluk Uki. Dengan demikian kerajaan Bolango resmi
menghilang 1862, ketika Boalemo mengisi tempat kosong yang ditinggalkannya
dalam Lipu lo Holontalo.
Meski kerajaannya
telah hilang, masih banyak orang Bolango tinggal dan berkiprah di Gorontalo. Di
pemerintahan, umpama, terkenal sejumlah tokoh Bolango dari keluarga van Gobel.
Seperti Beaba van
Gobel, menjadi Marsaole Paguat 10 Oktober 1892 lalu pindah Distrik Boalemo,
menjabat hingga Desember 1893. Mohamad van Gobel, Marsaole Atinggola 18
September 1890-11 Mei 1894. Kemudian, paling lama menjadi kepala distrik, bahkan
sampai lebih 16 tahun, adalah Marsaole Oeno van Gobel di Distrik Tibawa, 5
Agustus 1891-20 November 1907.
Sekarang ini, Tapa,
bekas ibukota kerajaan Bolango, tinggal sebuah kecamatan di Kabupaten
Bone-Bolango. Nama yang setidaknya masih melestarikan bekas kerajaan tersebut. ***
¹).Riedel menyebut Intu-Intu masih memimpin orang
Bolango di tepian Sungai Lombagin, dan mencoba menaklukkan penduduk asli
Mongondo dengan berbagai cara. Cucunya bernama Ago mengikuti teladannya, tetapi
tidak berhasil.
²).Menurut Riedel, Moito adalah anak Raja
Limboto Datautapu dengan putri Mongondo Duluo. Dari istri pertama Tanahi,
berputra Datau dan Putri Boiodili. Dari istri kedua Damopinda, berputra
Pilohibuta dan Putri Potonuo. Datau kemudian menjadi Raja Di Atas (To Tilayo, kelak
disebut juga Raja Negeri) Limboto sekitar tahun 1536, sedangkan adiknya Pilohibuta
lebih dulu diangkat sebagai Raja Di Bawah (To Huliyalio, kelak Raja Kompeni
atau Raja Gubernemen) Limboto.
³). Dalam
tulisan lain, Riedel menyebut selama perselisihan dan perang dengan Limboto,
orang Bolango meninggalkan Atinggola di Tidupo, berniat kembali ke Tambulinas
(Mongoladia). Tapi ketika tiba di seputaran sungai Palanggua, Olongia Gorontalo
Eiato pada tahun 1670 mengajak mereka tinggal di situ, dan di sinilah Negeri
Tapa didirikan.
*).Lukisan dari Mededeelingen NZG 1867, Tropenmuseum dan krop Corpus.
LITERATUR
Almanak van Nederlandsch-Indie, 1853,1855,1856,1857,1858,1859,1893,1895,1891,1895,1908.
Dari Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin.
Bleeker,
P. Reis door de
Minahassa en den Molukschen Archipel, eerste deel, Batavia,
1856.
Coolhaas, Dr.W.Ph. Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII, deel IV 1675-1683, deel V 1686-1697, deel VIII 1725-1729,
deel XIII 1756-1761. Resources.huygens.knaw.nl.
Haga, Dr.B.J. De
Lima-pahalaa (Gorontalo) volksordening, adatrecht en bestuuurspolitiek, Tijdschrift voor
Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel LXXI, 1931.
Heeres, Mr.J.E. dan Dr.F.W.Stapel, Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, tweede deel
(1650-1675), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie,
deel 87, ‘s-Gravenhage, Martinus
Nijhoff, 1931; dan vijfde deel
(1726-1752), deel 96, 1938.
Hollander, Dr.J.J. Aardrijksbeschrijving van Nederlandsch Oost-Indie, Amsterdam, 1868.
Overeenkomsten
met Islandsche Vorsten in den Oost-Indischen Archipel, Staten Generaal Digitaal.
Riedel, J.G.F. De Landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Kattinggola,
of Andagile, Tijdschrift voor Indische
Taal-,Land-,en Volkenkunde, deel XIX, 1870.
--De Volksoverleveringen betreffende de
voormalige gedaante van Noord-Selebes en den oorsprong zijner bewoners, Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indie, derde serie 5de jaargang, 1871.
-- Het
Oppergezag der Vorsten van Bolaang over de Minahasa (Bijdrage tot de Kennis der
oude Geschiedenis Noord-Selebes), Tijdschrift
voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde, deel XVII, 1869.
Rosenberg,
C.B.H.von. Reistogten in de Afdeeling Gorontalo, Amsterdam, Frederik Muller, 1865.
Statistieke
aanteekeningen over de Residentie Menado, Tijdschrift
voor Neerland’s Indie, 1840.
Stibbe, D.G. dan Mr.Dr.F.J.W.H.Sandbergen, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, achtste deel, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1939.
Tanap
Ternate.
van der Chijs, Mr. J.A. Inventaris van ‘s Lands Archief te Batavia (1602-1816), Batavia, 1882.
Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam,
1726.
Wilken,
N.P.dan J.A.Schwarz, Verhaal eener reis naar Bolaang-Mongondow, Mededeelingen van wege het Nederlandsche
Zendelinggenootschap, elfde jaargang, 1867.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.