Oleh: Adrianus Kojongian
Tateli,
sekarang lima desa di Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa adalah negeri
Tombulu yang telah masyur sejak awal peradaban Minahasa. Telah berdiri
jauh-jauh hari bahkan sebelum orang Minahasa berkenalan dengan bangsa asing dan
suku-suku lain.
Legenda-legenda
Tombulu kaya dengan kisah-kisah tentang Mandolang, negeri lama yang pernah
mentereng di lokasi Tateli saat ini. Mandolang dihikayatkan telah ada sejak
anak keturunan Toar-Lumimuut.
Penulis
terkenal Dr.J.G.F.Riedel menyebut anak-cucu Toar-Lumimuut dari turunan se
Makatelu-pitu, yakni Dotu Pangerapan dan Pontomandolang yang datang ke
Mandolang, Keduanya beserta istri-istri mereka Kureisina, Rameipatola dan Raunpatola
datang dari Tuur in Tanah, lalu mendirikan Soanga dekat Tateli, selain negeri
Lumalengkei di Tanjung Pulisan. Nama Mandolang berasal dari tokoh Pontomandolang.
Setelah
pembagian di Watu Pinawetengan, Tombulu mulai menyebar. Mandolang pun didiami.
Namun, Mandolang banyak kali ditinggalkan ulang, karena gangguan para bajak
laut asal Mindanau yang dikenal sebagai Mangindano yang melakukan
pembumihangusan, pembunuhan dan penculikan kaum pria dan perempuan. Mandolang
tetap didatangi penduduk Tombulu dan dari pedalaman lain Minahasa untuk mendonasin, mengambil garam.
Ketika itu, Mandolang mulai didatangi suku-suku lain. Perselisihan dengan pendatang
tidak terhindarkan, menimbulkan banyak konflik tidak berkesudahan, terutama
dengan pengayauan, dimana banyak penduduk Kakaskasen dan Minahasa umumnya sangat
menderita. Terkenal di masa itu kisah Lokon Mangundap, pahlawan yang kemudian
menjadi kepala di Tombariri. Dari cerita-cerita rakyat Kakaskasen, Tomohon dan
Tombariri, Lokon Mangundap bersama Kalalo, Aper, Karundeng, Kapalaan dan Posumah
(Riedel menyebut mereka Lokon Mangundap, Kalele, Aper, Karundeng, Kapongoan,
Karumah dan Posumah) telah berhasil mengamankan Mandolang dan jalur mendonasin dengan
memberantas para pengayau yang suka mengganggu penduduk Tombulu dan Minahasa lain yang pergi ke Mandolang untuk mengambil garam.
Kepadanya,
Kepala Kakaskasen telah menyerahkan untuk menjadi milik orang Tombariri,
tanah-tanah luas pula. Tombariri yang semula hanya meliputi kawasan Woloan
sekarang dan sebelah selatan sungai Ranowangko hingga pantai barat liwat
pegunungan Manembo-nembo, ditambahi dengan wilayah yang ada di sebelah utara
sungai Ranowangko, meliputi gugusan gunung-gunung Lokon, Kasehe, Tatawiren
hingga di tepi pantai sebelah barat. Lokasi mana dikenal sekarang sebagai luasan
Kecamatan Tombariri, bersipat di arah pantai dekat Mandolang di timur Mokupa.
Masa
Kakaskasen dipimpin Tikonuwu dan Tuera, banyak penduduk Kakaskasen kembali
bermukim di Mandolang. Mandolang maju pesat. Penduduknya selain hidup bertani juga
menangkap ikan. Rata-rata kaum prianya gagah berani, karena sewaktu-waktu
mereka berhadapan dengan para bajak laut asal Mindanau.
Riedel
menyebut adanya perang Mandolang di masa itu. Salah seorang pemuda Mandolang
bernama Tamuntuan telah pergi ke pulau Manado Tua dan berhasil memperistri
gadis cantik bernama Tinontongpatola anak Pongeba yang kemudian dibawanya
pulang ke Mandolang. Ternyata, kepala orang Babontehu, pemukim pulau Manado Tua
ketika itu, tidak menyukai warganya kawin dengan orang Tombulu.
Sang
kepala menyuruh pengikutnya merampas kembali Tinontongpatola. Tapi, karena
gagah perkasanya laki-laki Mandolang, orang Babontehu telah dikalahkan, dan
perahu-perahu mereka dibinasakan.
VERSI PINGKAN
Sebuah
peristiwa yang dihikayatkan penduduk Tateli, dan Tombulu umumnya adalah perang
Minahasa dengan Bolaang yang bersumber dari kisah Pingkan. Berbeda versi bahwa
kejadiannya terjadi di Maadon atau Maarom Tonsea yang ditulis Riedel atau
juga Sydney Hickson, diyakini mereka, justru berlangsung di
Mandolang.
Pingkan
gadis rupawan dari Mandolang telah membuat raja Mongondo mabuk kepayang hanya
dari mendengar kecantikannya saja. Meski Pingkan telah bersuamikan Matindas,
sang raja tetap memaksa Pingkan untuk menjadi istrinya. Dengan akal yang hebat dari Pingkan, sang raja terbunuh, dan pasukannya di pukul mundur.
DITINGGALKAN
Perkelahian
dengan Bantik yang menurut Riedel telah datang di daerah seputaran Malalayang
sekarang setelah pindah dari Gunung Bantik dekat
Senduk, sebelum akhirnya ke Singkil, telah berlarut-larut kemudian hingga di
awal abad ke-20, meski berkali-kali didamaikan oleh pemerintah kolonial ketika
itu.
Perseteruan
paling hebat terjadi di tahun 1760-an. Soal Malalayang, telah menyebabkan Tateli hancur di tahun 1764, sementara ibukota
Balak Kakaskasen Lotta dibakar. Akhirnya, Residen Manado campur tangan.
Kepala Balak Bantik Mandagi ditahan Belanda dan dibawa dengan kapal Enkhuizen ke
Batavia via Ternate. Tapi, di selat Buton, Mandagi telah terjun dan hilang
ditelan gelombang. Ketika itu, terkenal pahlawan Tateli yakni Tonaas Wolla.
Belum
lama, Tateli kembali diserbu. Dua pertiga penduduknya menjadi korban. Kali ini, Tateli benar-benar ditinggalkan. Setelah campur tangan balak-balak lain Minahasa,
Kompeni Belanda tahun 1789 menahan Kepala Bantik bernama Samola di Benteng Amsterdam.
Tateli baru dihuni kembali setelah tercapai kedamaian antara Kakaskasen-Bantik. Di
tahun 1820 datang para pembuat garam dari Kinilow, sekarang kelurahan di
Kecamatan Tomohon Utara, yang masa itu masuk Balak Kakaskasen. Lama kelamaan
mereka tertarik bermukim dengan membangun rumah-rumah di sebelah barat Tateli
lama (Wanua Ure).
Tokoh-tokoh
yang dianggap perintis pendirian kembali Tateli di bekas Mandolang adalah
Tonaas Sirang, Parengkuan, Dais dan Pangemanan. Awalnya mereka membuat upacara
adat mendengar bunyi burung untuk menentukan lokasi pemukiman. Setelah ada
petunjuk baik, mereka memasuki tempat itu. Karena menemukan tiga batu yang
merupakan tungku, yang disebut dalam bahasa Tombulu tateli, maka dinamailah
negeri baru dalam Balak Kakaskasen ketika itu, Tateli. Graafland memberi
versi lain, asal nama negerinya dari sungai yang mengalir di tempat itu.
Perkembangan
Tateli terbilang pesat, sehingga di tahun 1835 telah dibuka sebuah sekolah gubernemen.
Tateli baru dipimpin seorang hukum tua yang dipilih sendiri oleh
penduduk di tahun 1850.
Sekarang, Tateli telah menjadi sebuah ‘kota’, sebagai ibukota dari Kecamatan Mandolang yang dimekar dari Pineleng tahun 2012. Nama Mandolang, untuk mengenang kebesaran masa lalunya. Tateli telah memekar menjadi lima. Tateli, Tateli Satu, Tateli Dua, Tateli Tiga dan Tateli Weru yang dikenal pula dengan nama Buloh, dengan penduduk telah aneka ragam.
Sekarang, Tateli telah menjadi sebuah ‘kota’, sebagai ibukota dari Kecamatan Mandolang yang dimekar dari Pineleng tahun 2012. Nama Mandolang, untuk mengenang kebesaran masa lalunya. Tateli telah memekar menjadi lima. Tateli, Tateli Satu, Tateli Dua, Tateli Tiga dan Tateli Weru yang dikenal pula dengan nama Buloh, dengan penduduk telah aneka ragam.
Situs tinggalan Tateli masa lalu masih ada. Tanjung Mandolang, sekitar 860
meter dari pusat Tateli di Buloh sekarang. Kemudian Selokan Ranorempeng yang menjadi parit pertahanan
dalam perkelahian tempo dulu. Juga bekas negeri tua yang disebut Wanua Ure di
timur Tateli. Lalu bekas Loji dan waruga di lokasi Ranoriri. ***
*).Foto koleksi Bode
Talumewo.
BAHAN TULISAN
Kojongian, A., Riwayatmu Tomohon, 1986.
Tomohon Kotaku, 2006.
Riedel, J.F.G., Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu,
Batavia 1862. Delpher Boeken.
Taulu, H.M., Sejarah Minahasa, 1955.
Watuseke, F.S., Sejarah Minahasa, 1962.
Wawancara di tahun 1980-1990-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.